Bukan Karena Dia Pamanku

Saban sore selepas Ashar hingga petang rumah kami memang selalu ramai dengan kehadiran anak-anak tetangga yang belajar mengaji pada emak dan mama. Pun dengan selepas magrib giliran remaja dewasa yang datang bersimpuh di lantai beralas tikar. Di ambang sore itu pula –saat kami bercengkrama dengan anak-anak seusianya atau sekedar menyapu halaman, Mang (pak) Mur, pedagang Es Campur lewat menjajakan dagangannya itu.

Dan, setiap dia melewati rumah kami itulah dia berhenti sejenak dan menyuruh kami untuk mengambil 5 mangkok. Pastinya kami bergegas masuk rumah dan kembali dengan menenteng 5 mangkok yang dimintanya itu. Beberapa menit kemudian, mangkok-mangkok itu telah berisi Es Campur yang nikmatnya begitu menggoda. Terlebih kala panas mentari masih terasa menyengat. 5 mangkok berisi Es Campur itu diberikannya gratis.

Apa yang dilakukannya itu boleh dibilang rutin saban hari secara cuma-cuma. Dan anehnya kami tak pernah bosan menikmati Es Campur buatannya itu. Bahkan terkadang, kami pun selalu menyambangi rumahnya untuk membelinya. Tapi, dia selalu menolak setiap kali kami menyodorkan uang seharga Es Campur itu.

Itulah peristiwa 20 tahun silam. Tapi ingatan itu kembali kemuka, ketika sore itu saya tengah asyik ngobrol bareng Emak di beranda depan. Emak yang tengah menikmati rujak, sementara adik-adik tengah bercengkrama dengan teman-temannya. Tentunya kini tidak anak-anak lagi. Ketika Mang Mur melewati rumah dan mendapati kami tengah asyik di beranda depan, saya yang tentunya jarang bertemu dengannya segera menghampirinya sekedar untuk bersalaman sebagai tanda hormat seorang anak kepada orangtua. “Mau Es ga? Ambil Mangkok sana!” ujarnya usai berbasa-basi denganku. Sejurus kemudian, kusuruh adikku untuk mengambil 5 mangkok sesuai permintaanya. Tak lama kemudian mangkok-mangkok berisi Es Campur pun telah siap diseruput kami. Ya, tentu peristiwa itu mengingatkan kami 20 tahun silam kala kami masih bocah ingusan.

Sebelumnya saya tak pernah mengerti kenapa dia selalu memberikan barang dagangannya itu kepada kami secara cuma-cuma? Dan hal itu dilakukan saban hari setiap dia lewat rumah kami. Tapi akhirnya perlahan kami mengerti dengan yang dilakukannya terhadap kami.

Rupanya apa yang dilakukan Mang Mur –yang tak lain adalah Mamang (paman) kami, dimana dia adalah suami dari adik mamak kami– tak lain sekedar untuk berbagi apa yang menjadi barang dagangannya. Padahal jika 5 mangkok itu diminta oleh orang lain tentunya bisa menghasilkan lembaran rupiah. Tapi dia lakukan begitu ikhlas, tanpa pamrih. Bukan karena dia paman kami atau maksud lain, tapi sekedar istiqomah untuk selalu bersedekah. Dia bersedekah dengan apa yang dia punya, yakni Es Campur, meski itu barang dagangannya yang tentunya membutuhkan modal. Dan terlebih hasil jerih payahnya itu tengah dinanti keluarganya di rumah.

Menurutnya, selama ini dia tidak bisa memberikan apa-apa kepada keponakan ataupun kerabat yang lainnya, selain Es Campur buatannya itu. Dia pun ingin hasil usahanya (membuat Es Campur) yang selalu dinanti pelanggannya saban hari itu bisa dirasakan oleh sanak saudaranya. Untuk itu pun rupanya sejak dulu diapun beranggapan bersedekah yang baik itu kepada saudara kerabat terdekat terlebih dahulu, baru orang lain.

Apa yang dilakukan olehnya tak beda pula dengan yang dijalankan orang-orang disekitar kami. Istrinya misal, selalu menawarkan docang (salah satu makanan khas cirebon) kepada kami bila menamu di rumahnya. Pun dengan bibi, mamang dan uwa yang berprofesi ‘berdagang’ hasil olahan sendiri selalu demikian. Tanpa basa-basi mereka selalu menghadiahi tangan ini dengan buah tangan berupa hasil olahan mereka.

Dan jangan heran bila kita semua sering atau paling tidak pernah mengalami hal ini.  Mereka tidak pernah berfikir  bila memberi itu akan merugi. Karena mereka yakin apa yang mereka berikan itu tentu dan pasti besar kecilnya akan dibalas oleh Allah Subhanahu Wata’ala. Kalaupun bukan untuk dirinya, bisa jadi untuk istri, anak-anaknya atau kerabat yang lain.

Ya memang, jika kita ingin bersedekah, maka bersedekahlah terlebih dahulu kepada kerabat, saudara terdekat kita terlebih pada orangtua. Bukan karena ‘nepotisme’ atau mengsampingkan keberadaan orang lain, tapi memang itulah tuntunan agama.

Jadi jika kita hendak memberi bantuan kepada saudara, kerabat famili kita, usahakan diniatkan itu sebagai sedekah, jangan sampai tidak. Semua itu agar tidak sia-sia dan apa yang kita berikan pun akan menjadi saksi di hari akhir nanti. Tentunya semua itu harus dilandasi dengan  keikhlasan.

Sekedar mengingat masa kanak-kanan dulu, tapi ternyata hal itu masih berlaku hingga dewasa kini, apalagi kami jarang bertemu. Sebulan, tiga bulan hingga setahun mungkin baru bersua.

Terimakasih Mang, atas Es Campurnya…. kupanjatkan doa disetiap seruputan lezatnya Es Campur buatanmu itu. Meski kau tak pernah mengharap. Karena kami tahu semua itu hanya karena mengharap ridlo-Nya atas usahamu.

Bincang-Bincang Bersama Rudy Hadisuwarno

foto by Fernandez

foto by Fernandez

Siapa yang tak kenal Rudy Hadisuwarno yang salonnya tersebar di 148 lokasi di Indonesia. Pria yang kerap berpenampilan necis ini, begitu dikagumi kalangan hairdresser atau industri fashion. Tak heran jika ia mendapat gelar ‘sang maestro’ penata rambut Indonesia.

Tak hanya dikenal di Indonesia. Sebagai penata rambut ternama, sudah  mendapat pengakuan internasional. Ia diangkat menjadi anggota Intercoiffure –sebuah perhimpunan ahli-ahli tata rambut professional sedunia yang berpusat di Paris— pada tahun 1977. Tak hanya itu, di tahun 1979. Rudy direkrut menjadi anggota C.A.C.F. (Comite Artistique de la Coiffure Francaise) suatu wadah organisasi di Paris, bagi para penata rambut dengan reputasi tinggi.

Rudy dikenal sebagai penata rambut sejak 1968. Pria kelahiran Jakarta 21 Oktober 1949 ini, memulai usahanya sebagai ‘tukang salon’ rumahan setelah lulus sekolah tata tata rambut di Jakarta. Tiga tahun kemudian, seakan tidak puas dengan ilmu yang diraihnya, Rudy kembali melanjutkan sekolah tata rambut di Inggris, Paris, dan Perancis.

Tahun 1978, menjadi tonggak bagi Rudy untuk mengembangkan usaha yang kian diminatinya dengan membuka salon di Duta Merlin, kawasan pusat perbelanjaan bergengsi di Jakarta kala itu. Dari kawasan ini pula, peraih Medaille de Chevalier de la Chevalerie Intercoiffure Mondial, sebuah penghargaan atas prestasinya pada Intercoiffure World Congress dari ICD Mondial, di New York, Amerika Serikat pada 1980 ini, membuka beberapa cabang dengan brand Rudy Hadisuwarno.

Dan sepuluh tahun kemudian, Rudy mengembangkan salonnya dengan sistem waralaba. Kini, lewat brand Rudy Hadisuwarno Exclusive Salon, Salon Rudy by Rudy Hadisuwarno, Brown Salon, salon anak-anak Fun Cuts dan Kiddy Cut di bawah naungan manajemen Rudy Hadisuwarno Organization (RHO) terus mengepakkan sayapnya. Apa rahasia keberhasilan penata rambut kelas dunia yang sempat kuliah pada jurusan Arsitektur Universitas Trisakti, Jakarta ini dalam menapaki karirnya?. Berikut perbincangan Rudy kepada VIEW.

VIEW: Kenapa Anda memilih profesi ini?
RUDY: Sebetulnya yang menjalani profesi rambut waktu itu adalah ibu saya. Maklum, selepas SMA saya harus mencari duit sendiri kalau mau kuliah. Akhirnya saya ikut pendidikan tata rambut dan baru bisa buka salon di rumah sekitar tahun 1968. Dari hasil nyalon itulah saya bisa kuliah di Trisakti.

VIEW: Apakah saat itu Anda benar-benar menikmati profesi tersebut?
RUDY: Ya, bahkan tiga tahun kemudian saya sekolah tata rambut lagi ke luar negeri. Dan akhirnya saya harus rela meninggalkan bangku kuliah. Mungkin saking keenakan kali yaa… Dan ternyata ini memang dunia saya.

VIEW: Hingga kini, sudah ada berapa tempat?
RUDY: Dari semua yang kami kelola, sekarang ada sebanyak 148 cabang, 25 lokasi diantaranya milik sendiri, sisanya kerjasama dengan sistem waralaba.

VIEW: Sebenarnya, apa sih yang membedakan Salon Anda dengan salon yang lain?
RUDY: Adanya standarisasi baku yang saya terapkan di semua lini. Mulai dari gunting rambut, produk, hingga pendidikannya.

VIEW: Selama ini Anda mendapat inspirasi dalam menciptakan gaya rambut dari mana?
RUDY: Kalau inspirasi lebih sering dari kondisi yang terjadi di dunia. Bahkan tak jarang, apa yang saya kreasikan sebelumnya dipakai juga oleh para haidraisser di Paris, Perancis yang konon jadi pusat mode.

VIEW: Lho, bukannya selama ini Paris itu jadi kiblat?
RUDY: Memang, tapi tidak semua yang tren di sana cocok untuk di sini. Indonesia itu boleh dibilang setengah barat setengah oriental yang kadang jadi inspirasi juga bagi mereka. Jadi bukannya sombong, kalau Indonesia ini penuh dengan talenta di bidang tata rambut. Dan itu mereka akui kok.

VIEW: Selain mengkreasi gaya rambut, apakah Anda masih turun langsung menangani pelanggan?
RUDY: Ya, bahkan ada beberapa pelanggan lama saya yang hanya mau dilayani sama saya. Atau ada permintaan khusus dari para selebriti, public figure hingga pejabat negeri ini.

VIEW: Biasanya permintaan khusus seperti apa?
RUDY: Kebanyakan untuk membentuk imej tentunya. Misalnya kemarin saya harus mengkreasikan gaya rambut Darius Sinatria yang menjadi brand ambassador dari Gillette. Saya juga merias rambut Siti Nurhaliza untuk keperluannya sebagai ikon shampoo Pantene.

VIEW: Kalau boleh tahu, tahun depan model rambut seperti apa yang bakal diperkenalkan Anda?
RUDY: Sepertinya gaya minimalis akan cocok dengan kondisi ekonomi yang serba sulit ini. Hehehe…

VIEW: Untuk kedepannya, dunia salon apa yang bakal Anda kembangkan lagi?
RUDY: Saya akan membuka salon khusus muslimah. Karena banyak pelanggan yang meminta saya untuk membuka layanan yang khusus muslimah. Pokoknya serba muslimah. Mudah-mudahan dalam satu hingga dua tahun ini bisa terwujud. [view]

Tulisan ini ditulis dan dimuat untuk VIEW Edisi Juni 2009

Gerakan Gaya Hidup Hijau

SHARP Tree Adoption
kegiatan Tree Adoption ala SHARP dan Green Radio

Ajakan untuk hidup yang ‘serba hijau’ terus digadang-gadang. Tak sekadar itu, ajakan ini bahkan menjelma menjadi sebuah gaya hidup. Gaya hidup hijau bukan lantas harus serba warna hijau. Sejatinya, gaya hidup hijau lebih menitikberatkan kepada kepedulian terhadap bumi. Sayangnya, meski bukan hal yang baru, tapi gaya hidup ini banyak dilupakan orang.

Kini gerakan gaya hidup hijau, seakan menggurita mulai dari lingkungan keluarga, organisasi hingga kalangan korporasi. Beragam program ‘menghijaukan’ bumi kembali dikampanyekan. Entah mengatasnamakan program kepedulian sosial yang lebih dikenal dengan Corporate Social Responsibility (CSR) atau sekadar latah bahkan lebih dari itu hanya sebatas pemanis bibir.

Semisal program Tree Adoption hasil kerja sama antara konsorsium Gedepahala (Gede Pangrango Halimun Salak), Conservation International Indonesia, Taman Nasional Gede Pangrango dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak beserta kelompok masyarakat sekitar yang bertujuan untuk merestorasi hutan. Pasalnya, berdasarkan penelitian setiap tahun negeri ini kehilangan 1,8 juta hektar atau sekira lima kali lapangan sepakbola per menitnya.

Program adopsi pohon yang bisa diikuti oleh perorangan hingga korporasi ini cukup menarik perhatian publik. Bahkan di era yang dipenuhi isu-isu efek pemanasan global, ‘adopsi pohon’ sudah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat yang peduli akan lingkungan. Tak heran bila kini banyak kalangan berbondong-bondong menanam pohon. Mulai dari lahan pekarangan rumah, kawasan perumahan elit, lahan jalur hijau, hingga hutan yang berstatus tanam nasional.

Salah satunya, pabrikan elektronik asal Jepang, Sharp telah mengadopsi sebanyak 500 pohon dengan lima jenis pohon yakni Rasamala, Puspa, Suren, Huru dan Saninten yang ditanam di lahan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Cianjur. Kegiatan penanaman pohon yang menjadi bagian dari CSR pabrikan elektronik penemu Plasmacluster di lahan seluas satu hektar itu bertepatan dengan peringatan hari bumi, 22 April silam. Pun sebelumnya, beberapa korporasi papan atas melakukan hal yang sama.

“Kami menyadari hutan merupakan paru-paru dan penyimpan air terbaik, dengan penanaman pohon di Gunung Gede Pangrango ini setidaknya mampu membantu pemeliharaan ekosistem dan menjaga kelestarian hutan di Indonesia,” ungkap Presiden Direktur PT Sharp Electronics Indonesia, Fumihiro Irie.

Dari pihak pemerintahan pun seakan tak mau kalah dengan gerakan-gerakan penghijauan kembali bumi pertiwi. Semisal gerakan one man one tree yang dicanangkan Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Paling tidak, bila penduduk negeri ini yang berjumlah sekitar 230 juta jiwa, maka pada tahun 2009 ini akan ada 230 juta pohon baru akan dimiliki bumi Indonesia. Jika hal ini terlaksana dengan baik, bangsa Indonesia akan menikmati indahnya bumi pertiwi yang hijau berseri.

Isu gaya hidup hijau pun pernah menggejala di lahan bisnis properti. Tak sedikit kawasan perumahan baru yang tak hanya menawarkan desain bagus dan bermaterial mahal, melainkan mengusung tema ramah lingkungan dengan menghadirkan ‘hutan kota’ di dalam kawasan. Tak segan-segan, para pengembang kawasan pun berani mengalokasikan lahan hijaunya hampir separuhnya. Sehingga wajar, jika adanya kawasan hijau menjadi senjata ampuh promosi mereka. Bahkan, semua kawasan perumahan yang dibangun pengembang raksasa sekelas Grup Lippo mewajibkan hijau. Tak hanya itu, grup ini pun mengeluarkan aturan siapa yang menebang satu pohon akan didenda Rp 15 juta.

Diakui atau tidak, adanya efek pemanasan global, seakan menggugah manusia untuk sadar akan lingkungan. Meski sadar atau tidak, terkadang dalam kehidupan keseharian banyak diantara kita yang belum mencerminkan gaya hidup yang selaras dengan alam atau yang lebih dikenal dengan green lifestyle. [view]

Tulisan ini ditulis dan dimuat untuk VIEW Edisi Juni 2009

Earthvolution, Adibusana Bernuansa Baru

foto by fernandez

foto by fernandez

Fashion sudah menjadi identitas gaya hidup masyarakat modern. Beragam ide-ide baru bermunculan, salah satunya fenomena global warming. Adalah ‘bumi’ yang tampil sebagai jiwa dari kreasi, disebut-sebut sebagai nouvelle couture alias gaya adi busana bernuansa baru.

Mel Ahyar –perancang busana yang meraih Coupe de Coeur dari perancang ternama dunia Emanuel Ungaro pada 2006 lalu— menyuguhkan koleksi terbarunya bertema Earthvolution. Sebuah rancangan yang menggunakan volume, struktur dan konstruksi baru pada pola, teknik dan gaya rancangannya. Gaya ini boleh dibilang baru, karena mengedepankan keindahan yang inspiratif bagi dunia mode dan ciri khas tersendiri.

Lewat Earthvolution, 35 rancangan eksklusif dibagi empat babak plus sebuah gaun penutup. Dimana setiap sekuennya menggambarkan perubahan bentuk kehidupan yang juga direfleksikan lewat metamorfosa volume pakaian dari masa ke masa. Ice Era atau jaman es menjadi bagian dari Earthvolution yang menampilkan pakaian bervolume gaya zaman Barok, beralih ke rancangan longgar tahun 20-an sampai siluet pakaian masa sekarang. Didominasi warna-warna bening es, koleksi mengalir ke rancangan serba putih di atas bahan polos dengan detil bunga kain, yang mengalami distorsi bentuk. Sekuen berikutnya Earth Begins, kumpulan rancangan gaun pendek bervolume dan berstruktur tegas. Bermain detil lipit, lipat dan draperi dalam beragam bentuk, vertikal sampai horizontal.

Babak ketiga menampilkan koleksi Twister, layaknya sebuah bencana yang tengah melanda, koleksi ini hadir dengan pola tak seperti biasanya. Dalam rancangan yang memancarkan warna bergradasi dari coklat hingga hitam ini, gaun dirancang diskonstruktif dengan bahan linen kasar seperti karung. Terdapat detil lipit-lipit dan draperi yang menjadi daya tarik koleksi berpola tak lazim ini. Sekuen keempat hadir dengan rancangan ala Mutant, dimana bumi bertransformasi mencari keindahan baru. Koleksi gaun bustier yang dideformasi menjadi bentuk baru menjadi keunggulan babak terakhir ini. Desainer kelahiran Palembang, 22 Februari 1981 ini, menghadirkan gaun dengan bentuk pinggul yang digeser ke depan atau menyamping. Ada juga gaun, dari depan seolah tampak dari belakang sampai rancangan bustier yang menghadap samping.

Sebagai pamungkasnya, ditampilkan Fallen Angel, gaun pendek warna putih bervolume seperti gaya pakaian yang membuka peragaan. Gaun ini merefleksikan sebuah siklus kehidupan, sekaligus menggambarkan simbol harapan yang datang dari sang dewi penyelamat bumi. “Ketika bumi lahir, alam memberikan keindahannya. Di saat manusia hadir, alam lalu dirusaknya. Pada waktu kita peduli, bumi kembali menampakkan kecantikannya,” kata Imelda Ahyar, sang perancang sekaligus pemilik label Mel Ahyar Couture. [view]

Artikel ini ditulis dan dimuat untuk VIEW Edisi Juni 2009