Lebih Dekat Dengan Sumarjati Arjoso : Politisi Perempuan Harus Berkualitas

Dia hanya tertawa ketika seorang teman mengajak bergabung di partai politik. Kala itu, politik dianggapnya dunia yang penuh intrik dan sandiwara. Belakangan ia berubah pikiran. Perubahan itu sampai mengantarnya berkantor di Senayan.

arjosoSebelumnya nama dr Sumarjati Arjoso, SKM sudah lama berkecimpung di lingkungan pemerintahan. Setidaknya ia pernah menduduki jabatan strategis di Departemen Kesehatan, Departemen Sosial dan terakhir di Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).

Kini ia tidak saja tercatat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tapi ikut aktif dalam Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) partai politik yang menjadi kendaraannya pada Pemilu 2009 lalu. “Awalnya dulu memang saya sama sekali tidak tertarik dengan dunia politik yang sukanya muter-muter, sementara saya kalau ngomong apa adanya,” ujar perempuan yang bulan ini genap berusia 67 tahun.

Di tengah pro kontra kunjungan soal studi banding anggota DPR ke luar negeri, namanya disebut-sebut sebagai anggota DPR dari Fraksi Gerindra yang kerap pergi ke luar negeri. Tak sedikit media yang menyoroti masalah ini. Pasalnya, hingga saat ini Partai Gerindra satu-satunya partai yang keukeuh melarang anggotanya bertandang ke luar negeri. Mau tidak mau, ia pun harus menjelaskan duduk persoalan ini baik ke masyarakat umum maupun kepada internal partai.

Menurut Sumarjati, kepergiannya ke luar negeri tidak pakai uang rakyat, sebagaimana yang dilakukan anggota DPR lainnya selama ini, tapi diundang oleh pihak lain. “Saya setuju bahwa ke luar negeri untuk studi banding itu tidak usah. Kecuali kalau ke luar negeri itu diundang dan menjadi peserta aktif. Itukan membawa nama negara di pentas dunia. Saya pergi tidak pernah pakai biaya negara sepeser pun,” ujar anggota DPR yang kerap diundang Parliamentary on Population and Development Forum ini.

Bagi dokter yang meniti karir dari bawah sebagai dokter Puskesmas ini, ketika menempati posisi apapun dan di manapun selalu ada tantangannya. Termasuk ketika istri dari politisi kawakan Amin Arjoso ini berada di lembaga legislatif. Menariknya, mantan Kepala BKKBN ini tak merubah sedikit pembawaan dan gaya bicaranya.

“Saya kalau ngomong apa adanya, tidak suka basa basi, tidak suka muter-muter, termasuk di DPR ini,” kata lulusan dari Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada dan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia ini.

Keterlibatannya di panggung politik berawal ketika pertemuannya dengan sahabanya Halida Hatta pada Peringatan Hari Pancasila 1 Juni. Dalam kesempatan itu sang sahabat menyampaikan pesan Prabowo Subianto untuk mengajaknya bergabung di Partai Gerindra. Mendengar tawaran itu, ia malah tertawa. Waktu pun berlalu, Sumarjati pun sibuk mengisi masa-masa pensiunnya. Namun suatu hari, ia dihubungi Fadli Zon yang menyampaikan hal serupa. Setelah berdiskusi dengan keluarga, suami pun menyarankan untuk mengambil kesempatan itu. Meski waktu persiapan yang singkat, akhirnya Sumarjati pun berhasil melenggang ke Senayan di bawah bendera Gerindra.

Mengawali tugas sebagai anggota DPR, ibu dua anak itu ditempatkan di Komisi IX yang memang bidangnya. Tiga tahun kemudian dipindahkan ke Komisi XI. Tak lama kemudian, Sumarjati yang menjabat sebagai Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) ini kembali dirotasi ke Komisi VIII hingga sekarang. Dalam struktur partai berlambang kepala burung Garuda ini, selain duduk sebagai anggota Dewan Pembina, dan Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Gerindra, ia dipercaya sebagai Ketua Umum Perempuan Indonesia Raya (PIRA) pusat.

Dalam perbincangan dengan Hayat Fakhrurrozi dari Majalah Garuda di ruang kerjanya beberapa waktu lalu, perempuan kelahiran Yogyakarta, 29 Mei 1946 ini memaparkan bagaimana ia menjalani tugasnya di ranah politik sebagai anggota DPR dan politisi perempuan di tengah hingar bingar percaturan politik nasional yang kian memanas ini. Berikut petikan wawancaranya.

Bisa diceritakan, bagaimana perjalanan aktivitas politik Anda?

Awalnya, saya itu pensiun pada November 2006. Sementara Partai Gerindra lahir tahun 2008 awal. Pada waktu peringatan Hari Pancasila 1 Juni, saya bertemu dengan Ibu Halida Hatta. Dalam kesempatan itu dia menyampaikan pesan dari Prabowo Subianto kepada saya untuk bergabung. Kala itu saya hanya tertawa, karena saya memang tidak tertarik dunia politik. Cukup suami saya saja yang terjun di politik. Lah, saya itu orangnya polos, kalau ngomong ceplas ceplos, saya tidak suka yang muter-muter, sementara politik itu muter-muter.

Setelah beberapa waktu, saya kembali dihubungi politisi, kali ini oleh Fadli Zon yang meminta saya untuk bergabung sebagai caleg dari Gerindra. Padahal waktu pencalegan tinggal beberapa hari.  Setelah diskusi dengan keluarga, suami bilang terima saja, karena visi misi Gerindra bagus. Akhirnya saya mendaftar sebagai caleg Gerindra dengan syarat nomer satu. Saya pun ditempatkan di dapil Jateng 3 meliputi Grobogan, Pati , Blora, dan Rembang. Daerah pemilihan yang sama sekali tidak saya kuasai waktu itu.

Apa yang Anda lakukan waktu itu?

Saya ini tidak ngerti politik, meski suami saya orang politik. Selain sebagai advokat, dia aktif di politik, sementara saya sebelum di sini sibuk dengan tugas sebagai pegawai negeri. Saya pun sebelumnya tidak pernah bercita-cita untuk terjun di dunia politik. Akhirnya, ketika maju sebagai caleg Gerindra, mau tidak mau saya harus kerja keras dan dibantu oleh tim sukses dan teman yang ada di dapil itu saya pun keliling Grobogan, Pati, Blora dan Rembang di mana medannya sama sekali tidak saya kuasai sebelumnya. Tapi karena sudah terbiasa terjun ke masyarakat, ya saya jalani saja. Waktu itu saya tandem sekitar enam orang tapi yang lolos tiga orang, termasuk saya dengan perolehan 21.837 suara.

Sebelumnya apakah Anda terlibat di kepengurusan?

Waktu pencalegan saya belum berada di struktur kepengurusan. Nah, waktu itu Partai mau membentuk sayap Perempuan Indonesia Raya (PIRA), lalu saya diminta Ibu Halida Hatta untuk terlibat dalam pembentukan, hingga akhirnya diminta memimpin PIRA. Sekarang selain di PIRA, saya ditunjuk menggantikan posisi Ibu Halida Hatta sebagai Wakil Ketua Umum Bidang Kesejahteraan Rakyat sekaligus anggota Dewan Pembina.

Apakah ada bedanya dalam menjalani aktivitas dari eksekutif ke legislatif?

Saya rasa tidak ada bedanya, karena pada waktu di eksekutif saya lebih banyak terjun kegiatan bersama lembaga swadaya masyarakat. Jadi sudah sering bertemu dengan masyarakat. Selain itu, saya mengasuh Rubrik Dokter Anda di Majalah Kartini sejak tahun 1986 hingga sekarang. Kemudian program radio Pro Dokter di RRI sejak 1997. Saya kalau ngomong apa adanya, tidak suka basa basi, tidak suka muter-muter, termasuk ketika saya di DPR. Nah, mungkin bedanya saat memasuki dunia Senayan, mau tidak mau saya harus menghadapi beragam karakter yang tidak bedanya seperti sinetron, penuh dramatisasi dan akting. Tapi saya tetap apa adanya, karena menurut saya baiknya seperti itu.

Menurut Anda, seperti apa politisi Senayan saat ini?

Menjadi anggota DPR bukan sekadar kuantitas, tapi kualitas. Nah, sepanjang pengamatan saya, tidak semua anggota berkualitas. Maaf loh, sekali lagi maaf. Kadang ada anggota DPR sama sekali tidak menguasai masalah. Menurut saya tidak apa-apa, asal mau belajar. Seperti saya yang awalnya ditempatkan di Komisi IX, yang membidangi kesehatan, Keluarga Berencana (KB) tenaga kerja, memang bidang saya. Kemudian tiba-tiba dipindah ke Komisi XI tentang keuangan, perbankan misalnya, tapi saya sedikit tidaknya mengerti tentang keuangan, karena dulu waktu di Depkes juga pernah berurusan dengan menejemen keuangan, tapi sekali lagi saya harus belajar. Kemudian sekarang saya di Komisi VIII yang membidangi sosial, agama, perempuan. Nah untuk masalah sosial dan perempuan itu bidang saya, karena pernah menjadi pimpinan dirjen di Kementrian Sosial. Jadi tidak masalah, karena saya orangnya suka belajar.

Saya pikir anggota DPR tidak masalah latar belakangnya apa, yang penting mau dan mampu belajar. Ada kemauan dan kemampuan untuk belajar, tidak ada masalah. Dan yang penting mengerti akan tugasnya, harus mampu menyikapi setiap masalah dan memperhatikan konstituennya. Jangan sampai ketika sudah duduk di gedung DPR, tidak mau turun ke lapangan. Saya berharap DPR nanti lebih berkualitas, baik laki-laki maupun perempuan. Berkualitas bukan berarti berlebihan tapi menguasai masalah, berani mengemukakan argumentasi dan membela rakyat.

Lantas bagaimana dengan perempuan di parlemen?

Secara kuantitas dari 30 persen yang diharapkan, sekarang baru 18 persen. Nah dari 18 persen itupun belum 100 persen kualitasnya bagus. Tidak masalah, yang penting mau belajar. Sekali lagi kita sebagai anggota harus banyak belajar. Ke depannya, yang penting penempatan anggota sesuai dengan latar belakangnya.

Bagaimana dengan Partai Gerindra?

Memang, Partai Gerindra mengajukan 36 persen perempuan. Meski diakui juga dari 36 persen itu untuk caleg DPR-RI hanya ada sembilan caleg perempuan dari 77 dapil yang menempati posisi nomor urut satu. Padahal banyak perempuan yang potensial. Memang sekarang yang penting suara terbanyak, namun di tengah masyarakat kita nomor urut masih tetap berpengaruh.

Berarti anggapan perempuan di dunia politik masih dianggap nomer dua itu benar adanya?

Memang masih dinomerduakan. Sebetulnya perempuan banyak yang aktif. Tapi patut disyukuri, Gerindra memiliki dua kader perempuan yang dipercaya untuk tampil sebagai ketua DPD. Meski harus diakui, potensi perempuan di politik cukup besar. Tapi memang masih didominasi kaum laki-laki.

Menurut Anda politik itu apa?

Politik itu upaya untuk mencapai tujuan sesuai visi dan misi. Meski saya sadar betul dengan realitas di dunia politik itu tidak adanya teman abadi tapi kepentingan yang abadi. Tapi semua itu tidak masalah bagi saya, tidak membedakan dan saya tetap berteman sama siapa saja meski beda bendera.

Gerindra melarang anggotanya studi banding ke luar negeri, tapi Anda sering ke luar negeri. Bisa dijelaskan?

Memang, saya sering ke luar negeri. Sampai saat ini pun Gerindra melarang anggotanya ikut pergi studi banding ke luar negeri dengan biaya uang negara. Kalau saya pergi ke luar negeri tidak pakai uang rakyat, tapi diundang oleh pihak lain. Saya sering menghadiri Parliamentary on Population and Development Forum. Itu ada yang tingkat global, Eropa maupun Asia. Terakhir saya diminta untuk menjadi pembicara di European Parliamentary Meeting di London, soal KB (Keluarga Berencana) karena saya kan pernah menjadi kepala BKKBN. Jangan salah, kita di sana dihormati sekali. Saya pergi tidak pernah pakai biaya negara sepeser pun.

Saya setuju bahwa ke luar negeri untuk studi banding atau apapun istilahnya itu tidak usah. Kecuali kalau ke luar negeri itu diundang dan menjadi peserta aktif. Itukan membawa nama negara di pentas dunia, seperti saya sendiri diundang ke Kanada, Inggris, dan Ethopia pakai biaya sendiri, justru harusnya disangoni. Apalagi tiket yang diberikan kelas ekonomi padahal perjalanan jauh. Nah agar tidak terasa capek, biasanya saya ambil kelas bisnis, jadi otomatis saya nombok.

Apa komentar para petinggi Partai Gerindra waktu itu?

Begini, awalnya dilarang dan tidak dikasih ijin, termasuk Sekjen juga melarang. Waktu itu saya diundang ke Kanada, tidak berangkat. Lalu diundang ke Jepang, saya juga tidak berangkat. Dalam sebuah kesempatan saya jelaskan permasalah tersebut ke Pak Hashim. Lalu Pak Hashim bilang, kalau yang seperti itu boleh, tapi saya masih belum berani menghadiri beberapa undangan ke luar negeri. Kemudian suatu hari ketemu dengan Pak Prabowo di acara pernikahan anak Pak Murphy, saya pun ngomong ke Prabowo soal ini. Akhirnya beliau kasih ijin.

Berarti ini pengecualian?

Saya kira siapapun yang diundang dan sebagai peserta aktif dengan biaya pengundang, harusnya diijinkan, karena membawa nama negara. Di setiap pertemuan itu, saya selalu mengatasnamakan sebagai anggota DPR-RI, kecuali di acara tidak resminya baru saya mengatasnamakan Gerindra. Bahkan waktu saya ke London, ketemu orang Indonesia yang ingin membentuk Gerindra di London. Tentunya ini menguntungkan Gerindra dong.

Bagaimana reaksi mahasiswa di negara yang didatangi Anda?

Pernah waktu itu saya berangkat ke Belanda dan Inggris atasnama BAKN DPR-RI, tapi tidak dibiayai negara, kami dibiayai USAID. Kita bertemu dengan mahasiswa Indonesia di sana, malah mereka menghargai sekali kedatangan kita, karena saya jelaskan mulai dari jadwal kegiatannya hingga biaya perjalanannya yang nanggung pihak lain bukan negara.

Kalau perkembangan PIRA saat ini seperti apa?

Dalam perkembangannya PIRA lumayan baik dan sudah terbentuk sampai ke daerah, termasuk kegiatannya sudah mulai eksis. Tapi memang tidak semua pengurus aktif, tidak semua orang yang mau jadi pengurus itu mau aktif. Meski hampir terbentuk di setiap daerah, tapi yang aktif hanya separohnya. Padahal, saya lihat sebenarnya kekuatan perempuan cukup bagus, hal ini terbukti di beberapa daerah yang saya kunjungi. Hanya saja, selama ini belum banyak kesempatan yang diberikan kepada kaum perempuan. Biasanya kalau pengurus DPD-nya ganti, PIRA-nya pun ikut-ikutan ganti.

Apa harapan Anda terhadap perempuan Gerindra?

Ya bukan kader perempuan Gerindra saja, tapi perempuan Indonesia. Jadi, perempuan itu harus mengerti posisinya, memang dia harus tahu kodratnya, tapi dia juga harus maju. Kalau mau bersaing dengan kaum laki-laki, ya kita harus lebih baik sedikit di atasnya. Perempuan harus mau belajar seumur hidup, belajar dan berjuang. Jangan karena merasa perempuan, akhirnya menyerah dengan laki-laki. Karena untuk mencapai setara itu harus lebih baik. Terlebih masa depan tentu akan lebih berat, jadi harus berusaha keras, bekerja keras dan berjuang keras. Tapi ingat, perempuan juga tidak meninggalkan kodratnya dalam keluarga.

Kita berharap kader PIRA sebagai kelompok kekuatan perempuan akan menjadi penentu suara. Terlebih untuk menghadapi Pemilu 2014 nanti, kita berharap caleg perempuan mendapat dukungan moril dan materil dari tingkat pusat hingga daerah. Termasuk dari kader PIRA itu sendiri yang ada di daerah kita harapkan ikut berjuang mengkampanyekan caleg perempuan yang berkualitas agar jadi.

Lantas menurut Anda perempuan masa kini seperti apa?

Terus terang, saya prihatin dengan kondisi perempuan sekarang yang tidak mau belajar dengan baik, banyak yang malas, selalu nerima apa adanya, tidak fight. Buktinya, banyak perempuan yang mau kaya secara instan, tidak mau berjuang, itu merendahkan derajat perempuan sendiri.

Saya juga miris kok malah banyak perempuan yang ingin menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) di negara orang. Nah, ini salah satu penyebabnya pemerintah yang kurang tegas dan tidak peduli terhadap persoalan perempuan. Harusnya lebih perhatian dengan menciptakan lapangan kerja untuk kaum perempuan. Meski ada kementrian perempuan tapi anggarannya lebih kecil dari dirjen. Saya berharap bisa dinaikkan tapi harus ditopang dengan kinerja yang lebih bagus. Semoga ke depan, Gerindra bisa mensejahterakan perempuan.

Pemilu 2014 nanti maju lagi?

Ya begitulah. Saya ditempatkan kembali di dapil yang sama,  Jateng 3 dengan nomer urut 1.

Apa harapan Anda di Pemilu nanti?

Pada pemilu nanti, saya berharap jangan ada money politic, meski sepertinya sulit. Bahkan sekarang ada istilah no wit no blos (tidak ada duit tidak nyoblos). Susah memang. Dan memang realitas di lapangan seperti itu. Inikan sangat menyedihkan. Bangsa ini menjelma jadi peminta-minta. Dulu tidak ada loh. Coba tengok, mulai dari pembagian zakat, angpao cap gomeh, daging kurban, dulu tidak ada yang rebutan. Sekarang antri, dan akhirnya rebutan. Mirisnya kalau dapat daging kurban dijual. Saya heran, kok negara kita ini jadi seperti itu. Pemerintahnya utang. Rakyatnya minta-minta. Ini memang lagi lagi kualitas bangsa.

Daripada memberikan ikan ke konstituen, saya lebih sering memberi pancingnya. Seperti beberapa waktu lalu saya bantu kelompok ibu-ibu dengan sejumlah mesin jahit yang bisa diberdayagunakan mereka. Biasanya selain menggunakan dana sendiri, saya sering cari program CSR pihak lain untuk membantu fasilitas umum yang dibutuhkan masyarakat. Saya sendiri selalu mengeluarkan iuran untuk PIRA dan partai sebagai bentuk kepatuhan anggota.

Dengan sederet jabatan, bagaimana Anda mengatur waktu?

Dalam hidup ini, setiap manusia mempunyai masalah sendiri-sendiri. Jalani saja dengan menerima apa adanya dan selalu bersyukur. Pekerjaan saya banyak, selain sebagai anggota DPR saya juga sebagai Ketua BAKN dan Ketua Kaukus Kesehatan. Di Senayan saja sudah seabreg kegiatan dengan permasalahannya, apalagi ketika turun ke daerah selalu menghadapi berbagai masalah. Kita jangan menghindar dari permasalahan. Ketika ada masalah harus dihadapi untuk diselesaikan. Prinsipnya usaha dan doa serta rasa syukur. [G]

DR SUMARJATI ARJOSO, SKM

Tempat, Tanggal Lahir:

Yogyakarta, 29 Mei 1946

Jabatan:

  • Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra
  • Ketua Umum PP Perempuan Indonesia Raya
  • Anggota Komisi VIII DPR-RI Fraksi Partai Gerindra
  • Ketua BAKN DPR-RI

Catatan:

  • Artikel ini ditulis dan dimuat untuk Majalah GARUDA edisi Mei 2013
  • Pada Pemilu 2014 ini, Sumarjati Arjoso maju sebagai calon legislatif (caleg) DPR-RI dari Partai Gerindra nomor urut 1 untuk daerah pemilihan (dapil) Jawa Tengah III

Suria Ati Kusumah: Memberdayakan Perempuan Indonesia

Rupanya, ada sejarah tersendiri antara keluarga besarnya dengan Prof Sumitro Djojohadikusumo. Termasuk ketika akhirnya ia bertemu dengan Prabowo Subianto dalam wadah perjuangan yang sama. Konon ayahnya merupakan teman baik sekaligus mitra kerja sang Begawan ekonomi Indonesia itu pada masa revolusi dulu.

Memang, ayahnya lebih banyak di belakang layar ketika berjuang bersama Prof Sumitro Djojohadikusumo. Mulai dari perjuangan mendirikan partai sosialis, ketika mendirikan yayasan Unkris hingga sampai difitnah berideologi kiri. Semua itu ia ketahuinya dari buku agenda harian sang ayahnya dan beberapa cerita dari kakak-kakaknya. Bahkan masih ingat dalam benaknya, semasa kecilnya ia kerap menerima telepon dari sang Profesor sebelum disambungkan ke ayahnya. “Sering banget saya terima telepon darinya, nanyain bapak waktu itu. Jadi memang Tuhan telah mengaturnya, bahwa akhirnya bisa ketemu dengan anaknya juga,” ujarnya mengenang masa kecilnya.

Kini, Suria Ati Kusumah (45) berjuang bersama cita-cita Prabowo dalam memajukan kaum perempuan Indonesia lewat Perempuan Indonesia Raya (PIRA), salah satu sayap yang ada di Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Keterlibatannya di Partai Gerindra dan beberapa sayapnya yang ada tak lepas dari aktivitas Ati sebelumnya di Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) khususnya di Komite Wanita HKTI. “Saya dulu aktif di HKTI sebelum masa kepemimpinan Pak Prabowo, dan ternyata setelah beliau memimpin, namaku masih tercantum di jajaran pengurus,” ujar perempuan kelahiran Jakarta, 7 Oktober 1966 ini.

Dari wadah HKTI inilah akhirnya ia bisa bertemu langsung dengan orang yang kerap diceritakan keluarganya, khususnya sang ayah. Perempuan yang sebelumnya meretas karir di industri musik dan broadcast ini kerap tampil sebagai pemandu acara atau memandu lagu kebangsaan Indonesia Raya di setiap acara HKTI. Termasuk di kegiatan Partai Gerindra di awal-awal kelahiran partai berlambang kepala burung garuda ini. Pernah suatu ketika, dalam sebuah acara, mantan Danjen Kopassus itu memanggilnya untuk sekadar memastikan bahwa dirinya adalah putri dari Pieter Suriadirja, teman ayahnya.

“Waktu itu saya tengah ngemsi acara partai,” ujar aktivis program Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) wilayah Tangerang Selatan yang sekaligus menjabat sebagai Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PIRA Provinsi Banten ini.

Sebagai kader partai, khususnya dari kalangan perempuan sudah tak diragukan lagi. Tak sekadar karena mengenal dengan baik keluarga besar sang Ketua Dewan Pembina, Prabowo Subianto, tapi karena kebulatan tekad dan niat untuk mengabdikan diri pada bangsa dan Negara lewat jalur partai. Keterlibatannya tak sekadar ikut-ikutan, Ati pun kerap hadir dalam berbagai kegiatan partai maupun sayap-sayap yang ada jauh sebelum sejak partai itu resmi berdiri.

“Kalau bicara loyalitas kader, apa yang diutarakan Pak Prabowo dalam setiap kesempatan bahwa seleksi alam itu benar adanya. Ada yang baik, ya akan terus tambah solid, ada juga yang merasa ada maunya namun tak terpenuhi, ya akan melipir sendiri,” tegas mantan atlit Kempo ini.

Hal itu ia buktikan sendiri, meski ia gagal dalam ajang pemilu legislatif  2009 silam, namun ia tetap berada dalam barisan Gerindra. Kala itu, ia mendapat tiga tawaran formulir calon legislatif (caleg) tingkat pusat, provinsi dan atau kabupaten. Ati pun memilih mencalonkan diri untuk DPRD Provinsi Banten dari Daerah Pemilihan (Dapil) Kabupaten Tangerang. Sayang, meski sudah bekerja keras, rupanya keberuntungan belum berpihak padanya. Tapi semua itu tak lantas membuatnya pupus harapan atau bahkan mundur teratur. “Sekarang malah tambah gregetan ingin terus mengabdi dan membesarkan partai bersama kader yang lain,” tekadnya.

Tak heran bila, perempuan yang juga masuk dalam jajaran Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Wanita Tani HKTI bidang Informasi dan Komunikasi ini terus membuat strategi komunikasi dalam meraih massa. Beberapa program tengah ia godok bersama rekan-rekannya baik di Wanita Tani HKTI maupun di PIRA untuk memberdayakan perempuan Indonesia. Pun dengan kondisi internalnya yang dinilainya masih agak rapuh dan kurang menyatu. Padahal menurutnya, potensi perempuan di tubuh Gerindra begitu besar. “Karena memang belum sinergi dengan baik, sehingga kelihatannya masih didominasi kaum laki-laki, padahal perempuan di Gerindra potensi banget,” ujarnya.

Untuk itu, ibu dua anak ini kerap mengingatkan pada seluruh kader, khususnya kaum perempuan untuk tampil layaknya seperti besi berisi bukan hanya menjadi besi kosong. Menurutnya, jangan hanya tampilan fisiknya saja tapi tidak ada isinya.  Pasalnya, selama ini ‘besi-besi’ itu belum kuat dan rapuh karena tidak ada isinya. Bukan karena umurnya baru tiga tahun, tapi ia melihatnya masih tingginya ego masing-masing kader. “Mustinya, ketika sudah satu komando, maka jangan sampai masih terlihat pada berceceran,” harapnya. [G]

Catatan: Artikel ini ditulis dan dimuat untuk Majalah GARUDA, Edisi Desember 2011

 

 

 

Putih Sari Taslam: Terinspirasi Perjuangan Sang Ayah

Usianya baru 24 tahun ketika ia memutuskan terjun ke dunia politik. kala itu Agustus 2008, tekad perempuan kelahiran Jakarta, 20 Juli 1984 ini telah bulat bergabung dalam Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Garis perjuangan politik yang diusung partai besutan Prabowo Subianto ini menggerakkan hatinya untuk mengembalikan kedaulatan bangsa dari segala keterpurukan.

“Saya setuju dengan garis perjuangan politik Gerindra yang tegas-tegas ingin memenangkan sistem ekonomi kerakyatan sebagai koreksi terhadap sistem ekonomi liberal yang berlaku selama ini,” ucapnya mantap.  Sistem ekonomi liberal disebutnya nyata-nyata hanya menguntungkan pelaku ekonomi bermodal kuat, para kapitalis.

Putih Sari Taslam, perempuan muda itu ahirnya mencalonkan diri dalam Pemilihan Anggota Legislatif 2009. Langkah ke arah itu sudah jelas tidak mudah. Sebagai ‘anak bawang’ di panggung politik, ia mesti melalui jalan berliku dan penuh gelombang agar bisa menjejakkan kaki di Senayan.

Berada di Daerah Pemilihan (Dapil) VII Jawa Barat yang meliputi Kabupaten/Kota Bekasi, Kabupaten Karawang dan Kabupaten Purwakarta, Putih harus bersaing dengan sejumlah politisi yang namanya sudah dikenal di Indonesia. Di situ ada Ade Komarudin dan Nurul Arifin dari Partai Golkar. Selain itu ada Hary Kartana mantan Dirut Indosat dari Partai Demokrat. “Sementara saya, boleh dibilang masih anak bawang,” ujarnya merendah.

Tapi nama-nama itu tidak membuat nyali ‘anak bawang’ itu ciut. Persaingan yang sengit justru membuat semangatnya bertarung memperebutkan hati rakyat kian menggelora. Selama masa kampanye, ia mnyambangi para konstituen hingga ke pelosok-pelosok kampung.

Putih bahkan sampai ke sebuah kampung terpencil di kawasan waduk Jatiluhur Purwakarta yang tidak ada satu pun partai yang mau kampanye. “Saya datang ke situ. Bahkan selama masa kampanye saya hanya seminggu sekali pulang ke rumah,” dokter gigi lulusan Universitas Trisakti ini mengisahkan pengalamannya.

Kerja kerasnya embuahkan hasil. Putih mengumpulkan 27.341 suara. Jumlah ini cukup untuk menjadi tiket baginya untuk melangkah masuk berkantor di Senayan, menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat REpublik Indonesia (DPR-RI). Ia termasuk salah seorang dari tiga anggota DPR-RI termuda.

Perjuangannya tak berakhir sebatas menyandang status anggota parlemen. Duduk Komisi IX –yang membidangi kesehatan, tenaga kerja dan transmigrasi, serta kependudukan— berkewajiban melakukan aktifitas legislasi dan pengawasan terhadap kinerja mitra kerja, terutama yang menyangkut upaya perbaikan pelayanan kesehatan masyarakat dan kesejahteraan para pekerja dan buruh.

Di komisi ini, kesehatan dan tenaga kerja adalah bidang yang nyaris tak pernah usai dirundung masalah. Mulai dari penyiksaan TKI/TKW, tuntutan kesejahteraan dan upah yang layak bagi karyawan atau buruh, biaya pengobatan yang tak terjangkau, minimnya fasilitas kesehatan, jaminan sosial dan lainnya. Belum lagi persoalan program KB (Keluarga Berencana) yang nyaris tak diperhatikan lagi.

Selain di Komisi IX, Putih juga dipercaya sebagai bendahara fraksi dan anggota Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR-RI. Di luar pekerjaan di DPR, ia tetap berkecimpung di organisasi sayap partai, yakni PIRA (Perempuan Indonesia Raya). Mau tidak mau, ia mesti pandai-pandai membagi waktu untuk bisa menjamah berbagai aktivitas tersebut.

Menurut Putih, kondisi perpolitikan sekarang ini sangat memprihatinkan. Hal itu menurutnya bisa dilihat dari bagaimana politik luar negeri ini, politik pertahanan, politik ekonomi, termasuk politik kebudayaan negeri ini, sungguh sangat mengecewakan. Akibat dari kondisi perpolitikan itu, lanjut Putih, sepertinya negara ini sudah tidak punya jati diri lagi sebagai bangsa yang bermartabat dan berdaulat.

Untuk itu, sebagai anggota DPR, Putih banyak berharap bahwa lembaga yang kini ditempatinya itu bisa efektif dan maksimal dalam menjalankan tugas dan fungsinya demi terwujudnya kesejahteraan rakyat dan kemajuan bangsa. “Inilah tugas saya dan teman-teman di DPR maupun partai untuk mengembalikan kedaulatan bangsa ini,” tegasnya. [G]

catatan: Artikel ini ditulis dan dimuat untuk Majalah GARUDA, Edisi Agustus 2011