Bisa jadi tagline “Mulai dari Nol Lagi” lalu mengarahkan Anda ingat dengan iklan –yang konon menyentuh hati– Pertamina yang berseliweran lebaran lalu. Tidak mengapa memang, tapi sejatinya tulisan ini sekedar menggambarkan seorang sahabat yang sore lalu bertandang ke rumah.
Memang, hampir 7 tahun sudah kami tak bersua. Dari segi penampilan sohib yang semasa kuliah pernah satu kamar di sebuah asrama tidak banyak perubahan. Namun tidak dengan kondisi fisiknya, meski perubahan itu hanya baru tampak ketika dia berjalan. Kaki kanannya seakan lebih pendek, sehingga bila berjalan agak pincang. Hal ini akibat kecelakaan yang dialaminya 3 tahun silam.
Kecelakaan itu sendiri terjadi ketika dirinya tengah berjaya dalam bisnis yang digelutinya saat itu. Saking suksesnya, bahkan dalam sehari dia bisa meraup keuntungan hingga Rp 4 juta. Belum lagi bonus-bonus atas kesuksesannya mengembangkan jaringan bisnisnya. Boleh jadi menurutnya, saat itu kehidupan duniawinya bak roket yang melesat. Segala kebutuhan pangan, sandang dan papan telah melengkapi hidupnya.
Musibah itu pula yang pada akhirnya membawa dirinya kepada titik nadir. Apa-apa yang dimiliki hasil kerja kerasnya itu boleh dibilang “ludes” untuk memulihkan kondisinya yang parah. Bahkan untuk memulihkannya kembali kesemula, dirinya butuh waktu hampir setahun. Terutama untuk mengembalikan kepercayaan diri yang sempat goyah. Terlebih ketika program yang mengantarkannya ke puncak sukses itu didera masalah pula dan pada akhirnya bangkrut.
Menurutnya, lewat kecelakaan itulah, dirinya diingatkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala. Kini, dia pun tengah memulai hal yang baru lagi. Denga usaha dan pragram yang memang sama- sekali sebelumnya belum pernah terpikirkan. Ya, mau tidak mau mulai dari nol lagi. Kepercayaan diri, semangat, untuk terus mengais rezeki –yang tak lain sebagai bentuk ibadah kepada-Nya.
Sore itu, sembari menyeruput kopi yang disajikan sang istri, dia menyitir satu dari sekian banyak kisah teladan keluarga Lukman, sosok seorang ayah yang digambarkan dalam Al-Quran. Kala itu Lukman tengah berjalan bersama anaknya ditemani seekor keledai kecil. Ketika memasuki sebuah perkampungan, sang anak yang menunggangi keledai sementara Lukman berjalan kaki sambil menuntun si keledai. Selama perjalanan di kampung itu, orang-orang selalu menggeleng-gelengkan kepala melihatnya. Rupanya, orang-orang kampung itu menilai sang anak itu tidak punya etika dan adab sama sekali membiarkan ayahnya berjalankan kaki sambil menuntun si keledai sementara sang anak duduk enak di atas punggung keledai.
Melihat hal ini, ketika di ujung kampung, sang anak menyuruh sang ayah untuk menunggangi keledai. Tapi begitu memasuki kampung berikutnya, mereka pun kembali dibuatnya tak mengerti dengan ulah masyarakat kampung itu yang terus “bergunjing” setelah melihat kehadiran mereka. Ya, mereka beranggapan ayah yang tak tau diri, membiarkan anaknya berjalan kaki, sementara dirinya asyik menunggangi keledai.
Akhirnya, kala telah menjauh dari pemukiman mereka pun bersepakat untuk sama-sama naik si keledai. Namun, lagi-lagi, ketika memasuki perkampungan yang lain, mereka pun kembali dibuat salah tingkah dan merasa bersalah. Pasalnya, semua pasang mata menatapnya penuh tanda tanya. Ternyata masyarakat kampung itu menganggap ayah dan anak itu tak tahu diri, betapa teganya mereka menunggangi keledai yang bertubuh kecil itu. Akhirnya keduanya pun turun untuk istirahat sejenak.
Ketika melanjutkan perjalanan, keduanya pun sepakat untuk sama-sama tidak menunggangi keledai miliknya itu. Mereka pun berjalan bersama menuntun si keledai. Namun apa yang terjadi ketika mereka kembali memasuki kawasan pemukiman penduduk, tatapan orang-orang disekitar pun sepertinya tengah mentertawakannya. Ya, mereka menilai betapa bodohnya ayah dan anak itu. Kenapa tidak memanfaatkan si keledai yang memang tugas dan fungsinya sebagai “moda transfortasi” kala itu.
****
Jadi, memang apa pun yang kita lakukan pasti akan dikomentari orang yang melihatnya. Ada yang pro ada pula yang kontra. Dan masing-masing orang memiliki cara pandang sendiri-sendiri dengan apa yang kita lakukan. Termasuk dengan apa yang dilakukan sohib saya yang satu ini sejak dulu hingga sekarang.
Pernah ketika dirinya mejejaki hidup di Jakarta, untuk bisa bertahan hidup dia pun harus bekerja keras di sela-sela kuliahnya. Tak ayal pandangan teman-teman sekitar beragam. Pun ketika dirinya nekad untuk mempersunting gadis pujaannya dari tanah seberang.
Lantas kala menghidupi keluarga dengan profesinya sebagai seorang dosen, dia pun tak segan-segan untuk berkeliling menjajakan minuman hangat di pasar dan terminal sekedar untuk menjemput reziki yang disebarkan sang Khalik. Pun ketika dirinya bersemangat mengembangkan sebuah program ‘multilevel’ hingga harus hutang sana hutang sini, gali lubang tutup lubang yang akhirya tumbang juga.
Kini, ia pun memulai sesuatu yang baru, yang tak luput dari ‘ocehan’ para tetangga. “Hidup ini memang baru bisa terasa hidup jika ada ujian, semoga saya selalu bisa menjalani ujian-ujian yang tak lain sebagai bentuk kasih sayang Allah Subhanahu Wata’ala kepada kita,” pungkasnya.
**untuk sohibku yang kini kembali.