“Married ga ya ?”
“Dah married aja, dari pada pacaran kelamaan. Tar yang ada juga bubaran,” celetuk Nisa.
“Tapi cewek gue itu kemarin ngaku kalo dirinya dah ga perawan lagi dan dah punya anak satu,”
“Haaahh… sumpe loo, yang bener aja Jal?”
“Gimana dong, please saran dan masukannya dong. Gue bingung nih,” pinta Rijal.
Sudah dua tahun pacaran, Rijal akhirnya memberanikan diri mengutarakan niatnya untuk menikahi Nadya teman sekantor. Gimana ga cinta tuh Rijal, saban hari Nadya selalu membawakan nasi uduk plus tempe goreng buatan ibunya. Sebagai balasannya, Rijal selalu mengantar Nadya pulang dengan si Tiger biru dongker-nya. Rupanya, hubungan mereka berdua serius, Rijal pun mengutarakan kata I LOVE YOU di teras rumah Nadya saat hujan rintik-rintik. Saat itulah, Nadya pun memberanikan diri menceritakan masa lalunya. Keperawanan Nadya pernah direnggut oleh seorang pemuda yang pernah menjadi pacarnya dan kini entah dimana keberadaan pemuda tersebut. Tidak hanya itu, Nadya pun sebenarnya sudah memiliki seorang putri yang kini dititipkan di rumah neneknya di Subang. Butuh waktu lama untuk mengembalikan kepercayaan Nadya yang kini usianya memasuki kepala empat. Namun begitu, Nadya memang beruntung dikaruniai bentuk tubuh ramping dan wajah yang awet muda layaknya gadis usia 20 tahunan. Wajar jika Rijal kepincut dengan kecantikan dia.
Suasan hening sejenak, sesaat Rijal menyudahi cerita tentang pacarnya itu. Sementara Nisa hanya menghela nafas panjang. Tiba-tiba pintu di ketuk. Saat pintu dibuka, tampak Nadya di bibir pintu dengan kepala menunduk. “Ada apa Nadya?”
Tak ada jawaban, hanya gelengan kepala. Merasa penasaran, buru-buru Rijal menarik tangan Nadya untuk segera masuk ke ruang tamu. Rijal salah tingkah, saat Nisa menghampiri Nadya yang masih diam. “Hai.. kamu pasti yang namanya Nadya?” tanya Nisa.
Nadya hanya mengangguk. Suasana masih hening, tiba-tiba terdengar suara lirih Nadya yang sedari tadi diam. “Mas, mungkin kalo mas ragu setelah mengetahui masa lalu saya, ga apa-apa kok mas. Kalo dibatalin juga Dya terima, memang nasib saya begini,”
“Lho, tahu dari mana kamu, kalo gue lagi ngomongin masalah itu,” sergah Rijal.
“Saya mohon maaf, sebenarnya dari tadi saya mendengarkan pembicaraan antara Mas dan mba,” jawab Nadya.
Kaget, merasa tidak enak mendengar jawaban itu, Rijal dan Nisa jadi salah tingkah.
“Sebenarnya, lo, Jal niat ga sih nikahin dia?” tanya Nisa
“Kalo gue sendiri sih… dah niat seratus persen mau nikahin dia, cuma…?”
“Cuma apa Jal?”
“Gue takut, kedua orangtua gue ga nerima dengan kondisi seperti ini,”
Kring…kring….kring… Sony Ericsson T610 Rijal berdering (memang ringtone yang dipilihnya menyerupai suara telepon rumah jaman dulu). Di layar hp muncul nama Emak. “Waduh ada apaa gerangan,” guman Rijal.
“Assalamualaikum, Cung iki emak pengen ngomong (baca: Nak ini ibu mau bicara)”
“Wa’alaikumussalam, ano apo mak (ada apa mak)?”
“He…jare siro pengen ngenalaken calon rabie siro, kapan arep balike, ema’e wis bli sabar Cung (Hai…katanya kamu mau mengenalkan calon istri kamu, kapan mau pulang, ibu dah tidak sabar, Nak)”
“Mak… sebenere kito pengen balik minggu ngarep, wis emak tenang bae, lha iki kito lagi ngobrol karo Nadya soal kuen, (Bu.. sebenarnya saya mau pulang minggu depan, sudah emak tenang aja, ini saya lagi ngobrol dengan Nadya soal itu)”
“Yo.. wis Cung tak enteni yo…ati-ati neng dalane. Wis yo engko tagian telpone mak gede, (Ya sudah Nak ditunggu ya, hati-hati di jalan. Sudah ya..ntar tagihan telepon emak besar)”
Rijal makin bingung dengan apa yang terjadi barusan. Yang pasti Emak sudah menunggu kedatangannya membawa calon istrinya yang tak lain Nadya. Nadya yang dari tadi terdiam tampak mulai bisa tersenyum mendengar pembicaraan Rijal dan ibunya barusan.
“Ya udah, gini aja mba Nadya, saya juga perempuan, saya mengerti banget perasaan mba, kalo saya jadi mba… saya juga ga tahu harus berbuat apa. Sekarang sih, terserah Rijal, serius ato ngga nerima kondisi Nadya,”
“Mas… dari pada mas bingung, sekarang hari mulai gelap, mending saya pulang dulu, biar mas bisa mikir lagi, saya tidak memaksakan mas harus memenuhi janji itu pada saya. Tar malem mas sholat tahajud dan istikhoroh ya… mudah-mudahan diberi petunjuk ama Allah,”
Rijal hanya terdiam, sesekali dipandanginya wajah Nadya yang hari itu mengenakan baju kurung pembelian Rijal saat lebaran kemarin. “Subhanallah, betapa cantiknya Nadya dengan baju pemberian gue itu,”
“Mas… kenapa memandangiku seperti itu, dosa lo… katanya ghodul bashor (menahan pandangan mata),”
“Ya..udah saya pulang dulu ya Mas. Saya terima apapun jawaban yang akan diberikan Mas nanti, sampai ketemu besok di kantor, Assalamualaikum,”
“Eh… mba Nadya…tunggu, gue juga sekalian ah mau pulang Jal, dah sore hampir magrib nih,” kata Nisa.
Rijal hanya bisa mengangguk. Sambil menjawab salam. Setelah mengantar hingga pintu gerbang rumah yang baru sebulan ditempatinya di kawasan Bintaro. Rumah mungin tipe 36 memang begitu asri setelah direnovasi oleh Rijal, arsitektur yang baru meniti karier di sebuah perusahaan properti ternama di selatan Jakarta. “Ya… gue harus tahajud dan istikhoroh kalo gini,”
Jumat pagi, Rijal sengaja berangkat ke kantor pagi buta. Dengan harapan bisa tiba di kantor lebih dulu sebelum Nadya sang asistennya itu. Dengan haqqul yakin, Rijal menaruh amplop di meja kerja Nadya. “Mudah-mudah Allah meridloi niat gue ini,” harapnya dalam hati.
Tak sabar menanti kedatangan Nadya, Rijal pun menghubungi keluarganya di kampung mengabari rencana kepulangannya sore nanti. Lagi asyik ngobrol ngalor ngidul dengan Emak dan beberapa adiknya yang memang sedang mengharapkan kehadirannya dan calon istrinya, tiba-tiba dia dikagetkan ucapan salam wanita berkerudung putih yang pagi itu nampak cantik dan mempesona.
“Halo..halo… Ang Rijal….” suara diseberang sana yang tak disahut Rijal saking terpananya melihat Nadya. “Ah makin jatuh cinta aja neh gue ama kamu sayang,” guman Rijal tanpa menghiraukan teriakan dari balik Sony Ericsson-nya itu.
“Eeee… wis…yo engko kito balik numpak sepur sing jam limo sore, ajo klalen jemput neng stasiun jam sango-an, (Eee… sudah ya.. tar saya pulang naik kereta yang jam lima sore. Jangan lupa jemput di stasiun jam sembilan-an)” jawab Rijal sekenanya dan langsung memencet tombol “NO”.
“Amplop apa ini mas?” tanya Nadya sambil menimang-nimang amplop itu.
“Mending kamu buka aja deh, distu jawaban gue tentang kelanjutan hubungan kita.”
Tanpa ba-bi-bu, Nadya pun langsung membuka amplop yang sudah dipegangnya itu. Pelan-pelan dia membuka lipatan lembar kertas warna pink (warna kesukaannya). Antara percaya dan tidak. Nadya pun berulang kali membuka dan menutup kertas yang bertuliskan “ALHAMDULILLAH DENGAN MENGUCAP BISMILLAH… KUPINANG KAU MENJADI ISTRIKU” dibawahnya tertulis NB: Sore ini kita ditunggu oleh keluarga besarku di Cirebon. Jadi mohon kesediaanya untuk kuperkenalkan dengan keluarga besarku. Kita nanti sore langsung ke Gambir menumpangi Kereta Cirebon Express jam 5.30. Kamu Siap??
“Mas… terima kasih atas kepercayaan ini, insya Allah saya bersedia berkenalan dengan keluarga mas apa-pun tanggapannya nanti.”
Kereta melaju kencang. Belantara beton-beton yang menjulang ke langit jakarta mulai tak nampak disapu kegelapan malam. Setelah tiga jam lamanya berada di kereta kelas bisnis, akhirnya sampai juga di stasiun Kejaksan Cirebon. Basir yang menjemput kakaknya itu pun takjub dengan sosok wanita yang duduk disamping Rijal. “Wah, hebat euy.. Ang Rijal (kak Rijal) bisa dapet cewek secantik ini, kalo menurut saya sih… mirip Wulan Guritno,” godanya.
Suzuki Carry butut milik almarhum ayahnya itu akhirnya sampai juga di pelataran rumah besar plus kebon mangga di samping rumah. “Nad.. kita udah sampe, pokoknya saya minta apapun yang dikatakan keluargaku nanti tolong jangan dimasukin ke dalam hati ya, keluargaku suka becanda,” pinta Rijal sebelum turun dari mobil.
“Insya Allah, Mas.”
Di ruang tengah, telah berkumpul keluarga besar Rijal mulai dari adik-adik, uwa, mamang, bibi dan sanak saudara serta beberapa tetangga yang memang sengaja diundang Emak. Nadya hampir dibuat salah tingkah. Jika tidak ditemani Rijal. Bukan karena tidak mengerti dengan obrolan mereka yang menggunakan bahasa daerah tapi bisik-bisik orang-orang yang hadir malam itu membicarakan dirinya.
“Mak, Uwa, Mamang dan Bibi… pada malam ini saya perkenalkan calon istri Rijal bernama Nadya. Tapi satu hal yang harus diterima sampean (kalian) semua bahwa Nadya ini seorang ibu dari seorang putri.”
Anggota keluarga serta orang-orang yang hadir di ruang tengah itu mendadak terdiam. Terlebih Emak yang serius mendengarkan penjelasan Rijal akan kondisi calon menantunya itu. Tak ada yang berani bicara. Semua mata menatap tajam sosok wanita manis berbusana terusan dengan kerudung putih itu. Sekitar sepuluh menit, Rijal menceritakan semua asal-usul hubungannya dengan wanita yang disampingnya itu. Tiba-tiba Uwa Ujang yang nampak tua dari usia yang sebenarnya mendehem memecah keheningan.
“Emak, Uwa, Mamang, Bibi dan semua keluarga besar Mas Rijal, memang benar apa yang diceritakan barusan, jadi saya pun akan menerima apapun tanggapan terhadap diri saya, karena memang begini adanya,” suara itu meluncur pelan dari bibir tanpa sapuan gincu itu namun tetap merah merekah.
Suasana menjadi lebih hening, hanya terdengar suara kodok sawah yang memang selalu terdengar jika selepas hujan turun. Emak yang sedari tadi diam kini mulai bersuara walau sekedar dehem. “Mak… kok semuanya diam, tolong jangan bikin Rijal bingung,”
“Rijal… kalao memang kamu niat karena Allah untuk menikahi dia, maka jalanilah… karena itulah jalan hidup kamu, takdir yang diberikan Allah padamu. Emak cuma mengkhawatirkan apakah kamu bener-bener mau menerima Nadya sepenuhnya?”
Jawaban Emak itu seakan-akan petir membelah bumi, semua hadirin terkaget, namun bagi Rijal ini merupakan memantapkan keyakinan setelah bermunajat pada Allah beberapa malam lalu. “Insya Allah, Mak haqqul yakin, Rijal akan menerima apa adanya dia,”
“Baiklah kalau begitu, sekarang giliran Emak untuk cerita,” pinta Emak.
“Emak mau cerita apaan?” jawaban serentak adik-adik yang sedari tadi menyimak serius.
“Apa yang terjadi pada Nadya, calon mantu Emak, juga itu terjadi pada 30 tahun yang lalu pada diri Emak, dan anak yang kandung Emak pada saat sebelum menikah dengan bapak kalian adalah kamu Rijal!” cerita emak dengan nada lirih.
Kontan saja suasana pun semakin hening mendengar penuturan Emak. Hening dan hening yang ada hanya buliran airmata serta rasa haru biru betapa mulianya ayah mereka menerima emak saat itu. Dan kini, hal itu terulang kembali. Apa yang dialami Rijal saat ini merupakan sesuatu hal yang sama dengan yang dialami almarhum ayahnya 30 tahun silam