Mandul

Kehidupan Rijal dan Nisa sepertinya diujung tanduk setelah didapati jika Nisa divonis mandul. Tak urung kedua orang tua mereka pun gelisah dengan kondisi ini. Bahkan mereka terpengarah atas keputusan Rijal untuk membawa Nisa pindah ke kampungnya. Nisa, wanita sholehah yang menurut pada suami, begitu juga Rijal keislamannya tidak diragukan lagi akhirnya pindah ke luar kota.

Di kota tersebut, tak disangka Nisa menganjurkan Rijal untuk menikahi gadis lain. Walau berat baginya. Demi kebahagiaan dan keturunan sang suami Nisa rela dimadu. Rijal pun tak kuasa menolak keinginan Nisa. Akhirnya Rijal menikahi Jamilah tetangganya. Di sisi lain, kedua orangtua mereka tidak setuju dengan jalan yang ditempuh pasangan ini.

Beberapa bulan kemudian, Jamilah pun hamil. Namun diluar dugaan, Nisa pun hamil juga. Kontan ini menambah kedua orangtua Nisa marah besar karena Rijal dianggap berbohong dan mengada-ada. Konflik pun mereda setelah kedua anak itu lahir di hari dan waktu yang sama. Dokter yang menangani pun terheran-heran dengan kejadian ini, di saat menanyakan suami dari Nisa dan Jamilah.

 

Kakek

Sore itu saya berangkat menuju kampung halaman dengan menumpangi kereta api kebanggaan wong cerbon Cirebon Express (cirex). Untuk menuju stasiun pemberangkatan yaitu stasiun Gambir dari rumah saya harus dua kali naik turun angkutan kota (angkot). Angkot yang melewati sekitar rumah adalah S.10 / D.17 sebuah angkot dengan jurusan yang sama namun dibedakan dengan warna merah (KWK) dan putih (saya tidak tahu… setahu saya ini angkot yang dikeluarkan oleh dishub kab. Tangerang).

Saat itu waktu menunjukan pukul 15.00 saya langkahkan kaki meninggalkan rumah, sebuah angkot telah menunggu dipertigaan jalan. Tanpa basa-basi, angkot itupun mengantarku hingga ke kawasan velbak singgalang. Saya pun segera menuju halte tepatnya di depan apartemen Pakubuwono yang masih dalam tahap finishing. Sekitar lima menit akhirnya P AC 44 Ciledug-Senen lewat dan siap mengantarku menuju stasiun Gambir.

Ah.. bangku sisi kiri (isi dua bangku) terlihat menyisakan satu bangku. Saya pun lega bisa duduk. Disampingku seorang kakek tua renta menyunggingkan senyum sesaat saya duduk. Sore itu jalanan lengang, sehingga bus pun melaju dengan cepatnya. “Ga ada uang kecil mas?” tanya kondektur bus.

“Wah ga ada mas… ada juga cuma empat ribu neh gimana?” jawabku sambil menyodorkan empat lembar ribuan kucel pada sang kondektur.

“Ade mau kemana?” membuyarkan lamunanku yang membayangkan kampung halamanku yang mulai dirundung banjir.

“Mau pulang kampung ya?” timpalnya sebelum kujawab pertanyaannya itu.

“Iya pak. Bapak sendiri mau kemana kok sendirian?” tanyaku penasaran pada sosok tua renta itu.

“Ya saya mau ke senen dik. Mau kerja di Wayang Orang Bharata,” jawabnya.

“Hah.. udah tua gini bapak masih kerja?”

Sang Kakek tua renta itupun hanya ngangguk-ngangguk, terlihat mulutnya manyun-manyun seperti lagi mengunyah sesuatu. Namun bisa saya tebak kakek itu sudah tidak memiliki gigi lagi sehingga usai bicara pasti mulutnya manyun-manyun. Dia pun lalu menceritakan pekerjaannya di gedung wayang orang Bharata yang terletak di kawasan Senen. Menurutnya dia bekerja sebagai tukang penjaga tabir/layar penutup yang dulu biasanya dia menariknya dengan pengerek kini lebih mudah lagi hanya dengan memencet tombol. Sesekali dia pun memeragakan cara kerjanya itu. Dia pun memperkenalkan diri padaku sambil mengeluarkan KTP (DKI) dengan nama Samiran alamat di Kayu Manis Jakarta Pusat. (lengkapnya saya lupa). Usai memperkenalkan diri itu, kakek tua renta itupun terdiam sejenak, bus pun melewati kampus mustopo beragama hingga berbelok ke arah jalan asia afrika. Saat melewati Plaza Senayan, kakek tua renta itupun kembali bicara. “Dik… saya ini belum makan dan minum dari pagi, kalo ada tolong kasih saya uang buat membeli makanan dan sekedar minum air putih di Senen nanti,?”

Deg. Serasa ada yang menusuk jantung ini seketika. Saya pun tidak langsung menjawab permintaannya itu. Alam pikir baik dan jahatku pun berkecamuk perang. Ya.. bukannya tidak mau menolong kakek tua renta itu, tapi memang bekalku tidak banyak, dikantong ini hanya ada empat lembar uang kertas dengan nominal 50 ribu yang kupersiapkan untuk ongkos pulang pergi dan kondangan ke temenku yang married besok minggu. “Wah kalo tadi buat bayar ongkos dan dapet kembalian mungkin saya bisa memberinya sepuluh atau dua puluh ribu padanya sekedar untuk pengganjal perut dia. Tapi dikantongku cuma ada selembar limapuluh ribuan,” gumanku. “Gimana ya… kuberikan selembar ini atau gimana…” kecamuk antar hati dan fikiran yang terus menggangguku.

“Gimana Dik, bisa ngasih ga? ya seikhlasnya aja buat makan dan minum. Tadi aja ongkos buat naik bus ini berkat bantuan polisi yang nitip ke kondektur kok,” membuyarkan fikiran membuat hati ini miris dan bertambah iba pada kakek tua renta itu akhirnya kujawab hanya dengan anggukan. (sebagai tanda saya akan memberinya). Namun berapa yang harus kuberikan padanya? inilah yang membuatku bingung. “Yah… mungkin Allah sedang mengujiku, atau jangan-jangan…” batinku terus menggerus alam fikir.

“Jangan sampe lupa lo dik entar kasih saya uang buat makan dan minum, soale dari pagi saya belum makan,” ujarnya saat bus menurunkan penumpangnya di kawasan pintu satu senayan. Saya mengangguk kembali tanpa mengucapkan sepatah kata.

“Jangan lupa dik, sebentar lagi kamu mau turun sudah nyampe Tosari nih,” kaket tua renta itu mengingatkanku akan janji anggukanku tadi.

“Bismillahirrahmanirrahim… kuikhlaskan ini semua demi Allah,” tiba-tiba dorongan itu muncul dari dalam hati ini untuk menyodorkan selembar limapuluh ribuan baru itu pada sang kakek tua renta tadi. Entah kenapa… setelah kuberikan uang itu hati ini plong. Rasa bingung yang sebelumnya berkecamuk tadi sirna. “Yah… inilah rezki Allah buat dia yang memang harus saya sampaikan padanya melaluiku,” batinku mengingat sehari sebelumnya saya memang baru menerima gajian.

Kakek tua renta tadi pun tanpa hentinya mengucapkan terima kasihnya padaku. Saya hanya mengingatkan padanya untuk berhati-hati dengan uang itu, karena cuma selembar yang masih dalam genggaman tangannya. Dia pun mengingatkanku untuk menaruh uang ditempat tersembunyi. “Sebaiknya dompet atau uang adik ditaroh di kantong celana pendek adik, janga di kantong belakang, atau di tas aja. Sekarang lagi rawan copet dik.” nasehatnya yang kujawab dengan anggukan saja.

Bus pun akhirnya melintas di depan stasiun Gambir, sang kakek tua renta itu pun mengingatkanku lagi untuk selalu berhati-hati dalam perjalanan. Lega dan bahagia hati ini didoain sama orang yang sudah sepuh dan sepertinya tulus. Saya pun turun dan segera menuju ke loket pembelian tiket yang sudah ramai, karena waktu menunjukan pukul 16.30 yang berarti sekitar 20 menit lagi kereta berangkat.

Sesampainya di loket ternyata kereta Cirex yang menyediakan gerbong bisnis dipindah jadwalnya menjadi pukul 18.15 sementara yang keberangkatan pukul 16.50 merupakan Cirex Utama yang seluruhnya gerbong eksekutif. Karena rasa kangen ini pada kedua orangtua, akhirnya kuputuskan membeli tiket eksekutif, dengan alasan bisa sampai lebih sore dibanding dengan yang berangkat sejam kemudian. “Ah dari pada nunggu lama mending naik yang bentar lagi berangkat,” batinku walau dengan resiko bekalku berkurang dua puluh ribu dari yang kurencanakan.

Wajah kakek tua renta asal Baturetno-Wonogiri itu terus membayang saat kunaiki tangga menuju ke tempat pemberangkatan. Karena waktu masih tersedia 20 menit lagi, kusempatkan menuju ke masjid untuk menunaikan ibadah Ashar. Lega hati ini walaupun semakin menipisnya bekalku namun masih ada harapan bisa meminjam ke adik atau orangtua untuk ongkos pulang nanti sesampainya di rumah.

Baru saja kereta melaju melintasi daerah Karawang, sebuah SMS membangunkan tidurku. “Yat, ang Tia mau minta tolong, pinjemin uang untuk membayar honor guru bulan ini yang akan dibayar tanggal 1 besok, kas sudah tidak mencukupi. kakakmu.”

Deg. Kembali sepertinya ada yang menusuk jantungku hingga berhenti sejenak denyut jantung ini. “Masya Allah gerangan ada apa lagi… sudah bekel tinggal 80 ribu, ini ada lagi.. ya Allah…Laa khaulawala quwwata illa billaah,” gumanku munajat pada-Nya. SMS itupun tak kujawab karena memang pulsa di handphone ini tak mencukupi walau untuk sekedar menjawab satu SMS pun. Kupikir biar nanti kujawab sesampainya di rumah.

Saat kuceritakan kejadian sore tadi… kakak pun hanya tersenyum diselingi dengan tertawa kecil mendengar kejadian yang kualami. “Ya… mungkin itu ujian buat kamu… siapa tahu itu malaikat yang sedang menyamar atau jangan-jangan nabi khidir?” hiburnya.

“Saya pikir juga begitu, walaupun memang uang itu sangat berarti bagi saya… tapi memang ada yang lebih membutuhkannya dari pada saya. Saya hanya berharap semoga Allah meridloi apa yang kulakukan terhadap kakek tua renta itu,”

Rupanya cerita itu tidak sekedar dikonsumsi oleh kakakku, pagi harinya saat saya masih tertidur dia menceritakan hal ini pada adik-adikku. Saat kuterbangun adik-adikku sedang mendengarkan cerita kakaku itu. “Ya… udah entar ongkos pulangnya aku pinjemin,” kata adikku yang paling besar.

“Alhamdulillah, belum kuminta pun dia sudah menawarkan diri meminjamkan uang padaku.”

Waktu terus berlalu, matahari sepertinya enggan menyingsingkan diri. Siang itu pun akhirnya emakku mengetahui kejadian yang kualami kemarin sore. Ahhh padahal maksudku cerita pada kakakku saja, tapi ternyata sampai juga ke emak. “Makanya kalo mau pergi-pergi itu siapin dulu uang kecil buat ongkos jangan selalu mendadak bawa uang gede… tidak semua angkot sudah dapat uang banyak… kan kasihan kalo bayarnya kurang. Lagian kamu ikhlasin aja uang itu, itung-itung infak kamu,” katanya padaku yang cuma mesam-mesem mendengar nasehatnya itu.

Sore itupun saya berpamitan pulang kembali ke Jakarta dengan menumpangi Cirex kembali, tentunya saya hanya akan mengambil kelas bisnis saja untuk penghematan. Dan sesampainya di stasiun kereta Cirex yang menyediakan kelas bisnis pun baru akan bertolak ke Jakarta pukul 18.00. Sesampainya di Jakarta kejadian ini belum kuceritakan pada istriku.

Maukah Kau Menikah Denganku? [bagian 4]

Pada bagian sebelumnya, diceritakan pemuda itu akhirnya jatuh pingsan tak sadarkan diri disaat massa bergerombol di depan rumah lelaki tua yang sudah terbungkus kain kafan. Namun sebelum dia jatuh pingsan, kedua bola matanya menangkap sosok lelaki tua yang dimaksud Indah sebagai sang penolong itu berada ditengah-tengah kerumunan massa. Lalu apa yang terjadi pada Indah dan jenazah lelaki tua di saat pemuda itu pingsan. Mari kita ikuti kisah selanjutnya. Namun sebelumnya mohon maaf jika kelanjutan cerita ini agak lama ditulis… karena sesuatu hal, terimakasih atas kesabarannya. *halah ini mah ga penting gitu loch*

Dari tengah kerumunan massa itu, muncul sosok lelaki tua bergamis putih dan sorban yang dijadikan penutup kepalanya. Sementara, Indah, perempuan jelita masih terdiam dan terlihat begitu ketakutan dengan suasana yang mencekam itu, apalagi diketahui pemuda yang hendak menikahinya pun jatuh pingsan. Tiba-tiba terdengar suara lantang diantara kerumunan massa itu, yang tak lain suara lelaki tua bergamis tadi. “Saudara-saudara, kami mohon maaf, kami mohon minta pengertiannya bahwa keluarga ini sedang berduka, baru saja ditinggalkan suaminya, untuk itu mohon pengertiannya saudara membubarkan diri,” pintanya.

“Hai, Pak Tua, jangan sok kamu, kedatangan kami disini sebenarnya mau memastikan, karena apa mantan suamiku itu meninggal? Jangan-jangan dibunuh ama istrinya itu yang katanya mau kawin lagi,” rupanya suara itu meluncur dari mulut Birna, mantan istri tertua lelaki yang kini terbungkus kain kafan.

Kontan saja, massa yang bergerombol pun mendukungnya. Dan tanpa dikomandoi olehnya, mereka berhamburan masuk ke rumah sesaat setelah Indah muncul dari balik pintu. Suasana semakin tegang, saling dorong untuk berebut masuk. Memang selama ini rumah tua itu begitu asing bagi masyarakat desa sekitar sejak kejadian 15 tahun silam. Orang-orang yang penasaran terus merangsek ke dalam rumah yang masih terawat apik itu. Mereka pun langsung menyemut di balai dimana jenasah lelaki tua itu diperlihatkan untuk terakhir kalinya. Tiba-tiba muncul lelaki tua berjubah hitam dari arah dapur. Sepertinya dia melangkah begitu tergesa-gesa. Entah kenapa, orang-orang yang menyemut itu lalu satu per satu menepi tak ada lagi yang berani mengerumuni jenazah itu.

“Saudara-saudara, Pak Darmo telah meninggal kemarin sore, kami telah memperlakukannya sebagaimana semestinya terhadap mayat. Untuk itu mohon keikhlasannya kepada saudara-saudara untuk ikut menyolati bersamaku,” pinta lelaki tua berjubah hitam.

“Benar sekali, suami dari ibu Indah ini meninggal kemarin sore, saat kami bertamu untuk menjenguk beliau. Dan rupanya di rumah ini ada tamu dan entah kenapa tamu itu sekarang jatuh pingsan,” tambah lelaki tua yang bergamis putih menimpali.

“Sepertinya, dia ketakutan dengan kedatangan kalian yang begitu banyaknya, sementara kami saat itu ada di belakang rumah,” imbuhnya.

Usai menyolati jenazah, kerumunan massa pun akhirnya mengikuti perintah kedua lelaki tua untuk segera menguburkan jenazah yang telah dimasukan ke keranda. Siang itu, terik menyengat kepala. Namun, rombongan pengantar jenazah lelaki tua itu terus mengekor hingga ujung jalan desa. Setelah dikubur, pentakziyah pun tidak lantas pulang namun kembali ke rumah almarhum. Konon semua ini karena permintaan kedua lelaki tua itu. Sungguh aneh memang massa sebanyak itu kok mau menuruti segala perkataan kedua lelaki tua itu. Tak satu pun yang berani membangkangnya. Indah yang sejak proses pemakaman hanya bisa diam semakin tidak mengerti, kenapa kedua lelaki itu bisa mengendalikan massa yang begitu banyaknya. Padahal selama ini, baik pak lurah, pak camat maupun pak bupati selalu gagal mengendalikan warganya sendiri dalam segala hal. “Aneh memang,” guman Indah.

****

Terik matahari masih membakar desa itu. Rupanya orang-orang desa pun lebih memilih bercengkrama di rumah masing-masing sembari membicarakan keluarga Pak Darmo yang baru saja meninggal. Sementara di rumah almarhum lelaki tua, kedua orang lelaki tua itu masih duduk disamping pemuda yang masih belum siuman. Begitu pula dengan perempuan jelita, sepertinya kini dia mulai dirundung sedih. Hal ini tampak dari raut wajahnya yang sendu. Jemarinya pun sesekali menyeka air mata yang diam-diam menetes di pipinya. “Ya Allah, lindungilah dia, kembalikanlah dia seperti semula,” munajatnya untuk sang pemuda yang masih terbaring dihadapannya.

Dentang jam tua yang teronggok di sudut ruangan berbunyi empat kali. Dua orang lelaki tua dan perempuan berparas cantik itu belum beranjak. Tiba-tiba kepala pemuda menggeleng-geleng ke kiri lalu ke kanan, sepertinya dia mengigau. “Jangan, jangan, jangan,”

Melihat kondisi itu, dua lelaki tua itupun melakukan sesuatu dengan cara memercikan air ke muka pemuda itu. Kontan saja sang pemuda tersadar. Sembulan senyum bahagia pun nampak dari bibir perempuan cantik yang sedari tadi bermuram muka. Tanpa basa-basi terlebih dulu, dua lelaki itu pun langsung memapah pemuda untuk duduk di balai bekas dimana jenasah lelaki tua itu dibaringkan. Seperti kerbau dicongok hidungnya, pemuda itu pun menuruti apa yang diperintahkan dua lelaki tua tadi. Kemudian salah satu dari lelaki tua itu pun menghampiri Indah dan mengajaknya untuk berkumpul bersama di balai itu. Tanpa disangka, lelaki tua itu meminta Indah untuk segera menikah dengan pemuda itu. Karena menurutnya kalau tidak dilakukan sebelum malam tiba, alamat buruk akan menimpa keduanya. Sebelum menikahkan pasangan itu, dua lelaki tua yang masih misterius itu memberikan sejumput tanah yang konon diambil dari belakang rumah. “Untuk apa ini, mbah?” tanya Indah.

“Bukan untuk apa-apa kok, saya cuma mau mengingatkan, bahwa semua manusia itu bakal kembali ke tanah, untuk itu kamu tidak usah tinggal di rumah ini dan lebih baik kamu pergi ke rumah suamimu itu sebelum malam tiba. Mari sekarang kami nikahkah kalian,” ujarnya.

Akhirnya keduanya manut saja apa yang dikatakan kedua lelaki tua misterius itu. Mereka pun resmi menjadi pasangan suami istri dihadapan kedua lelaki tua itu. Sejumput bahagia sepertinya telah mereka raih setelah bersitegang dengan kondisi selama seharian sebelumnya. Ketika kedua lelaki tua hendak pamit, tiba-tiba massa kembali sudah bergerombol di depan rumah tua itu. “Ah, alamat apa lagi ini, mbah?” tanya pemuda itu penasaran, bahkan saking takutnya pemuda itupun jatuh pingsan lagi.

Dan saat hari gelap, karena pemuda itu belum siuman, Indah yang kini jadi istri dari pemuda yang bernama lengkap Mukhlis itu pun menungguinya. Sadar akan pesan dua lelalki tua yang baru saja menenangkan warga sekitar dengan menjelaskan bahwa mereka ini telah menikah dengan sah dihadapan keduanya, Indah pun berfikiran harus meninggalkan desanya itu. Namun apa daya, suaminya yang baru saja menikahinya beberapa jam belum sadarkan diri. Sementara dua lelaki yang telah berhasil membubarkan warga pergi entah kemana.

Tanpa terasa, jarum jam menunjukan angka duabelas, pemuda itu sadarkan diri, namun apa daya seluruh anggota badannya itu tak bisa digerakkan. Dan saat istrinya terbangun, alangkah kagetnya melihat kondisi suaminya itu.

****

Kepada istrinya, dia bercerita bahwa selama dirinya tak sadarkan diri itu sebenarnya sudah merasakan enaknya berhubungan badan dengan seorang wanita yang pernah bersuami, namun selam 15 tahun itu pula dia tak dijamahnya. Menurut pengakuannya dia pun melewati masa-masa itu bersama Indah selama 15 tahun lamanya sewaktu tak sadarkan diri. Bahkan dalam mati surinya itu pun dirinya telah mendapatkan apa yang diinginkannya selama ini. Dan ia pun memastikan kalau ketiga mantan istri dari almarhum lelaki tua itu tidak bakalan menggugat lagi apa yang sekarang menjadi miliknya, termasuk map yang berisi sejumlah sertifikat yang diberikan oleh lelaki tua yang muncul dari belakang rumah kepada Indah sebelum diperistri olehnya.

****

Sekali lagi dalam kehidupan Indah akhirnya dia harus menghadapi dan menjadi istri dari seorang suami yang tanpa daya kekuatan apa-apa, kecuali bicara. Ya, suami barunya itu pun harus berbaring di tempat tidur itu tanpa bisa menggerakkan tangan dan kakinya. Namun dia bingung, kenapa suaminya itu mengaku sudah merasakan nikmatnya berhubungan badan dengannya, walau sebenarnya hal itu sama sekali belum pernah dilakukannya. Untuk kedua kalinya Indah berumah tangga dan melewati sesuatu kondisi yang sama dari sebelumnya.

Pintu depan sepertinya ada yang mengetuk. Indah pun segera menghampiri sumber suara itu. Di ambang pintu berdiri tiga perempuan paroh baya dan tiga gadis seusianya yang sangat dikenalnya. Ya merekalah mantan istri dan anak-anak dari almarhum suaminya yang terdahulu. “Ada apa lagi kalian kesini, Saya sudah tidak kuat lagi dengan kondisi ini, apakah kalian mau menambahkan pendiritaan ini?”

“Maaf, sebelumnya kalau mungkin ini membuat kamu marah, namun sejujurnya kami kesini hanya ingin meminta maaf atas segala yang menimpa dirimu. Ketahuilah bahwa suamimu yang sekarang ini sebenarnya pernah melamar anak-anak kami, namun kami tolak, karena dia berasal dari orang miskin, tapi kamu menerimanya, dimana dia?”

“Maaf, sepertinya kalian tidak usah menemuinya, karena dia sedang istirahat,” pintanya.

“Kami mohon dengan sangat, karena ini ada kaitannya dengan kelumpuhan yang dideritanya?”

“Hahh, kalian?”

“Ya, kami mengetahui kondisi suamimu, karena kamilah yang membuatnya demikian?”

“Hahh, masya Allah…” Indah pun makin terperanjat dengan berita ini.

“Untuk itu, kami kesini ingin memulihkan kondisi tubuhnya yang lemas itu, namun dengan syarat yang sangat berat,?

“Apa itu, demi kesembuhan suamiku, apapun akan ku lakukan?”

“Baiklah, syaratnya, dia harus menikahi ketiga gadis ini.”

“Apa?”

Tak kuasa mendengar semua itu, Indah pun jatuh pingsan. Ya, kini giliran Indah, perempuan cantik yang pernah bersuamikan lelaki tua itu jatuh pingsan tak sadarkan diri. Dan ketiga perempuan dan ketiga anaknya itu membopong pemuda tampan yang terbujur lemas dan membawanya ke rumahnya. Sementara Indah yang masih tak sadarkan diri itu ditinggalkan begitu saja.

Maukah Kau Menikah Denganku? [bagian 3]

Pada bagian sebelumnya dikisahkan perempuan jelita itu tengah bercerita kepada lelaki tampan yang hendak meminang dirinya bahwa sehari setelah didatangi tiga anak perempuan dari lelaki tua, perempuan yang biasa dipanggil dengan Indah itu kembali didatangi orang-orang yang bersangkutan dengan lelaki tua –yang kini sudah menjadi mayat. Kali ini dia didatangi tiga orang mantan istri lelaki tua saat dirinya tengah mencuci pakaian di belakang rumah.Kedatangan ketiga mantan istri lelaki tua itu untuk menyampaikan surat dari masing-masing. Apa isinya?? mari ikuti kelanjutan kisah ini…

Dengan perasaan tak menentu kubuka satu per satu surat dari mereka. Kupilih surat dari istri termuda terlebih dulu untuk dibaca. Sementara lelaki tua itu masih tertidur pulas. Isi surat itu berbunyi: Saya, Nena, istri ketiga dari lelaki tua yang kini menjadi suamimu itu dengan ini sesuai perjanjian dulu bahwa tambah udang seluas 10 hektar yang ada di ujung desa menjadi milik saya, begitu juga dengan pabrik pengolahan yang ada di dekat rumah ibuku itupun milik saya. Selain itu, rumah yang lima tahun lalu dibangun bersama suamimu itu kini telah saya balik nama atas namaku. Hal ini saya sampaikan supaya kamu mengetahui dan kelak dikemudian hari tidak menggugatku.

Ahh cuma ini toh isi suratnya. Lalu buru-buru kusambar amplop yang agak lusuh milik mantan istri kedua yang bernama Rona. Isinya sama, apa yang disebutkan Nena, bahwa 10 hektar tambak udang dan pabrik pengolahan itu miliknya. Begitu juga rumah yang ditempatinya kini telah dibaliknamakan atasnama dirinya. Lalu surat berikutnya dari istri tertua, Birna tanpa amplop hanya dilipat saja. Isinya pun sama persis, ia pun mengakui kalau rumah yang dibangun dulu dan kini ditempatinya adalah miliknya.

Sejenak kuberfikir bahkan dahi pun berkerut sekedar mengingat harta-harta terakhir yang memang dulu dimiliki lelaki tua itu sebelum diberikan pada orangtuaku sebagai maskawin dan akhirnya menikahiku. Anehnya dulu maskawin yang diberikan padaku itupun akhirnya dijual tanpa sisa untuk menghidupiku selama ini. Kini yang tersisa hanya rumah tua ini dan 10 hektar tambah udang dan pabrik pengolahan udang yang kini diakui oleh ketiga mantan istrinya itu.

Huk…huk…huk…

Sepertinya, suamiku terbangun. Dan benar matanya pun mencoba menerawang mencari sosok keberadaanku yang masih terpaku diambang jendela. Kuhampiri lelaki tua itu, seperti biasa diapun hanya tersenyum tanpa mengucap sesuatu apa-apa sejak kejadian itu. Akupun tak berani mengutarakan semua ini. Tiba-tiba pintu diketok tiga kali. Aku pun bergegas menuju ruang depan. Namun tak kutemui seorang pun. Ketukan pun kembali terdengan. Rupanya sumber suara itu berasal dari pintu belakang. Di ambang pintu telah berdiri sosok lelaki tua yang tak kukenal sebelumnya. Dia pun tersenyum dan menyodorkan sebuah map. Entah apa isinya. Setelah kuterima, lelaki tua berbaju putih itu pun pamin pergi, sekelebat sosok tubuhnya tak terlihat lagi ditelan rumpunan pohon bambu kuning.

Betapa terkejutnya diri ini saat membuka map pemberian lelaki tua berbaju putih yang baru saja hilang dari pandanganku itu. Di dalamnya terdapat beberapa sertifikat kepemilikan atas lahan tambak seluas 10 hektar dan pabrik pengolahan atas nama empat orang termasuk namaku. Padahal selama ini aku tak pernah melakukan balik nama atas lahan tambak dan pabrik pengolahan tersebut. Tak terkecuali dengan rumah yang kini kutempati bersama lelaki tua itu telah disertifikat atasnamaku. “Masya Allah, pertanda apakah ini,” hatiku membatin.

Semua itu tak diketahui oleh suamiku yang terbaring di tempat tidurnya itu. Begitu juga dengan ketiga mantan istrinya itu, tak pernah mempermasalahkan hal ini, karena memang hal ini kusembunyikan. Apa mungkin mereka pun sebenarnya memegang masing-masing sertifikat, atau jangan-jangan sertifikat yang mereka buat itu yang ada pada diriku ini. Hingga akhirnya kini, suamiku yang lelaki tua itu telah meninggal. Ah.. apa yang harus aku perbuat. Berterus terang kepada para mantan istrinya atau diam seribu bahasa.

****

Gelap semakin pekat. Bulan pun sepertinya tak mampu menerangi alam. Kucoba memberanikan diri mendekati mayat lelaki tua yang telah terbujur kaku. Kubopong dia dari kasur lalu kurebahkan di balai bambu yang telah disiapkan oleh perempuan jelita itu. Dengan keterbatasan pengetahuan tentang memperlakukan mayat, akhirnya kubersihkan mayat itu. Dengan berpanduan pada buku cara mengurusi jenazah akhirnya aku berhasil memandikan, membersihkan dan mengkafani mayat lelaki tua itu dan meletakkannya di ruang tengah. Tanpa keranda, kubaringkan mayat yang telah terbungkus kain kafan itu. Tak terasa jarum jam menunjukan pukul 02.00 dini hari, namun tak sedikitpun kantuk menghinggapi mataku.

Lalu aku pun berfikir bagaimana menghadapi masyarakat nanti. Sementara di rumah ini hanya ada aku dan perempuan muda itu. Bagaimana kalau masyarakat menuduhku telah berbuat yang bukan-bukan. Terus bagaimana dirinya yang memang selama ini sepertinya diasingkan oleh masyarakat. Terlebih lagi, setelah mendengar ceritanya tadi bahwa ketiga mantan istri lelaki tua yang kini telah terbungkus kain kafan itu mengetahui kalau dia pun memiliki sertifikat itu. Atau jangan-jangan sertifikat yang ada ditangannya itu adalah miliki mereka. “Ya, Allah gimana ini,”

“Ah.. apapun yang terjadi besok pagi aku harus menemui kepala desa dan menceritakan semua yang terjadi. Mudah-mudahan kepala desa mau mengerti dan tidak curiga dengan diriku,” pikirku.

Baru saja mata ini terlelap, kumandang adzan shubuh terdengar. Akhirnya kubatalkan niat tidurku. Di sudut ruangan, perempuan jelita itu masih merunduk sujud dalam sajadah pannjangnya. Ah, tertidurkah dia. Atau memang sedang bersujud. Kulangkahkan kakiku menuju sumur yang ada di belakang rumah. Usai bersih diri dan mengambil wudlu bergegas kutunaikan kewajiban diawal pagi ini. Awan merah pun mulai menyeruak diufuk timur. Seketika berubah menjadi sinar putih yang menyilaukan. Rupanya matahari pagi ini lebih awal muncul, seiiring dengan kemunculan sosok dua orang lelaki tua berbaju gamis warna putih dan memakai sorban sebagai penutup kepalanya di ujung jalan itu yang sepertinya menuju kemari.

“Indah, kemari sebentar, sepertinya kita akan kedatangan tamu istimewa yang selalu kau ceritakan itu,” kataku buru-buru pada Indah yang masih mengenakan mukena dan telungkup sujud.

“Hah… bener mas. Alhamdulillah, kalau memang orang itu kemari, maka kita bisa minta tolong padanya,” ujarnya berharap cemas.

Namun betapa kecewanya, kedua orang lelaki tua bersorban itu sepertinya tidak jadi menuju ke rumah tua yang terdapat mayat seorang lelaki tua yang selama lima belas tahun terbaring lemas di tempat tidur. “Ya, ampun merek berbelok, terus bagaimana ini? sebaiknya kamu harus pergi ke rumah kepala desa untuk menceritakan semua ini dan mencari pertolongan padanya untuk segera dilakukan penguburan pada mayat ini,” sarannya.

Akhirnya ku bulatkan tekad untuk menuju rumah kepala desa yang terletak di belakang kantor kepala desa di blok desa itu. Menurut Indah, cukup dengan berjalan selama 10 menit aku akan sampai di rumahnya. Namun belum kulangkahkan kaki ini, tiba-tiba segerombolan massa terdiri dari lelaki, perempuan, tua, muda dan anak-anak berhamburan dari setiap gang yang ada dan sepertinya menuju kemari. “Masya Allah, bakalan ada apa ini?” batinku.

Seketika itu pula, massa telah berkerumun di halaman rumah dengan mengacung-ngacungkan potongan kayu balok, golok hingga ada yang membawa keris. Suasana itu membuat Indah ketakutan setengah mati. Pintu pun ditutup rapat-rapat. Sementara dari luar rumah terdengar berbagai caci-maki, serta kata-kata tak layak diucapkan pun terdengar dengan jelas dari mulut kerumunan massa itu. Tak hanya itu, pintu pun digedor-gedor, bahkan jendela samping rumah pun ikut digedornya. Sekelebat, mataku menangkap sosok lelaki tua berbaju gamis putih mengenakan sorban sebagai penutup kepala ada di tengah-tengah kerumunan itu. “Hah, orang itu? Diakah provokatornya?, tapi kemana yang satunya ya.”

Ditengah ketakutan dan kepanikan membuat diriku tak bisa berfikir jernih. Tiba-tiba jantungku berdetak kencang. Ahh alamat fisikku tidak kuat menghadapi semua ini. Benar saja, pandangan mata pun kian gelap serasa tubuhku pun ringan melayang dan akhirnya perasaan dibawah alam sadar pun kurasakan. Sejak saat itu, suara-suara manusia yang diluputi amarah dan nafsu itupun sama sekali tak terdengar.

Maukah Kau Menikah Denganku? [bagian 2]

Pada bagian pertama dikisahkan akhirnya pemuda itu berhasil mendapatkan restu dari lelaki tua yang terbaring sejak 15 tahun silam lamanya. Dan ternyata usai memberikan restunya, lelaki tua beruban itu menghembuskan nafas terakhir dihadapan istri dan sang pemuda yang hendak meminang istrinya sendiri. Perempuan cantik bernama lengkap Indah Larasati itu pun mengucap syukur ‘Alhamdulillah’ tentu saja hal ini membuat pemuda itu kaget. Apa yang terjadi sepeninggalnya lelaki tua berusia 80 tahun itu? ikuti kisah selanjutnya…..

****

“Kenapa kau berucap alhamdulillah.. bukannya innalillahi wainnailahi rajiuun?” sergahku.

“Memang ucap syukur harus disaat kita menerima kebaikan, rezeki dan suasana enak saja?” timpalnya balik bertanya membuatku tambah tak mengerti.

Kenapa aku berucap syukur alhamdulillah, karena suamiku yang tua renta dan tak berdaya terus terbaring di pembaringan akhirnya meninggal dengan tenang tanpa beban. Karena kini paling tidak dengan adanya dirimu yang memang bermaksud meminangku akan bisa menjaga diriku. Selain itu, lelaki tua yang kini terbujur kaku telah memberi restu padamu untuk menjadi calon suamiku. Karena suatu malam dalam sebuah percakapan dengannya, lelaki tua itu memintaku untuk mencari pemuda yang sebaya denganku untuk jadi penggantinya. Semua itu dengan syarat, lelaki yang bakal meminangku harus meminta izin padanya dan menemuinya sendiri di kamar dimana dia terbujur sekarang. Sejak saat itu, akupun sering pergi ke pengajian atau pertemuan-pertemuan warga. Paling tidak dengan kehadiranku disana ada pemuda yang tertarik denganku. Tentu saja semua itu kulakukan tidak di desa ini melainkan di beberapa desa yang ada di seberang sana. Walaupun hidup terkungkung dan tiap hari hanya mengurusi seonggok tubuh lelaki tua yang terbaring di tempat tidur, akupun tak pernah ketinggalan dengan gaya hidup masa kini. Tak heran jika sebelumnya aku mengatakan padamu bahwa selama ini telah ada tujuh lelaki yang datang mencoba meminangku. Dari semua pemuda yang datang ke rumah untuk melamarku kebanyakan dari desa seberang. Mereka mengaku terpesona dengan penampilanku, namun mereka pun tidak tahu kehidupanku sebenarnya. Tak heran pula dari ketujuh pemuda yang mencoba melamarku itu akhirnya mundur setelah mengetahui kalau diriku ini telah bersuami. Bahkan ada diantara mereka yang menuduhku sebagai perempuan murahan yang sekedar mencari uang demi kelangsungan hidup suaminya yang tergeletak di tempat tidur. Dari ketujuh lelaki yang mencoba meminangku itu pun tak jarang berasal dari keluarga terpandang. Hal ini terlihat dari penampilan mereka dan cara mereka menghadapiku. Tak ada satu pun dari ketujuh lelaki itu berhasil mendapatkan restu darinya. Karena belum juga mereka masuk ke kamar dimana suamiku berbaring, suamiku itu tidak mau ditemui. Alasannya dia telah mengetahui prasangka buruk yang ada di dalam hatinya terhadap dirinya maupun diriku ini. Lain halnya dengan kamu yang kini telah mendapatkan restu darinya. Aku pun tak tahu sebabnya. Itulah kenapa ucap syukur alhamdulillah yang kupanjatkan dengan kejadian ini.

***

Awan merah masih menyungkup diufuk barat. Kawanan burung bangau terbang rendah diatas hamparan tambak udang di seberang jalan sana. Sementara lelaki tua masih terbujur kaku di pembaringannya. Aku pun tak tahu apa yang harus kulakukan terhadapnya. Maklum pengetahuan tentang agamaku hanya seujung mata pencil. Sekedar bisa mengaji dan sholat serta kewajiban pribadi sebagai muslim. Sedang urusan kifayah seperti mengurus jenazah sama sekali tak pernah ku praktekkan, walau dulu saat mengaji pada Kyai Dullah pernah kuperoleh ilmu itu. Apa daya akhirnya kuutarakan hal ini pada perempuan yang masih duduk disamping jenazah suaminya yang tua bangka itu. “Aku tak tahu apa yang harus kita perbuat sekarang?”

“Aku pun bingung, harus bagaimana karena aku sekarang lebih takut dibanding dia masih hidup”

“Lho, kenapa? Terus kita harus bagaimana?”

“Ya karena saat ini kita selain harus mengurus jenazah suamiku, kita pun harus siap menghadapi segala sesuatu yang bakal ada dihadapan kita,” jawabnya.

Ah, jawaban itu tidak lantas aku mengerti apa yang bakal terjadi setelah ini. Yang jelas sekarang aku harus mengurus jenazah lelaki tua itu hingga pemakaman. Tapi kepada siapa aku harus minta tolong, kalau memang semua penduduk desa ini sangat membenci perempuan cantik dan lelaki tua yang sudah meninggal ini.

“Jangan harap ada yang membantu kita saat ini, bisa jadi malah celaka kita,” suara perempuan berparas manis itu membuyarkan lamunanku.

“Hahhhh, lalu siapa yang akan membantu kita menyelesaikan masalah ini?” tanyaku penasaran.

“Yang pasti gusti Allah tetap ada, dan dua lelaki tua yang selalu melintas rumah ini disaat diriku menghadapi masalah selama 15 tahun,” jawabnya.

“Dua orang lelaki tua yang selalu melintas rumah ini? siapa dia dan dimana?” sergahnya lebih penasaran menambah berkerutnya dahi ini.

“Mau tahu?”

“Ya, jelas lah,”

“Biasanya dia akan hadir dari ujung jalan sana dan seorang lagi muncul dari belakang rumah ini,”

Gelap sepertinya telah merata menyelimuti desa. Jam dinding besar lawas yang teronggok di sudut ruangan berdentang delapan kali. Saat itu, sejak suamiku jatuh sakit dan tak pernah bisa bangkit dari tempat tidurnya terjadi sebuah pertengkaran hebat antara lelaki tua yang kini menjadi suamiku itu dengan tiga perempuan dari tiga istri sebelumnya. Masing-masing istrinya dulu mempunyai satu anak perempuan. Kini mereka sebaya denganku. Mereka bertiga datang dan mengancamku jika kelak lelaki tua ini mati maka seluruh harta kekayaan yang dimilikinya akan menjadi milik mereka bertiga. Karena alasan mereka sesuai dengan adat kebiasaan desa ini yang berhak memiliki warisan adalah seorang istri yang telah memiliki anak. Sementara diriku hingga kini belum memiliki seorang anak. Jangankan untuk memiliki anak, hingga saat ini pun aku masih boleh dibilang perawan secara biologis. Karena suamiku yang saat menikahiku berusia 65 tahun itu sejak kejadian malam pertama itu hingga kini dia belum pernah bersenggama denganku. Ketika seorang dari tiga orang perempuan itu mengancam dengan mengayunkan sebilah pisau tiba-tiba lelaki tua berjenggot panjang muncul melindungiku. Aku pun luput dari serangan mematikan itu. Sementara suamiku yang terbaring lemas di tempat tidur tak bisa berbuat banyak. Akhirnya ketiga perempuan itu pun berlalu sambil nyerocos kata-kata kotor bahkan nama-nama penghuni kebun binatang pun meluncur deras dari mulut ketiga perempuan itu. Aku hanya bisa terdiam, menahan air mata jangan sampai tumpah ruah di pipi, Karena aku tak ingin semua ini menambah kesedihan suamiku yang untuk meronta pun tak bisa, hanya mengelus dadanya saja.

Sehari setelah kejadian itu, giliran tiga perempuan paroh baya yang kuketahui mereka adalah istri-istri yang telah diceraikan oleh suamiku yang tak lain ibu-ibu dari ketiga perempuan sebaya yang memakiku kemarin malam itu datang menemuiku yang tengah mencuci pakaian di sumur belakang rumah. Tak banyak yang mereka sampaikan. Ketiga perempuan paroh baya itu hanya menyerahkan tiga pucuk surat sambil memperlihatkan muka masamnya. Mereka pun berpesan untuk membacanya nanti malam. Hal ini membuatku penasaran. Pesan mereka akhirnya tak kugubris. Kutinggalkan rendaman cucian menuju ke kamar menghampiri suamiku yang masih tertidur pulas setelah kusuapi tapi pagi dan segera membuka satu persatu surat yang baru saja kuterima.

Maukah Kau Menikah Denganku?

“Maukah kau menikah denganku?”

Dia hanya terdiam, bahkan mulai merundukan kepalanya. Lama tak kudengar jawaban darinya, kuutarakan kembali. “Wahai gadis yang manis, bersediakah kau menikah denganku?”

Kini ia berani memperlihatkan wajahnya di hadapanku. Senyuman manis pun mengembang di bibir tanpa polesan lipstik itu. “Baiklah, tapi ada syaratnya jika kau mau menikahiku”

“Apa itu syaratnya”

“Apapun syaratnya akan kupenuhi sesuai kemampuanku,”

“Bener????” timpalnya begitu sumringah.

“Kau harus meminta izin dulu kepada seseorang yang ada rumah ini”

“Siapa? Mana?”

“Itu dia lelaki tua berambut putih berbaju koko,” kata perempuan berparas jelita itu sambil menunjuk ke arah ruangan serba putih, dimana di ruangan itu terdapat sosok lelaki tua tengah terbaring dengan tenang.

“Siapa dia?” tanyaku penasaran.

“Dialah suamiku, yang menikahiku 15 tahun silam sewaktu usiaku 12 tahun,” ujarnya lirih.

“Hahhhhhh”

Betapa kagetnya diriku. Mulailah syarafku berkecamuk, menerjang seakan-akan hendak meluncurkan berbagai pertanyaan padanya. Namun belum sempat bertanya macam-macam perempuan berbulu mata yang lentik itu pun bicara kembali.

“Ya, dialah suamiku yang sudah 14 tahun, 11 bulan 27 hari lamanya terbaring di tempat tidur itu. Tepatnya setahun usia perkawinan kami, dia menderita lumpuh total. Kini dia pun tak bisa berucap sepatah kata pun,” tutur perempuan yang kini genap usianya 27 tahun sambil tak henti-hentinya mengusap air mata dengan kerudungnya.

*****

Waktu itu memang orangtuaku berhutang padanya, saking banyaknya utang, orangtuaku rela menyerahkan diriku sebagai penebus dari utang-utangnya. Padahal waktu itu diriku masih berumur 11 tahun. Akhirnya sesuai kesepakatan, jika masa haidku datang, maka lelaki itu boleh menikahiku dan utang-utang orangtuaku pun lunas dengan sendirinya. Aku tak bisa berbuat banyak, hanya pasrah demi kedua orangtuaku yang telah 11 tahun memelihara dan membesarkanku. Dan waktu pun tiba saat diriku menginjak usia 12 tahun. Lelaki tua itu pun datang kerumah untuk menikahiku dengan maskawin sebuah rumah, sepuluh ekor kerbau, empat hektar tambak udang dan perhiasan emas 80 gram. Pesta pun digelar begitu meriah selama tiga hari tiga malam. Para penduduk desa semuanya datang memberi ucapan selamat dan sekaligus makan hidangan yang lezat dengan gratis tentunya serta menonton hiburan layar tancap dan ketoprak tiap malam selama tiga hari perayaan itu. Namun sejak berakhirnya pesta itu semua penduduk desa tak pernah menampakkan wajah manisnya bahkan senyum kecil sekalipun. Padahal selama tiga hari sebelumnya mereka sepertinya royal menebar senyum menyapa dan berucap selamat atas perkawinanku.

Rupanya dihati mereka memendam rasa kebencian pada keluargaku. Tak hanya keluargaku, lelaki tua itu pun merasa seakan-akan dijauhi penduduk desa. Padahal sebelumnya penduduk desa mulai dari anak-anak, pemuda hingga orang tua, aparat desa atau sekedar buruh tani menaruh hormat padanya. Semua ini pada akhirnya berujung meninggalnya ayah dan ibuku hanya berselang sehari. Sesudah itu di rumah ini hanya ada diriku dan lelaki tua itu. Dan disaat malam baru saja merangkak gelap menyelimuti desa lelaki tua itu memintaku untuk melayaninya. Namun entah kenapa, baru saja akan memulai hajatnya tiba-tiba dia mengerang kesakitan tanpa sebab. Tubuhnya pun mendadak menggigil dan tumbang di pelukanku. Keanehan bertambah saat ku bangunkan dia, tubuhnya seperti tak bertulang. Lunglai. Dan hingga sore ini genap 15 tahun kurang 3 hari dia terbaring lemas di tempat tidur itu.

Perempuan cantik yang sore itu mengenakan kerudung warna putih mengakhiri ceritanya padaku tentang asal muasal kenapa dia menikah dengan lelaki tua yang menurutnya kini berusia 80 tahun itu.

“Lalu, setelah mendengar semua ceritaku, apakah kau masih berniat menikahiku?”

Kini giliraku yang hanya tertunduk tak berucap sepatah kata pun. Perempuan jelita itupun kembali membuyarkan pikiranku yang tengah berkecamuk tak karuan.

“Wahai pemuda yang tampan, masihkah kau berniat menikahiku?”

“Tapi….aku….”

“Tapi kenapa? Kau ragu setelah mengetahui kehidupanku? Atau jangan-jangan kau mau mundur seperti tujuh lelaki yang datang ke rumah ini dengan tujuan yang sama sepertimu? “

Ucapannya itu membuatku terkejut, sekaligus menambah rasa penasaran diri ini tentang dirinya. “Hahhhh sebelumku ada tujuh lelaki yang datang memintamu menikah dengannya?”

“Ya, semuanya mundur teratur setelah mengetahui diriku ini.”

“Apa kau pun akan mengikuti ketujuh lelaki yang semuanya datang dari kampung seberang,?”

“Masya Allah…. apakah ini ujian yang kau berikan padaku? Berilah petunjukmu ya Rabb,” munajatku.

“Baiklah, boleh saya menemui lelaki tua yang kini masih menjadi suamimu itu?” tanyaku.

“Silahkan, dan jangan sekali-sekali kamu senyum kepadanya,”

“Hahhhh kenapa?”

“Sudahlah ikuti apa kataku, nanti akan aku ceritakan jika kau menjadi suamiku,”

Dengan perasaan tak menentu kulangkahkan kakiku menuju kamar yang pintunya terbuka. Di sana terbaring lelaki tua berambut putih mengenakan baju koko. Hampir aku lupa dengan pesan perempuan berwajah cantik yang masih duduk dimeja makan itu untuk tidak memberikan senyuman pada lelaki tua yang terbaring lemas di hadapanku itu.

“Lha kok dia yang tersenyum padaku, aku harus bagaimana ini, membalas senyuman atau…” gumanku semakin mengaduk-aduk syaraf otakku.

Belum juga kuutarakan maksud dan tujuan menghampiri lelaki tua yang tengah berbaring di ranjang besi itu pun tiba-tiba mengedipkan mata. Mungkin inilah yang disebut bahasa isyarat. Akupun mendekatkan telingaku pada bibirnya yang keriput itu.

“Nikahilah dia dihadapanku,”

Betapa terkejutnya diriku. Jantung ini serasa berhenti berdetak. Namun buru-buru kukulum bibir ini supaya tidak menyembulkan senyuman padanya. Tanpa sepengetahuanku, perempuan bangir itu sudah berada di sampingku.

“Bagaimana apa katanya?” tanyanya.

Dengan kondisi jiwa dan pikiran yang masih tak menentu ini kukatakan bahwa lelaki tua itu memintaku menikahi dirimu dihadapannya. “Dia memintaku menikahimu sekarang juga”

Saat membalikkan badan, kudapati lelaki tua itu sepertinya tidur pulas. Dan ketika kuraba dadanya, begitu pula saat ku tekan nadinya sepertinya tak ada lagi tanda-tanda kehidupan.

“Innalillahi wainna ilaihi raajiuun,” hanya itu yang terucap dari mulutku.

“Alhamdulillah… ” ucap perempuan itu begitu jelas terdengar di telingaku.

Perangkap Tikus

Di sebuah perkampungan petani yang terletak di lembah hijau hiduplah sepasang suami istri yang mengandalkan kebutuhan hidupnya dari bercocok tanam. Ya, mereka adalah Pak Karta dan Bu Karta yang menempati rumah bilik hanya berdua. Selain bertani, di perkampungan itu hanya Pak Karta yang memelihara hewan ternak ayam, kambing dan sapi masing-masing seekor. Itupun pejantan semua. Maklum tujuan Pak Karta bukan untuk beternak, melainkan sebatas hobi saja. Terkadang ayam jagonya diikutsertakan dalam adu ayam di kampung seberang. Begitu juga dengan kambing bandotnya walaupun tak pernah menang. Namun lain halnya dengan sapi, hewan itu hanya dimanfaatkan tenaganya untuk membajak sepetak sawahnya. Selain hidup pas-pasan, Pak Karta dan Bu Karta juga belum dikaruniai anak seorang pun.

Rumah biliknya yang terletak tepat dipinggir sawah miliknya itu pun nampak sepi, apalagi jika senja tiba yang terdengar hanyalah suara jangkrik atau nyanyian kodok sawah. Maklum perkampungan yang berada di balik pegunungan itu jauh dari kota.

Suatu hari Bu Karta ngomelngomel, gara-gara dapurnya selalu berantakan. “Pasti ini ulah tikus-tikus sialan itu,” gerutunya.

Karena kesal, bu Karta minta dibelikan perangkap tikus pada suaminya. Pak Karta pun segera beranjak ke kota yang jaraknya 50 kilometer dari rumahnya. Sore itu juga Pak Karta menenteng sebuah alat perangkap tikus yang terbuat dari kawat yang dibelinya di pasar. Tak lama kemudian Bu Karta memotong sebagian tempe yang dibelinya di warung sebagai umpan dan dipasangnya di perangakap. Setelah siap perangkap itu diletakkan di tempat yang sering menjadi sasaran tikus.

Saat malam tiba, Tiki dan Tiku, sepasang tikus yang selalu datang ke rumah Pak Karta terkejut melihat ada perangkap yang disiapkan oleh empunya rumah.

“Awas Tiku, jangan ambil tempe itu, nanti kamu terperangkap,” ujar Tiki mengin            gatkan Tiku yang dari tadi mengamati perangkap itu.

“Tapi, sepertinya di dapur ini tidak ada makanan yang bisa kita bawa pulang untuk anak-anak kita?”

“Mungkin belum rezeki kita, ayo kita cari di tempat lain saja,” ajak Tiki.

Akhirnya kedua tikus itu keluar meninggalkan rumah tanpa membawa makanan secuil pun. Padahal malam itu mereka sangat lapar. Ditengah perjalanan mereka bertemu dengan Kobra, si ular berbisa yang selama ini mereka takuti selain predator (pemangsa) lainnya dan manusia. Dengan hati-hati Tiki dan Tiku berjalan jinjit menjauhinya, karena takut dimangsanya. Tanpa diduga Kobra hanya mendesis dan mengatakan bahwa dia tidak akan memangsanya.

Setelah berhasil lolos dari bahaya ular, sebelum keduanya melompati pagar halaman belakang berpasasan dengan Jago milik Bu Karta. Mereka pun berbincang-bincang sejenak.

“Eh… Jago, kenapa sih  Bu Karta, majikanmu itu memasang perangkap buatku. Padalah kami hanya mengambil sisa makanan yang memang sudah dibuang oleh mereka di dapur?”

“Wah, apa pedulinya saya. Yang penting saya tiap hari diberi makanan olehnya,”

“Kok, kamu jawabnya begitu sih. Seharusnya sesama makhluk hidup harus tolong menolong dong,” timpal Tiku sambil meninggalkan Jago.

Tiba-tiba mereka dikagetkan dengan suara gerutukan gigi-gigi kambing yang persis ada di sebelah kandang ayam.

“Dari mana kalian, kok sepertinya lesu gitu?”

“Iya, nih Bu Karta memasang perangkap buat kami, jadinya kami takut untuk mencari sisa-sisa makanan di dapurnya,”

“Takut terperangkap,” sambung Tiki.

“Oh, begitu ya… kasihan deh kalian, makanya jangan suka mencuri makanan orang lain!”

“Bukan… bukan… kami tidak mencurinya, kami hanya mengambil sisa-sisa makanan yang mereka buang ditempat sampah yang ada di dapurnya.”

Rupanya obrolan mereka didengar oleh Sapi yang mencoba bangun dari duduknya. Tiki dan Tiku pun mengeluhkan hal yang sama pada Sapi.

“Kenapa, Bu Karta memasang perangkap tikus ya?” tanya Tiku pada sapi yang sedang asyik mengunyah rumput gajah.

“Yang pasti itu untuk menangkap kamu berdua yang sering mengambil makanan yang ada di dapur. Makanya jangan suka mengambil milik orang,” jawab Sapi.

“Maaf kami bukan pencuri, sekali lagi kami bukan pencuri, kami hanya mengambil sisa-sisa makanan yang telah dibuang oleh mereka,” jawab Tiku gemas sambil menarik Tiki untuk bergegas pergi.

Akhirnya kedua tikus itu kembali menemui keluarganya yang telah lama menunggu. Malam itu, keluarga Tiki dan Tiku terpaksa berpuasa. Mereka takut jika semua penduduk memasang perangkap untuknya. Disamping itu mereka pun harus terus waspada terhadap bahaya dari incaran burung hantu yang sewaktu-waktu datang menyambar anak-anak mereka.

Sayup-sayup terdengar Jago berkukuruyuk, tanda pagi akan tiba. Namun tidak seperti biasanya, rumah Pak Karta mendadak rame. Menurut kabar yang beredar, Bu Karta mengalami demam yang cukup tinggi, gara-gara dipatuk ular kobra. Kejadiannya waktu itu, Bu Karta hendak memasak air, tiba-tiba dia kaget setelah mendapati umpan itu berada di luar perangkap. Padahal perangkap itu telah dipasang dengan baik.

“Lha, kok ini bisa… siapa yang mengambil ya… apa iya tikus-tikus itu? Tapi kok tidak terjebak.”

“Aduuuuuhhh… ular sialan,” jeritnya sambil kakinya menendang ember yang ada didepannya.

Rupanya pergelangan tangannya dipatuk ular berbisa yang dari tadi bersembunyi dibalik tutup gentong air.

Bu Karta pun menjerit-jerit memanggil suaminya. Tak lama kemudian tetangga pun berdatangan untuk mengetahui apa yang terjadi dengannya. Tidak lebih dari satu jam Bu Karta akhirnya jatuh pingsan. Panas badannya pun semakin tinggi.

Seperti biasanya untuk memberikan pertolongan, tetangganya menyarankan Pak Karta untuk membuat sop ayam guna menurunkan demam. Tanpa pikir panjang, Pak karta pun segera membawa jago kesayangannya untuk disembelih kemudian dimasak sop ayam.

Setelah tiga hari berlalu demam Bu Karta tidak turun-turun, malah semakin tinggi. Pak Karta makin panik, lebih lagi karena tamu yang menjenguk kondisi istrinya semakin bertambah. Tapi Pak Karta tidak mempunyai apa-apa lagi untuk menjamu tamu yang sedang menjenguk istrinya. Akhirnya sebagai jalan keluarnya Pak Karta menyembelih kambing bandotnya dan dimasak untuk menjamu para tamu dan kerabat yang datang.

Seminggu kemudian, demam Bu Karta bukannya turun malah semakin tinggi dan akhirnya nyawanya tak tertolong lagi. Dia meninggal sebelum dokter dari kota yang dijanjikan kepala desa itu datang membantu.

Tentu saja Pak Karta semakin sedih, selain itu dia panik karena tamu yang datang lebih banyak dari hari-hari sebelumnya. Atas saran kerabatnya, akhirnya Pak Karta pun menyuruh Pak Jana tukang jagal untuk menyembelih Sapi satu-satunya untuk selanjutnya dimasak guna menghormati para pelayat dan keperluan makan ala kadarnya selama tujuh hari peringatan wafatnya Bu Karta.

Mendengar hal itu, Tiki dan Tiku ikut sedih juga. Namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Selain berserah diri pada sang Pencipta.

Buruk Rupa

Dani dan Nina memang dianggap oleh teman-teman kelasnya, bahkan satu sekolah itu sebagai anak yang buruk rupanya. Kulit wajah dan tubuh Dani berbeda dari kulit normal. Kulitnya bersisik seperti kulit ikan. Nina sendiri walaupun anaknya cantik, tapi kulit wajah dan tubunya ditumbuhi bulu halus begitu lebat seperti binatang singa. Walaupun begitu, kedua anak ini termasuk anak yang pandai dan rajin. Nina berasal dari keluarga berada. Wajar jika tidak ada yang berani usil pada Nina. Lain halnya dengan Dani anak tukang sol sepatu keliling ini selalu merasa minder dengan kondisi tubuhnya. Sehingga selalu menjadi bahan olokan teman-teman sekolahnya. Tapi semangat untuk belajar dan sekolah Dani tidak kalah dengan Nina. Bahkan dia pun harus mencari uang dengan mengamen di pasar guna membiayai sekolahnya.

Siang itu, Nina menyempatkan diri berkunjung ke rumah Dani. Namun yang dicari tidak ada. Nina hanya bertemu adiknya, Dina sedang menunggui ibunya yang terbaring sakit.

“Ibumu kenapa? Terus mana kakakmu? Kok tidak sekolah?” tanya Nina penasaran.

“Kak Dani sedang ngamen di pasar. Kak Dani bilang nanti uangnya untuk membeli obat,” ujar Dina sambil menceritakan asalan dia dan kakaknya tidak sekolah.

Mendengar cerita itu, Nina langsung bergegas menuju Pak Said, sopir keluarga yang selalu mengantar kemanapun dirinya pergi. Tak lama kemudian keduanya kembali masuk ke dalam rumah. Lalu tanpa pikir panjang, Nina menyuruh Pak Said memapah Emak ke dalam mobil.

“Ayo, Pak kita bawa ke rumah sakit, biar papa yang memeriksa penyakit Emak,”

“Kalo begitu, kamu cari kakakmu dan bapak, terus nyusul ke rumah sakit. Emak saya dan pak Said yang bawa. Kamu tahu kan rumah sakitnya?” sambung Nina.

“Tapi… Kak!”

“Sudah! Tidak ada tapi-tapian… nanti emak biar saya dan Pak Said yang urus, oke!”

Di ruang periksa Dokter Dedi yang tak lain papanya Nina tengah memeriksa emak. Dani dan Dina langsung nyelonong masuk ke ruangan.

“Lo, kalian siapa? Oh, pasti kalian temannya Nina ya?”

“Ya, Sus, bagaimana kondisi Emak?” tanya Dani cemas.

“Tenang saja, dokter sedang memeriksanya, silahkan tanyakan pada dokter,” jawab suster.

“Tak usah khawatir. Ibumu tidak apa-apa, hanya demam saja. Untung cepat dibawa ke sini,” ujar dokter itu menenangkan kedua bocah teman sekolah anaknya.

“Terima kasih pak dokter. Nina kamu memang teman yang baik, tidak seperti teman-teman di sekolah yang bisanya hanya mengejek diriku.”

Tak lama kemudian Pak Eman, ayahnya Dani tiba dan ikut berbincang-bincang dengan dokter sambil menunggu obat yang sedang ditebus Pak Said. Akhirnya Emak pun diperbolehkan pulang. Karena arahnya sama, mereka pun pulang bareng. Tak lupa Dokter Dedi pun memberikan obat-obatan yang baru saja ditebus Pak Said di apotik rumah sakit itu.

“Gimana caranya agar teman-teman di sekolah tidak mengejek kita lagi ya Pa?” tanya Nina di sela-sela obrolan mereka dalam perjalanan pulang.

“Gampang kok! Sekrang Nina dan Dani memiliki keahlian apa?”

Dani dan Nina bengong tidak mengerti apa yang dimaksud dengan omongan papanya.

“Kok jadi bengong, kenapa?”

“Baiklah, caranya kalian harus tunjukkan bahwa kalian ini mempunyai kelebihan tersendiri dibanding dengan teman-teman kalian. Nanti mereka tidak akan berani lagi mengejek. Bahkan bisa jadi mereka akan lebih dekat dengan kalian. Bagaimana?”

“Wah… Nina mengerti Pa! Begini saja, suara saya kan lumayan, selain itu saya juga bisa menari balet. Sedangkan Dani, dia mahir memetik gitar bahkan memainkan biola. Gimana?”

“Ya, kalau begitu bagaimana kalau pada acara perpisahan kakak kelas kalian nanti kamu dan Dani tampil di panggung?”

“Tapi… Pak Dokter gitar saya sudah rusak, apalagi biola, saya tidak punya.”

“Tak usah khawatir… sekarang kalian latihan yang rajin. Papa akan meminta izin kepada kepala sekolah kalian untuk bisa pentas pada acara itu,” ujar Dokter Dedi memberi semangat kepada keduanya.

Waktu perpisahan pun tiba. Di sebuah Mading (Majalah Dinding) yang ada di sudut ruang guru terpampang pengumuman susunan acara perpisahan. Di dalam pengumuman itu tercantum nama Dani dan Nina sebagai pengisi acara. Tentu saja membuat murid-murid sekolah itu penasaran. Gerangan apa yang akan ditampilkan oleh kedua murid kelas V itu.

“Bisa apa Dani. Apalagi Nina. Jangan-jangan mereka akan menampilkan pertunjukan topeng monyet,” ujar Beni dan teman-temannya sambil tertawa terbahak-bahak.

Detik-detik pentas seni pun tiba. Pagi itu Dani mengenakan jas hitam dan dasi kupu-kupu yang dibelikan orangtuanya Nina. Sedang Nina sendiri mengenakan kostum ala Barbie berwarna merah jambu.

“Tibalah saatnya kita saksikan penampilan teman kita, Dani dan Nina yang akan membawakan tarian balet diiringi dengan alunan biola,”

“Huuu…”

“Tenang, anak-anak. Murid ibu tidak boleh begitu. Mari kita saksikan bersama-sama,” ujar Ibu Wati sang kepala sekolah menenangkan anak didiknya.

Suasana hening sejenak. Panggung masih kosong. Dani yang dari tadi berada di belakang panggung mendadak gugup dengan ejekan tadi. Untunglah Nina terus memberi semangat.

“Ayo, Dani naik! Kapan lagi kita bisa tunjukan pada mereka, kalau tidak sekarang!”

“Huuu… mana berani dia,” celetuk seorang murid.

Tentu saja hal ini membuat nyali Dani makin ciut. Tak lama kemudian papa dan mamanya Nina datang. Melihat hal itu, mereka langsung menemui anaknya yang ada di belakang panggung dan memberi semangat pada Dani.

“Dani! ayo lakukan, jika kau tidak mau diejek terus oleh teman-temanmu!”

Dengan langkah yang berat, Dani menaiki tangga podium diikuti Nina.

“Huuu…” sambutan teman-temannya.

Plok… plok… plok… tiba-tiba suara tepukan berasal dari pojok ruangan membuyarkan murid-murid yang dari tadi riuh.

“Tenang anak-anak! Ayo kita belajar menghormati orang lain,” ujar Pak Gandi, ketua Komite Sekolah sambil berjalan menuju panggung.

Murid-murid beserta orangtua pun diam seketika. Maklum Pak Gandi, ketua Komite Sekolah itu seorang pejabat di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional.

Gesekan biola itu mengalunkan irama klasik karya Mozart atau Bethoven mulai terdengar. Begitu pula dengan gerakan licah Nina membuat para hadirin terpana dengan tontonan yang ada di depan mata mereka. Tanpa terasa irama dan gerakan itupun berakhir. Tapi hadirin masih terdiam terkesima.

“Yes… kamu bisa!” teriak Pak Dedi dari sudut panggung membuyarkan para hadirin yang masih terdiam. Tanpa dikomandoi, hadirin pun tepuk tangan dengan penuh kegembiraan.

Nina pun membungkukkan badan, tanda memberi hormat kepada hadirin. Sebelum meninggalkan panggung, Nina menyambar mikrophon dan mengucapkan rasa terima kasihnya kepada kepala sekolah dan guru serta teman-temannya yang telah memberikan kesempatan pada dirinya dan Dani.

“Terima kasih, guru-guru kami, orangtua di sekolah ini, tanpa bimbinganmu kami tidak bisa seperti ini. Dan saatnya kita saksikan kembali kepiawaian teman kita Dani dalam memetik gitar,”

“Teman-teman, izinkanlah saya membawakan lagu yang selama ini kita sukai bersama yaitu sebuah lagu Ada Apa Denganmu dari Peterpan.”

Mendengar hal itu, murid-murid pun berdiri bertepuk tangan memberikan dukungan pada Dani. Kegembiraan pun bertambah setelah Dani melantunkan beberapa lagu dari albumnya Peterpan. Tidak hanya itu dia membawakan lagu Jujur milik Radja yang sedang digandrungi anak-anak. Diakhir penampilannya, Dani mengajak para hadirin untuk menyanyikan lagu Padamu Negeri gubahan WR Supratman bersama-sama diiringi dengan gesekan biolanya.

PENGAKUAN

“Married ga ya ?”

“Dah married aja, dari pada pacaran kelamaan. Tar yang ada juga bubaran,” celetuk Nisa.

“Tapi cewek gue itu kemarin ngaku kalo dirinya dah ga perawan lagi dan dah punya anak satu,”

“Haaahh… sumpe loo, yang bener aja Jal?”

“Gimana dong, please saran dan masukannya dong. Gue bingung nih,” pinta Rijal.

Sudah dua tahun pacaran, Rijal akhirnya memberanikan diri mengutarakan niatnya untuk menikahi Nadya teman sekantor. Gimana ga cinta tuh Rijal, saban hari Nadya selalu membawakan nasi uduk plus tempe goreng buatan ibunya. Sebagai balasannya, Rijal selalu mengantar Nadya pulang dengan si Tiger biru dongker-nya. Rupanya, hubungan mereka berdua serius, Rijal pun mengutarakan kata I LOVE YOU di teras rumah Nadya saat hujan rintik-rintik. Saat itulah, Nadya pun memberanikan diri menceritakan masa lalunya. Keperawanan Nadya pernah direnggut oleh seorang pemuda yang pernah menjadi pacarnya dan kini entah dimana keberadaan pemuda tersebut. Tidak hanya itu, Nadya pun sebenarnya sudah memiliki seorang putri yang kini dititipkan di rumah neneknya di Subang. Butuh waktu lama untuk mengembalikan kepercayaan Nadya yang kini usianya memasuki kepala empat. Namun begitu, Nadya memang beruntung dikaruniai bentuk tubuh ramping dan wajah yang awet muda layaknya gadis usia 20 tahunan. Wajar jika Rijal kepincut dengan kecantikan dia.

Suasan hening sejenak, sesaat Rijal menyudahi cerita tentang pacarnya itu. Sementara Nisa hanya menghela nafas panjang. Tiba-tiba pintu di ketuk. Saat pintu dibuka, tampak Nadya di bibir pintu dengan kepala menunduk. “Ada apa Nadya?”

Tak ada jawaban, hanya gelengan kepala. Merasa penasaran, buru-buru Rijal menarik tangan Nadya untuk segera masuk ke ruang tamu. Rijal salah tingkah, saat Nisa menghampiri Nadya yang masih diam. “Hai.. kamu pasti yang namanya Nadya?” tanya Nisa.

Nadya hanya mengangguk. Suasana masih hening, tiba-tiba terdengar suara lirih Nadya yang sedari tadi diam. “Mas, mungkin kalo mas ragu setelah mengetahui masa lalu saya, ga apa-apa kok mas. Kalo dibatalin juga Dya terima, memang nasib saya begini,”

“Lho, tahu dari mana kamu, kalo gue lagi ngomongin masalah itu,” sergah Rijal.

“Saya mohon maaf, sebenarnya dari tadi saya mendengarkan pembicaraan antara Mas dan mba,” jawab Nadya.

Kaget, merasa tidak enak mendengar jawaban itu, Rijal dan Nisa jadi salah tingkah.

“Sebenarnya, lo, Jal niat ga sih nikahin dia?” tanya Nisa

“Kalo gue sendiri sih… dah niat seratus persen mau nikahin dia, cuma…?”

“Cuma apa Jal?”

“Gue takut, kedua orangtua gue ga nerima dengan kondisi seperti ini,”

Kring…kring….kring… Sony Ericsson T610 Rijal berdering (memang ringtone yang dipilihnya menyerupai suara telepon rumah jaman dulu). Di layar hp muncul nama Emak. “Waduh ada apaa gerangan,” guman Rijal.

“Assalamualaikum, Cung iki emak pengen ngomong (baca: Nak ini ibu mau bicara)”

“Wa’alaikumussalam, ano apo mak (ada apa mak)?”

“He…jare siro pengen ngenalaken calon rabie siro, kapan arep balike, ema’e wis bli sabar Cung (Hai…katanya kamu mau mengenalkan calon istri kamu, kapan mau pulang, ibu dah tidak sabar, Nak)”

“Mak… sebenere kito pengen balik minggu ngarep, wis emak tenang bae, lha iki kito lagi ngobrol karo Nadya soal kuen, (Bu.. sebenarnya saya mau pulang minggu depan, sudah emak tenang aja, ini saya lagi ngobrol dengan Nadya soal itu)”

“Yo.. wis Cung tak enteni yo…ati-ati neng dalane. Wis yo engko tagian telpone mak gede, (Ya sudah Nak ditunggu ya, hati-hati di jalan. Sudah ya..ntar tagihan telepon emak besar)”

Rijal makin bingung dengan apa yang terjadi barusan. Yang pasti Emak sudah menunggu kedatangannya membawa calon istrinya yang tak lain Nadya. Nadya yang dari tadi terdiam tampak mulai bisa tersenyum mendengar pembicaraan Rijal dan ibunya barusan.

“Ya udah, gini aja mba Nadya, saya juga perempuan, saya mengerti banget perasaan mba, kalo saya jadi mba… saya juga ga tahu harus berbuat apa. Sekarang sih, terserah Rijal, serius ato ngga nerima kondisi Nadya,”

“Mas… dari pada mas bingung, sekarang hari mulai gelap, mending saya pulang dulu, biar mas bisa mikir lagi, saya tidak memaksakan mas harus memenuhi janji itu pada saya. Tar malem mas sholat tahajud dan istikhoroh ya… mudah-mudahan diberi petunjuk ama Allah,”

Rijal hanya terdiam, sesekali dipandanginya wajah Nadya yang hari itu mengenakan baju kurung pembelian Rijal saat lebaran kemarin. “Subhanallah, betapa cantiknya Nadya dengan baju pemberian gue itu,”

“Mas… kenapa memandangiku seperti itu, dosa lo… katanya ghodul bashor (menahan pandangan mata),”

“Ya..udah saya pulang dulu ya Mas. Saya terima apapun jawaban yang akan diberikan Mas nanti, sampai ketemu besok di kantor, Assalamualaikum,”

“Eh… mba Nadya…tunggu, gue juga sekalian ah mau pulang Jal, dah sore hampir magrib nih,” kata Nisa.

Rijal hanya bisa mengangguk. Sambil menjawab salam. Setelah mengantar hingga pintu gerbang rumah yang baru sebulan ditempatinya di kawasan Bintaro. Rumah mungin tipe 36 memang begitu asri setelah direnovasi oleh Rijal, arsitektur yang baru meniti karier di sebuah perusahaan properti ternama di selatan Jakarta. “Ya… gue harus tahajud dan istikhoroh kalo gini,”

Jumat pagi, Rijal sengaja berangkat ke kantor pagi buta. Dengan harapan bisa tiba di kantor lebih dulu sebelum Nadya sang asistennya itu. Dengan haqqul yakin, Rijal menaruh amplop di meja kerja Nadya. “Mudah-mudah Allah meridloi niat gue ini,” harapnya dalam hati.

Tak sabar menanti kedatangan Nadya, Rijal pun menghubungi keluarganya di kampung mengabari rencana kepulangannya sore nanti. Lagi asyik ngobrol ngalor ngidul dengan Emak dan beberapa adiknya yang memang sedang mengharapkan kehadirannya dan calon istrinya, tiba-tiba dia dikagetkan ucapan salam wanita berkerudung putih yang pagi itu nampak cantik dan mempesona.

“Halo..halo… Ang Rijal….” suara diseberang sana yang tak disahut Rijal saking terpananya melihat Nadya. “Ah makin jatuh cinta aja neh gue ama kamu sayang,” guman Rijal tanpa menghiraukan teriakan dari balik Sony Ericsson-nya itu.

“Eeee… wis…yo engko kito balik numpak sepur sing jam limo sore, ajo klalen jemput neng stasiun jam sango-an, (Eee… sudah ya.. tar saya pulang naik kereta yang jam lima sore. Jangan lupa jemput di stasiun jam sembilan-an)” jawab Rijal sekenanya dan langsung memencet tombol “NO”.

“Amplop apa ini mas?” tanya Nadya sambil menimang-nimang amplop itu.

“Mending kamu buka aja deh, distu jawaban gue tentang kelanjutan hubungan kita.”

Tanpa ba-bi-bu, Nadya pun langsung membuka amplop yang sudah dipegangnya itu. Pelan-pelan dia membuka lipatan lembar kertas warna pink (warna kesukaannya). Antara percaya dan tidak. Nadya pun berulang kali membuka dan menutup kertas yang bertuliskan “ALHAMDULILLAH DENGAN MENGUCAP BISMILLAH… KUPINANG KAU MENJADI ISTRIKU” dibawahnya tertulis NB: Sore ini kita ditunggu oleh keluarga besarku di Cirebon. Jadi mohon kesediaanya untuk kuperkenalkan dengan keluarga besarku. Kita nanti sore langsung ke Gambir menumpangi Kereta Cirebon Express jam 5.30. Kamu Siap??

“Mas… terima kasih atas kepercayaan ini, insya Allah saya bersedia berkenalan dengan keluarga mas apa-pun tanggapannya nanti.”

Kereta melaju kencang. Belantara beton-beton yang menjulang ke langit jakarta mulai tak nampak disapu kegelapan malam. Setelah tiga jam lamanya berada di kereta kelas bisnis, akhirnya sampai juga di stasiun Kejaksan Cirebon. Basir yang menjemput kakaknya itu pun takjub dengan sosok wanita yang duduk disamping Rijal. “Wah, hebat euy.. Ang Rijal (kak Rijal) bisa dapet cewek secantik ini, kalo menurut saya sih… mirip Wulan Guritno,” godanya.

Suzuki Carry butut milik almarhum ayahnya itu akhirnya sampai juga di pelataran rumah besar plus kebon mangga di samping rumah. “Nad.. kita udah sampe, pokoknya saya minta apapun yang dikatakan keluargaku nanti tolong jangan dimasukin ke dalam hati ya, keluargaku suka becanda,” pinta Rijal sebelum turun dari mobil.

“Insya Allah, Mas.”

Di ruang tengah, telah berkumpul keluarga besar Rijal mulai dari adik-adik, uwa, mamang, bibi dan sanak saudara serta beberapa tetangga yang memang sengaja diundang Emak. Nadya hampir dibuat salah tingkah. Jika tidak ditemani Rijal. Bukan karena tidak mengerti dengan obrolan mereka yang menggunakan bahasa daerah tapi bisik-bisik orang-orang yang hadir malam itu membicarakan dirinya.

“Mak, Uwa, Mamang dan Bibi… pada malam ini saya perkenalkan calon istri Rijal bernama Nadya. Tapi satu hal yang harus diterima sampean (kalian) semua bahwa Nadya ini seorang ibu dari seorang putri.”

Anggota keluarga serta orang-orang yang hadir di ruang tengah itu mendadak terdiam. Terlebih Emak yang serius mendengarkan penjelasan Rijal akan kondisi calon menantunya itu. Tak ada yang berani bicara. Semua mata menatap tajam sosok wanita manis berbusana terusan dengan kerudung putih itu. Sekitar sepuluh menit, Rijal menceritakan semua asal-usul hubungannya dengan wanita yang disampingnya itu. Tiba-tiba Uwa Ujang yang nampak tua dari usia yang sebenarnya mendehem memecah keheningan.

“Emak, Uwa, Mamang, Bibi dan semua keluarga besar Mas Rijal, memang benar apa yang diceritakan barusan, jadi saya pun akan menerima apapun tanggapan terhadap diri saya, karena memang begini adanya,” suara itu meluncur pelan dari bibir tanpa sapuan gincu itu namun tetap merah merekah.

Suasana menjadi lebih hening, hanya terdengar suara kodok sawah yang memang selalu terdengar jika selepas hujan turun. Emak yang sedari tadi diam kini mulai bersuara walau sekedar dehem. “Mak… kok semuanya diam, tolong jangan bikin Rijal bingung,”

“Rijal… kalao memang kamu niat karena Allah untuk menikahi dia, maka jalanilah… karena itulah jalan hidup kamu, takdir yang diberikan Allah padamu. Emak cuma mengkhawatirkan apakah kamu bener-bener mau menerima Nadya sepenuhnya?”

Jawaban Emak itu seakan-akan petir membelah bumi, semua hadirin terkaget, namun bagi Rijal ini merupakan memantapkan keyakinan setelah bermunajat pada Allah beberapa malam lalu. “Insya Allah, Mak haqqul yakin, Rijal akan menerima apa adanya dia,”

“Baiklah kalau begitu, sekarang giliran Emak untuk cerita,” pinta Emak.

“Emak mau cerita apaan?” jawaban serentak adik-adik yang sedari tadi menyimak serius.

“Apa yang terjadi pada Nadya, calon mantu Emak, juga itu terjadi pada 30 tahun yang lalu pada diri Emak, dan anak yang kandung Emak pada saat sebelum menikah dengan bapak kalian adalah kamu Rijal!” cerita emak dengan nada lirih.

Kontan saja suasana pun semakin hening mendengar penuturan Emak. Hening dan hening yang ada hanya buliran airmata serta rasa haru biru betapa mulianya ayah mereka menerima emak saat itu. Dan kini, hal itu terulang kembali. Apa yang dialami Rijal saat ini merupakan sesuatu hal yang sama dengan yang dialami almarhum ayahnya 30 tahun silam