Revolusi Putih untuk Generasi Sehat

Ada satu hal yang akhir-akhir ini terus dikampanyekan Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Prabowo Subianto selain jargon ekonomi kerakyatan yakni Revolusi Putih. Sebuah ‘gerakan cepat’ yang mengajak rakyat Indonesia untuk minum susu setiap hari. Karena, kalau tidak mulai dari sekarang, mau kapan lagi.

Gerakan revolusi yang banyak oleh kalangan sebagai langkah cerdas dan tepat ini merupakan pemikiran Prabowo dan partainya untuk membangun karakter bangsa yang sehat dan kuat. Salah satu caranya menjadikan susu sebagai konsumsi rakyat Indonesia setiap harinya. Dengan gerakan ini diharapkan anak-anak Indonesia dapat menjadi generasi penerus yang kuat dan cerdas dalam mengemban amanat-amanat kebangsaan pada masa-masa berikutnya.

“Kita jangan melihat hasilnya sekarang. Tunggu 10 sampai 15 tahun mendatang, jika gerakan ini simultan, yakinlah generasi kita akan menjadi generasi yang mumpuni. Hal itu juga sudah dilakukan India dan China,” tegas Prabowo Subianto.

Memang, gerakan minum susu ini sudah lama dicanangkan Gerindra sejak dua tahun silam. Meski memang, kala itu banyak kalangan yang menganggap enteng gerakan tersebut tapi bagi Gerindra, gerakan minum susu merupakan program kerja yang sangat strategis. Faktanya, kini gerakan serupa dilakukan banyak pihak. Karena sadar atau tidak, faktanya untuk kawasan Asia Tenggara saja, Indonesia berada di posisi terbawah dalam hal konsumsi susu.

Diakuinya, Gerakan Revolusi Putih ini, terinspirasi dari India yang telah menerapkan program itu sejak 20 tahun yang lalu. Padahal, sebelumnya India dikenal sebagai negara miskin dan terbelakang. Tapi lihat sekarang, India telah menjadi negara industri baru yang maju di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Sementara di China, gerakan ini sudah dimulai sejak tahun lalu.

Terlebih lagi, berdasarkan kajian Gerindra, konsumsi susu per kapita di Indonesia tahun 2010 adalah 11,84 liter setahun. Artinya, rata-rata orang Indonesia minum 32,44 mililiter atau 2 sendok makan susu per hari. Berdasar data tahun yang sama, Indonesia masih kalah jauh dari Malaysia, Singapura dan India yang masing-masing 50,26 liter, 47,35 liter, dan 45,43 liter per tahun. Termasuk oleh Vietnam dan Filipina, yang konsumsinya sekitar 14,05 liter dan 12,35 liter.

Tak berlebihan, jika melihat kenyataan ini, mantan Danjen Kopassus itu terus mengobarkan semangat rakyat Indonesia untuk minum susu setiap harinya. “Gerakan ini bagian dari kepedulian Gerindra untuk generasi penerus yang kuat dan cerdas di masa yang akan datang. Ini sangat strategis dan tidak boleh dianggap remeh. Makanya Gerindra akan terus melakukan itu,” tandasnya di setiap kesempatan.

Tak dipungkiri lagi, menurut putra Begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo ini, kandungan nutrisi dalam susu sangat dibutuhkan untuk membangun manusia yang unggul. Dengan mengkonsumsi susu dan secara tidak langsung, membudayakan minum susu mampu menciptakan masyarakat menjadi berkualitas jasmani dan rohani serta berdaya saing. Namun sayang, kesadaran masyarakat Indonesia  untuk konsumsi susu sangat rendah. Untuk itu, perlunya dilakukan gerakan revolusi putih, sebuah revolusi yang mengubah kebiasaan masyarakat agar meningkatkan konsumsi susu secara drastis.

Boleh jadi, faktor kemiskinan yang memaksa sebagian masyarakat jarang mengkonsumsi susu. Hal ini menyebabkan daya beli susu yang kurang. Itu disebabkan pengaruh faktor harga susu yang mahal, dan faktor di dalam industri susu Indonesia yang tidak bisa membidik semua kalangan. Oleh karenanya, dalam setiap kesempatan, Prabowo dan Partai Gerindra mengajak setiap elemen masyarakat, untuk menyisihkan sebagian rejeki anda untuk membeli susu cair kemasan kecil secara rutin, dan berikan kepada anak-anak kecil yang kurang mampu di komunitas masing-masing.

Menurut Ketua Bidang Pendidikan dan Latihan (Diklat) Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Gerindra, Edhy Prabowo, septintas pemikiran tentang revolusi putih ini sebenarnya amat sederhana. Edhy menegaskan, tujuan utamanya adalah membangun karakter bangsa dimulai dengan membangun raga yang kuat, sehingga nantinya lahir pula jiwa yang kuat. “Revolusi putih yang dicanangkan Ketua Dewan Pembina merupakan gerakan yang cerdas dan patut diikuti, ditengah kondisi pasokan gizi masyarakat yang kurang. Kalau tidak sekarang, kapan lagi,” tegas politisi muda ini.

Bahkan menurut orang yang bertanggungjawab urusan diklat kader Gerindra di Hambalang Bogor ini, setiap pagi dan malam, para kader disuguhi susu segar, hingga peserta bisa menyerap ilmu yang diterima. Namun Edhy menegaskan, gerakan revolusi putih ini tidak hanya harus dilakukan oleh Gerindra tapi seluruh masyarakat agar dampaknya akan lebih besar.

Untuk itu, Edhy berharap seluruh elemen Gerindra dengan kerja keras dan kerja cerdas terus menggalakkan revolusi putih ini. Memang, yang namanya revolusi itu harus dilakukan dengan cepat dan tepat, karena kondisinya sudah memprihatikan. Dan gerakan ini akan terus dikampanyekan ke seluruh wilayah Indonesia, tidak sebatas di lingkungan kader saja. “Karena rakyat perlu tahu, rakyat perlu menikmatinya, dan rakyat punya hak untuk menjadi rakyat yang sehat dan kuat,” tandas Sekretaris Fraksi Gerindra ini.

Menurutnya, bukan sesuatu yang sulit untuk mewujudkan mimpi bangkitnya sumber daya manusia Indonesia dengan cara meningkatkan konsumsi susu. Namun lagi-lagi kembali pada komitmen pemerintah dalam mendukung dan menyambut gerakan ini. “Kita lihat selama ini, kok masih ada negara yang lalai tidak bisa memenuhi gizi rakyatnya sendiri, padahal negara ini kaya akan sumber daya alam yang bisa menghasilkan susu,” ujar anggota Komisi VI ini.

Hal senada diungkapkan oleh Saifuddin Donodjoyo, bahwa gerakan revolusi putih alias gerakan minum susu merupakan program strategis Gerindra dalam pembangunan manusia Indonesia yang handal. Gerakan ini pun dinilainya sebagai upaya ‘hijrah’ rakyat Indonesia yang masih enggan mengkonsumsi susu, apapun alasannya. Dan ajakan hijrah lewat gerakan ini, bukan semata untuk kader Gerindra tetapi untuk seluruh elemen masyarakat.

Menurutnya, Jepang dulu sama-sama menderita sejak tahun 1945 tapi mereka berani minum susu, China awalnya bukanlah negara peminum susu. India juga demikian, meski rakyatnya hidup dalam kemiskinan, tapi karena mau mengkonsumsi susu. Semua itu, bergantung pada niatnya. Belum ada kata terlambat untuk membiasakan minum susu, karena dengan minum susu setidaknya bisa meningkatkan daya tahan masyarakat Indonesia dari berbagai macam penyakit. “Dan hasilnya, sekarang bisa kita saksikan sendiri, betapa hebat-hebat sumber daya manusia negara-negara itu,” ujar anggota Komisi VIII dari Fraksi Gerindra ini.

Susin

Rupanya, pemikiran Prabowo tentang revolusi putih yang mengajak masyarakat Indonesia untuk mengkonsumsi susu telah dilakukan oleh masyarakat Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Ya, jauh sebelum revolusi ini didengungkan, program serupa dilakukan oleh masyarakat Sinjai dengan memproduksi susu sapi produksi masyarakat setempat dibawah pimpinan Bupati Andi Rudiyanto Asapa.

Program minum susu terhadap anak-anak di daerah tersebut telah dimulai sejak tahun 2004 dengan nama susu sinjai (Susin). Bahkan kini, susu lokal berlabel Susin itu sudah dibungkus dengan kemasan industri yang tentunya lebih higienis. Bakhan susu kemasan yang dibagikan kepada anak sekolah TK dan SD di seluruh wilayah Kabupaten Sinjai itu sudah tersebar hingga ke ibukota propinsi, Makassar.

Menyikapi hal ini, Prabowo Subianto merasa bangga dengan terobosan yang dilakukan oleh seluruh elemen masyarakat Kabupaten Sinjai. Pasalnya, apa yang tengah digalakkannya itu sudah dilakukan oleh masyarakat daerah itu. “Mungkin dari sekitar 490 bupati dan walikota di Indonesia, baru Sinjai yang melakukan hal itu,” ujar Prabowo Subianto ketika melantik Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Gerindra Sulawesi Selatan periode 2010-2015, setahun yang lalu.

Manfaat Susu

Sejatinya, tidak ada yang dirugikan dari mengkonsumsi susu bila penyajiannya sesuai kriteria dan higienis. Revitalisasi konsumsi susu diyakini bisa mencegah potensi lebih kecil penderita gizi buruk pada anak. Gizi buruk pada anak tidak hanya menggangu perkembangan fisik dan kesehatan mereka, juga berimbas pada penurunan tingkat inteligensia.

Parahnya, menurut data Riset Kesehatan Dasar (Rikesdas) 2010, sebanyak 17,9 persen balita di Tanah Air masih mengalami gizi kurang atau gizi buruk. Kalau sudah begini dan tak ada langkah untuk memperbaikinya, bakal tercipta generasi berkualitas rendah yang tidak produktif dan tak mampu bersaing di masa depan. Bahkan generasi ini bisa saja menjadi beban sosial dan ekonomi bagi keluarga atau masyarakat.

Mengkonsumsi susu secara rutin dapat meningkatkan kesehatan tulang karena memang susu merupakan sumber kalsium yang baik. Kandungan Vitamin D dalam susu yang cukup membantu tubuh dalam penyerapan kalsium secara optimal. Sehingga gangguan osteoporosis atau pengeroposan tulang dapat dicegah dengan konsumsi susu secara rutin. Di samping itu, kandungan kalsium dan fosfor dalam susu juga bermanfaat dalam pemeliharaan gigi.

Di dunia kecantikan, kandungan asam laktat pada susu dapat membantu peremajaan kulit dengan membantu mengangkat sel kulit mati. Tidak kalah pentingnya, susu dapat membantu melindungi tubuh dari kanker, jantung, dan stroke. Susu memberikan efek perlindungan terhadap risiko kanker payudara. Kalsium dan lemak dalam susu dapat melindungi tubuh dari risiko serangan kanker usus besar.

Pasokan Susu

Tingkat konsumsi susu orang Indonesia dibanding negara-negara lainnya memang paling rendah. Jika pada 2008 konsumsi susu masyarakat Indonesia hanya sebesar 7,7 liter per kapita pertahun, pada 2010 meningkat menjadi 11,7 liter per kapita pertahun, atau naik lebih dari 65 persen. Meski begitu, tetap saja Indonesia masih kalah dengan Vietam dan Filipina.

Dulu upaya pemerintah dalam penyediaan susu untuk rakyat dengan mendirikan perusahaan. Pada tahun 1954, pemerintah melalui BUMN memang pernah punya perusahaan bernama Sari Husada, dengan produk terkenalnya SGM, yang hingga saat ini masih menjadi salah satu susu formula acuan. Namun akhirnya, sejak 2007 lalu Sari Husada itu berada dibawah naungan perusahaan ternama asal Perancis, Danone. Dengan demikian, saat ini Kementerian BUMN tidak lagi memiliki perusahaan yang memproduksi susu. Padahal Indonesia memiliki lahan peternakan yang sangat luas.

Menurut Menteri Pertanian Suswono, untuk memenuhi kebutuhan susu nasional sampai saat ini sekitar 70 persennya masih mengandalkan impor. Sementara pasokan susu nasional hanya mampu mencukupi 30 persen saja. Setidaknya Indonesia mengimpor bahan baku susu olahan tak kurang dari 1,85 juta ton yang didatangkan dari Australia dan Selandia Baru.

Tak heran bila, harga susu melambung tinggi sehingga tak terbeli oleh sebagian masyarakat negeri ini. Tak ada salahnya pula, bila kondisi itu menjadi lirik lagu yang disenandungkan musisi Iwan Fals yang hits di era 1980-an. “Maafkan kedua orang tuamu, tak mampu beli susu. BBM naik tinggi, susu tak terbeli. Orang pintar tarik subsidi, anak kami kurang gizi”. [G]

Catatan: Artikel ini ditulis dan dimuat untuk Majalah GARUDA, Edisi Desember 2011

 

 

 

Saifuddin Donodjoyo: Memaknai Pancasila dengan Benar

Dunia politik bukanlah hal yang baru baginya. Meski memang, peran politik yang dilakoninya sekarang sedikit berbeda saat ia masih aktif di dunia kemiliteran –yang lebih mengedepankan politik bernegara. Kini, ia menjalani politik praktis sebagai politisi Senayan di bawah bendera Partai Gerindra.

Baginya, Gerindra adalah satu-satunya partai yang dinamis karena sebuah gerakan. Partai ini menantangnya untuk merubah ‘nasib’ kehidupan bangsa. Gerakan ini layaknya ‘hijrah’ yang menawarkan kepada rakyat untuk bisa bangkit, punya jati diri untuk bersaing di mata dunia.

Tampilnya Saifuddin Donodjoyo (57), di panggung politik bukan datang begitu saja. Awalnya, lepas dari dinas kemiliteran, purnawirawan Angkatan Darat ini meneruskan studinya program doktoral di Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Ia yang sebelumnya bertugas di Dinas Pembinaan Mental Angkatan Darat ini akhirnya diminta untuk mengurus masjid Attien Jakarta Timur. Tugasnya pun selesai tak lama sejak meninggalnya Presiden Soeharto. Meski demikian, aktivitas dakwahnya terus berlanjut, hingga akhirnya diminta oleh beberapa rekannya untuk menyusun konsep Gerakan Muslimin Indonesia Raya (Gemira). “Waktu itu saya belum tahu soal partai Gerindra,” ujar pria kelahiran Magelang, 11 November 1954 ini.

Menjelang pemilu 2009, ia pun kembali diminta oleh Fadli Zon, Ahmad Muzani dan Muchdi Pr untuk ikut membidani Partai Gerindra besutan Prabowo Subianto. Lalu ia pun diminta maju sebagai calon legislatif di daerah pemilihan (dapil) DKI Jakarta I. Tak dinyana, kerja kerasnya membuahkan hasil manis. Ia pun berhasil melenggang ke Senayan dengan mengantongi 7.614 suara. “Waktu itu, saya tidak ada niat untuk menang, saya hanya ikuti aturan sementara hasilnya saya serahkan pada kuasa Allah,” ujar pendiri Forum Islamic Center Jakarta ini merendah.

Kini, dua tahun sudah ia menjalani tugasnya sebagai wakil rakyat di Senayan dan duduk di Komisi VIII yang membidangi urusan kesejahteraan sosial. “Setelah terpilih, saya pun mencoba untuk selalu hadir dalam rapat-rapat fraksi, komisi hingga paripurna. Saya juga mau makan gaji halal, bukan sekadar jadi dewan saja,” kata salah satu Ketua Kelompok di Komisi VIII ini.

Menurutnya, bidang kesejahteraan sosial ini menyerap anggaran lebih dari Rp 50 triliun, dimana Rp 37 triliun, ada di pos kementrian agama. Untuk itu, Saifuddin tengah memperjuangkan agar kementrian agama agar bisa merubah pola penyelenggaraan haji. Pasalnya selama ini penyelenggaraan ibadah haji itu menyedot anggaran lebih dari Rp 30 triliun sendiri. “Harusnya dana itu bisa diberdayakan, didayagunakan sehingga berhasil guna, bukan dihabiskan. Selama ini kurang maksimal, malah ada hal yang salah kaprah,” tegasnya sambil mencontohkan pengelolaan dana optimasi masyarakat yang ada dalam pelaksanaan penyelenggaraan haji.

Doktor bidang manajemen sumberdaya manusia ini pun meminta agar kementrian kembali ke khittahnya untuk mengurusi persoalan kehidupan beragama. Jangan hanya urusan haji saja yang memakan waktu hampir enam bulan, tapi masih banyak urusan agama, pembinaan agama yang selama ini masih kurang berjalan dengan maksimal. “Karena ini amanah dari UUD 1945, untuk itu fungsi kementrian ini harus diperbaiki,” tegasnya.

Selain itu, permasalahan yang tengah disorotinya adalah soal keberadaan Kementrian Sosial yang selama ini masih dalam tataran charitysaja. Pun dengan keberadaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang seharusnya mampu mengelola dana bantuan yang begitu besar untuk menangani bencana. Selama ini masih ada bantuan luar negeri yang belum sampai ke daerah bencana. Konon, dikarena adanya aturan di Kementrian Keuangan mengenai perjalanan dana bantuan. Untuk itu, menurutnya, Gerindra akan terus mendesak kementrian dan badan Negara yang terkait masalah ini bersinergi.

Begitu pula dalam pengelolaan zakat, dimana selama ini kerap menimbulkan masalah. Sehingga dengan disahkannya UU Zakat belum lama ini diharapkan kejadian dan ketidakbecusan dalam pelaksanaannya tidak terulang kembali. Padahal menurutnya, agama islam menganjurkan dalam penyaluran zakat hendaknya muzaki yang harus mendatangi langsung para mustahik. Bukannya orang fakir miskin (penerima) datang ke orang kaya yang hendak berzakat. “Dengan mendatangi langsung, bisa terjadi dialog, ada sentuhan dari si kaya pada si miskin, tentunya si miskin merasa dimuliakan sehingga lebih tepat sasaran,” terangnya.

Dan yang membuatnya tak habis pikir adalah persoalan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak yang selama ini masih kurang optimal, bahkan anggarannya pun kecil hanya sekitar Rp 200 miliar. “Padahal tugasnya cukup besar. Negara ini baik kalau perempuannya baik. Perempuan untuk baik perlu pembinaan. Bagaimana mau maksimal kalau anggarannya kecil,” ujarnya keheranan.

Bicara soal kesejahteraan, ayah tiga anak ini menitikberatkan pada apakah harapan kalangan bawah selama ini tersalurkan atau tidak. Pasalnya ini baru harapan saja, bukan materinya. Menurutnya, kalau harapan ini tersalurkan maka bisa berjalan, jangan sampai hanya sekadar pencitraan saja. “Inilah arahan dari Ketua Dewan Pembina, Pak Prabowo untuk terus mengkritisi masalah kesejahteraan sosial selama ini rakyat merasa sejahtera tidak. Memang yang kaya tambah seratus tapi yang miskin membengkak dua juta,” ujar purnawira berpangkat kolonel ini.

Untuk itu ia mengajak kepada seluruh elemen masyarakat untuk memaknai Pancasila dengan benar. Menurutnya, kalau kita merasa berketuhanan yang Maha Esa, harusnya kita punya nilai rasa kemanusiaan yang adil dan beradab. Dari rasa berketuhanan itu diwujudkan dalam hablum minallah dan hablum minannas, demi persatuan Indonesia. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan itu cara musyawarah. Hasilnya untuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. “Harusnya begitu, tapi sekarang ini banyak parsial-parsial. Mudah-mudahan Gerindra kelak dipercaya bisa mewujudkan itu semua dan mampu merubah nasib bangsa,” pungkasnya. [G]

Catatan: Artikel ini ditulis dan dimuat untuk Majalah GARUDA, Edisi Desember 2011

 

 

 

Soepriyatno: Kebijakan Pro Rakyat

Baginya politik adalah alat perjuangan untuk berbuat sesuatu bagi rakyat. Tentu saja menciptakan kondisi yang lebih baik dengan kebijakan-kebijakan yang pro rakyat. Inilah yang tengah diperjuangkan Soepriyatno di gedung wakil rakyat, di bawah bendera Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Termasuk ketika diamanahi untuk memulihkan kondisi internal partai di wilayah Jawa Timur.

Sebelum terjun ke panggung politik, pria berusia 45 tahun ini lebih dikenal sebagai pengusaha. Tak hanya itu, ia pun aktif di beberapa organisasi kepemudaan. Luasnya jaringan yang dimiliki mau tidak mau akhirnya bersinggungan pula dengan dunia politik. Terlebih ketika ia bergabung di sejumlah usaha yang dijalankan Prabowo Subianto.

Awalnya, Soepri demikian sapaan akrabnya hanya sekadar membantu mantan Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus, Prabowo Subianto sewaktu masih bergabung dengan Partai Golkar. Di sanalah ia mendapat tempaan politik praktis langsung dari Prabowo. “Awalnya saya hanya bantu-bantu beliau saja,” ujarnya mengenang.

Seiring berjalannya waktu, Soepri pun diminta untuk membantu dalam persiapan pendirian partai baru besutan Prabowo bernama Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Adalah Fadli Zon, rekan bisnisnya yang memintanya untuk ikut bergabung ke Gerindra. Tanpa pikir panjang, Soepri pun menyanggupinya. Tak heran bila ia termasuk dalam jajaran pendiri partai berlambang kepala burung garuda ini.

Lantas pada pemilu 2009 lalu, ia pun dicalonkan sebagai calon legislatif untuk DPR pusat di daerah pemilihan (dapil) Jawa Timur XI, meliputi Kabupaten Bangkalan, Pamekasan, Sampang, dan Sumenep (Madura). Tak tanggung-tanggung, pria kelahiran Surabaya, 19 Oktober 1966 ini mampu meraih suara sebanyak 118.443 suara –yang merupakan perolehan suara terbanyak di Partai Gerindra. Ia pun berhasil melenggang ke Senayan sebagai wakil rakyat dan kini duduk di Komisi IX yang membidangi masalah kesehatan, tenaga kerja dan transmigrasi, serta kependudukan.

Sebagai anggota sekaligus menjabat Wakil Ketua Komisi IX, ia terus memperjuangkan yang selama ini menjadi aspirasi rakyat. Salah satunya adalah soal Rancangan Undang Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (RUU BPJS) –yang setelah melewati 50 kali rapat— yang akhirnya disahkan dalam sidang paripurna DPR menjadi undang-undang (UU) pada akhir bulan lalu. Meski memang, implementasi dari UU tersebut baru bisa dirasakan rakyat paling cepat pada 2014 nanti. “Kita lihat kemampuan pemerintah pada tahun itu, maka tidak ada masalah,” tandas lulusan Instutut Pertanian Bogor (IPB) ini.

Permasalahan yang tak kalah pentingnya yang tengah diperjuangkannya di Komisi IX adalah persoalan keberadaan puskesmas dan fasilitasnya yang selam ini kurang memadai. Sejauh pengamatannya, di beberapa daerah selama ini keterjangkauan terhadap puskesmas sangat sulit. Kalau pun ada, menurutnya tak ditunjang dengan fasilitas yang semestinya. Begitu pula dengan keberadaan Posyandu dan Keluarga Berencana (KB) yang kini sudah tak diminati lagi. “Ini yang tengah menjadi prioritas Partai Gerindra yang diperjuangkan kadernya di Komisi IX,” tegas suami dari dr Karlina, MARS –pemilik salah satu rumah sakit di bilangan Depok, Jawa Barat ini.

Kenapa menjadi prioritas, menurutnya, KB merupakan program yang menentukan perencanaan perjalanan negara ke depan. Pasalnya, dengan sumber daya manusia yang berkualitas, jumlah anak yang terukur sehingga kontribusi kepada lingkungan menjadi lebih baik. Program revitalisasi KB harus didukung, sehingga perencanaan bangsa dan Negara ini lebih baik. “Jadi anak orang kaya banyak itu bermasalah, anak orang miskin banyak lebih bermasalah lagi,” ujarnya.

Selain sibuk di gedung wakil rakyat, Soepri pun mendapat kepercayaan untuk membenahi Partai Gerindra di Provinsi Jawa Timur yang tengah dirundung masalah kepengurusan. Berkat kepiawaian serta keberaniannya akhirnya ia pun ditetapkan sebagai Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Gerindra Provinsi Jawa Timur. Kini di bawah kepemimpinannya, kondisi Gerindra Jawa Timur mulai kian kondusif. Meski memang, diakuinya masih ada satu dua orang yang merasa sakit hati. “Wajar, dalam setiap perjuangan pasti ada saja pihak yang merasa tidak senang dengan hasil yang ada. Namun itu akan terus saya minimalisir sehingga menjadi kondusif dan nyaman bagi semua kader partai,” tegasnya.

Saat ini, sebagai pimpinan partai di daerah Jawa Timur –yang notebene memiliki lima orang wakil di Senayan— terus melakukan konsolidasi dengan seluruh jajaran kepengurusan hingga ke tingkat bawah demi menjaga perjuangan partai. “Kita berikan mereka ketenangan dalam bekerja dan tidak membebaninya dalam menjalankan roda organisasi, jadi sesuai kemampuannya saja,” ujar politisi muda yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Pemuda Tani Indonesia, sebuah organisasi sayap dari Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) ini.

Ke depan, Soepri berharap Gerindra sebagai partai mampu menyiapkan dan menciptakan kader-kader yang mumpuni di bidangnya. Dan yang terpenting adalah menjaga keberpihakannya kepada rakyat. “Karena disadari atau tidak, arah angin perhatian rakyat tengah menuju ke partai Gerindra,” ungkap politisi yang juga menjadi penasehat Gerakan Pemuda Anshor Jawa Timur ini.  [G]

Catatan: Artikel ini ditulis dan dimuat untuk Majalah GARUDA, Edisi November 2011

 

 

 

Lebih Dekat Dengan Desmond Junaedi Mahesa: “Prabowo Panglima 2014”

Kritis dan selalu bicara apa adanya adalah gambaran Desmond Junaidi Mahesa (45). Semua itu dilatari untuk menjalankan amar makruf nahi mungkar yang diyakininya sebagai jalan hidup. Termasuk dalam aktifitas politiknya, baik di dalam maupun di luar parlemen.

Ia mengakui, tak sedikit cobaan pahit yang pernah dirasakannya sebagai aktivis. Namun hal itu tak lantas membuatnya kapok, apalagi menyerah. “Bagi saya, mengatakan benar itu benar dan mengatakan salah itu salah itulah politik saya. Tidak pernah takut apa yang saya yakini dan yang saya katakan sepanjang tak mengurangi dan mengganggu akidah saya,” tegas pria kelahiran Banjarmasin, 12 Desember 1965 ini.

Nama Desmond ini tentu saja mengingatkan publik pada peristiwa masa gerakan reformasi 1998 silam. Akibat sikap kritisnya itu ia pun termasuk salah satu aktifis yang diculik waktu itu. Meski demikian, semua itu tak membuatnya dendam. Kini, pengacara yang pernah menjabat sebagai Direktur Lembaga Bantuan Hukum Nusantara (LBHN) Jakarta ini duduk sebagai wakil rakyat dari Fraksi Gerindra.

Menurutnya, keterlibatannya di partai bentukan Prabowo Subianto ini merupakan salah satu upaya untuk bisa menjalankan amar makruf nahi mungkar. Meski memang, diakui oleh pria yang selalu tampil plontos ini awalnya sekadar membantu sahabatnya kala itu. Adalah Widjono Harjanto atau yang lebih akrab disapa Oni mengajaknya untuk membantu mendirikan partai berlambang kepala burung Garuda ini di wilayah Kalimantan Timur.

Karena sudah menjadi sikap hidupnya, ketika berbuat sesuatu maka totalitas adalah sebuah keharusan baginya. Maka segala resiko ia hadapi. Termasuk ketika ia harus menggantikan orang yang mencalonkan diri sebagai calon legislatif pada pemilu 2009 lalu. “Sudah menjadi sikap saya kalau berbuat sesuatu terbiasa total, maka saya pun total disini. Bagi saya semua itu bagian dari amanah,” ujar lulusan Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat ini.

Rupanya, sikap totalitas itu membawa berkah baginya hingga lolos ke Senayan sebagai wakil rakyat dari daerah pemilihan (dapil) Kalimantan Timur dengan raihan suara sebanyak 13.439 suara. Desmond pun ditempatkan oleh fraksi di Komisi III. Selain itu ia juga duduk sebagai anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR. Selain sebagai anggota DPR, ia pun dipercaya sebagai sebagai Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Gerindra, bidang Kaderisasi.

Sebagai orang yang diamanahi mengurus kaderisasi, Desmond menilai bahwa di usianya yang masih muda, Partai Gerindra harus mampu mencetak kader-kader yang militan dan total di jalan Gerindra. Sebagai parameternya adalah kemampuan dan kesiapan Partai Gerindra pada pemilu mendatang. Meski memang, kondisi hari ini kaderisasi masih dalam tataran pragmatis praktis. Untuk itu mau tidak mau, para kader sebagai mesin partai harus siap mematuhi dan menjalankan segala keputusan yang digariskan partai. “Termasuk saya, sebagai kader yang baik, ya harus tunduk dan taat pada partai,” katanya.

Lantas, seperti apa pandangan Desmond –yang berprofesi sebagai pengacara ini— seputar proses kaderisasi dan aktifitas politiknya di bawah bendera Partai Gerindra? Kepada Hayat Fakhrurrozi dari Garuda, memaparkan pandangannya dalam sebuah wawancara di sela kesibukannya sebagai wakil rakyat beberapa waktu lalu. Berikut petikannya:

Bisa diceritakan awal karir dan aktifitas politik Anda?
Saya rasa saya tidak punya karir politik. Karena saya merasa berpolitik itu bukan berkarir. Saya disini apa adanya saja. Dulu sebagai aktifis mahasiswa, aktifis LBHN itu juga bukan karir. Jadi menurut saya aktifitas politik itu bukan karir. Yang ada pada hari ini merupakan persoalan amar makruf nahi mungkar.

Jadi menurut Anda politik itu apa?
Saya tidak mengerti politik itu apa. Tapi kalau secara teori tentu saja saya mengerti dan banyak sekali definisinya, tergantung mana yang kita yakini. Bagi saya, mengatakan benar itu benar dan mengatakan salah itu salah itulah politik saya. Tidak pernah takut apa yang saya yakini dan yang saya katakan. Jadi kalo saya ngomong a, b, c, asal tidak mengurangi nilai dan aqidah saya tidak terganggu akan saya lakukan.

Lantas sejak kapan akhirnya Anda bergabung ke partai politik?
Semua berawal karena tidak sengaja. Dulu saya aktif dan gabung di Golkar karena saya diajak teman sewaktu saya aktif di HMI.  Jaman reformasi dan pasca reformasi, saya diminta ikut membangun Partai Umat Islam bersama Pak Deliar Noer. Termsauk di Gerindra, awalnya saya diajak Pak Oni (Widjono Harjanto), untuk membantu beliau bikin partai ini di Kalimantan Timur. Dan saya terpilih jadi anggota DPR juga karena saya menggantikan orang yang mundur. Sudah menjadi sikap saya kalau berbuat sesuatu terbiasa total, maka saya pun total disini. Bagi saya semua itu bagian dari amanah. Dan saya sebagai kader partai yang baik harus tunduk pada keputusan partai.

Meski partai ini dibangun dalam situasi dan kondisi serba dadakan dan saat ini pun usianya masih muda, maka kekurangan dan kelebihan menjadi solusi kita bersama, bagaimana untuk berbuat sesuatu yang lebih baik. Kalau kita bergabung dengan Partai Gerindra, maka kita harus serius untuk membicarakan bagaimana menyelesaikan persoalan-persoalan anak bangsa ini dengan baik.

Kontribusi apa yang Anda lakukan?
Tidak ada kontribusi. Karena bagi saya yang saya liat ya saya omongkan. Apa adanya seperti yang kerap saya sampaikan di Komisi III DPR. Seperti masalah Jaksa Agung Hendarman Supandji yang Keppresnya tidak ada dan melanggar aturan karena umur yang sudah melebihi, dan masih banyak lagi yang saya omongkan. Nah apakah kalau berkontribusi itu dibilang hebat? Bagi saya tidak.

Pun ketika melakukan uji kepatutan, seperti misalnya pada pemilihan hakim agung. Tentunya ada dua pandangan dilihat dari Desmond sebagai subjek pribadi atau sebagai kepanjangan dari partai. Sebagai pribadi saya akan lihat apakah calon itu amanah, fatonah atau tidak. Sementara sebagai kader partai, saya tidak mungkin melakukan sesuatu yang melanggar apa yang digariskan oleh partai. Kalo saya melanggar maka saya tidak patuh. Daripada tidak patuh, lebih baik saya keluar. Saya tidak boleh melakukan sesuatu yang sifatnya liar.

Sebagai Ketua DPP Partai Gerindra bidang kaderisasi, komentar Anda tentang kaderisasi yang ada?
Bicara tentang kaderisasi, maka proses itu harusnya bisa memberikan sesuatu yang membuat orang itu ada harapan. Kenapa orang itu memilih Gerindra, apa jalan Gerindra itu? Kenapa kita memilih jalan ini? Bagaimana mungkin orang melakukan propaganda, agitasi, menjual dirinya dalam kampanye, membaca peta kekuatan, dan akhirnya mampu memetakan kekuatan.

Pengkaderan di partai tidak sekedar transfer sebuah pengetahuan tapi transfer ideologi. Dalam kaderisasi itu harus ada skala prioritas program untuk membentuk kader yang militan. Kaderisasi itu yang ideal itu harus membangun warna dan watak pada kadernya. Kondisi sekarang memang belum ideal, masih pada tataran pragmatis, praktis.

Waktu yang ada menuju 2014 apakah cukup untuk pengkaderan?
Menurut saya cukup. Karena kaderisasi apa yang ada di hari ini boleh dibilang cukup. Cuma harus diakui oleh kita, ada beberapa hal yang harus dievaluasi lagi pada sasaran target. Apakah pada proses kaderisasi ini kader bisa memetakan kekuatan di daerah yang pada akhirnya mampu memenangkan Partai Gerindra. Kalau hal ini terlaksana maka kaderisasi berhasil. Kaderisasi pun harusnya berorientasi menggalang kekuatan untuk menuju medan perang.

Lalu untuk mengusung Prabowo pada 2014 nanti, apa yang dilakukan bidang kaderisasi?
Saya pikir mulai sama-sama evaluasi, ada kejujuran, kekompakan sebagai sebuah team work bahwa ini sebuah keluarga besar. Karena kekurangan dan kelebihan apapun, itu milik kita bersama. Nah menurut saya kalau hari ini jalan ini terbaik ya kita jalani, jika kurang ya kita diskusikan, sinkronkan bersama dengan melepaskan segala ego-ego pribadi guna membentuk teamwork dalam mengusung Prabowo di Pemilu 2014 nanti.

Apa harapan Anda pada Partai Gerindra dan para kadernya?
Kita memperkuat cita-cita kita bersama, bahwa 2014 bukan suatu tantangan yang mudah. Bagi saya, Prabowo itu sebagai jendral yang juga sebagai panglima. Kalau beliau yang jenderal bisa merangkap sebagai panglima, maka beliau juga bisa mencetak panglima-panglima, jenderal-jenderal perang yang baik dan mumpuni dalam rangka menghadapi medan kampanye. Tentunya beliau menciptakan panglima dan jenderal itu agar nanti di 2014 bisa memimpin perang dengan baik.

Orang-orang  yang menjadi bagian dari kader Gerindra maka harus merapatkan barisan, dalam rangka mencapai target itu. Bagi saya, kader tidak boleh ada yang main-main dalam mengusung Prabowo. Totalitas di jalan Gerindra adalah sebuah keharusan bagi orang yang mengatakan dirinya kader Gerindra. [G]

Biodata singkat:
DESMOND JUNAIDI MAHESA

Tempat tanggal lahir:
Banjarmasin, 12 Desember 1965

Jabatan:
– Direktur Lembaga Bantuan Hukum Nusantara (LBHN) Jakarta 1998
– Ketua DPP Partai Gerindra, periode 2008-2013
– Anggota DPR-RI Fraksi Gerindra Komisi III, periode 2009-2014
– Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR-RI
– Anggota Badan Musyarawah (Bamus) DPR-RI

Catatan: Artikel ini ditulis dan dimuat untuk Majalah GARUDA, edisi Oktober 2011

Nuroji: Ingin Lebih Merakyat

Sederhana dan bersahaja kerap ditampilkan politikus yang satu ini. Lebih memilih tinggal di daerah asalnya Depok, dibanding menempati fasilitas rumah dinas yang disediakan negara. Ia pun rela pergi pulang merasakan kemacetan jalanan ibukota. Hanya satu, ia ingin lebih dekat dengan konstituennya.

Ya, itulah yang dilakoni Ir. Nuroji, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi Gerindra ini saban hari sejak berkantor di gedung wakil rakyat Senayan. Meski begitu, putra daerah asli kelahiran Depok, 9 September 1962 ini tetap enjoy menjalani. Boleh jadi, dari sanalah ia lebih merasakan apa yang dirasakan rakyat. Dan semua itu memantul pada pandangan serta perilakunya sebagai wakil rakyat untuk selalu berpihak pada rakyat kecil. “Saya lebih dekat dengan rakyat dan tentu saja tidak ada jarak,” ujarnya.

Panggung politik praktis sudah diselaminya sejak era orde baru dengan bergabung di Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Ketika terjadi kisruh pada tahun 1997, Nuroji memilih mundur dan larut dalam profesinya sebagai wartawan. Tak lama kemudian, di tahun 2000, ia menjajal naluri bisnisnya dengan membuka usaha mulai dari ekspedisi, garmen hingga restoran. Kesibukannya mengembangkan bisnis membuat ia lupa dengan profesi sebelumnya. Jatuh bangun bisnisnya hanya bertahan lima tahun, hingga akhirnya memaksa ia harus kembali ke habitat lamanya. Tahun 2006, ia akhirnya bergabung di Harian Jurnal Nasional. Setahun kemudian ia pindah ke Harian Warta Kota. Di tahun yang sama ia diajak oleh Fadli Zon, koleganya untuk gabung membidani majalah Tani Merdeka –terbitan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI)— hingga 2008.

Di sela-sela kesibukannya mengembangkan media, Nuroji juga diminta untuk membantu rencana pendirian partai baru oleh mantan Komandan Jenderal Koppassus, Prabowo Subianto. Dari sinilah panggung politik yang telah ditinggalkannya sepuluh tahun silam kembali ia jejaki. Niat awalnya hanya sekedar membantu, karena ada kesamaan dalam perjuangan yang digariskan. Tapi berkat kepiawaiannya memobilisasi massa, ia diminta maju sebagai calog legislatif untuk DPR-RI dari Partai Gerindra di Daerah Pemilihan (dapil) 6 Jawa Barat. Di dapil kampung halamannya ini ia bertarung dengan pakar ekonomi Didik C Rachbini dari Partai Demokrat dan Zulkarnaen Jabar dari Partai Golkar.

Berbekal kepercayaan keluarga dan teman sejawatnya serta ditopang dengan niatan tulus, Nuroji pun berlaga. Dalam waktu yang singkat ia harus mengatur strategi untuk bisa meraih massa. Salah satunya adalah membangun image sebagai caleg yang saat itu memilih untuk tampil apa adanya. Pada awalnya, banyak kalangan mencibir keikutsertaannya dalam pesta demokrasi itu, terlebih ia bertengger di nomor urut pertama. Tak jarang, banyak orang datang saat kampanye hanya sekadar untuk membuktikan rasa penasarannya akan kemampuan sosoknya yang dianggap nyeleneh saat itu. Dinamika dunia jurnalis telah menempa dirinya hingga memiliki kesiapan mental yang kuat dalam pertarungan pemilu legislatif 2009 silam. “Dari awal saya tidak hanya siap menang, tapi siap untuk tidak menang,” urainya.

Jerih payah perjuangannya berbuah manis. Nuroji pun melenggang ke Senayan dengan raihan suara sebanyak 25.540 suara. Bahkan raihan itu mampu melampaui beberapa saingan terberatnya, termasuk sang ekonom. Rupanya, tampilan fisik apa adanya, dengan rambut gondrong saat itu mampu mendongkrak image-nya sebagai caleg dari Depok.

“Tak hanya itu, yang lebih penting lagi, saya pun turun langsung ke lapangan menemui masyarakat yang tentunya saat itu belum mengenal saya. Jadi saya tidak sekedar duduk manis, bikin kaos, tempel poster sana-sini, tapi saya turun dari jam delapan pagi sampe larut malam,” ujarnya meski diakui perjuangannya tersebut terkadang tak sebanding dengan hasil yang dicapai saat itu.

Kini, lulusan Institut Pertanian Bogor (IPB) ini dipercaya duduk di Komisi X yang membidangi pendidikan, budaya dan pariwisata, kepemudaan dan olahraga. Sebelumnya, Wakil Sekretaris Fraksi Gerindra ini masuk dalam jajaran Komisi VI. Di komisi X, Nuroji terus mengkritisi kebijakan pemerintah soal pemerataan pendidikan. Terlebih dengan suburnya lembaga pendidikan berlabel internasional (RSBI) –yang mengedepankan penggunaan bahasa Inggris— yang awalnya untuk meningkatkan mutu tapi nyatanya lebih mementingkan sisi bisnis. “Selain berkurangnya rasa nasionalisme, Fraksi Gerindra juga menilai RSBI hanya jadi milik orang kaya yang pada akhirnya membedakan status sosial. Inilah produk liberalisasi,” tegas ayah lima orang anak ini yang menilai penyerapan anggaran sektor pendidikan masih lambat padahal alokasinya lumayan besar.

Kaitannya dengan pendidikan dan budaya, Nuroji juga getol menyuarakan pentingnya budaya karakter bangsa yang kian merosot. Menurutnya, hampir jarang dijumpai budaya gotong royong, musyarawah, toleransi, ramah tamah yang dulu diagung-agungkan. Begitu pula dengan bidang olahraga, di era liberalisasi keberadaannya yang seharusnya berdaya saing tinggi malah kian tergerus. Di samping prestasi yang terus jeblok, mental juang makin melorot bahkan ribut melulu. Terlebih di sektor kepemudaan, Nuroji merasa miris dengan kondisi sekarang. ”Banyak bermunculan organisasi kepemudaan, tapi tidak jelas programnya, saling tumpang tindih antar departemen, padahal anggarannya besar,” katanya.

Lantas, ada baiknya pemerintah, menurut Nuroji untuk mengkaji ulang grand desain program kepemudaan. Dengan anggaran yang cukup besar, seharusnya program lebih fokus, jangan sampai kesannya hanya bagi-bagi proyek untuk menghabiskan anggaran yang ada. Boleh jadi, program P4 yang secara ekstrim dinilai cukup ampuh dalam mendidik dan mencetak generasi penerus bangsa yang berkarakter. ”Tapi ingat, mungkin formatnya harus diganti, dimodifikasi dengan menonjolkan karakter bangsa,” usulnya.

Perjuangannya tak hanya sampai di sini, sebagai fungsionaris partai sekaligus anggota dewan, Nuroji pun terus mengawal garis perjuangan partai yang berpihak pada rakyat kecil. [G]

Catatan: Artikel ini ditulis dan dimuat untuk Majalah GARUDA, Edisi Oktober 2011

Budi Heryadi: Menjaga dan Membangun Citra

Sejak tercatat sebagai wakil rakyat dua tahun silam, ia harus pintar-pintar membagi waktu, tenaga dan pikiran. Tak hanya sibuk di gedung parlemen, ia pun diamanahi menjaga dan membesarkan partai di wilayah Banten.

Boleh jadi, Oktober ini adalah bulan yang menyibukkan dirinya. Pasalnya, selain tercatat sebagai anggota Komisi IV, Budi Heryadi juga anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR –yang tengah menjadi sorotan rakyat— yang harus menyelesaikan pembahasan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2012 yang sempat mandek dua pekan gara-gara pimpinannya ngambek. Padahal berdasarkan undang-undang, pembahasan RAPBN harus selesai pada 20 Oktber ini.

Di saat yang sama, sebagai Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Gerindra Banten, Budi pun bertanggungjawab untuk memenangkan pasangan Ratu Atus Chosiah – Rano Karno yang maju dalam pemilihan gubernur Banten periode 2011-2016 yang akan berlangsung pada 22 Oktober ini. “Bulan ini benar-benar padat, tak sekedar urusan parlemen, urusan di daerah yang menjadi tanggungjawab saya sangat menyita waktu, tenaga dan pikiran,” ujar politikus kelahiran Jakarta, 6 November 1959 ini.

Diakuinya, setelah terlibat langsung di panggung politik praktis bukanlah perkara mudah seperti membalikkan tangan. Terlebih menjadi golongan minoritas di Senayan memang menyakitkan. Tapi bukan lantas menyerah dengan keadaan. Pasalnya lebih mendingan dibanding hanya menjadi parlemen jalanan, berteriak-teriak di jalananan yang kerap tak dianggap. “Di parlemen ini, lumayan juga suara kita, meskipun pahit rasanya, tapi mampu mempengaruhi arah angin politik,” tegas Budi yang mengantongi 22.854 suara dalam pemilu legislatif 2009 lalu dari dapil Banten III.

Menurutnya, kondisi ini yang terus memompa dirinya tetap bertekad untuk membesarkan dan menjaga partai yang telah membesarkan namanya. Sebagai orang nomer satu di tubuh Partai Gerindra propinsi Banten, Budi pun bertekad untuk meraih suara sebanyak 13 – 15 persen pada 2014 mendatang. “Setidaknya mempertahankan suara yang ada. Dan Oktober ini menjadi barometer kekuatan Gerindra di Banten, kalau bisa meningkat, maka ada tanda-tanda keberhasilan Gerindra untuk naik pada pemilu mendatang,” ujar Budi berharap.

Keterlibatannya di dunia politik berawal ketika ia kerap mendengarkan ceramah-ceramah dai sejuta umat, KH Zainudin MZ (almarhum) bahwa tidaklah mungkin berbuat sesuatu mana kala kita berada di luar ring kekuasaan atau parlemen. “Parlemen ini kunci untuk memperjuangkan aspirasi rakyat,” ujarnya menirukan omongan kyai kondang yang mengajaknya untuk terjun ke politik praktis sekitar tahun 2002 silam.

Ya, karir politiknya mulai dijejaki dari bawah dengan bergabung bersama sang kyai di Partai Bintang Reformasi (PBR) –yang didirikannya pada tahun 2002. Di sini pula ia bertemu dengan rekan bisnisnya Ahmad Muzani. Ketika terjadi kisruh pada munas yang akhirnya pecah, Budi tetap memilih masuk dalam kubu Zainuddin MZ dan disana ia ditunjuk sebagai Ketua OKK. Pun ketika akhirnya Zainuddin memilih mundur dari panggung politik, ia pun mundur pula.

Rupanya, dinamika dunia politik telah membiusnya, sehingga selepas mundur dari PBR, saat itu ia berencana untuk terus mengabdikan diri di politik. Gayung pun bersambut, ketika sahabatnya, Ahmad Muzani mengajak untuk mendirikan partai bersama Prabowo Subianto. Awalnya ia sangsi dengan ajakan rekan seperjuangannya itu. Setelah mendengar dan mempelajari garis perjuangan yang diusung Prabowo ia pun bersedia gabung. “Dari 62 orang, dalam akta pendirian nama saya berada di urutan ke-15 sebagai pendiri,” kata lulusan Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten ini.

Selain sebagai pendiri dan dipercaya sebagai Wakil Sekretaris Jenderal, Budi pun mendapat mandat langsung dari Prabowo untuk mendirikan Partai Gerindra di wilayah Banten, Nangroe Aceh Darussalam, Kalimantan Tengah serta menyelesaikan berbagai persoalan di wilayah Sumatera Utara dan Riau. “Selain saya Wasekjen DPP, juga ditunjuk sebagai Ketua DPD Banten. Dan karena ada aturan tidak boleh rangkap jabatan, saya pilih konsentrasi di DPD,” terang politisi yang berhasil mengantarkan Partai Gerindra Banten meraih 6 persen, melebihi target minimal sebesar 4,7 persen pada pemilu 2009 lalu.

Tak pelak, di hadapannya terbentang perjuangan berat telah menantinya. Segala daya dan upaya dikerahkan, termasuk mengawal segala keputusan partai dalam berbagai hal. Diakuinya meski bukan partai besar di Banten, keberadaan Gerindra sangat mencolok. Terlebih terobosannya dengan melengkapi armada mobile di setiap DPC yang multiguna. “Semua itu demi kebesaran partai sebagaimana yang pernah dicontohkan Ketua Dewan Pembina,” urainya.

Masih kuat dalam ingatannya saat awal-awal perjuangan mendirikan Partai Gerindra di Banten yang sempat ditertawakan oleh massa, gara-gara nama partainya –yang bagi masyarakat  Banten— agak kurang enak didengar telinga. Tapi akhirnya setelah melalui perjuangan keras didukung dengan tampilnya Prabowo menyampaikan visi misi di layar televisi, perlahan kata ‘gerindra’ jadi enak didengar. “Bukan sekedar enak didengar di telinga dan di hati, tapi enak dilihat, enak juga untuk dipilih,” kata suami dari Ida Rachmawati ini.

Untuk itu, ayah enam anak ini kerap menanamkan pelajaran untuk istri dan anak-anaknya bahwa mereka harus jadi panutan, kalau Gerindra mau dilirik orang lain. Budi pun terus mengingatkan keluarganya bahwa jadi politisi itu lebih banyak setannya dari pada kyai atau ulamanya. Karena tugas terberat dalam berpolitik adalah menjaga citra baik politisi yang rawan dengan godaan. Semoga dari Banten akan bermunculan politisi yang siap mental berlaga di pentas politik praktis yang penuh intrik. [G]

Catatan: Artikel ini ditulis dan dimuat untuk Majalah GARUDA, Edisi Oktober 2011

Lebih Dekat Dengan Hashim Djojohadikusumo: “Indonesia Harusnya Lebih Baik”

Sukses menjadi pengusaha kaya, tak lantas membuatnya lupa dengan kondisi negerinya. Darah nasionalisme mengalir begitu deras dalam hidupnya. Tak heran di tengah kesibukannya mengelola bisnis, ia pun terjun langsung ke dunia politik dan berbagai aksi sosial serta gerakan buruh, tani dan nelayan. Semangat keberpihakannya pada rakyat kecil terus dikobarkan lewat gerakan ekonomi kerakyatan.

Putra begawan ekonomi Indonesia, Prof Dr Soemitro Djojohadikusumo ini tak sekedar mewarisi kepiawaian sang ayah dan kakeknya dalam berbisnis. Rupanya rasa nasionalisme yang ditanamkan sang ayah, mengantarkannya terjun ke politik praktis. Hal ini dibuktikan dengan keikutsertaan dia dalam membidani lahirnya Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) bersama sang kakak, Prabowo Subianto tiga tahun silam.

Keterlibatannya di pentas politik, bukan sekedar latah atau ikut-ikutan di tengah euforia politik pasca reformasi. Bagi pria yang menimba ilmu politik dan ekonomi di Panoma College, Claremont, California, Amerika Serikat ini ada dua alasan yang membuatnya terjun ke ranah politik. Diantaranya, ayah tiga anak ini merasa heran dengan kondisi ekonomi Indonesia. Menurutnya, dari segi ekonomi Indonesia harusnya lebih mapan dari negara-negara tetangga seperti India atau Vietnam. ”Heran saya, kok kita bisa kalah dengan negara Vietnam,” tegas Hashim yang pernah masuk dalam jajaran sepuluh besar orang terkaya di Asia oleh majalah Globe Asia.

Pria kelahiran Jakarta, 5 Juni 1954 ini pun turut perihatin dengan perkembangan politik negeri yang kian tak karuan. Hashim menegaskan, Pancasila sebagai dasar negara kian tersisihkan bahkan dilupakan oleh elit politik dalam menjalankan aktifitas politik maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. ”Kita harus membela Pancasila, karena saya nasionalis. Saya yakin tanpa Pancasila Indonesia hancur,” tandasnya.

Seperti apa pandangan Hashim –yang pernah berbisnis di lebih dari 40 negara di lima benua lewat beberapa perusahaannya ini— ketika melakoni aktifitasnya di panggung politik di bawah bendera Partai Gerindra? Kepada Hayat Fakhrurrozi, dari GARUDA, Ketua Badan Seleksi Organisasi (BSO) Partai Gerindra ini memaparkan pandangannya di sela kesibukannya menghadiri Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Partai Gerindra beberapa waktu lalu. Berikut petikan wawancaranya.

Menurut Anda, sebagai pengusaha dan politisi, seperti apa keadaan ekonomi Indonesia saat ini?

Bagi orang seperti saya, pengusaha yang dianggap kaya, Indonesia itu surga. Apalagi bagi pengusaha, ada banyak kesempatan untuk usaha di segala bidang. Tapi kita kan tidak boleh egois, untuk diri sendiri, kita harus lihat secara umum. Saya prihatin, yang menikmati pembangunan di negeri ini segelintir orang saja di kalangan atas. Sementara di kalangan menengah bawah belum tentu menikmati. Lihat saja, banyak infrasturktur rusak, pendidikan, ekonomi, dan sebagainya. Masalah kesehatan, misalnya untuk mendapatkan ruangan, layanan kesehatan, obat-obatan susah dan mahal lagi. Bagi kami pengusaha kaya tak masalah, tapi bagaimana dengan masyarakat umum.

Apakah ada yang salah dengan ketidakmerataan ini?

Saya lihat statistik pemerintah ada yang tidak beres. Makanya beberapa waktu lalu, rapat antara pemerintah dan DPR yang membahas APBN dibubarkan, karena Menteri Keuangan pakai statistik kemiskinan Rp 7.000, BPS (Badan Pusat Statistik) pakai angka Rp 12.000 – 13.000. Sementara Bank Dunia Rp 17.000. Coba yang bener yang mana? Yang jelas yang dipakai Menteri Keuangan itu yang salah.

Kalau dengan hitungan Rp 7.000 berarti Rp 210.000 per bulan. Kalau 25 hari kerja, maka hanya Rp 175.000. Berarti orang yang berpendapatan Rp 250.000 per bulan bukan miskin. Tapi banyak yang berpenghasilan Rp 250.000 mengaku miskin, harusnya kan tidak miskin dengan hitungan itu. Ternyata pemerintah memakai kategori lain hampir miskin. Padahal yang hampir miskin saja sudah miskin. Dan yang hampir miskin itu sebanyak 45 juta orang ditambah lagi yang miskin sekitar 30 juta orang. Jadi sebenarnya hampir miskin sebenarnya miskin. Kan ini tidak bener?

Apa yang salah dimata Anda?

Yang salah terus terang ini alokasi APBN. Ini salah urus, salah dipakai. Bayangkan APBN mengalokasikan sebesar Rp 21 triliun untuk perjalanan pejabat negara baik pemerintah dan DPR. Ada pula bantuan sosial sebesar Rp 60 triliun, untuk apa? Ini yang dikaji oleh tim kita. Kesalahan lainnya, bank pemerintah yang menyalurkan kredit salah sasaran. Misalnya Bank Mandiri, tiga tahun yang lalu, mengucurkan kredit Rp 19 triliun untuk pembangunan apartemen dan perumahan mewah 2300 unit, disaat para petani, pedagang kecil tidak dapat  bantuan kredit sama sekali. Kan ini aneh. Contoh lain, misalnya BRI, di 2008 lalu, berhasil menghimpun dana Rp 31 triluyn dana deposito, tapi hanya Rp 2 triliun yang disalurkan ke pedesaan. Sisanya kemana? Padahal masyarakat kita banyak yang tinggal di desa. Begitu juga dengan BRI yang banyak tersebar di desa-desa.

Gerindra bukan partai yang anti kapitalisme, saya juga kan seorang kapitalisme, saya kan pedagang, pengusaha. Tapi, boleh saja pengusaha dipersilahkan bangun perumahan dan apartemen mewah, tapi jangan dari bank pemerintah tapi bank swasta dan asing.  Saya kira masing-masing direksi bank BUMN tidak bersalah, karena tidak ada arahan dari pemerintah. Nah jika nanti Gerindra berkuasa, kita akan arahkan Kementrian BUMN sebagai pembina yang memberikan arahan kepada bank pemerintah untuk memberikan kredit pada rakyat kecil.

Sebetulnya inikan kaitannya dengan pilihan kebijakan? Apakah Anda melihat ini akibat dari penerapan sistem neolib?

Justru ini, kita lebih banyak lunak terhadap kekuatan-kekuatan asing. Itulah bentuk lemahnya posisi kita yang terlalu neolib. Untuk itu, kedepan kita harus pakai kekuatan negara untuk mengendalikan ekonomi. Terus terang, saya lihat belum tentu semua yang dilakukan negara itu keliru. Contoh negara Singapura, 75 persen ekonominya dikuasi negara. Mereka punya Singapur Airline, itu milik negara, karena 75 persen sahamnya milik negara. Setiap tahun, profitnya terus meningkat. Tak heran bila (maaf) menurut saya Singapura itu surga bagi penguasaha dan para kapitalis. Tapi coba lihat, rakyatnya kan sejahtera, meski negara kapitalis tapi 70 persen ekonomi Singapura itu dimiliki negara.

Jika dianalogikan dengan sebuah perahu, apakah nahkoda pemerintahan kita yang tidak punya arah?

Apakah tidak punya arah? Penguasa kita tidak bodoh. Mereka ada banyak pilihan. Dan mereka memilih suatu sistem pasar bebas. Karena bebas, akhirnya ya bebas saja, contoh sektor pertanian kita, hanya 2,5 persen dari APBN padahal 60 persen masyarakat kita ada di pedesaan dan tidak adanya perlindungan sama sekali buat petani. Nah, kalau kita lihat di Amerika, Jepang, Korea, atau negara maju lainnya, justru para petani dilindungi, diberikan subsidi. Kok di Indonesia, negara berkembang bukan industri, belum kaya apalagi punya industri maju, kok tidak dilindungi. Ini memang sengaja, mungkin penguasa negara kita sudah ambil pilihan pertanian tak perlu lagi. SBY dan Boediono kan tidak bodoh. Saya heran dengan mereka itu?

Apakah karena tidak ada keberpihakan?

Nah itulah. Karena tidak berpihak kepada rakyat banyak. Sebagai orang penguasaha kaya, karena memang kaya dan sejahtera, terus terang kalau saya tidak punya hati nurani saya hanya memikirkan diri sendiri dan terima apa adanya kondisi perekonomian seperti ini. Tapi terus terang, saya sangat perihatin dengan keadaan ekonomi kita. Keadaan politik pun demikian, karena penguasa sekarang tidak Pancasilais. Kenapa? Padahal Pancasila itu perekat bangsa, tanpa Pancasila, bangsa kita akan hancur. Bahkan bisa terpecah belah minimal delapan negara. Dengan Pancasila, kaum minoritas rela bergabung ke NKRI, tapi sekarang pemerintah sepertinya tidak mendukung, apalagi membela Pancasila. Tak heran bila banyak keributan yang dipicu masalah suku dan agama. Ini yang membuat saya kecewa, pemerintah mengabaikan tanggungjawabnya untuk membela Pancasila sebagai ideologi negara.

Jadi sebetulnya negera ini merindukan figur pemimpin seperti apa?

Ya. Negeri ini merindukan pemimpin yang kuat dan tegas. Jangan liat kiri kanan siapa yang populer. Seorang pemimpin harus memikirkan dan menjaga keutuhan bangsa. Kan begitu. Saya pikir pimpinan nasional sekarang kurang dari segi itu.

Jadi pemimpin kita tidak tegas?

Bukannya tidak tegas. Tapi tidak mau dan tidak ingin menegakkan hukum.

Anda pernah belajar politik, apa yang bisa dilakukan untuk mengembalikan bangsa ini berdaulat dari segi ekonomi dan politik?

Saya ambil contoh tahun 1960 – 1965, ada tokoh kulit hitam, Martin Luther King, yang memperjuangkan hak-hak kulit hitam di Amerika. Saya banyak belajar dari perjuangan dia. Begitu pula dengan para negarawannya yang tegas dan berani menegakkan hukum, membela yang lemah. Meski pun pada waktu itu juga ada penolakan dari para penguasa daerah (negara bagian) saat kaum kulit hitam menuntut keadilan. Jadi perlu perjuangan untuk memaksa pimpinan nasional kita agar berani untuk menegakkan hukum membela kaum lemah yang juga bagian dari rakyat Indonesia.

Apakah ini yang membuat Anda terjun ke politik?

Ya, saya ikut mendirikan Partai Gerindra dengan dua alasan. Pertama, Indonesia harusnya lebih bagus dalam segi ekonomi, tapi kok kalah dengan Vietnam, India, dan China. Heran saya, kok bisa kalah dengan negara Vietnam. Kedua, saya turut perihatin dengan perkembangan politik bangsa kita yang kian tak karuan. Kita harus membela Pancasila, karena saya nasionalis. Saya yakin tanpa Pancasila Indonesia hancur. Saya yakin itu. Indikasinya jelas. Saya sendiri termasuk dari kaum minoritas, tapi saya ini orang Jawa yang mayoritas. Tapi kan kita tidak boleh menggunakan istilah mayoritas, minoritas. Semua sama statusnya, seharusnya tidak ada pilih kasih. Kalau itu terjadi, Indonesa bakal hancur.

Lalu apa yang dilakukan Gerindra?

Sebagai partai nasionalis. Bisa dilihat dari manivesto perjuangan kita, Pancasila adalah harga mati, final. Gerindra didirikan untuk membela dan melestarikan Pancasila. Kita tidak jauh-jauh, kenapa Belanda bisa menjajah negara kita selama 3,5 abad. Karena kita diadu domba belanda. Syukur pada akhirnya kita disatukan oleh Pancasila. Tapi sekarang ini, sepertinya pemerintah Indonesia tidak peka.

Apakah hal ini harus lewat parpol?

Terus terang saya sudah capek jadi pengamat. Pak Prabowo juga sudah bosan jadi penonton. Saya kira Gerindra ingin jadi penentu nasib bangsa. Maka kita harus ke ranah politik, kita harus masuk ke parpol dan ke ranah DPR. Dari situ, kita bisa menentukan.

Apa yang dilakukan Gerindra menjelang 2014?

Kita sekarang sedang ikut pilkada di beberapa daerah. Kita mampu bersaing dan tampil jadi pemenangnya. Mudah-mudahan ini sebagai pertanda bahwa arah masyarakat sudah menuju ke kita. Memang, partai kita masih baru berumur tiga tahun, tapi seiring dengan itu, kita terus berbenah diri untuk kemudian membenahi kondisi bangsa dan negara ini. [G]

Hashim Soemitro Djojohadikusumo

Jakarta, 5 Juni 1954

Jabatan:

– Ketua Badan Seleksi Organisasi Partai Gerindra

– Anggota Dewan Pembina Partai Gerindra

– Ketua Dewan Pembina GERBANG

– Ketua Umum Persatuan Catur Seluruh Indonesia (Percasi)

Catatan: Artikel ini ditulis dan dimuat untuk Majalah GARUDA, Edisi Agustus 2011

Putih Sari Taslam: Terinspirasi Perjuangan Sang Ayah

Usianya baru 24 tahun ketika ia memutuskan terjun ke dunia politik. kala itu Agustus 2008, tekad perempuan kelahiran Jakarta, 20 Juli 1984 ini telah bulat bergabung dalam Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Garis perjuangan politik yang diusung partai besutan Prabowo Subianto ini menggerakkan hatinya untuk mengembalikan kedaulatan bangsa dari segala keterpurukan.

“Saya setuju dengan garis perjuangan politik Gerindra yang tegas-tegas ingin memenangkan sistem ekonomi kerakyatan sebagai koreksi terhadap sistem ekonomi liberal yang berlaku selama ini,” ucapnya mantap.  Sistem ekonomi liberal disebutnya nyata-nyata hanya menguntungkan pelaku ekonomi bermodal kuat, para kapitalis.

Putih Sari Taslam, perempuan muda itu ahirnya mencalonkan diri dalam Pemilihan Anggota Legislatif 2009. Langkah ke arah itu sudah jelas tidak mudah. Sebagai ‘anak bawang’ di panggung politik, ia mesti melalui jalan berliku dan penuh gelombang agar bisa menjejakkan kaki di Senayan.

Berada di Daerah Pemilihan (Dapil) VII Jawa Barat yang meliputi Kabupaten/Kota Bekasi, Kabupaten Karawang dan Kabupaten Purwakarta, Putih harus bersaing dengan sejumlah politisi yang namanya sudah dikenal di Indonesia. Di situ ada Ade Komarudin dan Nurul Arifin dari Partai Golkar. Selain itu ada Hary Kartana mantan Dirut Indosat dari Partai Demokrat. “Sementara saya, boleh dibilang masih anak bawang,” ujarnya merendah.

Tapi nama-nama itu tidak membuat nyali ‘anak bawang’ itu ciut. Persaingan yang sengit justru membuat semangatnya bertarung memperebutkan hati rakyat kian menggelora. Selama masa kampanye, ia mnyambangi para konstituen hingga ke pelosok-pelosok kampung.

Putih bahkan sampai ke sebuah kampung terpencil di kawasan waduk Jatiluhur Purwakarta yang tidak ada satu pun partai yang mau kampanye. “Saya datang ke situ. Bahkan selama masa kampanye saya hanya seminggu sekali pulang ke rumah,” dokter gigi lulusan Universitas Trisakti ini mengisahkan pengalamannya.

Kerja kerasnya embuahkan hasil. Putih mengumpulkan 27.341 suara. Jumlah ini cukup untuk menjadi tiket baginya untuk melangkah masuk berkantor di Senayan, menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat REpublik Indonesia (DPR-RI). Ia termasuk salah seorang dari tiga anggota DPR-RI termuda.

Perjuangannya tak berakhir sebatas menyandang status anggota parlemen. Duduk Komisi IX –yang membidangi kesehatan, tenaga kerja dan transmigrasi, serta kependudukan— berkewajiban melakukan aktifitas legislasi dan pengawasan terhadap kinerja mitra kerja, terutama yang menyangkut upaya perbaikan pelayanan kesehatan masyarakat dan kesejahteraan para pekerja dan buruh.

Di komisi ini, kesehatan dan tenaga kerja adalah bidang yang nyaris tak pernah usai dirundung masalah. Mulai dari penyiksaan TKI/TKW, tuntutan kesejahteraan dan upah yang layak bagi karyawan atau buruh, biaya pengobatan yang tak terjangkau, minimnya fasilitas kesehatan, jaminan sosial dan lainnya. Belum lagi persoalan program KB (Keluarga Berencana) yang nyaris tak diperhatikan lagi.

Selain di Komisi IX, Putih juga dipercaya sebagai bendahara fraksi dan anggota Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR-RI. Di luar pekerjaan di DPR, ia tetap berkecimpung di organisasi sayap partai, yakni PIRA (Perempuan Indonesia Raya). Mau tidak mau, ia mesti pandai-pandai membagi waktu untuk bisa menjamah berbagai aktivitas tersebut.

Menurut Putih, kondisi perpolitikan sekarang ini sangat memprihatinkan. Hal itu menurutnya bisa dilihat dari bagaimana politik luar negeri ini, politik pertahanan, politik ekonomi, termasuk politik kebudayaan negeri ini, sungguh sangat mengecewakan. Akibat dari kondisi perpolitikan itu, lanjut Putih, sepertinya negara ini sudah tidak punya jati diri lagi sebagai bangsa yang bermartabat dan berdaulat.

Untuk itu, sebagai anggota DPR, Putih banyak berharap bahwa lembaga yang kini ditempatinya itu bisa efektif dan maksimal dalam menjalankan tugas dan fungsinya demi terwujudnya kesejahteraan rakyat dan kemajuan bangsa. “Inilah tugas saya dan teman-teman di DPR maupun partai untuk mengembalikan kedaulatan bangsa ini,” tegasnya. [G]

catatan: Artikel ini ditulis dan dimuat untuk Majalah GARUDA, Edisi Agustus 2011

Idham Khalid: Dedikasi untuk Rakyat

Ketika gerakan reformasi digulirkan, ia bagian dari upaya gerakan moral tersebut. Mau tidak mau gelombang itu membawanya ke pusaran arus politik praktis. Ia pun ikut terlibat dalam upaya reformasi struktural di partai politik yang menjadi gerbong politiknya saat itu.

Tapi sejak tiga tahun silam, ia memilih bergabung di Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Keterlibatan itu bermula ajakan beberapa temannya. Kala itu, tahun 2008, beberapa teman diantaranya Ahmad Muzani dan Haris Bobihoe mengajaknya untuk terjun kembali ke panggung politik. Rupanya, sang teman itu mengajaknya untuk bergabung di Partai Gerindra –yang saat itu masih dalam proses pendirian.

Idham menganggukkan kepala. Ia seakan mendapat angin segar dalam hidupnya setelah sekian lama vakum di dunia politik. Terlebih setelah ia mempelajari dan memahami manivesto perjuangan Partai Gerindra yang menawarkan perubahan dalam rangka membangun kembali Indonesia Raya.

Idham pun diminta untuk membantu persiapan verifikasi Partai Gerindra. Salah satu persyaratan mutlak verifikasi faktual tersebut adalah adanya kartu anggota. Untuk menjalankan misi tersebut, dibentuklah Satuan Relawan Indonesia Raya (Satria) yang pada akhirnya menjadi bagian dari sayap Partai Gerindra.

Di sayap inilah, Idham ditunjuk sebagai Sekretaris Jenderal. Dalam perjalanannya, pria kelahiran Pare-Pare, 6 Agustus 1968 ini pun dipercaya sebagai Wakil Sekretaris Jenderal, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Gerindra.

Salah satu tugasnya sebagai fungsionaris partai, Idham pun menjadi bagian dari tim nasional verifikasi partai. Ia pun ditunjuk sebagai kordinator untuk propinsi Sulawesi Selatan. Di tengah kesibukannya menjadi staf ahli dari salah satu anggota DPR Komisi IV, Idham pun menjalankan tugasnya memverifikasi internal partai di seluruh Sulawesi Selatan. Rupanya, dalam menjalankan tugasnya ini, ia tak banyak mengalami kendala. Pasalnya, ketika ia berkunjung ke daerah Sulawesi Selatan untuk mensosialisasikan masalah verifikasi itu, pengurus DPD (Dewan Pimpinan Daerah) Sulawesi Selatan yang dinahkodai Andi Rudiyanto Asapa, sudah membentuk tim tingkat daerah yang disebut korda (kordinator daerah). “Ternyata setelah rakernas di Jakarta, beberapa hari kemudian, Pak Rudi menggelar rakorda salah satunya membentuk tim verifikasi tingkat daerah,” ujarnya.

Wilayah Sulawesi Selatan yang terbagi menjadi tujuh daerah pemilihan itu akhirnya berhasil diverifikasi dalam waktu yang tidak lama. Meski ketika ia kembali bertandang ke Sulawesi Selatan untuk mengecek kesiapan verifikasi, ternyata ada masalah soal interpretasi tentang edaran Kesbang Propinsi seputar verifikasi yang hanya mensyaratkan batas minimal. “Sementara kita maunya syarat maksimal,” tegasnya.

Pasalnya, menurut Idham, verifikasi yang dilakukan oleh pusat bukan sekedar untuk meloloskan Gerindra dalam proses verifikasi saja. Tapi setelah berjuang sekuat tenaga, selama dua pekan, akhirnya Sulawesi Selatan sudah 100 persen mulai dari struktur kepengurusan hingga infrastruktur partai. Bahkan ada beberapa kantor DPC karena kurang representatif diminta untuk pindah. Karena Idham menambahkan, pihaknya tidak sekedar untuk melaporkan susunan kepengurusan, tapi memang ada orangnya dan ada pula kantornya. “Yang kita lakukan tidak hanya untuk bisa lolos verifikasi, tapi Gerindra siap menang,” tandas Idham yang ikut dalam pencalegan di dapil Sulteng dalam Pemilu 2009 lalu.

Memang, apa yang diinginkan serta yang dilakukan oleh jajaran pengurus DPD Sulawesi Selatan tak lepas dari kritikan internal partai. Diantaranya mereka menanyakan kenapa Partai Gerindra sudah begini, begitu sibuk, sementara partai lain belum apa-apa. Idham pun berhasil meyakinkan para pengurus DPC dan PAC, “Kita mau tidak sekedar lolos, tapi menang, makanya kalau kita mau bertanding, ya kita harus siap dari awal. Jadi kenapa kita repot ngurusin partai lain?” Jawaban itu akhirnya berhasil meyakinkan kader partai Gerindra di daerah Sulawesi Selatan yang memang siap untuk menang.

Baginya, dalam menjalankan tugas sebagai Wasekjen sekaligus kader partai tak akan mendapatkan hasil apa-apa jika setengah-setengah dalam melakoninya. Untuk itu, sesulit apapun tugas yang diembannya, akan terasa enteng jika dilakukan secara ikhlas. Yang jelas menurutnya, perubahan itu harus melalui perjuangan. Dan perjuangan butuh dedikasi dan keikhlasan. “Saya mendedikasikan diri ini untuk Gerindra dalam rangka memperjuangkan keberpihakan pada rakyat kecil,” pungkasnya. [G]

catatan: Artikel ini ditulis dan dimuat untuk Majalah GARUDA, edisi Agustur 2011

Lebih Dekat Dengan Aryo Djojohadikusumo: “Bertindak Nyata untuk Rakyat”

Hampir separuh hidupnya dihabiskan di luar negeri, tapi ia tetap cinta akan negerinya. Bahkan jiwa merah putihnya begitu kentara ketika bicara soal Indonesia. Di sela kesibukannya sebagai seorang enterpreuner muda, ia tetap meluangkan waktu, tenaga, waktu dan pikirannya untuk kemajuan generasi muda Indonesia yang dicintainya.

Dialah Aryo Djojohadikusumo (28), Ketua Umum Pengurus Pusat Tunas Indonesia Raya (TIDAR). Apa yang dilakukannya bukanlah sekedar mengekor ayahnya, Hasyim Djojohadikusumo yang ikut membidani lahirnya Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) bersama Prabowo Subianto, pamannya. Semua itu atas dasar kecintaannya pada negeri bernama Indonesia. ”Waktu itu, saya masih di luar negeri. Saya mendapat kabar ayah dan paman saya mendirikan partai politik, hati saya pun tergerak untuk ikut membantu, meski saya sendiri tak begitu menyukai dunia politik,” aku lajang kelahiran Jakarta, 25 April 1983 ini.

Setelah berkonsultasi dengan Hasyim Djojohadikusumo dan Fadli Zon, ia pun diarahkan ke Tidar, salah satu sayap partai Gerindra yang mewadahi generasi muda. Akhirnya sepulangnya dari Inggris, pemilik PT Karunia Tidar Abadi ini resmi bergabung di Tidar dan menjabat sebagai Wakil Ketua Umum mendampingi Mohamad Haris Indra yang didapuk sebagai Ketua Umumnya.

Dalam perjalanannya, karena kesibukan Haris dalam pemilu legislatif 2009 silam, Aryo pun diminta untuk menggantikan posisinya. Dan pada Kongres Tidar yang pertama 2011, Aryo terpilih menjadi Ketua Umum Tidar periode 2011-2016. Tak sebatas itu saja, Aryo pun tercatat sebagai Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Gerindra.

Pria bernama lengkap Aryo Puspito Setiaki Djojohadikusumo –yang  mengenyam pendidikan luar negeri sejak 1996 hingga 2008 ini— merasa beruntung bisa menikmati kesempatan itu dan baru disadarinya setelah ia balik ke Indonesia. Di mata pecinta klub Arsenal ini, Indonesia itu sarat dengan potensi bahkan berlimpah. Tapi pada saat yang sama, penduduk Indonesia sendiri meski sadar akan hal itu tapi tidak melakukan apa-apa.

”Indonesia itu benar-benar negara adidaya. Sepantasnya Indonesia tidak diposisikan seperti saat ini. Saya adalah patriot, nasionalis, keluarga saya juga bagian dari pendiri bangsa ini. Saya tidak sudi Indonesia hanya sebatas ini. Saya pun tidak sabar melihat Indonesia menjadi lebih baik dari ini,” ujar lulusan University of London School ini.

Tak heran bila di tengah kesibukannya selain mengurusi bisnis keluarga dan perusahaannya, Aryo getol mengkampanyekan gerakan ‘Bertindak Nyata untuk Bangsa’ lewat Tidar yang dinahkodainya. Selain itu virus tindakan nyata yang disebarkan Aryo lewat langkah-langkah ‘lima cinta’ Tidar terus mewabah dalam jiwa-jiwa pemuda tanah air. “Ya lewat lima cinta yang diusung Tidar diantaranya Cinta Diri, Cinta Sesama, Cinta Belajar, Cinta Kesantunan dan Cinta Indonesia saya mengajak anak muda untuk menyuarakan dan mendukung karya nyata anak bangsa demi terciptanya masa depan Indonesia yang lebih baik,” tegas cucu begawan ekonomi Soemitro Djojohadikusumo ini.

Lantas seperti apa kipranya mengembangkan sayap partai sebagai penopang gerak perjuangan Partai Gerindra? Kepada Hayat Fakhrurrozi dari GARUDA enterpreuner muda ini memaparkan upaya dan gerak langkahnya sebagai Ketua Umum TIDAR saat ditemuinya kantornya di kawasan Kebayoran Baru, awal Juli lalu. Berikut petikannya:

Bisa ceritakan aktifitas keseharian Anda?

Selain menjadi Ketua Umum Tunas Indonesia Raya (Tidar) saya juga diminta untuk mengurusi binis keluarga kami dibawah bendera grup Arsari. Selain menjadi pemegang saham dan komisaris di beberapa perusahaan keluarga, saya juga punya perusahaan sendiri yakni PT Karunia Tidar Abadi serta aktif di yayasan keluarga pula. Jadi boleh dikatakan waktu saya terbatas.

Lalu kapan akhirnya Anda ikut terlibat dalam Tidar?

Terus terang, di awal berdirinya Gerindra waktu itu saya masih di luar negeri. Waktu itu saya bilang ke Pak Hasyim, ayah saya, dan Bang Fadli Zon, kalau saya mau bantu ke partai bagaimana caranya. Akhirnya saya pun diarahkan Tidar sebagai salah satu sayap partai. Saya pun diposisikan sebagai Wakil Ketua Umum. Waktu itu Ketua Umumnya, Muhammad Haris Indra. Nah, berhubung dia sibuk saat pencalegan 2009 lalu, dia mengundurkan diri, dan saya diminta menggantikannya. Lalu saya pun terpilih kembali pada Kongres Tidar I, Februari 2011 lalu untuk masa bakti hingga 2016.

Apa yang membuat Anda tertarik terjun di organisasi kepemudaan yang ada di bawah partai politik?

Anak muda sekarang kan semuanya ikut jejaring sosial seperti Facebook, atau Twitter dan yang lainnya. Karena di dunia maya tidak ada batasan, mereka itu curhatnya keluar semua. Keluhan tentang Indonesia, korupsi, kemacetan Jakarta dan masih banyak lagi. Nah, saya kalau duduk bersosialisasi dengan mereka, banyak diantara mereka kerjanya hanya mengeluh. Jujur, saya pribadi tidak mau mengeluh. Tapi harus melakukan sesuatu. Hebatnya, orang Indonesia itu hanya bisa mengeluh, tapi tidak mau melakukan sesuatu. Karena keluarga saya terjun di politik, dan di partai politik itu ada wadah yang disebut sayap, untuk kaum muda yakni Tidar, maka saya anggap inilah wadah yang cocok untuk saya dalam melakukan sesuatu. Dari situlah akhirnya saya ikut gabung.

Lantas politik bagi Anda sendiri apa?

Sebenarnya saya kurang minat dengan politik. Karena politik diperlu kemampuan seni diplomasi yang handal, komunikasi politik yang hebat, rasanya kemampuan saya dibidang itu masih kurang. Saya merasa kurang cocok di dunia itu. Saya lebih merasa nyaman dan cocok di dunia usaha. Saya bisa membuka lapangan pekerjaan. Dan berdasarkan pengalaman yang saya lihat dan rasakan, di dunia politik itu kerap tidak sehat, seperti fitnah, hasut dan penuh intrik. Namun demikian, saya terus berjuang untuk Gerindra, dimana keberadaan saya di Tidar, yang merupakan bagian dari elemen partai Gerindra.

Saat ini kondisi Tidar sendiri seperti apa?

Kalau tentang Tidar, saya tidak mau bicara banyak. Saya dan pengurus hanya ingin memperlihatkan bahwa kami sekarang ini masih dalam tahap pembentukan. Ibarat rumah Tidar baru tahap kontruksi pondasi. Artinya kami masih baru menyempurnakan AD/ART, sistem organisasi, sistem pengkaderan, kurikulum pengkaderan. Nah baru setelah pembentukan pondasi selesai, kami akan bangun kerangkanya dan terus ke tahap berikutnya.  Dan setelah rumah itu jadi, tolong kami minta masyarakat mengevaluasi.

Saat ini kepengurusan kami masih baru ada di 22 propinsi. Memang sebelumnya kami menargetkan hingga Mei lalu sudah terbentuk 33 kepengurusan daerah, namun karena  Gerindra juga tengah sibuk dengan verifikasi, maka mau tidak mau kami harus mengikuti kerja keras partai jelang batas verifikasi September mendatang. Jadi jangan sampai mengganggu. Target kami hingga Oktober nanti Tidar sudah ada di 33 propinsi.

Saat ini berapa anggota Tidar?

Keanggota Tidar memang lebih banyak didominasi anak muda yang tak lain adalah putra-putri dari pelaku dan simpatisan partai Gerindra. Selain itu ada juga dari organisasi pemuda lainnya. Anggotanya sendiri terdiri dari usia anak-anak hingga dewasa muda. Keanggotaan Tidar memang bener-bener pemuda dan tidak boleh lebih dari 35 tahun usianya. Anggota saat ini tercatat sebanyak 2.700 orang. Dalam masa perekrutan yang kami gelar di Tidar Cup III ini kami menargetkan bisa merekrut sebanyak 1.000 anggota baru. Dan targetnya hingga akhir tahun ada 10.000 anggota.

Untuk keanggotaan, apakah Tidar juga punya perwakilan di luar negeri?

Pernah ada wacana untuk membentuk kepengurusan Tidar di luar negeri. Tapi karena kebanyakan pemuda Indonesia tidak menetap dan lebih pada sesaat, jadi kami memutuskan untuk membentuk ke arah komunitas saja. Jadi lebih pada komunitas saja. Dimana jika ada salah satu pengurus Tidar yang ada di luar negeri, lalu mereka membentuk komunitas di sana. Memang, banyak anak-anak muda yang tengah kuliah di luar negeri yang ingin tahu tentang Gerindra. Nah, lewat komunitas inilah kita kumpulkan mereka dan menjelaskan visi misi dan perjuangan Gerindra lewat komunitas Tidar yang ada di sana. Terlebih di dunia serba teknologi digital saat ini, gampang saja dengan jejaring sosial seperti Facebook atau Twitter.

Aktifitasnya apa saja?

Di Tidar ada banyak hal. Setidaknya  ada sembilan bidang, tapi yang aktif adalah seni, olahraga dan budaya. Selain itu, kita juga banyak melakukan kerjasama dengan partai selaku payung kita seperti seminar, diskusi baik yang berbau sosial ekonomi maupun politik yang tengah menjadi perbincangan. Contohnya kita pernah menggelar diskusi soal Kasus Century. Tapi kita juga pada saat yang sama melakukan proses pendidikan dan pelatihan bagi anggota di seluruh Indonesia, sebagaimana yang dijalankan juga oleh partai.

Soal pendidikan dan pelatihan, apa saja yang diberikan?

Setidaknya ada empat tingkatan pendidikan dan pelatihan yang diberikan Tidar kepada anggota secara cuma-cuma. Diantaranya untuk tingkat dasar kami memberikan pengetahuan dasar tentang apa itu politik, lembaga-lembaga negara, kesadaran politik, sejarah politik Indonesia. Dan yang penting juga kita memberikan pengetahuan tentang visi, misi dan program serta perjuangan Gerindra, seperti ekonomi kerakyatan dan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasannya. Setelah itu dilanjutkan ke jejang berikutnya yang disesuaikan dengan kemampuan skill anggotanya.

Menurut Anda, seperti apa ormas pemuda sekarang?

Terus tersang saya kecewa dengan ormas pemuda Indonesia saat ini. Hal ini terlihat saat kami mengirimkan delegasi pada Rakernas KNPI di Palu, dimana kami kirim yang diangap mewakili kami untuk menyampaikan apirasi dan memperkenalkan inilah kami, Tidar. Ternyata laporan yang kami terima cukup mengagetkan. Banyak sekali anggota KNPI yang sudah ubanan, tidak aktif, kerjanya hanya muncul sewaktu-waktu, sebuah wadah ormas pemuda yang sama sekali tidak muda. Saya rasa ini sudah sistemik, endemik terjadi di seluruh Indonesia. Dan ini sama sekali tidak sehat untuk organisasi kepemudaan.

Karena saya sangat kecewa, jadi saya bertekad jangan sampai Tidar menjadi seperti itu. Memang, banyak laporan dari teman-teman, bahwa banyak orang yang mau gabung dengan Tidar, tapi usianya sudah lebih dari 35 tahun bahkan ada yang 40 tahun, meski mereka mengaku masih berjiwa muda. Dengan tegas kami tolak. Karena kami mau disiplin. Dan saya ingin merubah paradigma itu.

Jelang 2014 apa target Tidar untuk Partai Gerindra?

Karena saya dipercaya sebagai Ketua Umum hingga 2016, saya harap Tidar bisa menjalankan aspirasinya untuk menyelamatkan Indonesia. Caranya, Tidar sebagai sayap penopang Partai Gerindra harus bisa membantu memenangkan kursi sebanyak-banyaknya dan memperoleh kepercayaan dari masyarakat.

Saya pribadi ada aspirasi bahwa Tidar harus bisa menyiapkan sebanyak 20 persen caleg dari Gerindra. Ini hanya aspirasi, apabila dapat syukurlah kami bisa kontribusi ke partai. Perlu dicatat, tidak sekedar untuk menjadi caleg, dan bukan sekedar menyiapkan kader saja, tapi memenangkan Gerindra.

Lantas bagaimana dengan pencalonan Prabowo di 2014, apa kontribusi Tidar?

Saya akan jujur, di kalangan orangtua anak-anak Tidar, Pak Prabowo adalah sosok yang diidamkan. Tapi, mungkin bagi anak-anak muda, khususnya di kota-kota besar yang dunianya beda dengan dunia petani, nelayan, buruh, pekerja migran, mungkin beliau belum nyambung. Nah inilah tugas kami di Tidar untuk menyampaikan visi misi dan perjuangan Pak Prabowo sebagai Ketua Dewan Pembina partai dan Pembina Tidar, dengan bahasa yang nyambung kepada anak-anak muda. Karena kalau kita bicara pertanian, perikanan, ekonomi kerakyatan dengan anak-anak muda yang biasa dan sedang bersosialisasi di mal dipastikan tidak akan nyambung. Dan tugas kami di Tidar adalah mensosialisasikannya dengan bahasa mereka.

Apa harapan Anda terhadap Tidar?

Harapan saya banyak sekali. Salah satunya saya ingin menyelamatkan bangsa. Saya ingin menyalamatkan bangsa perlahan-lahan lewat berpolitik yang tentunya harus dengan partai politik. Sesuai dengan keinginan Pak Prabowo saat pendirian Partai Gerindra yakni mendirikan parpol yang propesional, artinya sistem pengkaderannya harus berjalan. Begitu pula dengan Tidar, harus menjadi sebuah organisasi pemuda yang berfungsi dan berpikir modern serta harus bisa berkelanjutan.

Begitu nanti saya tidak lagi di Tidar, Tidar harus jalan terus mendidik generasi muda. Tidak harus menjadi calon pemimpin, tapi paling tidak calon politikus meneruskan perjuangan Gerindra atau menjadi pengusaha yang melek politik dan ikut serta dengan pesta poilitik. Saya ingin mengajak anak muda belajar politik. Dan berpartisipasi tidak harus berpolitik tapi dengan ikut serta dalam pesta politik dengan menggunakan hak pilihnya. Saya berharap Tidar itu bisa membuat Gerindra bangga, anggotanya bangga, dan membuat Indonesia menjadi negara yang lebih baik. Suatu saat nanti, saya berharap kita semua bisa melihat Indonesia menjadi lebih baik. [G]

Biodata singkat:

Aryo Puspito Setiaki Djojohadikusumo

Tempat tanggal lahir:

Jakarta, 25 April 1983

Jabatan:

– Ketua Umum PP Tunas Indonesia Raya (TIDAR) 2011-2016

– Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Gerindra 2008-2014

Catatan: Artikel ini ditulis dan dimuat untuk Majalah GARUDA, Edisi Juli 2012