Impian Sang Pemimpi

Bermimpilah, maka Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu! Tanpa mimpi dan harapan, orang-orang macam kita akan mati! Jelajahi Eropa, jelajahi Afrika, ini harus menjadi mimpi kita.

Kutipan-kutipan tersebut merupakan dialog yang disampaikan Arai (Rendy Ahmad) kepada Ikal (Vikri Setiawan) dua tokoh sentral di film Sang Pemimpi, yang diputar serentak di bioskop pertengahan Desember lalu. Selama 128 menit itu pula, penonton disuguhkan fragmen demi fragmen yang begitu menyentuh emosi dan beragam pesan moral lainya yang tak melulu dunia mimpi.

Ya, pasalnya, para ‘sang pemimpi’ Ikal, Arai dan Jimbron (Azwir Fitrianto) tak sekedar bermodal mimpi belaka, tetapi semangat dan kerja keras untuk mewujudkan cita-cita mereka. Pun dengan Sang Pemimpi yang bermimpi untuk bisa meraih sukses seperti film sebelumnya Laskar Pelangi (2008). Modalnya, kolaborasi sutradara, penulis, musisi, pemain, dan tim produksi serta dukungan finansial yang tidak tanggung-tanggung. “Karena mimpi tidak hanya dikejar, tapi dibangun dengan kerja dan semangat menggali ilmu,” ujar sang sutradara, Riri Riza.

Tak sekedar menggambarkan semangat dan kegigihan dalam meraih mimpi. Di film produksi Miles Films dan Mizan Production yang  menelan biaya Rp 12 miliar itu, juga ada beberapa adegan sarat pesan moral seperti yang tergambar dalam hubungan antara orangtua dan anak, serta guru dan siswa.

Sekuel Laskar Pelangi yang diangkat dari novel fenomenal Sang Pemimpi, karya Andrea Hirata ini masih mengambil setting di era tahun 80-an yang mengisahkan masa remaja Ikal dan Arai, sepupunya serta Jimbron sahabatnya. Ketiganya mau tidak mau harus merantau ke Manggar, kota pelabukan yang berjarak puluhan kilometer dari Gantong, Belitung untuk melanjutkan sekolah.

Di kota Manggar inilah perjuangan hidup mereka dimulai. Layaknya remaja pada umumnya, Ikal, Arai dan Jimbron juga tergolong bandel. Tak heran bila kepala sekolah mereka Pak Mustar (Landung Simatupang) kerap memanggil mereka dengan sebutan brandalan. Untungnya, di sekolah mereka bertemu dengan seorang guru Pak Julian Balia (Nugie) yang selalu membakar semangat mereka untuk terus berimajinasi meraih mimpi menjelajahi Eropa. Guru muda inilah yang membuat hidup mereka dipenuhi gairah.

Pun ketika masa puber merasuki mereka. Tanpa pantang menyerah Arai yang jatuh hati pada Zakiah Nurmala (Maudy Ayunda) terus mencari jalan untuk menundukan hati gadis pujaannya itu. Jimbron yang kesemsem pada gadis pemurung pekerja pabrik cincau yang tak pernah tersenyum akhirnya bisa meluluhkannya dengan bantuan Arai, sosok inspiratif yang selalu memberikan kejutan-kejutan. Sementara Ikal hanya karena gejolak jiwa mudanya, pada akhirnya membawanya ke sebuah perasaan bersalah kepada ayahnya yang dianggap sebagai ayah juara satu di dunia.

Tanpa sadar, karakter keras yang kerap diperlihatkan Pak Mustar, sang kepala sekolah super galak, itu justru yang mampu mengasah mental Ikal dan Arai dalam menjalani hidup di perantauan. Yang pada akhirnya mengantarkan mereka untuk menjejaki Jakarta hingga Paris guna memindahkan mimpi mereka dalam dunia nyata kuliah di Sorbonne.

Sang Pemimpi hadir kurang lebih setahun setelah premier Laskar Pelangi yang berhasil meraup sukses besar dengan 4,6 juta penonton bioskop dalam waktu empat bulan. Lantas apakah film yang menjadi pembuka event sekelas Jakarta International Film Festival (JiFFest) 2009 ini mampu mewujudkan impiannya? Semoga apa yang diimpikan Andrea Hirata sang penulis novel yang menyatakan bahwa bagi dirinya pribadi, Sang Pemimpi tiga kali lebih bagus dari Laskar Pelangi akan menjadi kenyataan. [view]

Tulisan ini ditulis dan dimuat untuk VIEW edisi Januari 2010

Mimpi Sang Pemimpi

foto by dok. MILES

“Tanpa mimpi dan harapan, orang-orang macam kita akan mati…” [Arai dalam “Sang Pemimpi”]

Inilah adaptasi sinema dari novel fenomenal Sang Pemimpi karya Andrea Hirata sebagai lanjutan dari film sebelumnya Laskar Pelangi. Sebagai lanjutan, Sang Pemimpi mengambil setting di era tahun 80-an ini mengisahkan masa remaja Ikal, anak keluarga pekerja rendahan di Perusahaan Negara Timah di Pulang Belitung, bersama Arai sepupunya dan Jimbron sahabatnya. Karena tak ada sekolah menengah di kampungnya, Ikal dan dua sahabanya itu harus merantau ke kota pelabuhan Manggar.

Di Manggar inilah petualangan masa remaja, Ikal (Vikri Septiawan) dan dua sahabatnya Arai (Rendy Ahmad) Jimbron (Azwir Fitrianto) banyak mewarnai jalan cerita dari Sang Pemimpi yang tak lain menggambarkan sosok Arai yang mampu membangun mimpi-mimpi Ikal dan Jimbron. Petualangan remaja yang dipenuhi dengan mimpi-mimpi inilah yang membuat mereka bisa bertahan hidup mandiri di kota Manggar. Meski harus membanting tulang dengan bekerja paruh waktu sepulang sekolah. Dan adegan-adegan yang kerap mengundang tawa pun banyak ditemui di episode ini. Tiga sekawan yang kerap dijuluki ‘brandalan’ oleh Pak Mustar, sang Kepala Sekolah tak membuat mereka jera dan menyerah untuk meraih mimpi-mimpinya. Meski, lagi-lagi sosok Ikal, kerap digambarkan sebagai sosok yang mudah menyerah dibanding dengan kedua sahabatnya Arai dan Jimbron.

Memang di awal cerita pertemuan Ikal kecil (Zulfani) dan sepupunya Arai kecil (Sandy Pranatha), membawa penonton seakan bertanya kemana teman-teman kecil Ikal? seperti Mahar dan Lintang. Tentu saja, cerita episode masa kecil Ikal dalam Sang Pemimpi ini, paling tidak cukup menarik sekedar untuk mengenang kembali di film sebelumnya Laskar Pelangi, meski ada perubahan tokoh masih tetap kocak dan kerap mengundang tawa. Bagaimana tidak, ketika Arai sholat berjamaah di mushola melafadzkan ‘Amin’ begitu panjang dibanding yang lain. Atau ketika Jimbron yang bermimpi ingin menjadi kuda yang kuat.

Dan memang, di film ini, frame kehidupan dewasa Ikal (tentunya masih diperankan Lukman Sardi) dan Arai (Nazril Irham/Ariel Peterpan) hanya ditayangkan di menit-menit akhir. Meski episode kehidupan Ikal di Bogor dijadikan sebagai pembuka film besutan Riri Riza ini.

Penasaran? mungkin bagi yang sudah membaca novelnya alur cerita yang disuguhkan mungkin akan tak asing lagi, meski bisa jadi daya visualisasi kita dengan pembuat film akhirnya berbeda. Dan bagi yang belum sama sekali membaca novelnya, inilah lanjutan film Laskar Pelangi yang masuk dalam jajaran box office nasional yang telah membukukan angka 4,6 juta penonton dan pernah diputar di 20 event festival film internasional dan memboyong banyak perhargaan. Akankah Sang Pemimpi mampu sukses seperti sekuel sebelumnya? untuk mewujudkan mimpi-mimpi itu tentunya kembali pada seberapa kuat apresiasi kita (penonton) untuk membantu mewujudkannya.

Mulai hari Kamis (17/12) film produksi Miles dan Mizan Production ini tayang di bioskop di seluruh nusantara… meski –mengutip percakapan Ikal dan kedua sahabatnya dalam film ini– ada larangan dari pak Mustar bahwa “menonton bioskop itu haram hukumnya.”

Perlu diingat, film ini tidak seperti film sebelumnya, pasalnya Sang Pemimpi dilabeli 15+, jadi maaf, film ini ditujukan untuk kalangan remaja bukan segala umur seperti film sebelumnya. [hay]

Totalitas Rachel Maryam

foto by Fernandez

foto by Fernandez

Pamor Rachel Maryam di jagat hiburan belumlah pudar. Meski kini, ia tengah konsentrasi di panggung politik untuk meraih suara di Pemilu 2009, April mendatang. Bahkan kemunculannya kembali di film Sepuluh yang edar awal Februari lalu, kian menegaskan posisinya sebagai aktris yang tetap bersinar.

Memang, kesibukannya sebagai seorang caleg tak lantas membuat aktingnya di film ini, jadi biasa saja. Tapi sebaliknya, Rachel begitu apik memerankan sosok Yanti, seorang buruh cuci di perkampungan kumuh. “Saat syuting aku lagi sibuk-sibuknya kampanye. Syukurlah film kelar dan aku fokus lagi ke politik. Kan  pemilu udah makin dekat,” paparnya.

Di film yang menghabiskan dana Rp 12 miliar lebih ini, Rachel bermain bareng Ari Wibowo, August Melasz dan beberapa pendatang baru. Totalitas akting Rachel pun kembali diuji. Tak hanya durasinya yang cukup panjang, tapi film Sepuluh juga hadir di tengah maraknya serbuan film bergenre komedi seks dan horror.

Diakui Rachel, di film garapan sutradara muda Henry Riady, peran yang dilakoninya cukup berat.  Betapa tidak, ibu satu anak ini lebih sering syuting di bawah guyuran air. Tak hanya itu, Rachel pun dituntut seringkali harus menangis. “Di sini aku lebih banyak peran nangis, jadi harus punya stok air mata,” kata istri Muhammad Akbar Permana ini.

Namun, akting menangis bukanlah yang pertama dilakukannya. Hal yang sama pernah dilakoninya  dalam film Perempuan Punya Cerita (2008) –film garapan empat sutradara wanita, Fatimah Tobing, Lasja Susatyo, Nia Dinata dan Upi. Tak heran, bila Rachel tak banyak mendapatkan kesulitan memerankan sosok Yanti, yang tak pernah lelah menangisi nasib Maria, anak semata wayangnya. Meski, peran kali ini memang jauh lebih berat. “Kalau nggak mampu ya nggak diambil, karena setiap peran pasti memiliki tantangan berbeda-beda,” akunya.

maryam2Sejak terjun sebagai aktris, Rachel dikenal sebagai pelakon yang tak terlalu selektif dalam memilih peran. Bakat seninya terasah ketika bergabung di kelompok teater sekolahnya, SMU 19 Bandung. Rachel yang sempat mengenyam pendidikan perhotelan di kota kelahirannya, ‘berontak’ dengan apa yang dijalaninya. Akhirnya, wanita kelahiran, 20 April 1980 ini pun hijrah ke Jakarta dan terjun ke dunia modeling.

Wajahnya mulai dikenal ketika membintangi ‘kekasih gelap’ dalam video klip Sephia, milik Sheila on 7. Akting Rachel pun berbuah manis dengan diraihnya penghargaan sebagai Model Klip Terbaik MTV 2001. Tiket emas untuk memasuki dunia hiburan nasional pun digenggamnya. Mulai sebagai bintang sinetron hingga ke layar lebar.

Sukses berperan di beberapa sinetron seperti Lupus Milenia dan Strawberry, Rachel menjajal kemampuannya di layar lebar.  Film Eliana, Eliana (2001) adalah film layar lebar pertamanya. Boleh dibilang, lewat aktingnya bareng bintang film kawakan sekelas Jajang C Noer, Rachel pun menuai sukses. Pun ketika membintangi film-film yang tak kalah suksesnya seperti Arisan (2003). Bahkan di tahun 2005, wajah Rachel muncul di tiga judul film, yakni Janji Joni, Belahan Jiwa dan Vina Bilang Cinta. Dan totalitas akting Rachel dalam film Arisan, sebagai gadis sarjana hukum dengan logat bataknya berhasil memboyong Piala Citra untuk kategori Aktris Pendukung Terbaik dalam Festival Film Indonesia (FFI) 2004.

Kini, ibu dari Muhammad Kalle Mata Angin (3) mencoba peruntungan di panggung politik dengan menjadi caleg DPR RI di bawah payung Partai Gerindra. Tentunya, kesibukan pun kian bertambah, terlebih saat putaran kampanye dimulai. Selain masih mempromosikan gerakan yang dibawa film Sepuluh seputar kepedulian terhadap anak jalanan, Rachel pun harus terjun menyapa calon pemilih di daerah pemilihan Jawa Barat II yang meliputi Kabupaten Bandung dan Bandung Barat. “Suami tahu, saya selalu mencari tantangan baru. Sekarang saya coba terjun ke politik. Dia pun mendukung,” tegasnya.

Meski masih awam tentang dunia politik, Rachel menilai, dunia seni peran –yang digeluti sebelumnya— dan panggung politik tak jauh beda. Terlebih selama ini, sebagai pelaku seni, dia merasa gerah dengan kondisi carut-marut negeri ini. “Dulu aku kan hanya bisa ngoceh di depan teve, mudah-mudahan bila terpilih, aku mau ikut mengubah kondisi bangsa ini. Meski belum memiliki ilmu yang tinggi, toh sebenarnya seni peran dan politik tak jauh berbeda,” jelas Rachel yang siap menanggalkan keartisannya untuk sementara waktu bila terpilih nanti.

Sebagai seorang pesohor yang tengah bertarung menarik simpati masyarakat di pesta demokrasi tahun ini, Rachel pun tak langsung melepaskan sisi keartisannya begitu saja. Di beberapa kesempatan, ibu satu anak ini tampil dengan dandanan lebih berani. Paling tidak, pesona aktris bertubuh mungil ini masih kuat memancar.

*Artikel ini ditulis dan dimuat untuk VIEW edisi Maret 2009

Film Sepuluh dan Anak-Anak Jalanan

sepuluh1
foto by Fernandez

Kepedulian film Sepuluh terhadap nasib anak jalanan tak sekadar ditampilkan dalam layar lebar saja. Lebih dari itu, film garapan sutradara muda, Henry Riady –yang mengangkat perjuangan tragis anak jalanan Jakarta— diwujudkan dalam aksi nyata. Inilah bentuk komitmennya dalam membuat film yang bermanfaat, mengirim pesan kemanusiaan dan kepedulian terhadap sesama.

Lewat acara Sneak Peak-nya yang digelar di Medan awal Februari lalu, film perdana produksi First Media Production ini berhasil menggalang dana senilai Rp 35 juta. Dana ini, lalu disumbangkan untuk kelanjutan pendidikan anak jalanan melalui Yayasan Acorn Indonesia di Jakarta pada Kamis, (12/2) silam –tepat sepekan setelah film Sepuluh  tayang perdana di seluruh bioskop Indonesia.

Dan memang, lewat film Sepuluh ini sepertinya Henry tengah berusaha mengusik semua pihak, terutama pemerintah, agar peduli terhadap nasib anak jalanan. Tak hanya itu, lahirnya film ini pun dilatarbelakangi dari pengalaman sosok pria kelahiran Singapura, 14 Juli 1989 silam yang pernah mengajar bersama kawannya di sejumlah lokasi permukiman kumuh dan anak jalanan di Jakarta.

Paling tidak, menurut Henry Riady yang tengah mengenyam pendidikan sinematografi di Biola University, Los Angeles ini, akan ada snow ball effect dari serangkaian kegiatan yang menyertai karya perdananya. “Saya ingin membantu anak jalanan bukan karena saya membuat film Sepuluh, tapi memang sudah seharusnya kita peduli terhadap mereka. Semoga kegiatan ini akan mampu menggerakkan banyak orang dan institusi untuk melakukan hal yang sama,” ungkapnya.

Hal senada diungkapkan Anggit Hernowo, Direktur Marketing First Media, bahwa sumbangan yang diberikan oleh First Media Production ini akan digunakan untuk beasiswa bagi anak-anak jalanan dalam rangka mempersiapkan mental dan raga anak-anak jalanan dalam mendapatkan pendidikan yang layak. “Sumbangan ini sebagai bentuk kepedulian kami terhadap nasib anak jalanan agar mendapatkan pendidikan yang layak,” ujarnya.

Yayasan Acorn Indonesia sendiri merupakan lembaga banyak membantu anak-anak jalanan menemukan kehidupan yang lebih baik. Yayasan ini hadir berkat salah satu penggiat Yayasan Acorn Internasional yang lahir di Inggris sembilan tahun lalu dan termasuk dalam UK Charity. “Dan lima tahun lalu saya dan istri datang ke Indonesia, kami tergerak untuk melakukan sesuatu bagi anak-anak jalanan, maka sejak tiga setengah tahun lalu kami mulai membuka Yayasan Acorn Indonesia,” ungkap Steven, pendiri sekaligus direktur Acorn Indonesia.

Artikel ini ditulis dan dimuat untuk VIEW edisi Maret 2009

Gaya Rambut ala Film Thriller

rambut-triler1Diakui memang, kecantikan perempuan menjadi daya tarik tersendiri dunia film. Tanpa kehadirannya, film pun menjadi biasa saja. Tak terkecuali dengan film-film bergenre thriller nan mencekam. Pastinya, tokoh utama perempuan selalu menggunakan kecantikan sebagai senjatanya. Dan kini, dunia mode dan kecantikan mengangkatnya ke dalam tren musim gugur, dan dingin tahun ini. Tentunya, masih terbayang ketika sineas seperti Alfred Hitchcock, David Lynch, Bella Lugossi maupun Roman Polanski yang menempatkan perempuan sebagai tokoh utama.

Ya, para sineas itu memanfaatkan kecantikan yang bak pedang bermata dua. Pasalnya tak hanya keindahan yang mampu ditawarkan sang tokoh perempuan dalam film-film mereka, tapi juga sarat bahaya dan misteri. Upaya menggoda berbekal keindahan dengan latar belakang aura ‘gelap’ dan mood era 1930-an hingga 1950-an. Tren ini menguak kecantikan perempuan dari sisi yang berbeda, yaitu para leading lady dari film-film thriller dan suspense.

Adalah L’Oreal Prefessionel, pabrikan perawatan rambut asal Paris, Perancis, lewat teknologi Majirel-nya menghadirkan dua gaya rambut Femme Fatales dan Spies sebagai tren musim ini. Femme Fatales dinilai sebagai salah satu karakter perempuan dalam film thriller yang kerap diangkat para sineas kala itu. Sebut saja film Dial M for Murder (1954), Black Dahlia (2006), Wild Things (1998), atau Blue Velvet (1986). Layaknya sang laba-laba dalam Black Widow (1987), ia akan menggunakan perpaduan kecantikan dan kerapuhan untuk memikat siapa saja. Dan kesan feminin sang Femmes Fatales terbias dalam gaya, pilihan busana dan penataan rias wajah penuh warna-warna lebih hangat yang terdiri dari The Secret Agent, The Lady in Red, dan The Fatal Blonde.

The Secret Agent yang terinspirasi dari film-film thriller lampau yang menyisakan para agen ganda perempuan, seperti pesona bond girl. Dimana gaya tampilan era 60-an dengan Chignon Eropa dan make-up smokey klasik. Dengan permainan warna menawan dari koleksi Majirel memberikan aura misterius sang Secret Agent. Warna merah yang ngetren tahun ini melahirkan The Lady in Red. Dengan layer bergaya brit pop di bagian crown serta permainan acak bagian bawah menjadi lebih unik, dengan sentuhan berbagai warna Majirel diatas sapuan Majirogue pada sekujur rambut. Sementara model The Fatal Blonde hadir dengan tata rambut berlayer klasik, ikal bak Grace Kelly dalam film Dial M for Murder. Dimana sapuan warna terang kepirangan dari Majiblond dan highlight Majirel menjadi pilihan. Kesan sang Blonde yang sensasional begitu tampak pada gaya ini.

Gaya tatanan rambut Spies yang dihadirkan Majirel, memang lebih menyasar pada pribadi sporty, fashionista, dan dinamis. Sebut saja, jagoan perempuan yang tampil versatile, androgini dan memesona semisal tokoh di film Aeon Flux (2005) atau Joana Lumley dalam The Avenger (1998) hingga Catherine Zeta-Jones dalam The Entrapment (1999). Kesan rambut ala Spies dalam nuansa berbeda ini terdiri dari Speed Demon, The Specialist dan The Justice Maker. Speed Demon lebih pada gaya bob yang berevolusi dengan layer tajam yang berbeda-beda di bagian sisi dan dipertegas dengan aksen triangle di bagian depan.

Untuk model The Specialist, rambut tampil dengan cutting lebih maskulin dan layer tajam ala era lampau tak berarti sang Spies tak mampu menjelma menjadi lebih indah. Aksen gaya ini adalah cutting dengan layer pendek klasik ala era lampau. sempat sangat populer di Eropa tahun lalu yang diadaptasi banyak ikon seperti Agyness Deyn. Sedangkan gaya The Justice Maker menghadirkan rambut penuh layer tajam dan dinamis ala para heroine berkostum jumpsuit. Dengan cutting terkini diberikan pada rambut, berlayer dari puncak kepala yang memberikan bagian sisi menjadi lebih tebal. Permainan warna tetap menggunakan teknik triangle.

Senafas dengan itu, dunia mode pun memperkenalkan tren ini melalui koleksi rumah mode dan halaman mode di majalah internasional. Begitu banyak siluet dan desain yang tercipta dari bahan satin dan sutera, dengan permainan warna merah sebagai warna musim ini. Garis-garis tegas semi maskulin pun mewarnai panggung runway tahun ini. Kesan retro dan Parisian elegance menyeruak kuat dari jajaran koleksi rumah mode dunia. Pun dengan dunia kecantikan, yang tahun ini lebih unik, extravagant dan jauh dari konvesional. Dengan perpaduan warna gelap dan garis-garis nan kuat, make-up diaplikasikan dalam sapuan pucat, bibir lebih penuh dengan pilihan palet gelap, serta aksen alis tebal bak bintang Hollywood era lampau.

Kesemuanya merupakan representasi dari tema thriller yang menjadi milik dunia musim ini. “Kunci tema kali ini adalah Hollwyood revamp. Kembalinya nostalgia keindahan era lalu, banyak bermain dengan perpaduan busana maskulin seperti suit dan jaket serta bahan-bahan feminine semisal sutera, chiffon, animal print, renda dan warna metal,” tegas Catherine Guillery, pencetus tren pewarnaan L’Oreal Professionnel.

Catherine menambahkan bahwa rok-rok high-wasited, siluet pinsil di atas lutut yang menyeruak di tahun 1950-an kembali populer. Dan gaya busana ini pertama kali diperkenalkan melalui film-film baheula oleh para penata kostum film Hollywood.

Artikel ini ditulis dan dimuat untuk majalah VIEW edisi Februari 2009

Reuni Antara Nicholas dan Dian Sastro

Di tengah membanjirnya pendatang baru di jagat film, kedua bintang muda ini sepertinya masih mendapatkan tempat tersendiri di hati pecinta film nasional. Meski telah lama absen di dunia akting, ‘pamor’ keduanya tetap bersinar tak sekedar di panggung film. Maklum, sejak keduanya menangguk sukses di film, Ada Apa Dengan Cinta (2002), sosoknya sering berseliweran di layar kaca.

Dan di penghujung tahun ini, dunia perfilman nasional kembali diramaikan dengan hadirnya dua film baru yang mempertemukan kembali dua bintang muda itu. Ya, aktor ganteng Nicholas Saputra akan beradu akting dengan aktris cantik Dian Sastrowardoyo di dua film, Drupadi dan 3 Doa 3 Cinta. Kedua film itu pun bakal tayang berbarengan di bulan Desember nanti.

Dalam Drupadi, Dian tampil sebagai pemeran Drupadi, sosok wanita yang digambarkan paling jelita sejagat yang lahir dari api. Dalam Mahabharata, karakter Drupadi sangat menonjol selain karena kecantikannya, ia juga sangat cerdas, berani dan tak segan mengungkapkan pendapatnya. Drupadi melawan saat dirinya dijadikan barang taruhan. Sementara Nicholas, berperan sebagai Arjuna, ksatria paling tampan di seluruh jagad. Di film ini dikisahkan Arjunalah yang memenangkan Drupadi dalam pertandingan busur,  tapi kemudian Drupadi dipersembahkan kepada seluruh Pandawa.

Sederet pelakon ikut bermain dalam proyek ini, di antaranya Butet Kartarejasa yang berperan sebagai  Sengkuni; Dwi Sasono sebagai Yudhistira; Ario Bayu sebagai Bhima dan pendatang baru, si kembar Aditya Bagus Santosa dan Aditya Bagus Sambada berperan sebagai Nakula dan Sadewa. Sedangkan di pihak Kurawa –musuh bebuyutan Pandawa— dimainkan seniman padepokan seni Bagong Kussudiardjo, yakni Whani Darmawan sebagai Suyudana, dan Djarot B. Dharsana sebagai Dursasana.

Di film ini pula, keterlibatan Dian tak sebatas sebagai pemain saja. Bersama Mira Lesmana dan Wisnu Darmawan, gadis kelahiran Jakarta, 16 Maret 1982 ini bertindak sebagai produser. Sementara Riri Riza –sutradara muda yang tengah naik daun— didapuk sebagai sutradara film yang diproduksi SinemArt ini. “Film Drupadi dibuat sebagai apresiasi kami, para pekerja seni, kepada dunia seni Indonesia, dan juga memberikan  warna baru dalam industri perfilman,” tegas Dian.
Sementara di film 3 Doa 3 Cinta –karya perdana film layar lebar dari sutradara muda, Nurman Hakim— yang bertutur tentang persahabatan tiga santri remaja di sebuah pesantren di kota kecil di Jawa Tengah. Di film ini, Nicholas yang bermain sebagai Huda, sedangkan Dian Sastro berlakon sebagai Dona, penyanyi dangdut keliling. Film produksi bersama antara TriXimages dan Investasi Film Indonesia (IFI) ini menggandeng seniman Butet Kartaredjasa dan Jajang C Noer untuk mendukung film ini.

Film yang Oktober lalu diputar di ajang Pusan International Film Festival 2008 di Korea Selatan ini, menurut rencana bakal tayang serentak di bioskop pada 18 Desember mendatang. “Pesan utama dari film ini adalah kedamaian dan cinta mengalahkan segala bentuk kekerasan dan kebencian,” tutur Nurman Hakim, sutradara sekaligus penulis film ini.

Akankah reuni dua bintang muda ini sukses di pasar film nasional seperti proyek film terdahulunya. Terlebih kedua film yang mempertemukan keduanya ini berada pada genre dan setting yang berbeda. Kita tunggu saja, aksi ‘Drupadi’ mencari cinta. Pun dengan tiga doa ‘Arjuna’ mencari cinta.

Tulisan ini ditulis dan dimuat untuk VIEW edisi November 2008

Koleksi Jam Tangan ala Musuh Bond

Karakter jahat tak selamanya dibenci. Terlebih dalam sebuah film. Rasanya hambar bila sosok yang dijadikan lawan itu tampil tak sehebat jagoannya. Aksinya pun selalu dinanti. Tak heran bila ’penjahat’ ini disukai meski dibenci.

Adalah film seri James Bond, yang selalu menghadirkan karakter penjahat yang tak kalah tangguh dengan si agen rahasia Inggris nomor 007, bernama James Bond. Sejak film pertama, Dr No (1962) hingga Quantum of Solace (2008) –yang rilis bulan ini, Bond selalu direpotkan oleh aksi para penjahat yang tengah dicarinya.

Lewat karakter penjahat itu pula, sebuah pabrikan jam tangan asal Swiss, Swatch memperkenalkan Swatch 007 Villain Collection. Sebanyak 22 model jam tangan –yang mewakili karakter para musuh dari setiap serinya— dirilis bersamaan dengan diedarkannya film Bond yang ke-22, Quantum of Solace. Paling tidak, hadirnya koleksi penunjuk waktu ini, memberi kesan tersendiri bagi penggemar Bond.

Sekilas, koleksi jam tangan ini biasa-biasa saja. Tapi dengan hadirnya logo pistol ’007’ menegaskan bahwa arloji ini bagian dari jejak hidup Bond selama menjalankan tugas sebagai agen rahasia. Terlebih setiap modelnya memiliki karakter berbeda, sesuai karakter musuh pria flamboyan itu. Semisal pada model Dr No di Dr No (1962) yang mewakili sosok kejam Dr No yang diperankan Julius Wiseman itu tampil begitu elegan ala skin chrono, yang terbuat dari bahan sintetis bertektur warna putih dan pale beige.  Sisi jahat dari karakter ini ditegaskan dengan tulisan ”Danger Level” sebagai pengganti angka 12. Sementara angka 6 dilabeli dengan tulisan ”High Voltage”.

Meski terkesan sederhana, jam tangan model Wint & Kidd diambil dari film Diamonds Are Forefer (1971), cukup unik. Pasalnya, selain tampil dengan taburan 44 kristal yang mengitari bingkainya, jam tangan ini menonjolkan warna hitam dan putih. Pun pada Blofeld’s Cat yang terinspirasi film You Only Live Twice (1967), angka 1 diganti dengan gambar jejak telapak kucing warna hijau terang. Pada model ini pun lambang gurita dengan 8 tentakelnya menjadi pusat perhatian. Demikian pula dengan model Scaramanga yang identik dengan karakter The Man With The Golden Gun (1974) yang diperankan Christopher Lee. Unsur warna emas di antara warna hitam gelap menimbulkan kesan elegan.

Pada model Hugo Drax dari Moonraker (1979) warna hitam dan putih dihadirkan secara proporsional. Uniknya, di atas angka 12 tertulis Drax Enterprise Corporation yang menggambarkan sosok Hugo Drax, sang konglomerat pembuat pesawat ulang alik. Kesan unik juga ditampilkan pada koleksi General Orlov dalam Octopussy (1983), meski layaknya jam biasa, namun memuat sebuah pesan dari sang jenderal, “Yes But Tomorrow I Shall Be A Hero of The Soviet Union”.

Motif kulit binatang mewakili koleksi Franz Sanchez yang diambil dari Licence To Kill (1989) dengan dominasi warna hijau, merefleksikan kesan ‘bunglon’ sang penyelundup obat-obatan Franz Sanchez yang selalu menenteng iguana. Begitu pula dengan motif pada selendang Elektra King –yang dimainkan oleh Sophie Marceau dalam The World Is Not Enough (1999)— membalut strap dari bahan tekstil warna putih. Sementara pada seri Elliot Carver dalam Tommorow Never Dies (1997), logo dan headline pemberitaan dari ‘koran’ Tommorow milik Elliot membungkus strap berbahan plastik.

Dan dari film Die Another Day (2002) oleh Swatch, sosok Zao diterjemahkan dalam model jam tangan dengan motif dua taring warna silver tampak menarik perhatian. Sedangkan lewat film Casino Royale (2006), sang gambler sekaligus teroris, Le Chiffre menjadi inspirasi lahirnya jam tangan dengan aneka simbol kasino. Terakhir, lewat film Bond teranyarnya Quantum of Solace (2008), Swatch menghadirkan seri Dominic Greene yang terbuat dari bahan plastik silikon warna hitam. Plus tulisan “Greene Planet” mempertegas ‘misi’ penjahat yang tengah diburu Tuan Bond.

Tulisan ini ditulis dan dimuat untuk VIEW edisi November 2008

Laskar Pelangi, Harapan Baru Film Nasional

Panggung film nasional kian ramai saja. Paling tidak sepanjang tahun ini, dunia perfilman mendapat ‘udara segar’ baik dari pelaku maupun penonton. Tak jarang, sederet judul film nasional –komedi, romansa hingga horor— mendulang sukses dari segi bisnis maupun pesan yang dibawanya. Meski tak sedikit pula yang kesandung pro dan kontra.

Menurut Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik, sejak digelarnya kembali Festival Film Indonesia (FFI) 2004, produksi film terus meningkat saban tahunnya. ”Tahun 2007 ada sekira 57 film yang diedarkan. Sementara hingga akhir tahun ini diperkirakan ada sekira 90 film yang siap edar,” katanya.

Paling tidak, perkembangan tersebut kian tampak, ketika sejumlah film mampu menarik minat public figure dan para pejabat hingga presiden beserta kabinetnya –yang tak sungkan— untuk duduk di bangku bioskop menyaksikan karya anak bangsa. Tentunya, kehadiran mereka di gedung bioskop bukan sekedar latah atau tebar pesona, tapi bisa jadi lebih pada ’penasaran’ akan fenomena yang ada. Meski, tak dipungkir pula ada pesan-pesan tertentu dengan kerelaan mereka menyisihkan waktunya untuk menonton.

Dan satu dari sekian film yang sukses dan mampu menghipnotis segenap kalangan untuk rela berduyun-duyun dan mengantri di bioskop adalah film Laskar Pelangi arahan sutradara muda Riri Riza. Pasalnya, film ini –yang diangkat dari novel setebal 529 halaman karya Andrea Hirata dengan judul yang sama— dipenuhi kisah masyarakat pinggiran, perjuangan hidup menggapai mimpi yang mengharukan, serta persahabatan yang menyelamatkan hidup manusia dengan latar belakang sebuah pulau indah yang pernah menjadi salah satu pulau terkaya di Indonesia, Belitung di akhir tahun 1970-an.

”Anak kecil pun pasti suka. Karena disamping sebagian besar tokohnya usia anak-anak, pemandangan alam pulau Belitung yang indah akan memanjakan siapa pun yang menontonnya,” ujar Andrea yang mengaku pada awalnya tidak yakin dan sempat tidak percaya diri untuk menonton film yang diangkat dari novelnya itu.

Memang, mengadaptasi cerita dari novel ke layar lebar bukanlah hal gampang. Karena keduanya merupakan media yang berbeda. Meski demikian, Laskar Pelangi, ditangan Salman Aristo sang penulis skrenario yang memusatkan cerita pada tiga dari sepuluh tokoh Laskar Pelangi yaitu Ikal (Zulfanny), Lintang (Ferdian) dan Mahar (Veris Yamarno) menjadi lebih fokus dan padat. Pun dengan penguatan pada sosok Bu Muslimah (Cut Mini) dan Pak Harfan (Ikranegara) serta Pak Zulkarnaen (Slamet Rahardjo) menjadikan film ini lebih hidup, meski akting mereka biasa-biasa saja.

Tak heran bila film ini sama dengan novelnya yang memuat semangat dan kegigihan untuk keluar dari himpitan penderitaan. Hal ini terlihat dari penggambaran perjuangan mereka untuk mengatasi segala keterbatasan terkadang mengundang tawa, di lain waktu menguras air mata. ”Mudah-mudahan model film seperti ini bisa menawarkan sesuatu yang baru bagi dunia perfilman nasional,” ujar Riri Riza.

Bahkan, banyak pihak yang menilai Laskar Pelangi –yang tayang serentak sejak 25 September lalu— boleh dibilang merupakan karya masterpiece dari kerja bareng Mira Lesmana dan Riri Riza yang telah sejumlah film selama satu dekade berkutat di panggung film. Dan secara keseluruhan, film ini mewarnai dunia perfilman Indonesia setahun terakhir yang dipenuhi cerita-cerita cinta dan hantu. ”Untuk saat ini, film Laskar Pelangi menjadi film terbaik di Indonesia,” tandas penguasa Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X, mengomentari film yang ditontonnya hingga dua kali ini.

Seperti versi novelnya –yang dirilis pada September 2005— Laskar Pelangi tak ubahnya ayam petelur nan subur. Novel fenomenal ini berhasil dicetak ulang hanya dalam waktu sepekan setelah dipasarkan. Bahkan di negeri jiran Malaysia, novelnya diterbitkan Litera Sdn Bhd, berhasil menembus angka lebih dari 250 ribu eksemplar. “Kemarin ada penerbit dari Spanyol yang mau menerbitkan dalam bahasa Inggris,” ujar Andrea, yang konon tetap konsisten tidak akan mengambil sepeser pun dari royalti dari novelnya itu yang menembus angka Rp 1 miliar.

Bisa jadi senyum dan warna-warni pelangi di wajah ‘Laskar Pelangi’ itu memberi secercah harapan akan datangnya masa depan film nasional lebih cerah. Paling tidak, menurut data yang dimiliki jaringan bioskop 21 Cineplex, dari lima judul film yang mengambil masa tayangnya di musim lebaran atau biasa yang disebut-sebut sebagai summer-nya Indonesia, Laskar Pelangi menjadi yang terbaik tahun ini.

Sejatinya, harapan itu ada tentunya sepanjang masih tertanamnya semangat pantang menyerah pada mereka para sineas untuk terus berkreasi menyuguhkan film-film bermutu. Sebagaimana Laskar Pelangi yang sarat akan pesan moral. Semisal, hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya. Atau, pesimistis adalah sikap takabur, mendahului nasib. “Sebuah film itu memang tujuannya untuk menghibur, tapi jangan lupa bahwa film juga merupakan produk budaya sehingga dalam sebuah film juga penting mengangkat nilai-nilai lokal dan isu-isu penting bangsa ini,” tutur sang produser Mira Lesmana.

Bila film Ayat-Ayat Cinta (2008) arahan sutradara muda Hanung Brahmantyo mampu nyaris menembus angka 4 juta orang penonton. Begitu juga dengan Naga Bonar jadi 2 (2007) besutan sutradara sekaligus aktor kawakan Deddy Mizwar yang berhasil meraih jumlah penonton sebanyak 2,3 juta orang hanya dalam waktu 40 hari. Lantas, apakah Laskar Pelangi –yang menghabiskan anggaran Rp 8 miliar itu mampu menyalip atau paling tidak menyamai jumlah penonton dari kedua film nasional itu?

Sebagai catatannya, hanya dalam waktu 4 hari saja, Laskar Pelangi telah berhasil menjaring 370 ribu penonton. Dan memasuki pekan kedua sudah mencapai angka 1,3 juta orang penonton. Ini pun baru di kota-kota yang tersedia jaringan bioskop nasional 21 Cineplex dan Blitz.

Pengamat film nasional, Yan Widjaya, menegaskan sukses yang diraih Laskar Pelangi dalam merebut hati penonton Indonesia tidak lepas libur lebaran dan tema yang berbeda. Padahal Yan menambahkan, setidaknya ada empat film nasional yang tayang secara bersamaan yakni Chika produksi Soraya Film, Cinlok (MD Pictures), Barbi3 (Starvision Plus) dan Suami Suami Takut Istri The Movie (MVP Pictures) –film adaptasi dari sitkom terlaris di layar kaca.

Bahkan, Yan pun memprediksi Laskar Pelangi bakal mampu menyaingi jumlah penonton film Ayat Ayat Cinta. ”Kalau melihat yang didapat dalam pekan pertama oleh Laskar Pelangi, saya cukup yakin film ini akan bisa menandingi Ayat Ayat Cinta,” pungkasnya.

Mengomentari prediksi Yan Widjaya tersebut, Mira Lesmana pemilik Miles Production tak mau sesumbar, ”Kita tidak boleh mendahului nasib. Saya lebih baik menghindari saja spekulasi-spekulasi semacam itu, pokoknya kita lihat saja.”

Tulisan ini ditulis dan dimuat untuk VIEW edisi November 2008

Ketika ‘Laskar Pelangi’ Menyerbu Bioskop

poster ini diamabil dari situs resmi film laskar pelangi

Subhanallah. Dari film ini saya pribadi banyak mendapatkan pencerahan. Betapa tidak, setiap jengkal ceritanya sarat akan makna.

Dan akhirnya film ini tidak begitu jauh dengan semangat novelnya. Meski diakui oleh sang penulis, ada beberapa yang ditambahkan dalam ceritanya. Ya, inilah yang saya dapat ketika preview film yang dinanti-nanti para pecinta film dan khususnya yang telah membaca novel Laskar Pelangi.

Hari pertama pembukaan kelas baru di sekolah SD Muhammadiyah menjadi sangat menegangkan bagi dua guru luar biasa, Muslimah –yang dimainkan secara apik oleh Cut ini– dan Pak Harfan dilakoni oleh Ikranegara, serta 9 murid yang menunggu di sekolah yang terletak di desa Gantong, Belitong. Sebab kalau tidak mencapai 10 orang murid yang mendaftar, sekolah akan ditutup. Setelah lama menunggu hingga akhirnya lepas jam 11.00 siang, muncullah Harun (Jeffri Yanuar). Ya inilah murid istimewa yang menyelamatkan mereka.

Inilah adaptasi sinema dari novel fenomenal Laskar Pelangi karya Andrea Hirata yang mengambil setting di akhir tahun 70-an di kawasan Belitong. Adalah 12 anak asli Belitong dan 12 aktor senior inilah yang membuat film ini lebih hidup dan lebih artikulatif dari novelnya.

Ya betapa tidak, novel yang menggambarkan kalangan pinggiran dalam mendapatkan pendidikan –yang begitu mahal– itu sangat menggugah hati. Hal ini tampak jelas pada perjuangan Lintang (Ferdian) yang harus mengayuh sepedanya berkilo-kilo. Tidak hanya itu ia pun kerap harus ekstra hati-hati menunggu si buaya rawa melewati jalan setapak yang ia lalui saban harinya. Pun dengan kondisi keluarganya yang pada akhirnya, Lintang harus menyerah dengan keadaan setelah ayahnya meninggal dunia. Padahal ia anak yang jenius, bahkan di atas rata-rata.

Perjuangan berat pun tampak jelas pada Pak guru Arfan yang harus terus memompa semangat para anak didiknya, guru Muslimah dalam kelangsungan sekolahnya. Inilah yang membuat haru-biru film ini.

Sisi jenaka yang digambarkan anak-anak pun kerap menghiasi film yang sarat akan makna ini. Betapa tidak ketika, Mahar (Verrys Yamarno) yang sok seniman dengan radionya yang selalu ditentengnya. Pun dengan Ikal (Zulfanny) yang begitu lugu ketika terjerat pesona kuku yang lentik si A Ling (Levina). Atau ketika kekelucuan-kelucuan dari para pemain lainnya.

Pada akhirnya, film produksi Miles Films dan Mizan Productions dengan dukungan penuh dari Pertamina Foundation, Bank Mandiri, Telkom dan Timah ini sangat layak dan harus ditonton bagi mereka yang haus akan inspirasi, motivasi dalam menjalani hakikat hidup.

Dan film ini yang tayang serentak di bioskop, Kamis (25/9) kemarin mampu menyedot animo masyarakat untuk menontonnya. Selamat Menonton dan anda akan banya mendapatkan hikmah dari film besutan Riri Riza ini. Jangan lupa, bolehlah kiranya anda ajak seluruh anggota keluarga. Maaf ini bukan promosi, tapi lebih pada berbagi manfaat sekiranya film itu memang layak ditonton.

“Hidup itu harus memberi sebanyak-banyaknya, janganlah menerima sebanyak-banyaknya.” Pak guru Arfan.

Bincang-Bincang Bersama Ihsan Idol

Jawara Indonesian Idol 2006, Muhamad Ihsan Tarore, tengah mencoba peruntungan di dunia akting. Setelah membintangi beberapa sinetron, Ihsan mendapat tawaran tampil di film layar lebar. Dan Mengaku Rasul: Sesat adalah film pertamanya, yang dirilis beberapa waktu lalu.

Dengan karakter dan pembawaannya yang kalem, Ihsan memerankan tokoh Raihan dalam film besutan sutradara Helfi Kardit ini. Apa yang membuat pemuda kelahiran Medan, 20 Agustus 1989 ini terjun ke dunia akting?. Lantas bagaimana dengan karirnya sebagai penyanyi jebolan Indonesian Idol. Kepada VIEW, penyanyi yang dengan album solo bertajuk The Winner ini bertutur seputar karirnya di dunia hiburan.

VIEW: Apa yang mendasari Anda terjun ke dunia akting?

IHSAN: Semua orang tahu, jika film juga bagian dari dunia hiburan. Karena saya berkarir di dunia ini, maka wajar jika saya mencoba menjajal kemampuan saya di seni peran. Dan film ini adalah film layar lebar pertama saya.

VIEW: Apakah Anda menawarkan diri atau direkrut?

IHSAN: Jujur, dalam film ini sutradara yang meminta saya untuk bermain. Katanya, sebelum meminta saya ikut main, mereka hanya tertarik karena melihat tampang saya di salah satu poster.

VIEW: Lantas, apa reaksi Anda mendapat tawaran ini?

IHSAN: Ketika mendengar judul film Mengaku Rasul: Sesat, entah kenapa saya merasa tertantang. Akhirnya saya pun ikut casting untuk tokoh Raihan. Dan senangnya karena saya diterima.

VIEW: Kenapa tokoh ini yang Anda ambil? Apakah karena pembawaan Anda yang kalem?

IHSAN: Awalnya memang saya ditawari tokoh ini. Bisa jadi, sutradara sudah mengetahui karakter saya yang kalem. Pernah suatu ketika saya memerankan tokoh komedian di sebuah FTV, tapi rupanya peran itu diprotes penggemar saya, khususnya ibu-ibu. Katanya nggak lucu he he he.

VIEW: Bagaimana dengan karir Anda sebagai penyanyi?

IHSAN: Saya akan tetap sebagai penyanyi.

VIEW: Banyak kalangan yang menilai karir Anda tengah tenggelam. Komentar Anda?

IHSAN: Boleh saja orang menilai demikian. Tapi yang jelas, memang saya jarang tampil di layar kaca. Karena saya lebih sering tampil off air. Dan sekarang pun saya lagi sibuk menyiapkan album kedua yang rencananya akan dirilis tahun ini.

VIEW: Apakah film ini untuk mendongkrak kembali pamor Anda?

IHSAN: Saya tidak berfikiran ke sana, rejeki orang kan berbeda-beda. Kebetulan saat ini saya dapat kesempatan main film layar lebar.

VIEW: Kalau boleh memilih, mana yang akan Anda tekuni secara serius?

IHSAN: Tentu saja menyanyi. Tapi karena dunia hiburan itu menuntut multitalenta maka saya tidak akan menyia-nyiakan setiap kesempatan apapun yang datang kepada saya. Intinya saya ingin tekuni secara serius karir saya di dunia hiburan.

VIEW: Kalau begitu, apa obsesi Anda di dunia hiburan ini?

IHSAN: Saya sih mau terus mencoba sesuatu yang baru, tidak hanya menyanyi. Misalnya, di film saya mau memerankan tokoh yang berlawanan dengan karakter saya. Kenapa nggak? Yang penting saya berusaha melakukannya secara professional. [view]

Artikel ini dimuat di majalah VIEW edisi Juli 2008