Bermimpilah, maka Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu! Tanpa mimpi dan harapan, orang-orang macam kita akan mati! Jelajahi Eropa, jelajahi Afrika, ini harus menjadi mimpi kita.
Kutipan-kutipan tersebut merupakan dialog yang disampaikan Arai (Rendy Ahmad) kepada Ikal (Vikri Setiawan) dua tokoh sentral di film Sang Pemimpi, yang diputar serentak di bioskop pertengahan Desember lalu. Selama 128 menit itu pula, penonton disuguhkan fragmen demi fragmen yang begitu menyentuh emosi dan beragam pesan moral lainya yang tak melulu dunia mimpi.
Ya, pasalnya, para ‘sang pemimpi’ Ikal, Arai dan Jimbron (Azwir Fitrianto) tak sekedar bermodal mimpi belaka, tetapi semangat dan kerja keras untuk mewujudkan cita-cita mereka. Pun dengan Sang Pemimpi yang bermimpi untuk bisa meraih sukses seperti film sebelumnya Laskar Pelangi (2008). Modalnya, kolaborasi sutradara, penulis, musisi, pemain, dan tim produksi serta dukungan finansial yang tidak tanggung-tanggung. “Karena mimpi tidak hanya dikejar, tapi dibangun dengan kerja dan semangat menggali ilmu,” ujar sang sutradara, Riri Riza.
Tak sekedar menggambarkan semangat dan kegigihan dalam meraih mimpi. Di film produksi Miles Films dan Mizan Production yang menelan biaya Rp 12 miliar itu, juga ada beberapa adegan sarat pesan moral seperti yang tergambar dalam hubungan antara orangtua dan anak, serta guru dan siswa.
Sekuel Laskar Pelangi yang diangkat dari novel fenomenal Sang Pemimpi, karya Andrea Hirata ini masih mengambil setting di era tahun 80-an yang mengisahkan masa remaja Ikal dan Arai, sepupunya serta Jimbron sahabatnya. Ketiganya mau tidak mau harus merantau ke Manggar, kota pelabukan yang berjarak puluhan kilometer dari Gantong, Belitung untuk melanjutkan sekolah.
Di kota Manggar inilah perjuangan hidup mereka dimulai. Layaknya remaja pada umumnya, Ikal, Arai dan Jimbron juga tergolong bandel. Tak heran bila kepala sekolah mereka Pak Mustar (Landung Simatupang) kerap memanggil mereka dengan sebutan brandalan. Untungnya, di sekolah mereka bertemu dengan seorang guru Pak Julian Balia (Nugie) yang selalu membakar semangat mereka untuk terus berimajinasi meraih mimpi menjelajahi Eropa. Guru muda inilah yang membuat hidup mereka dipenuhi gairah.
Pun ketika masa puber merasuki mereka. Tanpa pantang menyerah Arai yang jatuh hati pada Zakiah Nurmala (Maudy Ayunda) terus mencari jalan untuk menundukan hati gadis pujaannya itu. Jimbron yang kesemsem pada gadis pemurung pekerja pabrik cincau yang tak pernah tersenyum akhirnya bisa meluluhkannya dengan bantuan Arai, sosok inspiratif yang selalu memberikan kejutan-kejutan. Sementara Ikal hanya karena gejolak jiwa mudanya, pada akhirnya membawanya ke sebuah perasaan bersalah kepada ayahnya yang dianggap sebagai ayah juara satu di dunia.
Tanpa sadar, karakter keras yang kerap diperlihatkan Pak Mustar, sang kepala sekolah super galak, itu justru yang mampu mengasah mental Ikal dan Arai dalam menjalani hidup di perantauan. Yang pada akhirnya mengantarkan mereka untuk menjejaki Jakarta hingga Paris guna memindahkan mimpi mereka dalam dunia nyata kuliah di Sorbonne.
Sang Pemimpi hadir kurang lebih setahun setelah premier Laskar Pelangi yang berhasil meraup sukses besar dengan 4,6 juta penonton bioskop dalam waktu empat bulan. Lantas apakah film yang menjadi pembuka event sekelas Jakarta International Film Festival (JiFFest) 2009 ini mampu mewujudkan impiannya? Semoga apa yang diimpikan Andrea Hirata sang penulis novel yang menyatakan bahwa bagi dirinya pribadi, Sang Pemimpi tiga kali lebih bagus dari Laskar Pelangi akan menjadi kenyataan. [view]
Tulisan ini ditulis dan dimuat untuk VIEW edisi Januari 2010