Wajah dan namanya, sudah tak asing lagi bagi para pedagang warteg di Jakarta. Maklum sebagai orang Tegal, Edy Budiyarso getol memperjuangkan nasib warung tegal yang tersebar di beberapa sudut ibu kota. Ia menolak tegas penerapan wajib pajak 10 persen bagi Warteg (Warung Tegal) oleh Pemda DKI Jakarta beberapa waktu lalu. Gerakan perlawanan yang dilakukannya itu memang bukan hal yang luar biasa, tapi sangat berarti bagai para pemilik warteg.
Putra asli Tegal ini mengaku merasa terpanggil memperjuangkan nasib para pemilik warteg, bukan karena ia putra asli daerah Tegal tapi karena panggilan jiwa. “Saya tak tega melihat nasib penjaja makanan murah yang makin terpinggirkan dengan aturan-aturan dari Pemda DKI,” kata mantan wartawan Majalah Tempo ini. Baginya, perjuangan yang sesungguhnya adalah memperjuangkan nasib masyarakat kecil. “Ikut berjuangan bersama mereka jauh lebih penting dari pada banyak bicara. Apalagi, sebagai rakyat kecil mereka acapkali merasa berjuang sendiri meski punya wakil-wakil di Senayan,” kata Edy.
Pria kelahiran Tegal ini menegaskan, masyarakat Tegal yang berada di perantauan dan di kampung halamannya, menginginkan ikhtiar perjuangan seperti itu tak berhenti di sini, tapi dilanjutkan agar lebih maksimal.
“Mereka pun meminta saya untuk maju sebagai calon wakil rakyat mereka di Senayan,” ungkap Edy ihwal keinginannnya maju sebagai wakil rakyat.
Bahkan sebagai ungkapan rasa terimakasih para pemilik warteg atas keberhasilan perjuangannya, mereka mendukung sepenuhnya langkah Edy memilih partai Gerindra. “Mereka kecewa dan bosan pada politisi yang hanya pamer muka menjelang pemilu, tapi setelah terpilih menghilang entah kemana,” ungkap penulis buku Warteg Galau: Perjuangan Rakyat Kecil Menolak Pajak Warteg ini.
Wakil Sekretaris Ikatan Keluarga Besar Tegal (IKBT) ini pun mengakui, ia butuh waktu beberapa bulan untuk memutuskan menerima pinangan partai Gerindra. Maklum, ia ingin tahu betul visi dan misi suatu partai sebelum bergabung. Ia tak mau terjun ke politik hanya karena ikut-ikutan, tapi memang sudah panggilan jiwa. “Setelah merasa mantap dengan pilihan hati, memperlajari dan menimbang segala sesuatunya, saya merasa Gerindra yang paling tepat,” papar Sekretaris Jenderal FederasiOrgansasi Pedagang Pasar Indonesia (FOPPI) ini.
Suami dari dr Suprohaita, Sp.A ini mengakuiapa yang diperjuangkanbersama rekan-rekannyaselama ini di IKBT maupun di FOPPI, selaras dengan platform dan manivesto perjuangan Partai Gerindra. ApalagiKetua Dewan Pembina Partai Gerindra, Prabowo Subianto adalah sosok yang sudah teramat dikenalnya jauh-jauh hari sebelum partai ini lahir.
“Sudah beberakali saya mewawancarai beliau untuk Majalah Tempo. Kebetulan, saya juga menjadi salah satu tim penulis buku tentang Pak Prabowo. Sayang buku itu belum bisa diterbitkan untuk public karena satu dan lain hal,” ucap Edy yang sudah menulis beberapa buku.
Lahir dan dibesarkan di lingkungan pendidik dan pedagang pasar, membuatnya lebih nyaman berada di pasar tradisional ketimbang pasar modern. Karena itu, lewat FOPPI, ayah tiga anak ini kerap memberikan advokasi bagi para pedagang pasar dalam menghadapi beragam masalah. Usai lulus dari bangku SMA, Edy melanjutkan ke Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Sembari kuliah, di tengah kesibukannya mengelola Lembaga Pers Mahasiswa,ia pun tak canggung menjadi pelayan di sebuah warteg. Sebab dengan begitu, ia bisa merasakan dan betul, persoalan apa yang dihadapi para pedagang pasar dan pemilik warteg.
Di sela-sela kesibukannya sebagai Produser Eksekutif SINDOTV, Edy yang tengah menempuh magister hukum di Universitas Trisakti Jakarta ini memaparkan pandangan politiknya. Dan, apa yang melatarbelakangi ia maju sebagai caleg DPR-RI dari dapil Jawa Tengah 9 nomor urut 5, kepada Hayat Fakhrurrozi dari Majalah Garuda. Berikut petikannya:
Bisa diceritakan aktivitas keseharian Anda?
Saya profesional di media. Saat ini saya produser eksekutif di SINDOTV di bawah bendera MNCGrup.Di luar aktifitas itu saya menjabat Sekretaris Jenderal Federasi Organisasi Pedagangan Pasar Indonesia (FOPPI), bersama KH Gus Solah sebagai Dewan Syuro. Kamikerap mengadvokasi persoalan-persoalan yang dihadapi para pedagang pasar tradisional yang tersebar di negeri ini. Saya juga aktif di Ikatan Keluarga Besar Tegal (IKBT) Bahari Ayu.
Apa saja yang telah Anda lakukan?
Lewat organisasi itulah, saya bersama teman-temanmengadvokasi dan memenangkan gugatan pedagang Blok B Tanah Abang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, setelah berjuang selama setahun.Tahun 2010 lalu, saya juga diminta pedagang warteg di Jakarta yang resah dengan rencana penerapan pajak 10 persen bagi warteg. Setelah berjuang bersama segenap elemen masyarakat asal Tegal yang tergabung dalam IKBT, termasuk Bambang Koesoemanto, putra asli Tegal, akhirnya kami berhasil. Kebetulan Bambang adalahdoktor ekonomi dan master perpajakan dari Universitas Illinois, Amerika Serikat,yang bekerja di lingkungan Kementerian Keuangan dengan membentuk tim advokasi bernama Tim Sosialisasi Jaring Pengaman Sosial-IKBT.Peraturan tersebut tidak hanya ditunda, tapi kini dibatalkan oleh Gubernur Jokowi.
Kami pun pernah membantu membebaskan 12 kapal nelayan asal Tegal yang ditahan oleh Polairud Sampit, Kalimantan Barat.Dengan jaringan yang saya miliki baik di lingkungan Kepolisian dan media, kami lebih mudahmelakukan pendekatan soal masalah yang dihadapi para nelayan itu.Berkat bantuan para petinggi yang ada di Polri, akhirnya saya dan temen-teman nelayan yang tadinya mau berdemo tidak jadi, tapi menjemput para nelayan itu di Muara Karang.
Lalu, bisa Anda ceritakan kapan bergabung ke Partai Gerindra?
Sewaktu mencuatnya kasus perseteruan antar warga pribumi Lampung dan Bali, kami mengundang Ahmad Muzani politisi yang mewakili dapil Lampung yang tak lain Sekretaris Jenderal Partai Gerindra sebagai narasumber di acara talkshow.Usai menjadi narasumber, saya berbicara empat mata dengan beliau tentang banyak hal.Salah satunya adalah upaya perlawanan saya soal pajak warteg.Waktu itu, beliau langsung mengajak “kamu bergabung saja di Gerindra biar lebih maksimal perjuangannya.”
Saat itu, saya biasa-biasa saja. Tapi setelah saya mengkaji dan berdiskusi panjang lebar termasuk dengan warga Tegal yang tergabung dalam IKBT, mereka malah medesak saya untuk mengambil kesempatan itu.Lagi-lagi saya butuh waktu dua bulan untuk memutuskan bergabung dengan Gerindra.Hingga pada waktu perekrutan caleg, saya pun mendaftarkan diri di Gerindra.Semua proses saya lalui dan akhirnya saya yang asli putra Tegal dinyatakan lolos sebagai caleg Partai Gerindra nomor urut 5, untuk dapil Jawa Tengah 9.
Kenapa Anda memilih bergabung dengan partai Gerindra?
Kita melihat dalam situasi dan kondisi negara ini ada yang aneh. Sistem presidensial hasil koalisi, tapi kok dikritisi habis-habisan oleh partai koalisinya sendiri. Kepemimpinan nasional jadi tidak efektif dan tampak keteteran.Sadar atau tidak, rakyat yang jadi korbannya. Belum lagi ketimpangan-ketimpangan yang terjadi di depan mata. Ketiadaan keberpihakan penguasa kepada rakyatnya.Jadi jangan heran kalau banyak kalangan menilai,seakan-akan rakyat ini menjadi yatim piatu di negerinya sendiri.Sudah tidak punya orangtua, teman sebagai tempat mengadu pun tidak ada.Iniah yang dirasakan rakyat kecil, kaum pinggiran yang kadang menjadi komoditas politik belaka.
Gaya kepemimpinan, keberpihakan kepada petani, nelayan dan rakyat kecil lainnya serta semangat anti korupsi yang terus dikobarkan Pak Prabowo menjadi magnet buat saya untuk bergabung. Belum lagi konsep ekonomi kerakyatan dan integritasnya terhadap bangsa dan negara ini, begitu tinggi.Semua itu saya ketahui dan pelajari jauh sebelum saya bergabung di Gerindra.Beberapa kali saya berkesempatan mewawancarai beliau ketika masih di Tempo termasuk waktu menjadi tim penulis buku beliau.
Sejak kapan Anda bersentuhan dengan dunia politik?
Saya memang masih hijau di politik praktis, meskisudah lama sebagai wartawan politik di Tempo. Dari sana pula saya banyak belajar tentang politik. Bagaimana menjalankan sebuah kebijakan politik dan segala intrik-intriknya.Namun, saya sebagai wartawan investigasi jugamemberitakan banyak skandal-skandalyang ada di negeri ini. Kalau dilihat dari hasilnya,tentu tidak jauh beda dengan apa yang dikerjakan DPR, karena sebagai wartawan saya juga bisa melakukan kontrol sosial. Jadiwartawan itu ibarat politisi tanpa parpol.
Soal politik praktis saya banyak mempelajarinya dari para politisi, parpol maupun pengamat politik. Bahkan saya jadi wartawan politik pada saat kondisi perpolitikan nasional sedang genting-gentingnya. Karena kerap bergaul, bersentuhan dengan para politisi, tak jarang tawaran berdatangan dari para politisi untuk bergabung di partainya.Tapi kebanyakan dari mereka hanya sekadar menawarkan saja, tidak serius, jadi saya pun menanggapinya dengan santai.
Apa motivasi Anda maju sebagai caleg?
Yang jelas, ingin melihat Indonesia lebih maju, lebih baik dan sejahtera.Semua itu bisa terwujud karena kita memiliki potensi untuk maju dan berkembang.Tapi rupanya impian kita selalu diabaikan oleh pemimpin. Contoh kecil, dulu rakyat kecil begitu susah mendapat pelayanan kesehatan, sekarang dengan adanya Kartu Jakarta Sehat (KJS) semua bisa menikmati layanan itu. Seperti yang dialami seorang balita yang divonis mengalami gagal jantung sejak berusia 1 tahun, tapi baru bisa di operasi di RSCM setelah menunggu 5 tahun saat diberlakukannya KJS. Padahal rumahnya hanya selemparan batu dari RSCM. Hal-hal seperti ini kan membiuat kita sangat miris.
Meski sejak dulu istri saya itu antipati pada politik, tapi ketika saya memutuskan terjun di politik praktis, dia malah mendukung. Sejauh apa yang saya lakukan untuk masyarakat, dia selalu mendukung. Saya maju bukan untuk diri sendiri, tapi buat masyarakat. Kalau untuk diri sendiri, saya rasa sudah cukup, ngapain ke Senayan. Tapi karena ini ada permintaan warga Tegal, kampung halaman sendiri, jadi saya ikhlas. Paling tidak mereka menilai selama ini saya sudah melakukan hal-hal yang kecil, tapi berniali besar untuk menuju perubahan.
Para sesepuh Tegal juga mendesak saya untuk maju,karena selama ini wakil rakyatnya banyak dari daerah lain.Tak heran bila ada budayawan Tegal yang bilang wakil rakyat yang ada selama ini hanya pamer rai, hanya pada saat Pemilu saja, tapi setelah itu mereka jangankan turun melihat saja tidak.Akhirnya pada saat seleksi bacaleg, saya pun meminta di dapil Jateng 9. Saya kan maju atas tapi permintaan warga dan kebetulan memiliki jaringan di akar rumput di dapil tersebut.
Target Anda?
Menang. Tentu saja agar bisa mewakili tanah kelahiran demi sebuah perubahan sebagaimana yang dicanangkan Partai Gerindra. Saya lebih fokus menggarap Kabupaten/Kota Tegal saja, karena di Brebes sudah banyak tokoh-tokoh lain yang maju. Setidaknya untuk bisa meraih kursi itu minimal harus meraup suara 75ribu. Mudah-mudahan saya bisa maju. Memang, targetdi dapil Jateng 9 hanya satu kursi, tapi saya melihat Gerindra memiliki potensi untuk mendapat dua kursi.
Bagaimana tanggapan masyarakat yang ada di dapil Anda?
Alhamdulillah, kesadaran mereka untuk memilih wakil rakyat dari kampung sendiri sudah terbangun. Karena mereka mengenal saya, lebih mudah mencari tahu apa-apayang saya lakukan nanti. Mereka bisa menyampaikan apa yang menjadi keinginan mereka kepada orangtua saya, para kyai, guru dan tokoh masyarakat. Yang terjadi selama ini, mereka tidak tahu untuk mengontrol wakilnya kemana? Kalau nanti saya terpilih, mereka tinggal mendatangi rumah saya.
Menurut Anda, politik itu apa?
Politik itu jalan yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki kondisi agar menjadi lebih baik.Sejauh ini Partai Gerindra adalah partai politik yang lahir dan berjuang bersama dengan ideologi yang selama ini saya lakukan dan yakini.
Apa harapan Anda?
Mudah-mudahan kami yang sedang berikhtiar ini bisa melaluinya dan menjalankan amanah rakyat. Amanah ini akan saya perjuangkan, meski selama ini saya sudah melakukan apa-apa yang mestinya dilakukan oleh wakil rakyat. Kalau seorang wartawan saja bisa melakukan pendekatan, advokasi,masa sebagai anggota DPR tidak bisa. Malah seharusnya bisa lebih dari apa yang saya lakukan selama ini.
Apa yang akan Anda lakukan jika terpilih nanti?
Bagi saya amanat rakyat inilah yang harus saya perjuangkan. Selama ini dari delapan kursi yang tersedia, hasil pemilu kemarin hanya dua orang asli putra daerah, tapi tak terdengar apa saja yang telah dilakukan. Bahkan entah kemana, turun ke dapil pun tidak.Tak heran bila masyarakat merasa selalu berjuang sendiri meski punya wakil di Senayan.Kami sadar bahwa saat ini eranya otonomi daerah, yang berujung pada persaingan antar daerah menjadi keniscayaan. Jadi, bagaimana daerah itu bisa bersaing kalau tidak ada wakilnya di Senayan.Tahun 2014 nanti, saya yakin dan percaya, Gerindra pasti menang.[g]
Catatan:
- Artikel ini ditulis dan dimuat untuk Majalah GARUDA edisi September 2013
- Pada Pemilu 2014 ini, Edy Budiyarso maju sebagai calon legislatif (caleg) DPR-RI dari Partai Gerindra nomor urut 5 dari daerah pemilihan (dapil) Jawa Tengah 9.