Waduh…. Ada-ada saja pemikiran para elite politik negeri ini. Tentu saja, ini erat kaitannya dengan semakin dekatnya Pemilu 2009 yang bakal digelar April mendatang. Tak tanggung-tanggung usulan memfatwakan “HARAM” atas pilihan untuk GOLPUT alias tidak memilih. Padahal sejatinya Golput pun salah satu pilihan. Entah dengan bagaimana caranya si pelaku Golput itu menerapkannya.
Pengusul sendiri memang berangkat dari gerbong politik salah salah satu partai berbasis agama. Dan karena basisnya itu Islam, maka pengusul pun meminta MUI (Majelis Ulama Indonesia) –selaku pengambil keputusan fatwa untuk umat Islam tentunya– untuk segera memfatwakannya. Usulan ini pun konon tidak hanya ditujukan kepada MUI, tapi mengajak pula organisasi massa Islam semisal NU dan Muhammadiyah untuk ikut mengeluarkan fatwa haram tersebut.
Lantas apakah ini bentuk ketakutan para elite politik berbasis agama itu dalam peraihan suara di Pemilu 2009 mendatang? atau sekedar untuk mendongkrak citra jelang Pemilu. Banyak jawaban dan komentar pro dan kontra atas usulan ini. MUI sendiri hingga saat ini masih akan mengkajinya. Bahkan di sebuah portal menyebutkan bahwa MUI menilai, urusan Golput bukan masalah agama melainkan politik.
Fenomena dan bahkan fakta nyata seputar Golput ini sendiri menjadi rahasia umum dimana grafiknya terus meningkat dari pemilu ke pemilu. Tercatat pada 1971 terdapat golput sebesar 6,67%, tahun 1977 sebesar 8,40%. tahun 1982 sebesar 9,61%. Lalu pemilu tahun 1987 turun menjadi 8,39%. Tapi pemilu berikutnya tahun 1992 kembali naik menjadi 9,05%. Terus merangkak pada pemilu 1997 sebesar 10,07% dan pada tahun 1999 sebesar 10,40%. Dan pemilu terakhir kemarin 2004 naik drastis hingga 23,34%. Bahkan pada Pilpres putaran I sebesar 21,77% dan di putaran II naik hingga 23,37%. Mungkin dari data inilah para elite politik itu mengambil kebijakan untuk mengusulkan fatwa haram terhadap golput.
Dan tentunya, negeri dengan populasi penduduk yang memilik hak pilih sekira 170 juta pemilih ini dengan mayoritas umat Islam membuat para elite politik partai berbasis Islam merasa terancam. Diakui atau tidak. Setuju atau tidak memang itulah sebenarnya dasar pemikirannya. Bukan pada ranah kewajiban warga negara terhadap bangsa dan negaranya. Semisal si pelaku golput yang memang memiliki kartu pemilih tetap datang ke TPS namun di dalam bilik tidak memilih alias Golput, maka pada dasarnya hak dan kewajibannya sebagai warga negara telah ditunaikan. Terlebih bagi mereka yang tidak memiliki kartu pemilih sama sekali. Jangankan kewajiban untuk datang ke TPS, wong hak untuk memilihnya saja tidak ada.
Lalu jika hanya karena suara umat Islam sendiri terpecah sehingga jalan ini ditempuh oleh para elite politik berbasis Islam, kenapa umat Islam sendiri terpecah belah di banyak partai politik? Jangankan negera dengan multi partai ini, lah wong di tubuh Islam dan memang ada juga di tubuh agama lainnya yang tampil dengan ragam partai.
Sejatinya, dan saya meyakini –karena saya sendiri bagian dari umat Islam– bahwa jika umat Islam dalam hal ini partai politik berbasis Islam dan mungkin juga partai politik berbasis agama lainnya bersatu padu atau paling tidak hanya ada ‘satu gerbong’ akan bisa dan lebih maksimal. Saya sendiri memang bukan bagian dari partai politik mana pun.
Ini hanya sekedar opini pribadi tanpa ada unsur propaganda atau sebagai bentuk kampanye. Sejatinya saya selalu memegang pesan dari Imam Abu Hanifah: Audzubillahi Minasiyasah. “aku berlindung kepada-Mu dari godaan politik.”