Lebih Dekat Dengan Martin Hutabarat : Konsisten Memberantas Korupsi

Di mata publik sosok Martin Hutabarat sudah tak asing lagi. Komentarnya kerap mengisi media massa pada setiap pemberitaan seputar masalah isu-isupolitik nasional. Terlebih yang terkait dengan berbagai soal garis perjuangan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), ia seringkali tampil terdepan. Hingga detik ini pun ia tetap bersuara lantang. Dan dengan pengalaman politiknya, ia pun makin disegani kawan maupun lawan politiknya.

CALEG DPR-RI DAPIL SUMUT 3 NO. URUT 1

CALEG DPR-RI DAPIL SUMUT 3 NO. URUT 1

Dengan gaya bicara dan pembawaannya yang tenang, Martin kerap menyampaikan kritikan pedas terhadap berbagai kejadian yang menimpa negeri ini. Tak heran bila sosok politisi kawakan ini kerap dijadikan nara sumber oleh media massa. ”Saat ini DPR sebagai lembaga, mengalami banyak perubahan. Setiap anggota bebas bicara karena memang tugasnya untuk mewakili rakyat. Meski kadang kala ada saja yang kebablasan keluar dari jalurnya,” tandas politisi gaek kelahiran Pematang Siantar, 26 November 1951 ini.

Sebagai wakil rakyat, sejak dulu sikap politik Martin tak pernah berubah. Bahkan belum hilang dibenaknya, ketika ia diperingatkan oleh partai karena dianggap terlalu vokal. Kini, kesulitan bebas berbicara sudah tak lagi dialaminya. Pasalnya, dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat, seorang wakil rakyat tidak boleh gentar selagi masih dalam koridor yang berlaku. Apalagi setelah dirinya menjadi bagian dari perjuangan Partai Gerindra.

”Semua itu saya niatkan untuk membela dan memperjuangkan rakyat kecil,” ujarnya.

Dunia politik ditekuninya sejakkuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Keterlibatannya di berbagai aktivitas di dalam maupun di luar kampus, membawanya ke politik praktis. Tahun 1987, Martin tercatat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI periode 1987-1992 dari Golongan Karya. Pada 2008, pria yang pernah duduk sebagai staf BP7 Pusat ini diminta ikut membidani kelahiran Partai Gerindra. Sejak saat itu, Martin memantapkan diri menjadi bagian barisan pejuang politik yang mengusung ekonomi kerakyatan di bawah bendera Partai Gerindra.

Kepiawaianya sebagai politisi ulung terbukti pada Pemilu 2009, ia berhasil melenggang kembali ke Senayan dengan raihan suara sebanyak 16.122 suara dari Daerah Pemilihan (dapil) Sumatera Utara 3. Kini, di tengah kesibukannya menuntaskan tugas sebagai wakil rakyat, Martin kembali dipercaya untuk bertarung di dapil yang sama. Kembalinya politisi kawasan ke dapil yang sama bukan tanpa sebab. Selain untuk menjaga aspirasi dan suara konstituen yang dibangun, Martin dinilai mampu  mendongkrak dan memaksimalkan perolehan suara bagi Gerindra.

”Gerindra memiliki cita-cita membangun kedaulatan ekonomi nasional yang mandiri, pemberantasan korupsi, penegakan hukum, tapi hingga saat ini belum terpenuhi. Untuk itu kita berharap Gerindra bisa lebih besar dan kuat sehingga bisa mewujudkan cita-cita itu. Di samping misi kita untuk bisa meraih minimal 20 persen suara nasional agar bisa mengusung presiden tanpa harus berkoalisi. Karena itulah saya bertekad maju kembali sebagai caleg di dapil yang sama,” tegasnya.

Kesehariannya sebagai anggota DPR, iadipercaya untuk duduk di Komisi III. Juga  menjabat Ketua Fraksi Gerindra MPR-RI dan anggota Badan Legislasi DPR-RI. Walau duduk di Komisi III yang meliputi bidang hukum, tak lantas membuatnya hanya mau mengomentari seputar persoalan yang ada di komisi itu saja. ”Sudah menjadi tugas dan kewajiban kita sebagai anggota DPR untuk menjelaskan apa yang ditanyakan masyarakat kepada kita, karena kita adalah wakil mereka,” tegasnya.

Apa yang disampaikan atas berbagai kejadian di negeri ini bukan sekadar untuk basa-basi belaka. Pandangan dan komentarnya meski terdengar pedas, menurutnya itulah sebagai bentuk kepedulian dan kecintaannya kepada bangsa dan negara ini. Seperti yang disampaikan Martin –yang tengah sibuk blusukan di dapil Sumut 3— kepada Hayat Fakhrurrozi dari Majalah Garuda, tentang apa saja perjuangan yang telah dan akan dilakukannya dalam menghadapi pemilu nanti. Berikut petikan wawancaranya:

Sebagai kader yang sudah duduk di parlemen, bisa diceritakan bagaimana perjuangan Gerindra baik di partai maupun di fraksi?

Disamping terus memperjuangkan ekonomi untuk rakyat, sebagai pencerminan dari ekonomi kerakyatan, Gerindra serius mengawal pemberantasan korupsi. Gerindra konsisten di bidang pemberantasan korupsi dan penegakan hukum. Karena hal itu sudah merusak pembangunan dan kepentingan ekonomi nasional. Kita semua konsisten memperjuangkan nilai-nilai ekonomi rakyat. Kita yang ada di parlemen selalu kompak untuk memperjuangkan ekonomi kerakyatan. Kita pun paham dan mengerti bahwa ekonomi kerakyatan itu adalah perjuangan panjang yang tidak bisa dihitung dengan berapa tahun bisa dijalankan.

Untuk itu, kita tetap komitmen untuk membuat kebijakan yang berpihak pada kepentingan rakyat kecil.Misalnya membatasi impor yang bertahap,tidak lantas langsung disetop. Harus ada tahapan, jangan malah meningkat seperti sekarang ini. Contoh kecil, sejak awal baik partai maupun fraksi Gerindra tetap ngotot menolak keras soal pembangunan gedung baru DPR, mengkritik pembangunan renovasi rumah dinas anggota DPR dan kebijakan-kebijakan pemerintah lainnya yang dianggap tak sejalan dengan perjuangan. Di fraksi semua kader berada dalam perjuangan itu.

Lantas apa yang melatarbelakangi Anda maju kembali sebagai caleg?

Karena Gerindra itu memiliki cita-cita mau membangun kedaulatan ekonomi nasional yang mandiri, pemberantasan korupsi, penegakan hukum, tapi hingga saat ini cita-cita itu belum terpenuhi.  Untuk itu kita berharap Gerindra bisa lebih besar dan kuat sehingga bisa mewujudkan cita-cita itu. Itulah yang membuat saya bertekad maju kembali sebagai caleg.

Tentu ada perbedaan pemilu 2009 lalu dengan pemilu 2014 nanti?

Tentu berbeda situasi dan kondisinya. Di 2009, mayoritas mengharapkan SBY jadi presiden kembali untuk memimpin di periode berikutnya. Sekarang, semua orang menginginkan SBY berhenti dari kursi kepresidenan agar diganti oleh capres lain yang lebih tegas dan berani. Di sisi lain, infrastrutur partai kini sudah berjalan baik dibanding waktu itu. Kader pun lebih siap dalam menghadapi pesta demokrasi ini.

Lalu seperti apa karaker pemilih yang sekarang?

Sebenarnya sama tidak banyak berubah, masih pragmatis.

Apa yang telah dilakukan Anda?

Sebagai wakil rakyat harus memiliki kepekaan yang tinggi. Sebagai anggota DPR Komisi III, yang menjadi fokus perhatian saya di dapil adalah masalah hukum. Sewaktu ada kasus penembakan Kapolsek di Simalungun, tak berapa lama terjadi, saya datang berdialog dengan masyarakat. Kasus Lapas di Labuhan yang dibakar  mengakibatkan para napi kabur, saya lebih dulu terjun langsung dibanding yang lain. Begitu pula dengan kasus yang terjadi di Lapas Tanjunggusta. Kasus huru-hara di Siantar, saya pun sudah berada di Siantar.

Soal hakim cantik, saya pun datang untuk menggali informasi mengenai karakter dan permasalahan yang bikin heboh itu. Begitu juga ketika bencana meletusnya gunung Sinabung.Meletus jam 4 pagi, sorenya saya sudah berada di sana memberikan hati kita untuk memulihkan dan memberi semangat hidup kepada para pengungsi. Namun sayangnya, yang menjadi kelemahan saya adalah semua kegiatan di dapil itu tidak diekspos, karena saya tidak membawa media.

Apakah tingkat elektabilitas Anda tinggi dan berapa target suara?

Saya sudah dikenal tak hanya di Sumatara Utara saja, tapi di seluruh Indonesia. Masyarakat mengenal saya, karena sepak terjang, kepedulian dan perhatian terhadap masalah-masalah yang terjadi di negeri ini. Mengenai target suara, setidaknya untuk bisa duduk kembali di kursi DPR saya harus mendapat di atas 100 ribu suara. Ini bukan perkara mudah, karena dapil Sumut 3 itu terdiri dari 10 kabupaten/kota.Sangat ketat persaiangannya.

Kenapa Anda kembali memilih di dapil Sumut 3?

Bukan karena sudah merasa dikenal dan nyaman saja di dapil ini. Tapi, untuk memaksimalkan perolehan kursi Gerindra dari wilayah Sumatera Utara. Disamping itu, dapil Sumut 3 adalah tanah kelahiran saya.Di sinilah keluarga saya banyak dikenal orang. Kebetulan orangtua saya pernah bertugas sebagai anggota DPR.Mertua saya mantan bupati tiga periode dan saya mengenal betul karakter para pemilih di kampung halaman.

Program apa saja yang Anda tawarkan kepada masyarakat di dapil Sumut 3?

Saya duduk di Komisi III yang membidangi masalah keamanan, hukum dan HAM. Komisi ini dinilai sebagai komisi yang kering.Saya merasa selalu tertinggal dengan yang lainnya. Tak usah jauh-jauh, untuk dapil yang sama saja, banyak wakil rakyat yang memberi dana kepada ratusan desa-desa, bantuan pada koperasi-koperasi, bantuan hand tractor kepada para petani dan masih banyak lagi. Sedangkan saya hanya bisa membanggakan diri dengan apa yang saya lakukan agar dapil saya aman, polisi penegak hukum dicintai masyarakat, pengadilan tidak minta suap atau hukum berjalan sebagaimana mestinya. Karena cita-cita saya ingin memperbaiki polisi, penegakan hukum, dan kondisi Lapas lebih baik. Yang perlu dicatat bahwa sebenarnya apa yang mereka sumbang,  pada dasarnya juga menggunakan uang pemerintah.

Apa yang membuat Anda masih mau berada partai politik?

Berpolitik untuk membela kepentingan rakyat tidak harus melalui parpol, bisa melalui pers, LSM, ormas, profesi kita atau kegiatan lainnya. Hanya saja karena sistem sekarang mengatur bahwa kekuasan politik di negara ini didominasi oleh parpol, maka kalau kita mau berpolitik, agar kegiatannya efektif dan berhasil, cara yang paling efektif adalah melalui parpol. Tapi tidak boleh hanyut hanya untuk kepentingan parpol itu saja, harus tetap di dalam koridor membela kepentingan rakyat. Berpolitik melalui parpol harus tetap dalam kerangka membela dan memperjuangkan kepentingan rakyat luas.

Lalu apa harapan Anda di Pemilu 2014?

Saya berharap pemilu 2014 ini berjalan secara fair, tidak ada permainan money politic.Rakyat sebagai pemilih pun memilih dengan cerdas.Memilih berdasarkan rekam jejaknya dalam membangun bangsa ini.Bukan atas dasar materi yang ditawarkan banyak caleg. [G]

Catatan:

  • Artikel ini ditulis dan dimuat untuk Majalah GARUDA edisi September 2013
  • Pada Pemilu 2014 ini, Martin Hutabarat maju sebagai calon legislatif (caleg) DPR-RI dari Partai Gerindra nomor urut 1 dari daerah pemilihan (dapil) Sumatera Utara 3.

Lebih Dekat Dengan Martin Hutabarat: “Saatnya Indonesia Berubah”

Tenang, tapi meyakinkan dan penuh semangat. Setidaknya itulah Martin Hutabarat dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang wakil rakyat. Dibalik kesederhanaan dan kesahajaannya ia kerap menyampaikan kritikan pedas atas peristiwa dan momentum yang terjadi di negeri ini. Tak heran bila, sosok politisi kawakan ini dikenal vokal dan dihormati baik oleh kawan maupun lawan politiknya.

Panggung politik praktis telah ditekuninya sejak ia masih kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia dengan menjadi aktivis kampus hingga lulus pada tahun 1977. Sepuluh tahun kemudian, Martin pun tercatat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI periode 1987-1992 dari Golongan Karya. Dan pada pemilu 2009 lalu, ia pun berhasil melenggang kembali ke Senayan di bawah bendera Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dari daerah pemilihan (dapil) Sumatera Utara III dengan raihan suara 16.122 suara.

Sejak dulu sebagai wakil rakyat sikap politik Martin tak pernah berubah. Bahkan masih ingat dalam benaknya dulu ketika ia diperingatkan oleh partai karena dianggap terlalu vokal. Kini, kesulitan bebas berbicara sudah tak lagi dialaminya seperti waktu dulu. Ia pun mengetahui betul bagaimana menghargai kebebasan yang diraih dalam gerakan reformasi tahun 1998. Hingga detik ini, Martin pun tetap lantang menyuarakan pendapatnya. Bahkan tak ayal, pria yang pernah duduk sebagai staf BP7 Pusat ini kerap dijadikan narasumber kalangan pemburu berita terkait berbagai permasalahan yang ada. ”DPR sekarang ini mengalami banyak perubahan. Sekarang DPR bebas bicara karena berada dalam kondisi masyarakat yang demokratis. Meski kadang ada saja yang kebablasan keluar dari jalurnya,” tandas pria kelahiran Pematang Siantar, 26 November 1951 ini.

Baginya dengan berpolitik berarti ikut dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat luas. Oleh karena itu, kala diminta untuk ikut membidani lahirnya Partai Gerindra, sejak saat itu pula ia memantapkan diri untuk memperjuangkan apa yang menjadi perjuangan Partai Gerindra salah satunya ekonomi kerakyatan. ”Semua itu saya niatkan untuk membela dan memperjuangkan rakyat kecil,” ujarnya.

Kesehariannya sebagai anggota legislatif selain sibuk di Komisi III, Martin pun menjabat sebagai Ketua Fraksi Gerindra Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR-RI) dan anggota Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR-RI. Meski duduk di Komisi III, tak lantas membuat Martin hanya sekedar bersuara seputar persoalan yang ada di Komisi tersebut. Apalagi soal garis perjuangan Partai Gerindra yang menjadi kendaraan politiknya. ”Sudah menjadi tugas dan kewajiban kita sebagai anggota DPR untuk menjelaskan apa yang ditanyakan masyarakat kepada kita, karena kita adalah wakil rakyat,” tegasnya.

Termasuk ketika Redaksi Garuda menemuinya di ruang kerjanya beberapa waktu lalu untuk berbincang-bincang soal ekonomi kerakyatan –yang menjadi perjuangan Partai Gerindra— dengan senang hati dan penuh semangat, pria gaek ini pun memaparkannya kepada Hayat Fakhrurrozi dari Garuda. Berikut petikan wawancaranya:

Sebagai seorang politisi kawakan, menurut Anda politik itu apa?
Politik itu sebenarnya usaha rakyat untuk ikut dalam proses pengambilan keputusan yang memperjuangkan kepentingan masyarakat luas.

Bagaimana caranya?
Sistem sekarang mengatur bahwa kekuasan politik di negara ini didominasi oleh parpol, maka kalau kita mau berpolitik, agar kegiatannya efektif dan berhasil, cara yang paling efektif adalah melalui parpol. Tapi tidak boleh hanyut hanya untuk kepentingan parpol itu saja, harus tetap di dalam koridor membela kepentingan rakyat. Berpolitik melalui parpol harus tetap dalam kerangka membela dan memperjuangkan kepentingan rakyat luas. Tapi memang, berpolitik untuk membela kepentingan rakyat tidak harus melalui parpol, bisa melalui pers, LSM, ormas, profesi kita atau kegiatan lainnya.

Lantas sejak kapan Anda berpolitik?
Aktifitas dunia politik sudah saya geluti sejak masih dibangku kuliah yang pada akhirnya mengantarkan saya untuk terjun ke politik praktis tahun 1980-an hingga sekarang ini, baik lewat lembaga perwakilan rakyat maupun di beberapa organisasi massa dan dunia pers. Semua itu saya niatkan untuk membela dan memperjuangkan rakyat kecil. Dan sejak 2008 lalu hingga sekarang saya bergabung di Partai Gerindra.

Apa yang membuat Anda bergabung ke Partai Gerindra?
Garis perjuangan Partai Gerindra sangat jelas yakni berpihak pada rakyat untuk merubah Indonesia lebih baik dan berdaulat.  Disamping itu, sosok Prabowo Subianto dengan misi serta perjuangannya mengembalikan kembali Indonesia Raya mampu membakar semangat saya sebagai rakyat yang kini diamanahi mewakili rakyat.

Lalu apakah perjuangan Partai Gerindra sendiri sudah sesuai kerangka membela rakyat kecil?
Kalau kita melihat dari manivesto perjuangan Partai Gerindra itu sudah berangkat dari cita-cita tadi. Coba saja, lihat dan cermati ceramah, pidato-pidato politiknya Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, itu sudah membela dan memperjuangkan ekonomi untuk rakyat.

Menurut Anda Ekonomi untuk rakyat itu seperti apa sih?
Jadi Partai Gerindra selalu dari awal berjuang, agar pembangunan nasional berangkat dari ideologi kerakyatan. Dimana pembangunan itu bisa menghasilkan kesejahteraan pada rakyat. Khususnya untuk mengangkat nasib rakyat kecil agar bisa hidup layak di negara Indonesia. Maka tujuan membuat ekonomi untuk rakyat itu menjadi kebijakan pembangunan. Oleh karena itu sasaran pembangunan juga harus kepada rakyat kecil.

Bagaimana caranya?
Kebijakan-kebijakan yang membantu rakyat kecil itu harus menjadi prioritas pemerintah, misalnya kebijakan ekonomi yang bisa menciptakan lapangan kerja. Mengapa? Karena berpuluh juta rakyat kita sulit mendapatkan pekerjaan alias menganggur. Maka harus berorientasi pada lapangan kerja dan mudahnya orang untuk mendapatkan kebutuhan pokok. Pemerintah juga harus menjaga kebutuhan pokok dan dengan harga yang terjangkau. Kemudian, kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dan pelayanan kesehatan bagi rakyat kecil.

Lantas yang terjadi selama ini menurut Anda bagaimana?
Memprihatinkan dan ironis sekali. Saya lihat pemerintah sekarang terlalu didikte oleh pasar bebas, sehingga dalam kebijakan-kebijakan ekonominya selalu berpaku pada pasar bebas yang pada akhirnya kepentingan rakyat kecil kurang terlindungi. Salah satu yang harus kita perhatikan adalah bagaimana membatasi impor yang menunjang kemewahan dan yang berguna hanya untuk segelintir elit dan yang tidak menciptakan produktifitas sebaiknya dikurangi.

Rasanya sangat memalukan hasil-hasil pertanian kita masih diimpor dalam jumlah banyak, misalnya impor pangan saja hampir Rp 150 miliar per hari. Kan lucu kalau kita harus impor garam Rp 1 triliun. Padahal lautan kita kan luas. Kita juga aneh, jika kita harus impor jagung, kedelai, beras. Jadi kalau kita mengimpor pangan itu kan berarti kita mensejahterakan petani di negara lain, bukan di negari sendiri. Makanya kalau kita mengkompensasi melalui kebijakan subsidi BBM oleh pemerintah dari Rp 80 triliun menjadi Rp 30 triliun, maka hal itu bisa memotivasi peningkatan penghasilan di kalangan petani kita. Begitu juga di bidang-bidang lain harus dilakukan.

Kenapa hal ini terjadi, bukankah Indonesia itu kaya?
Ya, memang Indonesia itu memiliki kekayaan yang melimpah. Tapi dengan segala kekayaan alam yang begitu melimpah dan kondisi politik yang morat-marit telah dijadikan sasaran empuk oleh negara-negara asing memperkuat kekuasaannya. Indonesia telah masuk dalam cengkeraman penjajahan gaya baru. Bahkan pasca reformasi cengkeraman itu kian kuat. Ironisnya semua agenda penjajahan gaya baru itu dilaksanakan dengan cukup baik dan sigap oleh pemerintahan loyo yang selalu takut untuk lebih mementingkan kepentingan rakyatnya sendiri.

Melihat kondisi ini, kebijakan Partai Gerindra sendiri bagaimana?
Disamping terus memperjuangkan ekonomi untuk rakyat, sebagai pencerminan dari ekonomi kerakyatan, Gerindra juga serius mengawal pemberantasan korupsi, karena sudah merusak pembangunan dan kepentingan ekonomi nasional. Gerindra konsisten di bidang pemberantasan korupsi dan penegakan hukum. Konsisten memperjuangkan nilai-nilai ekonomi rakyat. Di fraksi semua kader berada dalam perjuangan itu.

Selama ini perjuangan Gerindra baik di partai maupun di fraksi?
Kita selalu kompak untuk memperjuangkan ekonomi kerakyatan. Tapi ingat, ekonomi kerakyatan itu kan perjuangan panjang, yang tidak bisa dihitung dengan berapa tahun bisa dijalankan. Tapi lebih pada komitmen untuk membuat kebijakan yang berpihak pada kepentingan rakyat kecil, misalnya membatasi impor yang bertahap. Tidak lantas langsung disetop. Harus ada tahapan, jangan malah meningkat seperti sekarang ini. Contoh kecil, sejak awal baik partai maupun fraksi Gerindra tetap ngotot menolak keras soal pembangunan gedung baru DPR, mengkritik pembangunan renovasi rumah dinas anggota DPR dan kebijakan-kebijakan pemerintah lainnya yang dianggap tak sejalan dengan perjuangan.

Lalu bagaimana Gerindra dalam mensosialisasikan perjuangan ekonomi rakyat?
Partai melakukan kaderisasi, kaderisasi kita sudah jalan sesuai sistem. Nah, dalam pernyataan dan ceramah-ceramah Ketua Dewan Pembina selalu menyampaikan apa yang menjadi perjuangannya yakni ekonomi untuk rakyat. Selain itu para kader baik di pusat hingga daerah sebagai mesin partai harus terus bergerak untuk mensosialisasi ekonomi kerakyatan yang menjadi perjuangan Gerindra dalam setiap kesempatan.

Bagaimana pula para kader yang duduk di fraksi dalam hal mengambil keputusan?
Kita di sini diberi kepercayaan penuh oleh Ketua Dewan Pembina sebagai anggota DPR/MPR, tapi beliau selalu berpesan bahwa di Gerindra harus berangkat dari ekonomi kerakyatan.

Apa harapan Anda agar ekonomi kerakyatan bisa dijalankan?
Sudah saatnya Indonesia berubah. Kita tak boleh merasa nyaman dengan kondisi saat ini. Untuk itu kita harus kembali ke ajaran luhur UUD 1945 dan Pancasila yang sejatinya mengatakan bahwa bangsa Indonesia harus dibawa menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Semoga seluruh elemen bangsa ini bisa. [G]

Biodata Singkat:
Martin Hutabarat

Tempat, Tanggal Lahir:
Pematang Siantar, 26 November 1951

Karir dan Jabatan:
– Anggota Dewan Penasehat Partai Gerindra
– Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) periode 2004-2009
– Anggota DPR-RI Fraksi Gerindra, Komisi III, periode 2009-2014
– Anggota Badan Kerjasama Antar Parlemen (BKSAP) DPR-RI

Catatan: Artikel ini ditulis dan dimuat untuk Majalah GARUDA, Edisi September 2011

Pertumbuhan untuk Keadilan

Indonesia memerlukan tingkat pertumbuhan ekonomi minimal 10 persen per tahun secara konsisten dan berkesinambungan selama 7 tahun untuk  bisa naik kelas.

 Kekayaan sumber daya alam dari perut bumi nusantara adalah sebuah rahmat. Tapi anugerah tanpa pengelolaan yang cerdas tak memberi sumbangsih yang berarti bagi penduduknya.

Lihatlah realita yang ada. Hasil dari kekayaan alam itu langsung diekspor ke luar negeri. Tanpa senuhan pengelolaan sebelumnya, nilai ekspor jelas rendah. Nilai tambah yang kecil dengan sendirinya memberi sumbangan yang kecil pula untuk pembangunan nasional. Apalagi bila hasil itu hanya dinikmatioleh segelintir kalangan. Paradigma seperti ini mau tidak mau harus diubah dalam menapak langka yang lebih baik di hari esok.

Sejatinya, program pembangunan nasional yang akan dilaksanakan bertujuan untuk memberantas kemiskinan, kelaparan, kebodohan, serta mengejar ketertinggalkan bangsa kita dari negara lain. Tujuan tersebut akan tercapai dengan menciptakan lapangan pekerjaan atau usaha yang luas, berkeadilan bagi penghidupan yang layak, disertai terjaminnya pemenuhan seluruh hak-hak dan kebutuhan dasar masyarakat. Upaya lain adalah menciptakan nilai tambah yang tinggi dari kelimpahan kekayaan sumber daya alam untuk kemajuan bangsa.

Tujuan dasar pembangunan nasional ini diharapkan dapat tercapai dengan meningkatkan kedaulatan bangsa, kemakmuran rakyat, serta kemajuan Indonesia menuju masyarakat adil dan makmur. Tapi faktanya, pengalaman pembangunan nasional yang dilaksanakan sebelumnya belum mampu secara mendasar dan menyeluruh mengatasai permasalahan terkait. Pasalnya, selama ini, menempatkan dan meletakkan kemiskinan, kelaparan, dan kebodohan layaknya sebagai salah satu kegagalan pasar semata.

Tak ayal jika dalam strategi dan kebijakan serta program pembangunan nasional, pengentasan kemiskinan kelaparan dan kebodohodan didekati dan diatasi dengan pendekatan residual –sebagai ikutan atau sisa dari strategi dan kebijakan bidang atau sektoral— dan mengharapkan berlangsungnya efek menetes ke bawah. Buktinya, hingga kini, masalah kemiskinan, kelaparan dan kebodohan masih tetap ada dan bahkan relatif besar di Indonesia. Tidak hanya itu, tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita Indonesia sendiri masih tergolong dalam kelas negara berpendapatan menengah bawah. Mengapa ini terjadi?

Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdaulat, aman, damai dan stabil diharapkan menjadi modal utama dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional secara komprehensif. Utamanya di bidang ekonomi, keberhasilan dan kemajuannya diharapkan mampu kembali memberikan kontribusi dan dukungan bagi upaya menjaga kedaulatan NKRI. Untuk itu, dibutuhkan strategi pembangunan nasional yang tepat.

Terkait dengan itu, Prabowo Subianto, menawarkan visi dan misi pembangunan nasional yang diterjemahkan dan dirumuskan ke dalam satu strategi yakni Strategi Dorongan Besar (big-push strategy) yang terdiri dari empat komponen terpadu.  Pertama, Stategi Pokok (grand strategy); membangun landasan yang kokoh. Kedua, Strategi Utama; membangun mesin pertumbuhan berkualitas. Ketiga, Strategi Pendukung; membangun lingkungan yang memampukan. Keempat, Strategi Implementasi; menerapkan tata kelola pemerintahan yang baik.

Menurutnya, dari keempat komponen strategi dorongan besar tersebut, strategi pokok dijadikan sebagai strategi mendasar yang melingkupi seluruh strategi utama, pendukung dan implementasi dalam kebijakan dan program pembangunan Indonesia ke depan. ”Strategi pokok ini sangat penting sehingga harus ada dalam setiap langkah dan proses pembangunan itu sendiri. Tidak boleh tidak. Strategi pokok ini juga merupakan tujuan dan sasaran pembangunan yang bersifat hakiki dan abadi,” tegasnya, seperti yang tertuang dalam bukunya Membangun Kembali Indonesia Raya, Haluan Baru Menuju Kemakmuran (2009).

Strategi Pokok

Strategi pokok membangun landasan yang kokoh oleh Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dirumuskan menjadi 5 (lima) yakni: Pertama, menjaga kedaulatan NKRI yang aman, damai dan stabil. Kedua, mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, berkesinambungan dan berkeadilan. Ketiga, menciptakan lapangan pekerjaan dan lapangan usaha berkualitas. Keempat, memberantas kemiskinan, kelaparan dan kebodohan. Kelima, menciptakan lingkungan sehat, bersih dan berkualitas.

Menurut Prabowo, pendiri sekaligus Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, kedaulatan negara dalam wilayah NKRI merupakan syarat mutlak dan dasar bagi terciptanya Indonesia yang aman, damai dan stabil. Sebagai rumusan pertama, kedaulatan ini meliputi aspek pertahanan keamanan, politik, hukum internasional serta penegakan hukum dan hak asasi manusia.

Begitu pula pada rumusan kedua, untuk bisa mencapai kemakmuran rakyat, kemajuan perekonomian, serta mengejar ketertinggalan, perekonimian Indonesia harus mampu tumbuh relatif tinggi. Pertumbuhan ekonomi tinggi yang dimaksud adalah yang memiliki tingkat pertumbuhan relatif lebih tinggi dibanding dengan dua aspek, yaitu dibanding dengan pertumbuhan ekonomi nasional sebelumnya dan pertumbuhan ekonomi negara-negara lain di dunia.

Dalam buku tersebut Prabowo juga menegaskan, mestinya pertumbuhan ekonomi harus mampu menciptakan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita Indonesia sendiri masih tergolong dalam kelas negara berpendapatan menengah bawah. Untuk bisa naik kelas dari negara golongan pendapatan menengah bawah ke menengah atas, setidaknya sejajar dengan Afrika Selatan, Brazil, Argentina, Malaysia, dan Mexico, diperlukan peningkatan pendapatan lebih dari dua kali atau minimal sebesar 3.706 dolar Amerika. Dengan tingkat pertumbuhan ekonomi baik jangka menengah (2000-2007) saat ini yang hanya 5,1 persen (World Bank 2009), maupun dengan level jangka menengah yang paling baik sekalipun (1990-2000) yang sebesar 7,5 persen, cita-cita negara berpendapatan menengah kelompok atas yakni 3.706 dolar atau sekitar Rp 40 juta per tahun per orang sepertinya tidak akan mungkin tercapai.

Setidaknya, Indonesia memerlukan tingkat pertumbuhan ekonomi minimal 10 pesen per tahun secara konsisten dan berkesinambungan selama 7 tahun untuk bisa naik kelas dari negara berpendapatan menengah kelas bawah ke menengah kelas atas dengan pendapatan per kapita 3.706 dolar. Itu pun dengan asumsi negara-negara lain bertumbuh tetap dan stabil seperti saat ini, dan tidak ada negara lain yang mencapai pertumbuhan ekonomi luar biasa di luar tingkat pertumbuhan ekonomi saat ini.

Nyatanya dengan program pembangunan nasional yang dijalankan saat ini, cita-cita dan target tersebut sepertinya tidak akan tercapai, karena dalam 10 tahun terakhir ini pertumbuhan ekonomi nasional relatif tidak jauh berbeda atau bahkan masih sama saja dengan kondisi pada saat sebelum krisis ekonomi. ”Selama ini kita terjebak dan didikte oleh kepentingan dan dominasi negara-negara asing. Hal ini diperparah lagi dengan sikap tidak mau tahu dan kelengahan para elit nasional,” tegasnya.

Sementara Martin Hutabarat, anggota DPR-RI dari Fraksi Gerindra, menegaskan rumusan menciptakan lapangan pekerjaan dan lapangan usaha berkualitas merupakan perwujudan dari hak bagi setiap warga negara dan penduduk Indonesia untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27 ayat b yang berbunyi, ”Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Memang, banyak faktor dan aspek yang menyebabkan seseorang tidak bisa memperoleh pekerjaan dan sifatnya sangat kompleks. Selain itu, penciptaan lapangan kerja juga harus mampu menyerap tenaga kerja sesuai dengan tingkat pendidikan, keterampilan, keahlian dan kemampuan ekonomi.

Selain itu, upaya pemberantasan kemiskinan, kelaparan dan kebodohan perlu mendapat perhatian dan fokus pokok dalam setiap pelaksanaan pembangunan. Menurut anggota Komisi III DPR-RI ini, kemiskinan, kelaparan dan kebodohan sejatinya melanggar hak asasi manusia. ”Strategi pembangunan yang menempatkan dan menjadikan kemiskinan, kelaparan dan kebodohan menjadi fokus pokok sangat sesuai dengan amanah Undang-Undang Dasar 1945,” tegasnya.

Begitu juga pada rumusan terakhir, lingkungan hidup yang berkualitas dan lingkungan keberagaman plasma nutfah juga dapat menjadi modal dan keunggulan dalam proses produksi suatu komoditas atau barang. Karenanya, bisa menjadi salah satu nilai tambah yang jauh lebih tinggi di mata konsumen, seperti produk hijau (green product) yang tengah menjadi tren global.

Strategi Utama

Untuk dapat melaksanakan dan mencapai tujuan serta sasaran dari lima strategi pokok, maka diperlukan adanya strategi utama –yang menjabarkan lebih pada operasional dan prioritas dalam  konteks dan dinamika serta tantangan pembangunan saat ini. Setidaknya, ada delapan strategi utama –yang dicanangkan Prabowo Subianto— yakni: Pertama, membangun kedaulatan pangan nasional. Kedua, membangun kembali keudalatan enegeri nasional. Ketiga, mengembangkan industri nasional yang unggul dan bernilai. Keempat, memberdayakan BUMN sebagai motor dan agen utama penggerak pembangunan. Kelima, membangun ekonomi kerakyatan berdasarkan nasionalisme dan berbasis sumber daya sosial bangsa. Keenam, akselerasi pembangunan pedesaan. Ketujuh, percepatan pembangunan infrastruktur. Dan terakhir, membangun kembali kedaulatan pengelolaan sumber daya alam nasional.

Menurut Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Gerindra, Fadli Zon, dari delapan strategi utama diatas, yang menjadi prioritas dan diharapkan menjadi strategi utama primer dalam pencapaian pertumbuhan berkualitas adalah membangun kedaulatan pangan dan membangun kembali kedaulatan energi nasional yang didukung oleh pengembangan industri yang unggul dan bernilai tambah tinggi. ”Untuk mencapai kedaulatan pangan nasional, peningkatan produksi pangan utama Indonesia harus mampu tumbuh signifikan jauh lebih besar dari tingkat pertumbuhan penduduk setiap tahun ditambah tingkat kenaikan permintaan dunia dan tingkat kenaikan pendapatan penduduk per kapita,” urainya.

Lebih lanjut, Fadli mengatakan, untuk dapat menjadi motor dan penggerak utama pembangunan nasional, terutama dalam bidang pangan dan energi, termasuk di dalamnya industri sekunder pangan dan energi, pengembangan ke depan harus mampu menjadikan BUMN lebih terintegrasi, sinergis dan mampu berkompetisi secara global.

Sebagai suatu entitas bisnis dan usaha, BUMN memiliki dan menguasai aset yang relatif sangat besar dengan nilai total aset mencapai Rp 1.500 triliun. BUMN disamping sebagai entitas bisnis, sekaligus memiliki misi dan peranan sosial dalam kerangka pembangunan nasional. Maka tak heran jika institusi ini memiliki karakter dan sifat yang unik, yaitu relatif mudah dan efektif untuk diarahkan oleh pemerintah untuk tujuan dan sasaran pembangunan atau program tertentu.

Sementara Hashim Djojohadikusumo, anggota Dewan Pembina Partai Gerindra menegaskan, wilayah pedesaan yang merupakan sentra produksi pangan nasional belum mendapatkan perhatian. Parahnya lagi, seluruh sumber daya modal kapital serta modal sosial masyarakat pedesaan terserap dan ditarik sebagian besar ke daerah perkotaan tanpa ada mekanisme untuk mengembalikannya. Padahal sumber daya masyarakat pedesaan itu penting untuk direinvestasi dan dimanfaatkan bagi masyarakat pedesaan. ”Paradigma dan kebijakan pembangunan yang timpang dan bias ke perkotaan ini tentu menyebabkan ketimpangan dan ketidakmerataan yang besar antara wilayah pedesaan dan perkotaan,” tegasnya.

Begitu pula dengan kondisi infrastruktur pertanian di pedesaan seperti irigasi, waduk, jalan usaha tani, dan pengairan sudah lama sekali tidak mendapatkan pemeliharaan. Alih-alih melakukan pembangunan baru di daerah sentra produksi utama, perbaikan jaringan yang rusak pun belum dilakukan. Saat ini ketersediaan jaringan irigas pertanian dan sarana pendukung lainnya baru dapat memenuhi 75 persen saja sementara total luas lahan pertanian ada 6,7 juta hektar, jadi baru sekitar 4,9 juta hektar sawah berproduksi.

Sebagai ilustrasinya, menurut Anak Agung Jelantik Sanjaya, anggota Komisi IV –yang membidangi pertanian, kehutanan, pertanahan dan kelautan— dari Fraksi Gerindra DPR-RI menegaskan, dalam satu hektar sawah irigasi menghasilkan padi rata-rata 6 ton, maka dalam setahun bisa menghasilkan padi sebanyak 12 ton GKG jika ditaman tiga kali dalam setahun. Bila dikalikan dengan luas sawah irigasi seluas 4,9 juta hektar, maka produksi padi mencapai 58,8 juta ton GKG per tahun yang akan menjadi beras 5,8 juta ton GKG kali 63 persen sehingga hasilnya 37 juta ton beras.

Dengan jumlah konsumsi beras nasional sekitar 31,70 juta ton per tahun, sehingga terjadi surplus beras. Dengan target produksi beras 37 juta ton, per tahun, berarti terjadi surplus sebesar 5,3 juta ton. Dengan ini Bulog tidak perlu lagi mengimpor beras. Dan target swasembada pangan tercapai dan bahkan bisa ekspor. Gambaran ini menjelaskan betapa strategis dan menentukannya peranan irigasi, infrastruktur jalan dan jaringan pengairan lainnya dalam peningkatan produski padi nasional.

Selain itu pengembangan transportasi massal harus didasarkan pada konsep berkelanjutan, yaitu melihat jauh ke depan, berdasarkan perencanaan jangka panjang yang komprehensif dan berwawasan lingkungan. Pasalnya, menurut Nur Iswanto anggota Komisi V –yang membidangi Infrastruktur, dan Perhubungan— dalam kondisi harga bahan bakar minyak yang melejit, kemacetan, serta terbatasnya sarana dan prasarana jalan, pengembangan kereta api diharapkan bisa mengatasi permasalahan transportasi nasional. Permasalahan perkeretaapian saat ini tidak terlepas dari kebijakan dan sasaran yang tidak erektif di masa lalu. ”Sudah saatnya kita membenahi dan memerhatikan secara serius peran kerata api sebagai salah satu moda transportasi yang murah dan cepat. Pemerintah perlu melakukan revitalisasi perkeretaapian, karena hampir 90 persen transportasi kita menggunakan jalan raya,” tegasnya.

Secara mendasar cita-cita, tujuan dan sasaran serta strategi diatas dapat dicapai apabila perekonomian Indonesia dibangun diatas fondasi dan berdasarkan kelimpahan dan keunggulan sumber daya alam, termasuk posisi strategis sebagai negara tropis yang didorong oleh kualitas sumber daya manusia yang unggul.

Strategi Pendukung

Tentunya, untuk dapat mencapai target dan sasaran pembangunan nasional, disamping pelaksanaan strategi pokok dan strategi utama, diperlukan dukungan yang utuh dan komprehensif dari strategi pendukung lainnya. Strategi ini merupakan rangkaian strategi yang terdiri dari: Pertama, kebijakan makroekonomi yang bersahabat dan berpihak. Kedua, sistem hukum nasional yang tegak dan adil. Ketiga, sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas. Keempat, mengendalikan pertumbuhan penduduk dan pemerataan distribusi dan kualitas penduduk.

Sejatinya, menurut Hashim, sektor keuangan dan perbankan nasional pun perlu direorientasikan kepada dukungan dengan keberpihakan langsung dan efektif untuk pembangunan nasional. Selain itu pendidikan yang berkualitas diharapkan melahirkan sumber daya manusia yang kreatif dan inovatif.

Laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi juga harus dapat dicapai dan terus dipertahankan secara terus menerus dari tahun ke tahun. Pun dengan kesinambungan dan konsistensi pertumbuhan ini diperlukan pula karakteristik dan sifat yang berkeadilan. Artinya peningkatan pendapatan serta kemajuan ekonomi dapat dinikmati lebih banyak dan merata oleh kelompok masyarakat kecil berpendapatan rendah yang mendominasi jumlah penduduk Indonesia.

Prasyarat lain yang diperlukan dalam pembangunan nasional dengan ’strategi dorongan besar’ adalah adanya pemerintahan yang kuat, tegas, bersih dan efektif. Inilah yang menurut Hashim, pengusaha sukses sekaligus politisi Partai Gerindra, –yang  ditegaskan Prabowo dalam setiap kesempatan— sebagai Strategi Implementasi; menerapkan tatakelola pemerintahan yang baik. Pemerintahan yang bebas dari perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Dimana perilaku aparatur pemerintah masih belum bebas dari jebakan dan godaan KKN yang sudah mengakar.

Reorientasi kepada paradigma pembangunan nasional yang berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945 ini sudah mendesak untuk ditetapkan dan dilaksanakan. Dan Indonesia membutuhkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkesinambungan untuk mencapai keadilan dan kemakmuran rakyat serta menghindari perpecahan bangsa. ”Cita-cita diatas akan semakin jauh dari kenyataan, bila tidak ada perubahan mendasar dan terobosan luar biasa dalam strategi dan kebijakan pembangunan nasional,” tegasnya. [G]

Catatan: Artikel ini ditulis dan dimuat untuk Majalah GARUDA, edisi Agustus 2011