Ketika Politik Menggoda Ulama

Tak bisa dipungkiri, peran ulama dalam kehidupan perpolitikan Indonesia begitu besar. Negeri ini merdeka terbebas dari kaum penjajah juga tak lepas dari upaya serta kegigihan perjuangan para kyai. Lantas bagaimana kondisi hari ini? Terlebih ketika jelang pemilu baik pemilihan anggota legislatif maupun pemilihan presiden atau kepala daerah? Tampak dengan kasat mata, para alim ulama berada di antara mereka yang tengah bertarung.

073Sejatinya, kehadiran ulama di ranah politik bukan kali ini saja. Bahkan sejak jaman revolusi ulama sudah ikut mengawal perjalanan bangsa ini. Ulama sebagai pewaris nabi, musti bertanggungjawab terhadap perbuatan para penyelenggara negara dan masyarakat (umat islam). Tugasnya membina masyarakat dalam menjalankan syariah baik lewat pendidikan maupun siraman atau ceramah agama. Sementara terhadap penyelenggara negara (pejabat) di pemerintahan, ulama berkewajiban mendampingi, membimbing pejabat untuk selalu amanah mengemban tugas.

Kalau bicara hari ini, di tengah hiruk pikuk pemilihan presiden (pilpres) 2014, banyak kaum alim ulama yang merapat ke kubu Prabowo Subianto – Hatta Rajasa (Prabowo Hatta). Tak sedikit pula, para kyai yang berada di kubu Joko Widodo – Jusuf Kalla (Jokowi-JK). Tentu saja, kita tidak mengetahui apa yang diniatkan para alim ulama itu terkait keberadaannya di tengah-tengah kedua kubu. Apakah itu sebagai sikap politik yang benar-benar untuk mendukung pencalonan sang capres-cawapres? Atau hanya untuk sekadar membantu? Atau faktor lainnya, wallahu a’laam bishshowab. Yang jelas, seorang ulama atau kyai pastinya tak sekadar memiliki pengikut, tapi punya pengaruh yang kuat juga bagi umat yang dibinanya.

Jika ditilik dari tugas dan tanggungjawab seorang ulama, mustinya peran mereka berada di ranah politik untuk membina umat dan mendampingi sang pejabat agar tidak menyimpang. Tapi, nyatanya? Tak sedikit dari mereka yang kerap menjual ‘agama’ untuk mengamankan atau meneguhkan dalil-dalil politiknya itu. Boleh jadi, karena pemahaman atau tafsir mereka yang dianggap benar menurut versinya sendiri. Sepertinya di sinilah kredibilitas sebagai ulama di pertaruhkan. Apakah cukup kuat dari berbagai godaan politik, atau malah begitu mudahnya tergoda rayuan politik.

Memang, di kubu Prabowo-Hatta misalnya, begitu banyak kaum ulama yang mendukung dalam pilpres 2014 ini. Pasalnya, dengan penuh keyakinan pilihan mereka untuk berada di belakang pasangan capres-cawapres ini merupakan upaya penyelamatan umat, negara dan bangsa. Bisa jadi memang, karena para ulama menilai pasangan nomor urut 1 ini mampu membawa bangsa dan negara lebih sejahtera, makmur, berdaulat adil dan makmur. Sebab, para kyai yang berdiri di kubu ini baik yang terang-terang atau di belakang layar berkeyakinan bahwa inilah yang musti dilakukan oleh ulama sebagai pembina umat.

Lalu bagaimana dengan ulama yang berada di sekitar pasangan Jokowi-JK? Bisa jadi alasananya hampir sama dengan ulama yang memilih duduk bersama pasangan Prabowo-Hatta. Tapi, sepertinya para ulama ini lupa atau entah kenapa sehingga mau mendukung, dan malah membantu pasangan nomor urut 2 ini. Padahal, ajaran Islam –yang mungkin mereka lebih fasih, lebih hafal dan memahami— mengatakan bahwa ciri pemimpin yang baik itu sidiq, amanah, tabligh dan fathonah. Dimana keempat sifat tersebut juga ada pada sosok Rasulullah Shallalahu Alaihi Wasallam sebagai seorang pemimpin umat, dan negara. Dan keempat sifat itu menjadi satu kesatuan, tidak bisa dipisah antara satu dan yang lainnya.

Pun dengan hadist yang mungkin anak kecil pun paham bahwa ada tiga tanda/ciri-ciri orang Munafik, yaitu jika berbicara ia bohong, jika berjanji ia ingkar dan jika dipercaya ia khianat. Sekedar untuk mengingatkan, berikut bunyi hadist tersebut:

Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallalahu Alaihi Wasallam bersabda, “Tanda-tanda orang munafik ada tiga: jika berbicara ia berbohong, jika berjanji ia mengingkari, dan jika diberi amanah ia berkhianat.”

Tanda Munafik - ilustrasiEntah kenapa, yang membuat hadist shahih yang begitu populer itu, seakan hilang dari ingatan para ulama itu? Entah ‘sesuatu’ apa yang membuat para ulama begitu tergoda sehingga mau duduk bareng bersama orang-orang yang diduga menjadi bagian dari apa yang diperingatkan oleh hadist tersebut. Bukan maksud hati untuk mempermalukan para ulama yang dengan penuh ghirah (semangat) berada di kubu pasangan nomor urut 2, khususnya di belakang sang capres.

Lalul kenapa? Mustinya, ulama –yang kini berada di kubu Jokowi-JK— ingat bagaimana ketika seorang Jokowi bertarung memperebutkan kursi nomor 1 Balaikota DKI berjanji akan menjalankan amanah sebaik-baiknya selama 5 tahun. Pun ketika sudah terpilih, dengan lantang menyeru bahwa dirinya akan menyelesaikan tugasnya sebagai gubernur sampai akhir jabatan. Tapi buktinya? Jelang pileg 2014, mungkin dengan harapan mendongkrak keterpilihan para caleg dari partainya, Jokowi di hari Jumat menyatakan diri siap maju sebagai bakal capres. Ada banyak media dan saksi hidup yang tahu akan hal ini.

Konon, majunya Jokowi karena diminta oleh partainya bernaung yang diperkuat lantaran desakan rakyat. Memang mengatasnamakan rakyat, lalu apakah warga Jakarta yang dulu memberi amanat kepadanya bukan rakyat? Atau alasan demi kemaslahatan bagi rakyat yang lebih banyak, sehingga dengan teganya meninggalkan dan menghianati warga Jakarta yang telah mempercayainya pada pilkada DKI 2012 lalu? Kalaulah warga Jakarta –yang paling tidak sekitar 7 juta– yang sudah menaruh besar harapan padanya lalu dicampakkan begitu saja, bagaimana kalau sekarang tengah mengumbar janji di mana-mana, di seluruh nusantara. Janji tetaplah janji yang harus ditepati. Amanah tetaplah amanah yang musti dijalani. Bukan dulu ngomong begitu begini, lantas dibohongi.

Okelah, apapun dalil-dalilnya yang membuat Jokowi maju sebagai bakal capres yang diajukan oleh partainya. Tapi, kalaulah memang orang-orang di sekitarnya dan termasuk dirinya memahami isi dan maksud hadist tersebut, mustinya malu, dan takut akan ‘label’ yang menempel pada dirinya. Bisa satu, dua atau bahkan ketiga-tiganya dari ciri-ciri tersebut.

Pun ketika Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan dua pasangan capres-cawapres, dukungan dari kalangan ulama terus menyemut di dua kubu. Sekali lagi, memang harus diakui, gemerlap politik begitu menggoda ulama. Tentunya, ketika alasan serta niat para ulama ini bergabung, mustinya apa yang mereka lakukan hanya karena niatan tulus, menjalankan tugas utamanya sebagai ulama yakni membina, membimbing umat ke jalan yang lurus dan benar sesuai tuntunan agama.

Bahkan beragam jenis black campaign yang dilakukan oleh para simpatisan, kader, termasuk orang-orang ‘terpandang’ yang masuk dalam tim sukses Jokowi-JK terhadap Prabowo, ulama yang berada di barisan kubu ini sama sekali tak meluruskan. Bahwa apa yang mereka lakukan adalah bentuk dari fitnah. Semisal seputaran masa lalu Prabowo sebagai seorang tentara yang selalu saja dikait-kaitkan dengan kasus pelanggaran HAM. Bukan hanya itu, kedudukannya saat itu sebagai Pangkostrad dituduh ikut berperan dalam tragedi Trisakti dan atau huru-hara Mei 1998. Padahal sudah jelas-jelas sudah ada ketetapan hukum bahwa Prabowo tidak terlibat. Termasuk ketika dalam Debat Capres-Cawapres jilid pertama, Prabowo menjawab sekaligus mengklarifikasi langsung atas tuduhan tersebut. Toh, dia sebagai prajurit, yang kala itu dipercaya sebagai komandan dengan kesatria mengambil alih tanggungjawab yang mustinya itu menjadi tanggungjawab Panglima ABRI kala itu.

Nah, mustinya ulama –yang sudah kepalang kadung berada di barisan Jokowi-JK— sadar bahwa apa yang dilakukan mereka itu salah, seharusnya meluruskan. Kalaulah memang, Prabowo menjadi bagian dari peristiwa kelabu itu, apakah lantas Prabowo tidak berhak dan tidak layak untuk tampil sebagai peminpin negeri ini? Masih belum cukupkah, sikap nasionalis, patriotis serta cinta tanah air yang ada pada dirinya?

Entah kenapa ulama bisa lupa atau memang melupakan sosok sahabat Sayyidina Umar bin Khattab atau sayyidina Khalid bin Walid, pejuang Islam yang selalu ada di sisi Rasulullah Shallalahu Alaihi Wasallam. Dimana keduanya dulu begitu dikenal sebagai sosok yang berdarah-darah dalam memerangi Islam. Tapi setelah masuk dalam barisan Rasulullah Shallalahu Alaihi Wasallam mereka terdepan dan dibanggakan umat Islam. Memang, jika membandingkan sosok Prabowo dengan kedua sahabat itu sangat jauh berbeda, baik masa maupun kondisinya. Tapi hakikatnya, kalau Rasulullah Shallalahu Alaihi Wasallam  saja begitu mengagumi perjuangan dan sikap tegas kedua sahabatnya, kenapa ulama tidak? Setidaknya meluruskan orang-orang yang ada di kubu nomor urut 2, bahwa tuduhan –yang meskipun tak berdasar— yang diarahkan Prabowo sebagai pelanggar HAM itu tidaklah benar.

Jadi, apakah para kyai, ulama, cendikiawan muslim, ustadz atau apapun sebutannya, lupa akan hal itu? Atau memang ada hal lain yang akhirnya mereka tergoda? Bukankah tugas pokok dan fungsi ulama untuk berada paling depan dan menyerukan amar makruf nahi munkar? Karena mereka adalah para pewaris nabi. Ini sekadar opini, kritik terhadap sepak terjang para ulama di pentas panggung politik. Semoga

Zaid Elhabib : Berjuang Menggerakkan Ekonomi Kerakyatan

Zaid Elhabib tergelitik memasuki dunia politik melihat kondisi Indonesia karut marut. Pemahamannya kian dalam setelah kerap berdiskusi dengan seorang rekannya yang sudah lebih dulu terjun ke dunia politik. Ketika rekannya meminta bantuan membentuk kepengurusan sebuah partai politik, Zaid menganggukkan kepala.

zaidSejak saat itu pula ia mengikuti jejak temannya terjun ke dalam politik praktis. Dia bergabung di kepengurusan Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Kabupaten Tangerang sebagai salah satu pengurusnya. Di sini mantan aktivis kampus dan ormas pemuda ini ditempatkan di kursi salah satu pengurus.

Lahir dan besar di Jakarta, Zaid memahami betul kehidupan sosial dan politik masyarakat di ibukota. Ketimpangan sudah menjadi pemandangan yang lazim. Itu sangat mungkin sama lasimnya dengan kesemrawutan pembangunan di negeri ini.

Pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2009, pria kelahiran Jakarta, 12 Oktober 1969 ini pun maju sebagai calon legislatif (caleg) untuk DPRD Kabupaten Tangerang dari daerah pemilihan (dapil) 5 yang meliputi Serpong Utara, Serpong Induk, Setu, Pagedangan, Cisauk dan Pondok Aren. Sebagai pemula sekaligus di partai yang baru ikut pemilu, tentu ini bukan tugas yang mudah. Sembilan bulan lamanya, ia pun harus rela keluar masuk kampung pulang malam untuk mengenalkan diri dan mensosialisasikan partai berlambang kepala burung garuda itu. Terlebih waktu itu ia masih tercatat sebagai karyawan sebuah perusahaan properti di Jakarta. Akhirnya, jerih payah serta perjuangannya membuahkan hasil, ia pun melenggang ke kursi parlemen Kabupaten Tangerang bersama tiga rekannya.

Tahun 2010, Kota Tangerang Selatan hasil pemekaran dari Kabupaten Tangerang terbentuk. Maka sejak saat itu, Zaid bersama seorang rekannya yang berdomisili di dapil yang masuk wilayah Tangerang Selatan, dipindah untuk mengisi dua kursi di DPRD Tangerang Selatan. Seiring dengan itu, dibentuk pula kepengurusan DPC Partai Gerindra Tangerang Selatan dan Zaid pun ditunjuk sebagai ketuanya. “Amanat ini harus saya emban dengan penuh tanggungjawab, meski sangat berat dan tidak mudah demi terwujudnya perubahan di negeri yang lebih baik,” ujarnya.

Menurutnya, meski termasuk kawasan kota modern, Kota Tangerang Selatan juga masih menghadapi masalah sosial yang cukup tinggi. Untuk itu sesuai dengan delapan program aksi yang dicanangkan Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Prabowo Subianto, sebagai anggota dewan pihaknya tengah memperjuangkan upaya-upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui kegiatan ekonomi kerakyatan seperti koperasi. Tak kalah pentingnya adalah penataan serta pengembangan pasar tradisional dan modern yang kian bermunculan. Termasuk menata warung-warung tradisional milik warga agar bisa bersaing dengan minimarket yang sudah menjamur di mana-mana. “Sebagai kota perdagangan dan wisata, kami di dewan terus memperjuangkan peraturan-peraturan yang memihak masyarakat Tangsel,” ujar anggota Komisi II yang membidangi masalah kesejateraan masyarakat ini.

Bahkan di mata Zaid, perkembangan Tangsel sebagai kota modern boleh dibilang autopilot. Pasalnya, menurut Zaid, kota ini sudah banyak pengembang-pengembang besar yang sudah membuat tata kota yang lebih modern. Seharunya pemerintahan bisa mengikuti pengembang-pengembang itu dalam hal pembangunan tata kota, sehingga bisa melebihi dari kawasan yang dikembangkan oleh pengembang-pengembang yang ada. “Kalaupun dibiarkan saja, kota ini sudah terbentuk dengan sendirinya oleh pengembang, terkecuali daerah-daerah yang tidak dijamah oleh pengembang. Seharusnya pemerintah kota melihat hal ini sebagai peluang yang bisa meningkatkan pendapatan asli daerah dan memudahkan dalam membuat perda-perda,” tandasnya.

Di kota seluas 1,43 kilometer persegi dengan jumlah penduduk sekitar 1,2 juta jiwa yang tersebar di 7 kecamatan dan 54 kelurahan, Partai Gerindra mampu menunjukkan eksistensinya sebagai partai yang menjadi harapan masyarakat. Hal ini terlihat dari antusiasme warga di setiap kegiatan Gerindra. Terlebih dengan adanya dua armada berupa kendaraan operasional dan ambulan Kesira yang terjun langsung sangat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. “Armada itu kita rolling setiap bulannya ke setiap kecamatan yang ada di Tangsel,” ujarnya sembari menyebutkan setidaknya kini sudah ada sekitar 50-60 ribu anggota baik kader maupun simpatisan.

Untuk itu, dalam setiap kesempatan, Zaid selalu berpesan kepada kader Gerindra agar tetap semangat, menjaga kekompakan, kebersamaan dalam memenangkan Partai Gerindra dan mengantarkan Prabowo sebagai Presiden di 2014 mendatang. Selain itu Zaid pun mengajak para kader untuk terus memberikan yang terbaik kepada masyarakat, jangan sampai putus. [G]

Catatan: Artikel ini ditulis dan dimuat untuk Majalah GARUDA edisi Agustus 2012

Peta Kekuatan Politik Prabowo

Sampai hari ini Prabowo Subianto adalah calon Presiden RI terpopuler. Namanya kerap disebut di urutan paling atas dalam setiap survei manapun. Prabowo tak sekedar paling dikenal oleh rakyat yang menjadi pemilih pada Pemilu 2014 mendatang, tapi memiliki kekuatan dari segi massa politik.

psPesta demokrasi lima tahunan memang masih lama, tapi hiruk pikuk persiapan ‘perang’ politik jelang 2014 kian terasa. Buktinya, tak sedikit parpol termasuk tokoh politiknya mendeklarasikan diri untuk maju dalam pemilihan presiden (pilpres) mendatang. Meski bisa dipastikan pada akhirnya tawar menawar kekuatan, persekutuan dan dukungan akan mewarnai peta perpolitikan usai pemilihan umum legislatif (pileg) nanti.

Memasuki semester kedua tahun 2012 ini, muncul sejumlah sosok calon presiden yang menjadi perbincangan publik. Salah satunya adalah Prabowo Subianto, Ketua Dewan Pembina Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) ini memiliki popularitas paling tinggi. Partai Gerindra sendiri telah menetapkan Prabowo Subianto sebagai calon Presiden RI 2014-2019, pada Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Gerindra di Bukit Hambalang, Bogor, Jawa Barat, pertengahan Maret lalu.

Berdasarkan survei yang dilakukan Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) yang dirilis Rabu, 6 Juni 2012 silam, menunjukkan elektabilitas Prabowo sebagai calon presiden di posisi teratas dengan dukungan 25,8 persen dari total 2.192 responden. Namun perlu diingat, dari pilihan responden, Partai Gerindra yang menjadi kendaraan politik Prabowo, dalam survei ini masih menempati posisi ke empat dengan raihan suara 10,5 persen. Survei sendiri dilakukan di 33 provinsi mencakup 163 kabupaten/kota dengan margin of error 2,09 persen.

Sebelumnya, di awal tahun 2012 Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis) merilis hasil surveinya yang menempatkan figur Prabowo menempati urutan teratas sebagai figur yang disukai publik dengan 16,40 persen dari 1.850 responden. Selain itu, Puskaptis juga merilis bahwa sejumlah tokoh yang masih popular di kalangan masyarakat sampai hari ini. Sebesar 83,35 persen menyebutkan nama Prabowo Subianto. Survei yang menggunakan metode multistage random sampling yang dilakukan sejak Januari hingga Februari 2012 itu digelar di 33 provinsi dengan sampling error 2,5 persen yang terbagi atas 50:50 berdasarkan jenis kelaminnya.

Sementara lembaga survei Indo Barometer, Jaringan Survei Indonesia (JSI) dan Lembaga Survei Indonesia (LSI) menempatkan posisi Prabowo di urutan kedua. Indo Barometer merilis hasil surveinya –yang digelar pada 8-19 Mei 2012— bahwa Partai Gerindra sebagai pengusung Prabowo meraih 9,8 persen dari 1.200 responden. Dengan hasil survei yang dilakukan keempat lembaga itu menunjukkan Partai Gerindra mengalami kemajuan yang signifikan jika dibanding dengan perolehan partai ini di Pemilu 2009 yang hanya 4,46 persen.

Menurut pakar komunikasi politik Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Hasrullah,  Prabowo jauh lebih memiliki kemampuan memimpin dan berkarakter. Dari segi penampilan dan dalam berargumentasi, Prabowo dinilai sangat meyakinkan. “Prabowo memang sudah waktunya memimpin negeri ini,” paparnya seperti yang dilansir situs republika.co.id beberapa waktu lalu.

Sejatinya, Indonesia membutuhkan pemimpin muda yang mampu mengubah arah. Faktanya peta politik sejak bergulirnya reformasi 14 tahun silam masih didominasi pemain lama. Sementara para aktor reformasi satu per satu mundur ke belakang. Tampilnya Prabowo Subianto ke arena pertarungan kursi RI-1 bukan untuk gagah-gagahan, tapi jawaban atas kerinduan rakyat Indonesia –yang bosan dengan kondisi negeri yang kian tak menentu— akan hadirnya pemimpin yang berkarakter.

Konsep politik Prabowo

Prabowo Subianto dalam bukunya Membangun Kembali Indonesia Raya, Haluan Baru Menuju Kemakmuran (2009) menuangkan pemikirannya bahwa negara kaya dengan sumber daya alam mineral, dan iklim tropis yang mendukung pertumbuhan Indonesia sebagai negara lumbung pangan yang besar, namun rakyatnya miskin. “Hal ini yang saya sebut sebagai paradoks Indonesia,” tulis Prabowo Subianto.

Menurutnya, berdasarkan neraca ekspor impor Indonesia –yang merupakan salah satu tolok ukur untuk menilai kekuatan dan kesehatan ekonomi suatu bangsa— telah terjadi Net Outflow of Wealth dari bangsa Indonesia yaitu arus keluar kekayaan bangsa dan karenanya bangsa Indonesia tidak menikmati akumulasi kekayaan nasional.

Berdasarkan data tahun 1997 sampai dengan 2007, bahkan 2008 terjadi net profit sebagai bangsa yaitu ekspor kita melebihi impor kita rata-rata 25 miliar dolar tiap tahunnya. Tetapi Bank Indonesia mengumumkan pada tahun 2009 cadangan devisa kita selalu berada di kisaran 50 miliar dolar. Berarti terjadi Net Loss of National Wealth sebesar kurang lebih 250 miliar dolar. Artinya, dimana keuntungan dan kekayaan bangsa tidak tinggal di Republik Indonesia.

“Kondisi mendasar inilah yang membuat saya menilai bahwa ada sesuatu yang salah pada sistim perekonomian yang kita anut,” tegasnya.

Telah nyata bahwa liberalisasi dan mekanisme pasar yang dianut selama telah melanggar UUD 1945 pasal 33. Pasalnya, kebijakan liberalisasi dan kapitalisasi sejatinya menyesatkan dan menyengsarakan rakyat Indonesia di negerinya sendiri. Di era reformasi, perekonomian dalam negeri malah cenderung kian parah di dalam jeratan neoliberal. Liberalisasi, kapitalisasi kian nyata menjadi identitas bangsa melalui berbagai produk aturan yang bersifat bebas. Peran pemerintah atau negara selaku regulator makin terkikis dan mau tidak mau harus mengikuti mekanisme pasar bebas. Proteksi atas kekayaan dan kedaulatan negeri pun kian tergerus. Tak pelak, kondisi ini telah menciptakan dominasi asing dalam kelangsungan ekonomi bangsa.

Padahal, sumber pendapatan negara yang berasal dari tanah, air, udara, laut serta tambang, juga semua hasilnya semestinya menjadi milik negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk segenap warna negara sesuai kebutuhan dan haknya. Nyatanya, nyaris semua potensi sumber daya alam itu terkuras dan diserahkan kepada pihak asing. Negeri Indonesia beserta penduduknya pun hanya menjadi penonton dan menjadi pasar yang menggiurkan. Karenanya, diperlukan pemimpin yang mampu meluruskan sistim, merombak sistim yang ada agar rakyat merasakan kebahagiaan hidup dan menjadi tuan rumah di negeri sendiri. “Kita harus berani meninggalkan ataupun mengoreksi sebuah sistim ekonomi yang tidak membawa kemakmuran kepada rakyat banyak,” tegasnya.

Ajakan untuk mengembalikan kesejahteraan yang berlandaskan Pancasila dalam rangka mewujudkan kejayaan Indonesia Raya, maka mau tidak mau harus kembali menjadikan ekonomi kerakyatan sebagai dasar landasan dalam pengembangan ekonomi negara. Tentu, revolusi pemikiran ekonomi kerakyatan harus terus digelorakan untuk menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang terwujud dalam tatanan masyarakat yang adil dan makmur. Dan inilah yang menjadi perjuangan Prabowo dalam membangun kembali Indonesia Raya sebagai haluan baru menuju kemakmuran.

Setidaknya ini pula kekuatan konsep politik Prabowo untuk menghadapi konstelasi politik pada Pemilu 2014 mendatang yang bisa dijadikan jaminan bagi kemenangan Prabowo menuju kursi RI-1. Ekonomi kerakyatan yang terus didengungkan Prabowo lewat berbagai program aksi Partai Gerindra yang dikenal dengan 8 (delapan) program aksi selama ini. Isu ekonomi kerakyatan sudah tak asing lagi, konsep ekonomi kerakyatan yang digerakkan Prabowo dinilai banyak pihak sebagai alternatif politik paling revolusioner untuk mengembalikan penerapan Pasal 33 UUD 1945.

Dalam setiap kesempatan, Prabowo selalu mengobarkan semangat rakyat Indonesia untuk mengembalikan kedaulatan ekonomi, kedaulatan energi, kedaulatan pangan dan kedaulatan bangsa ke tangan anak bangsa. Selain itu, gelora serupa pun kerap disampaikan Prabowo lewat iklannya yang memikat banyak kalangan.

“Apabila ada kehendak politik yang keras, kepemimpinan yang tegas dan berani, sesungguhnya bangsa Indonesia bisa keluar dari lingkaran paradoks Indonesia, bahwa kita bisa bangkit menjadi negara makmur,” tandas mantan Danjen Kopassus ini.

Figur yang kuat

Sosok Prabowo sebagai prajurit TNI yang gagah berani kerap menjadi simbol keberanian seorang prajurit. Dari sekian calon kuat presiden, Prabowo lebih dikenal sebagai simbol kebangkitan kaum nasionalis. Kemunculan Prabowo memberi secercah harapan baru bagi rakyat Indonesia yang sudah jenuh dengan janji-janji reformasi dan demokrasi yang ternyata kian menyengsarakan. Bahkan sejak 14 tahun reformasi digulirkan, bangsa Indonesia seakan kehilangan identitas. Kondisi ini bukan berarti rakyat Indonesia anti reformasi dan demokrasi. Tapi sepertinya, kegelisahan rakyat sudah mencapai titik jenuh terbawah.

Disisi lain kerinduan rakyat Indonesia akan kemakmuran, kesejahteraan, ketenangan yang pernah ditoreh Presiden Soeharto memang tak bisa dilupakan begitu saja. Pun dengan kenangan posisi Indonesia sebagai bangsa yang terhormat dan bermartabat di mata dunia dibawah kepemimpinan Soekarno kian menggebu. Figur Prabowo sebagai mantan prajurit dengan segudang prestasi dinilai banyak pihak mampu mengkombinasikan karakter Soeharto dan Soekarno mengantarkan cita-cita luhur tersebut. Meski, tak dipungkiri ada banyak juga pihak yang siap mengganjalnya dengan berbagai isu.

Majunya Prabowo sebagai calon presiden terkuat kian jelas dengan adanya jalinan yang harmonis antara Prabowo dan Megawati Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang pernah bersekutu maju pada pemilu lalu.  Hal ini diperlihatkan lewat persetujuan Mega atas tawaran Prabowo untuk menyandingkan Joko Widodo (Jokowi) kader PDI-P dengan Basuki Tjahya Purnama (Ahok) dalam perebutan kursi gubernur DKI Jakarta –yang berlaga pada 11 Juli ini melawan lima pasangan lainnya termasuk incumbent. Pasalnya, jika pasangan ini berhasil memenangkan Jakarta, maka menjadi modal utama kedua parpol ini untuk kembali bersatu berlaga di pilpres 2014 nanti. Banyak pihak menilai dengan persekutuan ini, tangan Prabowo memiliki kemampuan memelihara kekuatan massa sekaligus kekuatan politik hingga di tingkat akar rumput PDIP dan Gerindra yang selama ini dinilai militan.

Perlu diingat, bahwa dalam demokrasi tak ada beda satu suara seorang intelektual atau suara tukang ojek. Karena kekuatan politik dihitung berdasarkan suara yang masuk. Dan meski tak sedikit pengamat politik yang meyakini kalau langkah Prabowo akan terganjal elektabilitas Partai Gerindra –jika partai berlambang kepala burung garuda itu tak mampu menembus angka ambang batas— yang masih rendah sebagai modal pengusungan presiden. Selain kerja keras mesin-mesin politik Partai Gerindra di setiap lini yang terus bergerak, ada kabar baik datang dari politisi kawakan, Permadi yang mengatakan bahwa Megawati Soekarnoputri berjanji akan mencalonkan Prabowo sebagai presiden pada pilpres 2014 nanti.

Boleh jadi, dari sekian banyak tokoh nasional yang mencalonkan diri sebagai calon presiden RI, tokoh yang benar-benar menawarkan perubahan politik dalam jangka panjang adalah Prabowo Subianto. Pemimpin baru, haluan baru dan harapan baru. [G]

Catatan: Artikel ini ditulis dan dimuat untuk Majalah GARUDA edisi Juli 2012

Membangun dengan Kedaulatan Energi

“Biarkan kekayaan alam kita tetap tersimpan di perut bumi, hingga unsur-unsur Indonesia mampu mengolahnya sendiri.” Ir Soekarno, presiden pertama dan pendiri negeri ini sudah mengingatkan pentingnya mengelola sumber daya alam dari tangan-tangan anak negeri.

https://i0.wp.com/www.wespeaknews.com/wp-content/uploads/2012/09/subianto.jpegBoleh jadi, pesan ini tidak benar-benar diterapkan. Faktanya, Indonesia kini tengah terancam krisis energi. Indonesia pun sudah menjadi negara pengimpor minyak mentah dan bahan bakar minyak. Tentu saja ini akan membawa konsekuensi yang sangat luas. Bahkan sangat mengkhawatirkan dari sisi ekonomi, sosial, politik bahkan pertahanan dan keamanan nasional. Indonesia pun sangat bergantung dan dipengaruhi oleh dinamika fluktuasi harga minyak dunia, seperti yang tengah dihadapi saat ini. Dampak kenaikan harga minyak dunia terutama minyak tanah dan premium bisa berpotensi menimbulkan keresahan konflik sosial. Terlebih bila kondisi pendapatan serta daya beli masyarakat kian menurun.

Ironis memang, Indonesia yang dianugerahi kekayaan alam yang berlimpah namun berada diambang krisis energi. Sepertinya, bangsa ini hanya memperhatikan pemberantasan korupsi, pemilukada yang jujur, dan berbagai isu lainnya, tapi lupa dengan apa yang terjadi di perut bumi pertiwi.  Secara kasar mata, kekayaan negara ini setiap hari terus dikuras dibawa ke luar negeri. Padahal jelas-jelas UUD 1945 Pasal 33 mengamanatkan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Mestinya, krisis energi nasional ini tidak akan terus berulang jika ada kesungguhan untuk mengatasinya secara mendasar dari penyebab krisis itu sendiri. Krisis energi yang terjadi ini, karena Indonesia hanya mengandalkan BBM yang bersumber dari minyak bumi. Padahal potensi minyak bumi yang berasal dari perut bumi itu ada batasnya dan akan semakin habis, tapi dieksploitasi terus menerus dan habis-habisan. Kini cadangan minyak bumi itu semakin tipis saja, karena Indonesia bukanlah negara yang kaya akan hasil energi fosil. Setidaknya potensi minyak Indonesia tinggal 12 tahun lagi, gas 32 tahun lagi dan batu bara 77 tahun lagi.

Untuk itulah, sebagaimana diamanatkan Ketua Dewan Pembina Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Prabowo Subianto dalam setiap kesempatan bahwa Gerindra terus dan fokus berjuang mengawal pemerintah dalam menjalankan amanat UUD 1945 pasal 33 ini. “Keinginan kita adalah melihat bangsa Indonesia kuat dan sejahtera,” tegasnya.

Menurut Prabowo, dalam bukunya, Membangun Kembali Indonesia Raya, Haluan Baru menuju Kemakmuran (2009), menegaskan, kelimpahan dan kekayaan sumber daya alam mineral nasional juga belum mampu secara berdaulat dikuasai, dikelola secara mandiri untuk kemakmuran rakyat, atau untuk kemajuan bangsa dan negara. “Pengelolaan sumber daya alam mineral saat ini juga terbatas bahkan terjebak hanya pada ekstrasi atau produksi alamiah dengan pengelolaan sederhana untuk lalu diekspor ke luar negeri,” tulisnya.

Parahnya lagi nilai tambah terbesar dari pengelolaan sumber daya alam mineral ini justru lari dan dinikmati oleh negara-negara atau pelaku usaha asing di luar negeri. Pemerintah bersama pengusaha domestik belum mampu menguasai pengelolaan sumber daya alam mineral nasional untuk kemudian diolah serta dikembangkan industri sekunder yang unggul sehingga menghasilkan produk bernilai tambah tinggi. Ditengarai kondisi ini disebabkan oleh pemerintah yang kurang berpihak pada industri sekunder di dalam negeri disertai dengan komitmen yang kuat untuk mengembangkan pengusaha atau pelaku usaha domestik yang unggul, mampu bersaing dengan para pengusaha serta pelaku usaha asing.

Walau telah diperkirakan dan menjadi kenyataan pada kondisi fluktuasi yang menyulitkan, tampaknya pemerintah masih tetap mengandalkan kecukupan bahan bakar minyak dan ketahanan energy nasional pada bahan bakar minyak yang berasal dari fosil. Untuk keperluan energi bagi pembangkit listrik, didiversivikasi kepada batubara, gas dan panas bumi dan air. Pemerintah belum secara sistematis, konsisten juga strategis menyiapkan, merencanakan mengembangkan ketahanan kedaulatan energi nasional dari bahan bakar alternatif baik terbarukan maupun yang berasal dari nabati atau biofuel.

Energi terbarukan

Jauh sebelum pemerintah mencanangkan penghematan energi, Gerindra menawarkan program diversivikasi energi yang termuat dalam 8 program aksi untuk kemakmuran rakyat bidang pangan dan energi. Dalam buku itu, Prabowo menegaskan bahwa negara Indonesia memiliki tanah pertanian yang luas dan cocok untuk budidaya tanaman singkong secara besar-besaran. Luas lahan yang ditanami Ubi Kayu di Indonesia saat ini masih relatif rendah.

Menurut BPS, pada tahun 2008 saja, luas panen Ubi Kayu baru hanya 1,22 juta hektar dengan produksi sekitar 20,8 juta ton. Dan jika setiap satu hektar kebun Singkong mampu menghasilkan Ubi Kayu sebanyak 40 ton per tahun. Sementara setiap satu ton Ubi Kayu akan mengasilkan 0,16 kiloliter bioethanol, maka setiap satu hektar akan menghasilkan 6,4 kiloliter per tahun.

Selain singkong, Aren merupakan salah satu alternatif untuk sumber bahan bakar nabati atau biofuel untuk menghasilkan bioethanol yang sapat menggantikan bahan bakar premium. Aren dapat ditanam di lahanm yang kurang subur atau bahkan lahan kritis, karena tanaman ini relatif tidak membutuhkan air yang banyak, justru sebaliknya aren mampu menyimpan, mempertahankan kondisi air dan tanah tempat tumbuhnya. Sehingga Aren berfungsi sebagai tanaman konservasi tanah dan air serta dapat sebagai tanaman reboisasi. Sifat ini tidak dimiliki oleh tanaman lain sumber bioethanol. Tanaman ini bisa dikembangkan di lahan-lahan yang tersebar di Kalimantan, Sulawesi dan Papua.

Di sisi lain, untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri, Indonesia masih harus mengimpor BBM sebesar kurang lebih 30 persen dari total kebutuhan dalam negeri. Menurut data ESDM nilai impor nasional pada tahun 2007 lebih dari 8,26 miliar dolar atau sekitar Rp 80 triliun. Pemerintah melalui Pertamina pada tahun 2009 saja mengimpor premium sebanyak 55,5 juta barel, solar skitar 73 juta barel serta minyak tanah sebanyak 36 juta barel. Pabrik bioethanol bisa dijalankan untuk jangka waktu lebih dari 20 tahun. ”Dengan begitu, sebanyak 544.527 orang dapat dihidupi setiap tahun untuk selama lebih dari 20 tahun,” tegas Prabowo dalam bukunya.

Apabila target pengurangan dan substitusi impor BBM premium nasional sama dengan target ubi kayu saja, yaitu sebesar 10 persen dari impor, maka diperlukan produksi bioethanol setara dengan 882 juta liter per tahun. Dengan produktivitas 20 ton/hektar/tahun maka diperlukan luas panen perkebunan Aren sebesar 440 ribu hektar setiap tahun. Dengan kata lain untuk menggantikan seluruh impor BBM premium nasional –yang diperkirakan 55,5 juta barel setiap tahun atau setara 8.925 juta liter per tahun— maka diperlukan produksi aren dari perkebunan seluas 4,4 juta hektar setiap tahun.

Sebagian perbandingan, Brasil telah mengembangkan ethanol selama puluhan tahun, menurut laporan FAO (2009), produksi ethanolnya pada tahun 2007 adalah sebesar 19.000 juta liter. Tantangan dan target ini seharusnya tidak terlalu sulit untuk dicapai dengan kelimpahan sumber daya alam lahan dan tenaga kerja Indonesia.

Bioethanol adalah bahan bakar sejenis dengan premium yang sudah terbukti baik untuk dijadikan bahan bakar kendaraan bermotor setelah dicampur dengan premium yang dihasilkan dari kilang BBM. Dengan target menggantikan impor premium sebagai pencampur premium sebesar 10 persen saja, maka diperlukan tambahan produksi bioethanol sebesar 55,5  juta barel x 10% x 159 liter/barel = 882 juta liter ethanol setiap tahun. Dengan pabrik bioethanol kapasitas 60 ribu kilo liter/tahun, kebutuhan ini dapat dipenuhi dengan pembangunan 15 unit pabrik bioethanol baru. Dan pembangunan prabrik ini dapat ditingkatkan terus seiring dengan peniungkatan subtitusi premium dengan bioethanol. Dengan asumsi impor premium nasional relatif tetapi, diperlukan 150 unit pabrik bioethanol untuk menggantikan impor premium secara total.

Untuk bisa membangun pabrik bioethanol dengan kapasitas 60 ribu kiloliter per tahun ini dibutuhkan investasi sekitar 44 juta dolar. Jika dengan asumsi Debt/Equity ratio sebasar 70/30 maka modal equity yang diperlukan sebesar 13,2 juta dolar atau Rp 132 miliar (asumsi kurs Rp 10.000). Sehingga untuk membangun pabrik bioethanol sebanyak 15 unit pada tahap awal, diperlukan dana equity dari pemerintah sebesar 198 juta dolar atau Rp 1,98 triliun saja.

Jumlah ini tidak ada artinya bila dibandingkan dengan jumlah devisa yang dihamburkan dan uang subsidi BBM yang dibagikan oleh pemerintah. Dana lain yang diperlukan untuk modal kerja dapat dengan mudah disiapkan oleh pemerintah apabila ada kemauan dan keberpihakan yang kuat. Dengan kemauan politik dan dukungan kebijakan serta penempatan modal pemerintah maka tiap tahun dapat dibangiun 15-20 unit pabrik bioethanol. Alhasil dalam waktu kurang 10 tahun kebutuhan impor premium dapat disubstitusi oleh bioethanol.

http://fansprabowokappi1.files.wordpress.com/2012/12/prabowo-subianto-mimbar.jpg?w=300&h=220Jumlah impor BBM sekitar kurang lebih 350.000 barel per hari tentu akan menguras anggaran dan devisi negara. Terlebih jika dilihat dari data rasio kapasitas kilang/orang/tahun dari beberapa negara menunjukkan bahwa Indonesia termasuk salah satu yang paling rendah dibandingkan dengan negara Asia lainnya, seperti Malaysia, Thailand, Singapura, dan Jepang. Untuk mengurangi pemborosan, Prabowo dalam buku itu menyarankan alangkah baiknya apabila anggaran dan dana subsidi –baik langsung maupun bantuan tidak langsung— disisihkan sebagian untuk dipakai membangun kilang minyak (refinery plant). Sebagian kecil dana subsidi tersebut hanya sekitar Rp 18 triliun diperkirakan sudah cukup untuk membangun satu kilang minyak.

Setidaknya setelah kilang beroperasi ada dua keuntungan yang dapat diperoleh, yaitu Indonesia dapat mencukupi kebutuhan BBM nasional sehingga ketahanan dan kedaulatan energi nasional dapat meningkat, selain itu dana dari penghematan impor BBM sebesar 1.469.125.000 dolar per tahun dapat dipakai untuk program lain yang lebih bermanfaat untuk bangsa dan negara secara berkesinambungan.

Tidak hanya itu, program pembangunan kilang juga dapat menambah jumlah lapangan kerja baru, menambah pendapatan negara dari pajak, dan menghasilkan produk sampingan naphtha yang merupakan bahan baku industri petrokimia. Dengan ketersediaan bahan baku ini dapat juga dikembangkan lagi industri sekunder dan tersier petrokimia untuk mendukung pengembangan industri premier, sekunder seperti tekstil dan bahan plastik.

Energi listrik alternatif

Disamping itu, untuk keperluan energi listrik, salah satu sumber energi alternatif terbarukan –yang dimiliki negeri ini— yang berpotensi untuk dikembangkan adalah panas bumi (geothermal). Apalagi keberadaan Indonesia di atas sabuk vulkanik yang membentang dari Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara hingga ke Sulawesi Utara dengan total potensi sumber daya energi panas bumi sebesar 27.000 MW.

Berkait dengan adanya ratifikasi Kyoto Protocol dan komitmen pemerintah RI untuk mengurangi dampak global warming, potensi carbon credit terhadap pengembangan panas bumi di Indonesia menjadikan pengembangan energi panas bumi sangat memungkinkan untuk diwujudkan. Faktanya, jika program pengembangan panas bumi ini diimplementasikan bisa memberi banyak manfaat. Diantaranya kemandirian daerah dalam penyediaan energi yang bersumber dari energi panas bumi di daerah masing-masing. Potensi CER (carbon credit) terkait pemberdayaan energi panas bumi yang ramah lingkungan dapat memberikan pemasukan signifikan bagi negara tiap tahun. Disamping itu terbangunnya infrastruktur daerah untuk lebih meningkatkan perekonomian, terbukanya kesempatan lapangan kerja baru, dan pengembangan teknologi terapan plus inovasi teknologi baru.

Begitu pula dengan budidaya pangan terutama padi menghasilkan produk sisa bermacam-macam, termasuk sekam. Sekam sampai sekarang masih belum dimandaatkan sama sekali kecuali dibakar dan dipakai sedikit sekaliu untuk budidaya jamur.

Padahal potensi produk sekam ini sangat besar. dengan tingkat produksi padi sebsar 63,5 juta ton (2009) maka sekitar 30 persennya adalah berupa sekam atau setara dengan 19 juta ton sekam per tahun.

Berdasarkan informasi dari pabrik pembangkit listrik dari sekam yang telah beroperasi, untuk bisa menghasilkan listrik sebesar 1 MW per tahun hanya dibutuhkan 9.500 ton sekam. Dengan produksi sekam sebesar 19 juta ton, maka potensi produksi listrik bila menggunakan sekam adalah sekitar 2.005 MW. Potensi ini sangat menjanjikan karena dapat dikembangkan dalam ukuran kecil dan sedang di daerah-daerah produsen utama padi nasional.

Sejatinya penghematan energi seharusnya bukan sekadar pemanis di kala kesulitan atau hanya pencitraan. Penghematan energi adalah unsur yang penting dari sebuah kebijakan energi. Penghematan energi menurunkan konsumsi energi dan permintaan energi per kapita, sehingga dapat menutup meningkatnya kebutuhan energi akibat pertumbuhan populasi. Hal ini mengurangi naiknya biaya energi, dan dapat mengurangi kebutuhan pembangkit energi atau impor energi. Berkurangnya permintaan energi dapat memberikan fleksibilitas dalam memilih metode produksi energi.

Jadi jika krisis energi ini terus dibiarkan berlarut-larut, tanpa adanya kemauan politik yang kuat dari pemerintah untuk mengembangkan energy alternatif terbarukan maka hal ini berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi karena dapat menyebabkan tingginya dorongan inflasi dari keperluan bahan bakar minyak. Tingginya biaya produksi sehingga mengurangi daya saing ekonomi nasional, rentannya perekonomian terhadap fluktuasi harga dunia minyak, dan yang paling penting tidak dapat dimanfaatkan kelimpahan sumber daya lahan dan ketersediaan tenaga kerja (banyak penduduk yang menganggur) serta peluang permintaan bahan bakar nabati yang tinggi di dalam negeri, bahkan permintaan cukup tinggi untuk ekspor di pasar dunia. [G]

catatan: Artikel ini ditulis dan dimuat untuk majalah GARUDA, Edisi Juni 2012

Gelaran Perayaan Rambu Solo’

Salah satu acara adat masyarakat Toraja yang digelar di penghujung tahun 2011 adalah perayaan Rambu Solo’. Rambu Solo’ adalah upacara kematian yang turun temurun diwariskan oleh penganut Aluk To Dolo (kepercayaan masyarakat Toraja sebelum masuknya Islam dan Nasrani) di daerah tersebut.

Ya, sore itu, sejumlah warga tengah mengarak jenazah almarhumah Agnes Datu Sarungallo, ibu kandung istri Bupati Sinjai Andi Rudiyanto Asapa, pada rangkaian upacara adat Rambu Solo’ di Tongkonan Siguntu, Toraja Utara, Sulawesi Selatan, Rabu (28/12). Inilah yang disebut ritual Ma’pasonglo, sebuah ritual arak-arakan jenazah dan keluarga dari Tongkonan ke Lakkian. Dimana jasad akan disemayamkan di lakkian sampai upacara Rambu Solo berakhir. Mendiang Agnes Datu Sarungallo sendiri meninggal pada 16 Agustus 2011 silam dalam usia 72 tahun.

Upacara pemakaman ibu mertua dari Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Gerindra Sulawesi Selatan, Andi Rudiyanto Asapa yang juga dihadiri kader Gerindra itu berlangsung sangat meriah dan baru akan berakhir pada Selasa 3 Januari 2012. Pasalnya, dalam upacara itu masyarakat adat Siguntu juga menganugerahkan gelar adat Taluk Langit pada Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto yang dipimpin oleh sesepuh Tongkonan Siguntu. Taluk Langit adalah gelar kebangsawanan di Toraja yang berarti Tunas Emas Manusia dari Langit. Dengan gelar itu, masyarakat Siguntu mengharapkan Prabowo menjadi ‘Tomanurung’ yang bisa membawa kemakmuran negeri ini.

“Semoga gelar yang diberikan tidak mengecewakan masyarakat. Kita berbuat baik untuk negeru ini,” kata Prabowo –yang mengenakan pakaian khas Toraja, passapu atau penutup kepala serta menggenggam parang khas Toraja—  dalam sambutannya di tengah ribuan warga yang memadati lokasi Tongkonan Siguntu, sore itu.

Selain penganugerahan gelar adat, yang menarik perhatian para pengunjung adalah acara silaga tedong (pertarungan kerbau) yang diselenggarakan usai acara Ma’pasonglo. Acara adu kerbau itu tak disia-siakan oleh rombongan Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Prabowo Subianto yang didampingi Permadi dan Ketua Partai Gerindra Sulsel, Andi Rudiyanto Asapa –yang tak lain Bupati Sinjai, ikut mendampingi pula Gubernur Sulsel, Syahrul Yasin Limpo, Panglima Kodam VII Wirabuana Mayjen TNI Nizar, mantan Ketua PSSI Nurdin Halid, dan anggota DPRD Sulsel Kadir Halid turut menyaksikan adu kerbau itu.

Sayang, kerbau milik Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Prabowo Subianto –yang dinamai Hambalang— yang turun pada ronde pertama kalah melawan kerbau milik Paulus dengan nama Loleng. Pada setiap pertarungan, kerbau tampil sebagai pemenang selalu memiliki penggemar tersendiri.

Tedong termahal

Bagi masyarakat Toraja, Sulawesi Selatan, keberadaan tedong (kerbau) menjadi salah satu simbol kesejahteraan dan kebangsawanan. Terlebih bila kerbau itu berjenis bonga’ (belang) dan Salego. Dalam acara ritual Rambu Solo yang digelar oleh keluarga besar Ketua DPD Partai Gerindra Sulawesi Selatan, Andi Rudiyanto Asapa, di Tongkonan Siguntu, Toraja Utara, tampak tampil kerbau seharga Rp 360 juta. Kerbau Salego berumur 14 tahun menjadi yang pertama kali tampil di sejak acara ritual Rambu Solo yang di gelar di Toraja.

Mendiang Agnes Datu Sarungallo yang meninggal pada 16 Agustus 2011 lalu merupakan ibu mertua dari Bupati Sinjai, Andi Rudiyanto Asapa. Mendiang istri dari Y Palauk Tallulembang ini meninggalkan 9 orang anak, 22 orang cucu dan 2 orang cicit –yang tak lain cucu dari pasangan dr Felicitas Torrodatu Tallulembang dan Andi Rudiyanto Asapa.

Acara Rambu Solo yang berlangsung sejak 22 Desember dan puncaknya pada ritual Meaa’ (pemakaman) yang dilaksanakan pada 3 Januari. Ritual Meaa’ merupakan prosesi pemakaman jenasah almarhumah dengan diarak melalui jalan, tempat yang selalu dikunjuungi almarhumah semasa hidupnya kemudian ke tempat pemakaman (patane). Pada saat inilah pemotongan kerbau tandirapasan (simbol) yang mengakhiri seluruh rangkaian upacara pemakaman.

Gelaran Rambu Solo yang diselenggarakan oleh keluarga besar Andi Rudiyanto Asapa ini menjadi satu dari sekian gelaran yang paling meriah sepanjang sejarah. Terlebih acara adat yang masuk dalam agenda wisata bertajuk Lovely December itu mendapat animo wisatawan baik lokal maupun mancanegara. []

Lebih Dekat Dengan Edhy Prabowo: “Perjuangan untuk Kesejahteraan Rakyat”

Namanya belum banyak dikenal di kalangan politisi negeri ini ketika ia mulai merintis jalan ke Senayan. Edhy Prabowo memang tergolong pendatang baru di panggung politik. Tapak kakinya baru menjejak gedung wakil rakyat pada tahun 2009 setelah mendulang 43,932 suara dalam Pemilu Legislatif dari Daerah Pemilhan (Dapil) Sumatera Selatan I, kampung halamannya. 

Kala itu, Dapil  Sumatera Selatan I yang meliputi Kabupaten Banyuasin, Musi Banyu Asin, Musi Rawas, Kota Palembang, dan Kota Lubuk Linggau tergolong berat. Disitu  terjadi persaingan ketat. Nama-nama politisi senior seperti Mustafa Kamal, Dodo Alex Nurdin, dan Nazaruddin Kiemas ikut bertarung memperebutkan suara. Tapi Edhy lolos dalam persaingan. Reputasi itu menunjukkan pria 39 tahun ini tidak bisa dipandang sebelah mata.

Adakah nama Prabowo di belakang namanya memberi andil keberhasilan itu? Edhy tidak menyangkalinya. Pria kelahiran Tanjung Enim, 24 Desember 1972 itu bilang, ”Nama Prabowo ternyata membawa berkah tersendiri. Banyak orang mengira saya ini anak Pak Prabowo. Padahal saya hanya anak angkat.”

Ya, ada sejarah tersendiri bergabungnya Edhy di partai berlambang kepala burung garuda ini. Bahkan jauh sebelum partai itu lahir, Edhy telah mendapat gemblengan dari Prabowo. Kala itu, di 1991 ketidakjelasan status dan nasibnya usai dikeluarkan dari Akabri diselamatkan oleh tokoh yang menjadi idolanya itu. Di tangan Prabowo inilah, Edhy dan kelimabelas temannya dibina menjadi manusia andal. Selain dikuliahkan di Fakultas Ekonomi Universitas Moestopo Jakarta, Edhy pun diminta untuk menekuni ilmu beladiri pencak silat setiap akhir pekan di bilangan Batujajar, Bandung. Dari penggemblengan itulah, ia pun tampil sebagai salah satu atlit pencak silat andalan nasional.

Keberuntungan Edhy tak berhenti sampai disitu. Seiring berjalannya waktu, ia pun dipercaya oleh Prabowo untuk mendampinginya kala memulai membuka usaha di negeri Jerman dan Yordania. Sehingga Edhy pun berhasil meraih gelar Master of Business Administration (MBA) di salah satu universitas ternama di Swiss.

Sebagai pendatang baru, mantan atlit pencak silat nasional ini tak pernah gentar sejengkal pun dalam menunaikan tugasnya. Termasuk ketika harus beradu argumen dengan kawan dan lawan politiknya memperjuangkan nasib rakyat baik di dalam maupun di luar parlemen. Pasalnya, tampilnya sebagai wakil rakyat merupakan titah dari sang ayah angkatnya, Prabowo. Baginya perintah adalah tugas dan harus sukses dijalankan dengan hasil menang. Sudah harga mati, apapun harus dilakukan, tidak ada main-main.

Kini, selain sibuk sebagai anggota dewan yang duduk di Komisi VI dan Sekretaris Fraksi, ayah dua orang anak ini juga menjabat sebagai Ketua Bidang Pendidikan dan Latihan (Diklat) Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Gerindra. Lantas seperti apa perjuangan yang dilakukan politisi muda –yang juga mengurusi perguruan silat Satria Muda Indonesia— dalam menjalankan tugasnya? Kepada Hayat Fakhrurrozi dari Garuda, orang yang bertanggungjawab penuh dalam urusan diklat kader ini memaparkan secara gamblang di ruang kerjanya beberapa waktu lalu. Berikut petikan wawancaranya.

Bisa diceritakan aktivitas Anda di DPR?

Saat ini saya masih diamanatkan untuk duduk di komisi VI. Di komisi ini menjadi mitra kerjanya adalah Kementrian BUMN, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Koperasi, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Badan Standar Nasional (BSN), Badan Perlindungan Konsumen Nasional dan Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU)

Apa saja yang tengah di perjuangan Fraksi Gerindra di Komisi VI ini?

Kita terus semangat, dengan manisvesto partai yang kita perjuangkan selama ini. Seperti menolak privatisasi BUMN, semangat industrialisasi, hentikan ekspor barang mentah, kurangi impor, apa yang bisa kita produksi sendiri lebih baik diproduksi di dalam negeri, lalu keberadaan koperasi harus bisa dirasakan langsung manfaatnya rakyat. Memang, partai baru seperti Gerindra tidak mungkin dengan kekuatan hanya 26 kursi bisa bicara segala-galanya, tapi setidak-tidaknya kita harus tetap pada pendirian dan garis perjuangan kita yakni untuk menegakkan kedaulatan Negara kita di kancah dunia internasional.

Ada apa dengan BUMN kita?

Gerindra tetap dalam perjuangannya menolak segala privatisasi BUMN, apapun bentuknya. Setidaknya, ada lebih dari 140 BUMN yang harus diawasi, belum lagi anak perusahaan bahkan cucu perusahaannya. Meski tenaga dan waktu yang kita miliki terbatas, namun kita tetap bekerja keras jangan sampai BUMN diobral begitu saja seperti kasus Krakatau Steel beberapa waktu lalu. Dan dengan asset Rp 2400 triliun, BUMN harusnya untung minimal 10 persen. Selama ini hanya hanya untung tidak lebih dari Rp 100 triliun.

Bagaimana dengan sektor perindustrian dan perdagangan?

Ya, selain masalah BUMN, kita juga mendesak bagaimana kementrian ini meningkatkan semangat industrialisasi dalam negeri. Pasalnya selama ini seolah tidak ada perlindungan pada industri dalam negeri. Hal ini tampak dari tingginya biaya ongkos produksi yang harus dikeluarkan pelaku usaha yang masih berkisar 12 persen, sementara di negara lain bisa ditekan hingga 6 persen. Hal ini diperparah lagi dengan adanya Surat Keputusan Menteri Perdagangan RI yang memberikan ijin impor barang jadi oleh produsen dalam negeri.

Tak heran bila, pengusaha sepatu dalam negeri Cibaduyut misalnya, lebih senang mengimpor barang jadi, dari pada bikin lebih baik beli dari China misalnya. Jadi semangat industrialisasi sudah tidak ada. Belum lagi industri batik di Pekalongan yang terus tergerus dengan membanjirnya batik asal China, industri CPO (Crude Palm Oil), padahal CPO itu ada 69 produk turunan hingga ke minyak goreng itu sendiri. Untuk itu, kita terus mendesak pemerintah agar tidak lagi ekspor bahan mentah, seperti karet CPO, alumimium, bouksit dan bahan mentah lainnya. Kita harus banyak belajar dari negara susah yang sekarang maju. Padahal Indonesia kan Negara besar, kaya, potensi pasarnya juga besar, kenapa tidak bisa. Harusnya, sektor perdagangan dan industri ini mendingan jadi satu kementrian. Karena selama ini dua kementrian itu tidak pernah sinkron.

Bagaimana pula dengan mitra kerja lainnya?

Untuk koperasi, setidaknya kini ada kemajuan dalam penyaluran KUR (Kredit Usaha Rakyat) yang tadinya hanya Rp 5 juta kini menjadi Rp 20-25 juta. Lalu keberadaan KPPU setidaknya mampu telah mampu menyelamatkan uang Negara dari persaingan usaha, namun masih harus dioptimalkan lagi. Sementara BSN lewat SNI-nya hingga kini belum bisa tegas dalam penerapannya di lapangan. Begitu pula dengan BKPM harus lebih selektif dalam menerima masuknya modal. Harus ada take and give, selama ini tidak ada.

Bicara soal standar mutu, bagaimana dengan mutu manusia Indonesia?

Bicara soal indeks pembangunan manusia, saya tidak punya data persis. Saya hanya bisa menyimpulkan sederhana saja, bahwa di dunia usaha, ketika saya mau memilih tenaga kerja, saya lebih memilih orang Indonesia. Manusia Indonesia terkenal dengan loyalitas, mudah diatur dan taat pada aturan kerja, asal jangan disakiti mereka. Saya melihat inilah salah satu keunggulan Negara kita, sumberdaya manusia yang melimpah, tinggal bagaimana upaya kita untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia yang melimpah ini.

Saya tidak setuju orang yang mendiskreditkan bangsa Indonesia yang lemah dan tidak bisa apa-apa. Indonesia itu bangsa yang hebat, sifat asli bangsa kita menerima, melayani, semangat, kerja keras. Nah sekarang kenapa manusia gampang marah?, karena tidak ada perhatian pemerintah terhadap nasib mereka.

Selain memperjuangkan aspirasi rakyat, sebagai pimpinan fraksi apa yang dilakukan terhadap anggota?

Ya, kita juga mengontrol teman-teman di fraksi untuk tetap solid, konsisten dan komitmen dengan apa yang diperjuangkan selama ini. Selama ini kita konsisten dan berhasil menggagalkan pembangunan gedung baru misalnya, yang bagi kami itu sesuatu yang mewah. Kita juga tetap mengawasi kelanjutan kasus century. Kemudian kita juga tetap melarang anggota untuk studi banding.

Soal studi banding yang hingga kini masih dilakukan DPR, solusi Gerindra sendiri bagaimana?

Karena kita dilarang studi banding, maka selama ini kita mencari dari internet. Kalaupun harus pergi, mendingan mengirim staf ahli yang memang sesuai keahliannya, dibanding kita yang tidak menguasai semua. Setelah itu kalau memang benar, baru komisi yang bersangkutan kirim beberapa orang untuk mengkroscek. Jadi DPR itu bukan untuk ke luar negeri. Kalau memang mau ke luar negeri ya silahkan, itu ada waktunya sendiri dan biaya sendiri tentunya.

Sebagai Ketua Bidang Diklat DPP Gerindra, sejauhmana pengkaderan selama ini?

Yang jelas sebagai suatu parpol yang baru jangan pernah bermimpi untuk bisa besar tanpa pengkaderan dan pembinaan  di dalamnya. Jangan pernah bermimpi kita memang, kalau kita tidak menertibkan individu-individu kader di dalamnya. Tertib dalam artian, penguasaan dia sebagai kader, pengetahuan dia terhadap partai, kesadaran dia sebagai orang partai. Artinya perlu konsep kaderasisasi, supaya dia sadar kenapa dia di Gerindra.

Di masa-masa awal, sebelum dilakukan pengkaderan, kita melihat kelemahan begitu banyak. Kala itu 2008, Gerindra tampak begitu besar, dikenal masyarakat dan diprediksikan bakal terjadi tsunami politik, asumsi itu memang benar, tapi nyatanya, kita hanya bisa meraih lima persen. Ini menunjukkan kemenangan tidak hanya diraih dengan opini. Tapi harus dengan kerja keras di lapangan. Nah, pertanyaan apakah kader-kader Gerindra di lapangan sudah kerja keras?

Menurut saya belum, kalau semangat iya, militan iya, loyal iya, tapi apakah ia bekerja keras? Jawabnya belum. Apakah dia bersatu? Belum. Kalau kita tanya kader Gerindra militan? Jawabnya pasti iya, buktinya ketika ada yang ngomongin Gerindra, mereka marah. Tapi apakah militan mereka bisa kerja sama? Kita lihat antar sayap saja masih lirik-lirikan. Antar pengurus DPC, DPD dan DPRD saling ancem-anceman. Dari situ, akhirnya Dewan Pembina melihat pentingnya pembekalan dan kaderisasi. Inikan pondasi kita, rumah tanpa pondasi akan runtuh, partai tanpa kader yang kuat dan mengerti akan partai itu sendiri, manivesto perjuangan dan semuanya, jangan harap partai itu akan menang. Walaupun ini bukan segala-galanya.

Lalu apa yang dilakukan bidang Diklat?

Program kaderisasi melalui pendidikan dan pelatihan yang kita adakan selama ini masih terus berjalan. Memang, ada yang beranggapan kaderisasi cuma tujuh hari bagaimana bisa? Menurut kami, tujuh hari juga bisa menjadi ‘sesuatu’ yang hebat kalau dia sebagai kader implementasikan di lapangan. Misalnya dengan mengumpulkan satu hari satu orang calon anggota dalam setahun akan ada 360 orang anggota. Inilah kuncinya. Penyatuan visi misi dengan semangat militansi, pada akhirnya menjadi suatu keharusan dan mutlak. Tidak mungkin kita bisa menang, tanpa kekompakan, tanpa satu visi misi.

Dengan harapan sepulang dari pembekalan itu, tidak ada lagi barrier, tidak ada lagi penghalang antara ketua DPC dengan pengurus yang lain. Tidak ada lagi saya orangnya ini, saya dekat dengan ini. Semua adalah satu Gerindra, satu komando di bawah komando Pak Prabowo, sebagai Ketua Dewan Pembina. Selain beliau, ada kakaknya, ada adiknya, semua kerja keras. Dan kita semua sepakat calon presiden kita adalah Pak Prabowo. Bagaimana hal itu bisa terwujud? Ya harus mencapai 20 persen. Bagaimana caranya? Kita harus sama-sama kerja keras, dan jangan ada lagi penghalang atara ketua DPC dengan DPRD, DPC dengan DPD. Lupakan itu semua dulu.

Selama ini hasil dari pendidikan dan latihan itu bagaimana?

Saya optimis, dari antusiasme kehadiran mereka, semakin ke sini semakin bagus. Setidaknya sekarang ini sudah hampir 6.000 kader terlatih. Salah satu standarnya untuk melihat bagus tidaknya kader, bisa dilihat dari acara pelantikan-pelantikan DPC. Daerah mana yang sudah dilatih dan mana yang belum. Saya tidak bicara 100 persen. Karena konsep kita kalau targetnya 100 persen, kader yang datang itu kita anggap memiliki pengetahuan 20 persen. Pulang dari diklat, saya tidak bermimpi mereka akan 100 persen, 80 persen pun tidak. Cukuplah 60 persen.

Kalau pulang mereka dengan kualitas 60 persen dari yang sebelumnya berarti ada tambahan 40 persen, berarti kan ‘sesuatu’ kita menanamkan kepada mereka. Jangankan 60 persen, kalaupun hanya mampu 40 persen, berarti selisihnya 20 persen, itukan ‘sesuatu’ dalam waktu 6 hari. Setidaknya jika dengan menambahkan 40 persen kemampuan mereka, maka indikator ini menunjukkan adanya semangat dan kemampuan mereka meningkat tiga kali lebih besar. Rasa ego mereka tiga kali lebih berkurang. Itu yang kita harapkan.

Nah, bahwa nanti ada satu dua yang masih berkasus ini dan itu, kita anggap bagian dari dinamika politik. Karena politik itu ibarat persimpangan yang jalannya banyak sekali. Dimana satu titik didatangi unsur yang banyak. Ibarat tubuh masuknya dari pori-pori, dari organ-organ yang lain semua masuk. Ya, itu hakekatnya bagaimana kita memanfaatkan apakah menjadi postif atau negatif. Tentu kita harus berpikir positif terus, dengan tetap pada cita-cita kita yaitu adanya perubahan besar di negara kita ini benar-benar terjadi. Supaya rakyat kita bisa mengenyam kemerdekaan di negaranya sendiri. Merasa merdeka di negerinya sendiri.

Pesan Anda selaku Ketua Diklat untuk para kader?

Yang jelas, lupakan masalah pribadi, ego pribadi, kembali ke visi misi kita yang utama untuk menang di 2014. Sakit hati biarlah saat ini kita tahan dulu. Tidak suka biarlah kita buang dulu, mari kita sama-sama untuk meraih 20 persen, biar Pak Prabowo tidak sulit lagi jadi calon presiden. Apapun masalahnya bisa diselesaikan. Jangan berkecil hati karena tidak dekat dengan Pak Prabowo, tidak kenal dengan Pak Hashim. Jangan kecil hati karena hanya berjuang di tingkat DPC. Mudah-mudahan ini menjadi salah satu penyeimbang diantara sekian banyak orang-orang yang masih berpikir akunya masih tinggi dan menonjol.

Lantas harapannya Gerindra sendiri apa?

Kita tidak muluk-muluk dan punya harapan besar. Selama ini hanya tiga hal utama yang diimpikan masyarakat kita. Pertama, bangun tidur, bagaimana saya bisa makan tanpa harus meminta-minta, tanpa harus susah-susah mencari kemana-mana. Kedua, bangun tidur saya bisa nganter anak ke sekolah tanpa harus takut uang sekolah belum dibayar, buku tidak ada, baju tidak punya, sepatu tidak ada. Ketiga, bagun tidur, bagaimana ketika bangun pagi, melihat anak saya sakit, saya bisa membawa dia ke rumah sakit, tanpa bingung dengan biayanya dari mana.

Saya rasa, tidak ada yang lain. Tidak ada orang tua yang pusing kalau besok bangun tidur, anaknya tidak bisa jalan-jalan berdarmawisata dengan sekolahnya. Yang penting tiga hal itu. Mungkin itu nanti bisa jadi yang utama. Jangankan yang itu, yang penting tiga hal ini terpenuhi dulu. Mati lampu tidak ada masalah, yang penting bisa makan, bisa sekolah. Jalanan jelek tidak masalah, asal masih bisa sekolah. Itu yang kita harapkan, kebutuhan mendasar yang harus kita lakukan.

Inilah pemikiran sederhana yang harus kita tangkap. Masih banyak rakyat kita yang belum bisa memenuhi tiga hal utama itu. Ini tugas bersama, jangan pernah bermimpi kita akan menang kalau tidak ada kerja keras. Tapi ingat percayalah perjuangan kita ini sangat bernilai. Karena tiga tahun setelah ini tidak ada jaminan negara kita ini masih ada. Daripada tidak ada kepastian dan jaminan, mendingan kita yang kerja keras untuk kita rebut, biar kita yang berkuasa. Dan yakinlah, perjuangan kita ini menjadi suci, luarbiasa sakralnya. Perjuangan kita bukan menang untuk berkuasa, tapi menang berkuasa untuk kesejahteraan rakyat. Bisa saja setelah ini, saya tidak jadi DPR, asal Pak Prabowo presidennya dan Gerindra menang.

Pertanyaan terakhir, meski penting tidak penting, soal nama belakang Anda yang menggunakan nama Prabowo, bisa Anda jelaskan?

Sejak lahir orangtua saya memberi nama Edhy Prabowo. Dulu saya biasa dipanggil Bowo. Nah, pas ikut Pak Prabowo, akhirnya saya dipanggil Edhy. Jelas saya punya kebanggaan sendiri namanya sama dengan tokoh yang saya idolakan sejak kecil. Nah, itu yang membuat saya lebih semangat.

Bisa jadi adanya nama ‘prabowo’ itu, saya dikira anak Pak Prabowo. Tapi memang, saya tidak mengelak ketika orang bilang anak Pak Prabowo, karena saya merasa sebagai anak angkat beliau. Karena saya dibesarkan beliau sejak saya tidak jelas statusnya, sejak dipecat dari Akabri, tidak ada orang yang mau menerima, kecuali Pak Prabowo yang akhirnya menguliahkan kami. Apakah saya tidak boleh menganggap beliau sebagai ayah angkat saya. Yang jelas, tidak ada niat untuk mengakui apapun saya sebagai anak kandung beliau. Saya hanya anak angkat yang diselamatkan beliau. Dan tidak semata-mata ngaku jadi anak angkat Pak Prabowo. Saya pikir ini menjadi anugrah tersendiri dan menjadi keberuntungan saya. Saya yakin kesamaan nama ini yang membuat orang-orang begitu gampang mengenal saya baik waktu pencalegan maupun sekarang ini. [G]

 Nama Lengkap:

Edhy Prabowo, MM., MBA.

Tempat Tanggal Lahir:

Tanjung Enim, 24 Desember 1972

Jabatan:

–          Wakil Ketua Harian Perguruan Pencak Silat Satria Muda Indonesia (PP SMI) 1997- sekarang

–          Ketua Bidang Pendidikan dan Latihan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) 2005 – sekarang

–          Ketua Bidang Pengembangan Prestasi Ikatan Pencak Silat Seluruh Indonesia (IPSI) 2007 – sekarang

–          Ketua Bidang Pendidikan dan Latihan (Diklat) DPP Partai Gerindra, 2008 – sekarang

–          Anggota DPR-RI Fraksi Gerindra, Komisi VI DPR RI periode 2009 – 2014

–          Sekretaris Fraksi Partai Gerindra DPR-RI

Catatan: Artikel ini ditulis dan dimuat untuk Majalah GARUDA, Edisi Desember 2011

 

 

 

Keberpihakan pada Petani

Rendahnya penguasaan dan pengusahaan lahan petani menyebabkan skala usaha pertanian kurang menguntungkan sebagai sumber pendapatan utama. Kondisi ini juga membuat penerapan teknologi usaha tani terpadu kesulitan diterapkan, termasuk dalam mencapai tingkat keekonomisan pembiayaan usaha tani.

Betapa tidak, sebagai negara yang kaya dengan sumber daya alam mineral, dan iklim tropis yang mendukung pertumbuhan Indonesia sebagai lumbung pangan yang besar, namun rakyatnya miskin. Tak terkecuali kaum petani yang kian terpuruk kesejahteraannya, bahkan merasa terpinggirkan di negeri yang dikenal sebagai agraris ini.

Tak heran bila Prabowo Subianto dalam bukunya, Membangun Kembali Indonesia Raya, Haluan Baru Menuju Kemakmuran (2009) mengungkapkan bahwa sektor pertanian dalam arti luas termasuk perikanan, kehutanan, serta dalam suatu sistem terintegrasi dari hulu ke hilir, masih belum menjadi platform utama pembangunan ekonomi nasional. Bahkan cenderung terabaikan walaupun posisi dan peranan sektor ini sangat strategis juga mendasar.

Memang, rasanya sulit untuk membantah bila ada yang mengatakan bahwa nasib kaum petani Indonesia tidak jauh berbeda dari rejim satu ke rejim lainnya, sejak negara ini berdiri pada tahun 1945. “Apalagi yang menyampaikan kabar itu adalah petani sendiri yang merasakan pahit getirnya hidup dari satu orde ke orde yang lain,” kata Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Gerindra, Prof Dr Ir Suhardi, MSc dalam sebuah diskusi publik bertajuk Mendorong Keberpihakan Kebijakan Kepada Petani, yang digelar oleh Fraksi Gerindra di Gedung DPR-MPR, Jakarta beberapa waktu lalu.

Ya, memang saat ini petani merasakan adanya proses penyingkiran peran petani. Proses marginalisasi terasa menguat sejak genderang revolusi hijau mulai ditabuh pada jaman Orde Baru. Sejak saat itu problem yang dihadapi petani kian kompleks dan multi dimensional. Perebutan tanah sebagai lahan pertanian yang terjadi pada orde sebelumnya mulai bergeser dengan dalih kepentingan pembangunan pada jaman Orde Baru. Dimana petani dihadapkan dengan pemerintah yang bergandengan tangan dengan pemodal besar. Pun dalam era reformasi yang konon adalah sebuah jaman penuh pengharapan bagi rakyat, namun kenyataannya kebijakan terhadap petani tidak pernah jelas dan cenderung membuat posisi petani semakin sulit.

Sehingga menurut Suhardi, –yang sekaligus Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Yogyakarta ini— pilihan menjadi buruh pabrik di kota dan buruh migran di negara-negara Timur Tengah, Malaysia, Hongkong dan negara lainnya adalah pilihan yang dianggap lebih baik dan memiliki harapan yang jauh lebih baik dari pada menjadi petani.

Menurutnya, dengan problem petani yang sudah dalam tingkat extra ordinary, maka dibutuhkan sebuah strategi yang tepat. Yang pertama dan perlu segera diwujudkan adalah adanya kebijakan yang memihak petani. “Kebijakan yang setengah hati dan berjalan lambat tidak akan mampu menjawab persoalan yang dihadapi petani,” ujarnya.

Dalam penulusuran Boedi Wijardjo, SH, Dewan Pendiri RACA Institute, menyebutkan kondisi seperti ini membuat problem yang dihadapi petani seperti benang kusut. Setidaknya ada tiga akar masalah yakni; ketidakpastian dalam penguasaan tanah, ketergantungan dalam budi daya tanaman, melemahnya akses tehadap pasar. “Dimana ketiganya bergerak secara sentrifugal dari sumbunya, yakni penyingkiran peran kaum petani,” ujarnya.

Hal ini dikuatkan oleh Anak Agung Jelantik Sanjaya, Anggota Komisi IV dari Fraksi Partai Gerindra, yang menyebutkan tiga masalah itu pun menggiring petani ke posisi yang sangat sulit untuk diselamatkan bila tidak segera mendapat perhatian dari semua pihak. Bahkan dalam perjalanannya, timbul masalah yang jauh lebih substansial dan komplek seperti hilangnya akses dan kontrol petani terhadap tanah pertanian, marginalisasi ekonomi keluarga petani dan pengasingan petani itu sendiri terhadap sumber daya lokal.

Untuk itu, pihaknya di Komisi IV tengah berjuang agar Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang diajukan ke DPR untuk digodok agar lebih menekankan keberpihakan Negara pada petani. “Boleh jadi problem yang dihadapi petani telah memasuki tahap kronis. Bahkan sekarang ini, profesi petani tidak lagi dibanggakan, tidak memiliki harapan apalagi masa depan,” ujarnya.

Sementara Prof Dr Ir Bustanul Arifin, ekonom senior INDEF menengarai selama ini lima prioritas yang dicanangkan pemerintah tak berjalan sesuai harapan. Seakan jauh api dari pangganggnya. Buktinya, pertumbuhan produktivitas pangan lambat. Estimasi produksi pangan strategis khususnya padi yang dirilis pemerintah begitu aneh, bahkan lebih politis.

Sebut saja, padi dengan produksi 68 juta ton gabah kering giling (GKG) menghasilkan 39 juta ton beras dengan laju konversi 0.57. Jika konsumsi beras 139.15 kg per kapita, maka total konsumsi beras 237,6 juta penduduk Indonesia seharusnya 33 juta ton. Jika data produksi itu benar, maka Indonesia surplus beras 6 ton, tidak perlu impor. Tapi nyatanya, Indonesia impor beras sebesar 6 juta ton.

Untuk itu, menurutnya, gagasan mewujudkan sebuah UU yang akan memberikan perlindungan dan pemberdayaan petani adalah sebuah gagasan yang sangat mulia dan pantas mendapat dukungan semua pihak. Namun demikian gagasan bagus sudah seyogyanya didukung dengan sebuah strategi yang tepat. Setidaknya yang harus dicermati lagi adalah UU itu kelak harus menjawab problem mendasar yang dihadapi oleh petani.

Ir Soepriyatno, Ketua Umum Pemuda Tani Indonesia –sebuah sayap organisasi dari HKTI— menegaskan selayaknya, dalam UU itu juga memuat tentang rencana aksi yang akan dilakukan oleh pemerintah. Pasalnya, menurut politisi dari Fraksi Gerindra ini ada kekuatiran bila model perlindungan yang dituangkan nanti masih bersifat semu. Bisa karena perlindungan yang kurang menyentuh problem nyata yang dihadapi petani, khususnya berkenaan dengan akses petani terhadap tanah pertanian. Tidak hanya itu, harus ada dukungan atau rangsangan terhadap jenis-jenis tanaman yang dibutuhkan rakyat, namun belum mampu diproduksi oleh petani karena berbagai hal.

Sementara Sadar Subagyo, anggota Fraksi Gerindra yang sekaligus Ketua Dewan Pimpinan Nasional (DPN) HKTI yang menyoroti soal konsep pemberdayaan petani, menegaskan bahwa pemberdayaan yang dikembangkan harus mendorong terjadinya pemandirian petani. Termasuk di dalamnya bentuk jaminan resiko yang dihadapi petani harus dan perlu adanya pengaturan yang jelas sehingga penerimanya memang benar-benar kaum petani. Untuk itu, partisipasi petani dalam lembaga jaminan, lembaga pembiayaan, bank pertanian adalah syarat mutlak untuk menghindari pemberian jaminan yang salah sasaran.

Menurutnya, subyek perlindungan dan pemberdayaan ini difokuskan pada pelaku dan usahataninya. Selain itu kebijakan perlindungan dan instrumen ekonomi harus dapat diakses dan dijangkau oleh seluruh lapisan petani Indonesia. “Jadi intinya harus ada perumusan strategi yang jelas berkenaan dengan rencana aksi untuk mewujudkan petani yang mampu mandiri. Jangan sampai menjadi petani itu profesi yang tidak populer, alias katro dan ndeso,” katanya.

Sementara mengenai kebijakan pangan, Sadar menyoroti bahwa selama ini kelembagaan pangan yang ada saat ini tidak mampu mengikuti irama perputaran roda kehidupan perekonomian, sistem politik dan kondisi eksternal lain yang terus berubah. Kelembagaan tidak hanya dipandang sebagai wadah fisik atau organisasi, tapi juga aturan sesuai teori baru ekonomi kelembagaan. Untuk itu, Sadar pun mengusulkan dibentuknya lembaga baru setingkat kementrian yang mengurusi soal pangan. “Bila perlu bentuk kementrian pangan,” usulnya.

Pangan Alternatif

Suhardi yang juga Ketua Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Yogyakarta, menegaskan sesungguhnya pangan tidak hanya dihasilkan di sawah atau di ladang, namun hutan tropis, kebun maupun pekarangan juga menghasilkan pangan yang berlimpah. Bahkan melestarikan hutan dan mengelola kebun serta pekarangan dengan benar dapat juga menghasilkan pangan yang sangat banyak sepreti garut, ganyong, ketela pohon, ketela rambat, umbi, huwi, atau sukun yang semuanya itu memiliki kandungan vitamin dan kalori yang baik.

Menurutnya, pengetahuan dan pemeliharaan tentang pangan lokal atau biodiversity pangan sesunguhnya sama dengan memelihara hutan dan sekaligus meningkatkan ketersediaan berbagai pangan memunculkan air, meningkatkan kayu, mengurangi kelaparan dan bencana-bencana yang lain. “Produksi pangan kita pada dasarnya dapat dihasilkan pada berbagai musim dan kondisi alam,” tegasnya.

Dengan demikian, kondisi tersebut, biodiversitas pangan Indonesia akan menjadi tulang punggung atau lumbung pangan dunia. Namun yang terjadi saat ini semakin meraknya kerusakan hutan dan konversi hutan tropis menjadi lahan kosong atau monokultur atau areal pertambangan –yang apabila tidak dikelola atau dicegah dengan baik— hanya akan menghasilkan devisa sesaat. Dan dampak untuk ke depannya malah menimbulkan kekurangan air, energi dan tentu akan menimbulkan kemiskinan dan menghancurkan masa depan bangsa juga dunia.

Pasalnya, penurunan kesejahteraan petani dapat dihubungkan dengan kerusakan hutan sebagai sumber air bagi petani dan pertanian. Kerusakan hutan dan alam Indonesia yang pada awal tahun 1995 disebutkan 600 ribu hektar per tahun, sekarang kerusakannya bertambah pesat menjadi 1,8 juta hektar per tahun. Bahkan sebuah LSM menyebutkan sampai 3,5 juta herktar per tahun. [G]

Catatan: Artikel ini ditulis dan dimuat untuk Majalah GARUDA, Edisi November 2011

 

 

 

Lebih Dekat Dengan Desmond Junaedi Mahesa: “Prabowo Panglima 2014”

Kritis dan selalu bicara apa adanya adalah gambaran Desmond Junaidi Mahesa (45). Semua itu dilatari untuk menjalankan amar makruf nahi mungkar yang diyakininya sebagai jalan hidup. Termasuk dalam aktifitas politiknya, baik di dalam maupun di luar parlemen.

Ia mengakui, tak sedikit cobaan pahit yang pernah dirasakannya sebagai aktivis. Namun hal itu tak lantas membuatnya kapok, apalagi menyerah. “Bagi saya, mengatakan benar itu benar dan mengatakan salah itu salah itulah politik saya. Tidak pernah takut apa yang saya yakini dan yang saya katakan sepanjang tak mengurangi dan mengganggu akidah saya,” tegas pria kelahiran Banjarmasin, 12 Desember 1965 ini.

Nama Desmond ini tentu saja mengingatkan publik pada peristiwa masa gerakan reformasi 1998 silam. Akibat sikap kritisnya itu ia pun termasuk salah satu aktifis yang diculik waktu itu. Meski demikian, semua itu tak membuatnya dendam. Kini, pengacara yang pernah menjabat sebagai Direktur Lembaga Bantuan Hukum Nusantara (LBHN) Jakarta ini duduk sebagai wakil rakyat dari Fraksi Gerindra.

Menurutnya, keterlibatannya di partai bentukan Prabowo Subianto ini merupakan salah satu upaya untuk bisa menjalankan amar makruf nahi mungkar. Meski memang, diakui oleh pria yang selalu tampil plontos ini awalnya sekadar membantu sahabatnya kala itu. Adalah Widjono Harjanto atau yang lebih akrab disapa Oni mengajaknya untuk membantu mendirikan partai berlambang kepala burung Garuda ini di wilayah Kalimantan Timur.

Karena sudah menjadi sikap hidupnya, ketika berbuat sesuatu maka totalitas adalah sebuah keharusan baginya. Maka segala resiko ia hadapi. Termasuk ketika ia harus menggantikan orang yang mencalonkan diri sebagai calon legislatif pada pemilu 2009 lalu. “Sudah menjadi sikap saya kalau berbuat sesuatu terbiasa total, maka saya pun total disini. Bagi saya semua itu bagian dari amanah,” ujar lulusan Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat ini.

Rupanya, sikap totalitas itu membawa berkah baginya hingga lolos ke Senayan sebagai wakil rakyat dari daerah pemilihan (dapil) Kalimantan Timur dengan raihan suara sebanyak 13.439 suara. Desmond pun ditempatkan oleh fraksi di Komisi III. Selain itu ia juga duduk sebagai anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR. Selain sebagai anggota DPR, ia pun dipercaya sebagai sebagai Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Gerindra, bidang Kaderisasi.

Sebagai orang yang diamanahi mengurus kaderisasi, Desmond menilai bahwa di usianya yang masih muda, Partai Gerindra harus mampu mencetak kader-kader yang militan dan total di jalan Gerindra. Sebagai parameternya adalah kemampuan dan kesiapan Partai Gerindra pada pemilu mendatang. Meski memang, kondisi hari ini kaderisasi masih dalam tataran pragmatis praktis. Untuk itu mau tidak mau, para kader sebagai mesin partai harus siap mematuhi dan menjalankan segala keputusan yang digariskan partai. “Termasuk saya, sebagai kader yang baik, ya harus tunduk dan taat pada partai,” katanya.

Lantas, seperti apa pandangan Desmond –yang berprofesi sebagai pengacara ini— seputar proses kaderisasi dan aktifitas politiknya di bawah bendera Partai Gerindra? Kepada Hayat Fakhrurrozi dari Garuda, memaparkan pandangannya dalam sebuah wawancara di sela kesibukannya sebagai wakil rakyat beberapa waktu lalu. Berikut petikannya:

Bisa diceritakan awal karir dan aktifitas politik Anda?
Saya rasa saya tidak punya karir politik. Karena saya merasa berpolitik itu bukan berkarir. Saya disini apa adanya saja. Dulu sebagai aktifis mahasiswa, aktifis LBHN itu juga bukan karir. Jadi menurut saya aktifitas politik itu bukan karir. Yang ada pada hari ini merupakan persoalan amar makruf nahi mungkar.

Jadi menurut Anda politik itu apa?
Saya tidak mengerti politik itu apa. Tapi kalau secara teori tentu saja saya mengerti dan banyak sekali definisinya, tergantung mana yang kita yakini. Bagi saya, mengatakan benar itu benar dan mengatakan salah itu salah itulah politik saya. Tidak pernah takut apa yang saya yakini dan yang saya katakan. Jadi kalo saya ngomong a, b, c, asal tidak mengurangi nilai dan aqidah saya tidak terganggu akan saya lakukan.

Lantas sejak kapan akhirnya Anda bergabung ke partai politik?
Semua berawal karena tidak sengaja. Dulu saya aktif dan gabung di Golkar karena saya diajak teman sewaktu saya aktif di HMI.  Jaman reformasi dan pasca reformasi, saya diminta ikut membangun Partai Umat Islam bersama Pak Deliar Noer. Termsauk di Gerindra, awalnya saya diajak Pak Oni (Widjono Harjanto), untuk membantu beliau bikin partai ini di Kalimantan Timur. Dan saya terpilih jadi anggota DPR juga karena saya menggantikan orang yang mundur. Sudah menjadi sikap saya kalau berbuat sesuatu terbiasa total, maka saya pun total disini. Bagi saya semua itu bagian dari amanah. Dan saya sebagai kader partai yang baik harus tunduk pada keputusan partai.

Meski partai ini dibangun dalam situasi dan kondisi serba dadakan dan saat ini pun usianya masih muda, maka kekurangan dan kelebihan menjadi solusi kita bersama, bagaimana untuk berbuat sesuatu yang lebih baik. Kalau kita bergabung dengan Partai Gerindra, maka kita harus serius untuk membicarakan bagaimana menyelesaikan persoalan-persoalan anak bangsa ini dengan baik.

Kontribusi apa yang Anda lakukan?
Tidak ada kontribusi. Karena bagi saya yang saya liat ya saya omongkan. Apa adanya seperti yang kerap saya sampaikan di Komisi III DPR. Seperti masalah Jaksa Agung Hendarman Supandji yang Keppresnya tidak ada dan melanggar aturan karena umur yang sudah melebihi, dan masih banyak lagi yang saya omongkan. Nah apakah kalau berkontribusi itu dibilang hebat? Bagi saya tidak.

Pun ketika melakukan uji kepatutan, seperti misalnya pada pemilihan hakim agung. Tentunya ada dua pandangan dilihat dari Desmond sebagai subjek pribadi atau sebagai kepanjangan dari partai. Sebagai pribadi saya akan lihat apakah calon itu amanah, fatonah atau tidak. Sementara sebagai kader partai, saya tidak mungkin melakukan sesuatu yang melanggar apa yang digariskan oleh partai. Kalo saya melanggar maka saya tidak patuh. Daripada tidak patuh, lebih baik saya keluar. Saya tidak boleh melakukan sesuatu yang sifatnya liar.

Sebagai Ketua DPP Partai Gerindra bidang kaderisasi, komentar Anda tentang kaderisasi yang ada?
Bicara tentang kaderisasi, maka proses itu harusnya bisa memberikan sesuatu yang membuat orang itu ada harapan. Kenapa orang itu memilih Gerindra, apa jalan Gerindra itu? Kenapa kita memilih jalan ini? Bagaimana mungkin orang melakukan propaganda, agitasi, menjual dirinya dalam kampanye, membaca peta kekuatan, dan akhirnya mampu memetakan kekuatan.

Pengkaderan di partai tidak sekedar transfer sebuah pengetahuan tapi transfer ideologi. Dalam kaderisasi itu harus ada skala prioritas program untuk membentuk kader yang militan. Kaderisasi itu yang ideal itu harus membangun warna dan watak pada kadernya. Kondisi sekarang memang belum ideal, masih pada tataran pragmatis, praktis.

Waktu yang ada menuju 2014 apakah cukup untuk pengkaderan?
Menurut saya cukup. Karena kaderisasi apa yang ada di hari ini boleh dibilang cukup. Cuma harus diakui oleh kita, ada beberapa hal yang harus dievaluasi lagi pada sasaran target. Apakah pada proses kaderisasi ini kader bisa memetakan kekuatan di daerah yang pada akhirnya mampu memenangkan Partai Gerindra. Kalau hal ini terlaksana maka kaderisasi berhasil. Kaderisasi pun harusnya berorientasi menggalang kekuatan untuk menuju medan perang.

Lalu untuk mengusung Prabowo pada 2014 nanti, apa yang dilakukan bidang kaderisasi?
Saya pikir mulai sama-sama evaluasi, ada kejujuran, kekompakan sebagai sebuah team work bahwa ini sebuah keluarga besar. Karena kekurangan dan kelebihan apapun, itu milik kita bersama. Nah menurut saya kalau hari ini jalan ini terbaik ya kita jalani, jika kurang ya kita diskusikan, sinkronkan bersama dengan melepaskan segala ego-ego pribadi guna membentuk teamwork dalam mengusung Prabowo di Pemilu 2014 nanti.

Apa harapan Anda pada Partai Gerindra dan para kadernya?
Kita memperkuat cita-cita kita bersama, bahwa 2014 bukan suatu tantangan yang mudah. Bagi saya, Prabowo itu sebagai jendral yang juga sebagai panglima. Kalau beliau yang jenderal bisa merangkap sebagai panglima, maka beliau juga bisa mencetak panglima-panglima, jenderal-jenderal perang yang baik dan mumpuni dalam rangka menghadapi medan kampanye. Tentunya beliau menciptakan panglima dan jenderal itu agar nanti di 2014 bisa memimpin perang dengan baik.

Orang-orang  yang menjadi bagian dari kader Gerindra maka harus merapatkan barisan, dalam rangka mencapai target itu. Bagi saya, kader tidak boleh ada yang main-main dalam mengusung Prabowo. Totalitas di jalan Gerindra adalah sebuah keharusan bagi orang yang mengatakan dirinya kader Gerindra. [G]

Biodata singkat:
DESMOND JUNAIDI MAHESA

Tempat tanggal lahir:
Banjarmasin, 12 Desember 1965

Jabatan:
– Direktur Lembaga Bantuan Hukum Nusantara (LBHN) Jakarta 1998
– Ketua DPP Partai Gerindra, periode 2008-2013
– Anggota DPR-RI Fraksi Gerindra Komisi III, periode 2009-2014
– Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR-RI
– Anggota Badan Musyarawah (Bamus) DPR-RI

Catatan: Artikel ini ditulis dan dimuat untuk Majalah GARUDA, edisi Oktober 2011

Lebih Dekat Dengan Sufmi Dasco Ahmad: “Suara Pemilih Ditiup Angin”

Kiprahnya di panggung politik praktis masih terbilang baru. Namun jiwa nasionalisme telah mendarahdaging. Pun dengan semangat dan tanggungjawabnya yang tak pernah lepas darinya. Meski dirundung berbagai masalah sekalipun. Tak menyurutkan tekadnya memperjuangkan nasib rakyat lewat jalur politik.  

Hal inilah yang diyakini Ir Sufmi Dasco Ahmad, SH, MH (43), Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Keterlibatannya di partai politik berawal ketika 2008 lalu, ia diajak Muchdi Pr dan teman bisnisnya Fadli Zon untuk ikut membantunya dalam proses pendirian partai. Tentu saja, mendengar ajakan itu, Dasco demikian sapaan akrabnya, sempat terkaget-kaget. ”Jujur saja, saya sebelumnya belum pernah terjun ke politik, bahkan tak ada latar belakang partai politik di keluarga,” akunya.

Tapi karena pria kelahiran Bandung, 7 Oktober 1967 ini terlanjur dikenal oleh orang-orang yang mengajaknya itu. Setidaknya, aktifitasnya di beberapa organisasi yang diikutinya menjadi pertimbangan Muchdi dan Fadli untuk merangkulnya. Pun dengan kapasitasnya sebagai pengusaha konsultan keamanan dan manajemen resiko yang tak diragukan lagi, kelak akan banyak membantu. Terbukti, kepiawaiannya itu dirasakan manfaatnya oleh civitas partai hingga kini.

Lulusan Fakultas Teknik Universitas Pancasila Jakarta ini mengembangkan beragam usaha, diantaranya  bergerak di bidang konsultasi keamanan dan manajemen resiko, percetakan security printing di bawah bendera Pasopati Group. Selain itu, ayah satu anak ini pun menjalankan bisnis jual beli mobil. ”Kalau sekarang, selain mengembangkan usaha itu, saya pun harus ngurus partai,” ujar Ketua Alumni Fakultas Teknik Universitas Pancasila ini.

Memang, sebelum terjun ke partai politik, Dasco sudah aktif di Pengurus Besar Ikatan Pencak Silat Indonesia (PB IPSI) duduk sebagai Sekretaris Komisi Disiplin. Di induk organisasi olahraga cabang pencak silat inilah, ia kerap bertemu dengan Prabowo Subianto selaku Ketua Umum dan Muchdi Pr sebagai Ketua Harian IPSI. Termasuk posisinya di Dewan Penasehat Komando Nasional Resimen Mahasiswa, tentunya ada kaitannya dengan aktifitas pembinaan watak generasi muda yang digerakan kalangan militer.

Setelah mempelajari garis perjuangan dan beragam program yang dicanangkan Prabowo pada partai yang akan dibentuknya itu, Dasco pun menyanggupinya untuk terlibat langsung.  Maka tercatatlah ia sebagai salah satu pendiri partai Gerindra dan dipercaya menjadi Ketua Bidang Organisasi dan Keanggotaan.

Lalu, seperti apa kipranya, sebagai orang yang diamanahi mengurus dinamika organisasi dan anggota di Partai Gerakan Indonesia Raya ini? Di bawah ini perbincangan Hayat Fakhrurrozi dari GARUDA bersama pemilik Pasopati Group ini saat ditemuinya di salah satu hotel di Jakarta, awal Juni lalu. Berikut petikan wawancaranya:

Bisa ceritakan aktifitas keseharian Anda saat ini?

Aktifitas keseharian saya selama ini, tentunya saya cari makan. Bersama kawan-kawan mengembangkan usaha di bidang manajemen keamanan dan manajemen resiko. Ada juga percetakan khusus security printing. Saya juga seorang bisnis jual beli mobil. Dan sejak tiga tahun lalu, saya ikut mengurus partai Gerindra.

Di luar itu, saya juga ngurus organisasi olahraga pencak silat. Lalu menjadi Ketua Alumni Fakultas Teknik Universitas Pancasila. Saya juga menjadi penasehat di beberapa organisasi kepemudaan, diantaranya Komando Nasional Resimen Mahasiwa. Selain itu saya juga masih harus menyelesaikan program doktoral (S3) –yang macet karena kesibukan saya— di salah satu universitas.

Lantas, kapan Anda mulai terjun ke politik?

Awalnya pada tahun 2008, saya diajak sama Pak Muchi Pr dan Pak Fadli Zon. Saat itu mereka mengajak saya bergabung untuk mendirikan partai bersama Pak Prabowo. Jujur saja, sebelumnya saya tidak pernah berpolitik. Bahkan di keluarga pun tak ada latar belakang partai politik.

Apa yang membuat Anda akhirnya mau terjun ke politik?

Adanya semangat yang sama, persepsi dan perjuangan yang sama untuk membawa perubahan menuju rakyat dan bangsa yang adil, makmur dan sejahtera. Jadi Cuma karena semangat yang sama itu akhirnya saya mau bergabung.

Setelah bergabung, apa yang Anda lakukan?

Saya dipercaya sebagai Ketua Bidang Organisasi dan Keanggotaan yang mengurusi masalah koordinasi struktur organisasi dan sayap partai serta persoalan keanggotaan. Selain itu saya juga duduk di badan pemenangan pemilu.

Politik itu sendiri menurut Anda?

Politik itu ruwet, maag saya kambuh melulu setelah terjun di politik. Memang, saya tidak membayangkan sebelumnya, kalau politik itu begitu ruwetnya. Sehingga waktu pencalegan, saya pun tidak minat mencalonkan, karena pasti tambah ruwet. Dan pastinya tidak enak. Salah sedikit disemprotnya banyak, uang yang didapat tak seberapa.

Lalu kenapa akhirnya Anda tetap bertahan?

Ini masalahnya tanggungjawab, periode kepengurusan itu harus diselesaikan hingga akhir.

Soal perkembangan keanggotaan Gerindra saat ini?

Kalau dulu, jangankan cari anggota, cari pengurus saja susah. Dan alhamdulillah pada waktu verifikasi KPU 2008, kita yang ditargetkan seribu anggota setiap kabupaten/kota, kita bisa memenuhinya. Kita mempunyai 12 juta anggota waktu itu. Tapi secara nasional pemilih kita hanya 4,7 juta. Hal ini dikarenakan banyak anggota kita yang tak masuk DPT (Daftar Pemilih Tetap). Selain itu ada banyak anggota yang suaranya ditiup angin di TPS.

Bagaimana dengan perolehan suara Gerindra?

Jika dilihat dari perolehan kursi setiap daerah, boleh dibilang hampir relatif sama rata-rata antara 7 – 10 persen dari jumlah pemilih. Hanya saja, perolehan di daerah antara DPR dan DPRD provinsi dan kabupaten/kota tak berbanding lurus. Ada yang dapat kursi untuk DPR daerah hingga satu fraksi, tapi di DPR pusat tak dapat. Pada Pemilu 2009 kemarin banyak suara kita yang hilang, tertiup angin tak jelas kemana. Padahal sebenarnya daerah yang tak dapat kursi, posisi kita ada di urutan suara berikutnya.

Lalu apa yang akan dilakukan?

Dari pengalaman Pemilu 2009 kemarin, kita tengah mendata kembali dengan program KTA-nisasi. Untuk data pastinya baru bisa kita ketahui enam bulan lagi, karena hingga saat ini masih berlangsung. Selain itu, sesuai instruksi Ketua Dewan Pembina, kita juga melakukan pengkaderan yang sudah berjalan dari pusat dan daerah. Dimana gunanya adalah untuk mencetak kader-kader yang militan mandiri dalam rangka mempersiapkan mereka untuk sudah dari sekarang menyiapkan saksi, memonitor DPT. Semua itu, untuk berjaga-jaga agar di 2014 nanti tak terulang lagi kalau di TPS tidak ada saski. Selain itu, para kader di kabupaten/kota pun wajib koordinasi dengan struktur, untuk mengkomparasi antara jumlah KTA dengan data DPT sementara. Sehingga diketahui antara pemilik KTA yang masuk dan yang tidak terdata. Jika terjadi demikian, maka kader harus segera berkordinasi dan melaporkan hal tersebut.

Target Gerindra sendiri di 2014?

Ya pasti tinggi, kita akan berusaha sekuatnya bagaimana caranya agar target kita tercapai. Paling tidak setara dengan perolehan minimal agar kita bisa mengusung calon Presiden sendiri sebesar 20 persen. Kalau lebih dikiranya kita muluk-muluk, jadi minimal di angka itu.

Untuk mencapai target di 2014, apa yang digalakkan?

Tentunya ini menyambung dari program Pak Prabowo yang merangkul berbagai kalangan seperti bergabungnya beberapa parpol. Begitu pula bergabungnya ormas-ormas yang simpati dengan Pak Prabowo. Selain itu, kita juga ada pilar-pilar partai yaitu sayap. Semua itu dalam rangka kita mengakomodir semua golongan dengan berbagai aspirasi untuk bergabung. Semoga dengan itu pula anggota kita bisa bertambah.

Seperti apa kondisi Gerindra?

Kalau dilihat dari umurnya memang baru 3 tahun tentu masih ada kekurangan dibanding dengan partai yang sudah lama eksis. Tapi setiap ada perbedaan pandangan, dinamika organisasi, atau persoalan-persoalan lain, untungnya bisa terselesaikan, karena kita punya perekatnya. Kita punya calon pemimpin Pak Prabowo yang sekaligus menjadi Ketua Dewan Pembina. Setiap masalah bisa dengan cepat terselesaikan, karena kita loyal pada beliau. Persoalan apapun. Itulah bedanya dengan partai lain. Kita tidak ada perseteruan. Nah, itu yang membuat partai ini berjalan sesuai dengan role-nya.

Bagaimana dengan kader Gerindra yang duduk di parlemen?

Saya bangga kepada mereka yang tetap komitmen menjalankan program partai dan program rakyat meski pun ruwet. Mereka satu komando, tidak seperti partai lain. Banyak di partai lain kader yang membangkang Ketua Umum atau Dewan Pembinanya. Dan akhirnya saya masih betah untuk berbagi tanggungjawab. Mereka berjuang di parlemen, saya ngurus di dalam partai.

Tentu semua itu kaitannya dengan kepemimpinan Prabowo, komentar Anda?

Ya. Beliau orang yang konsisten, tegas dan tidak terlalu banyak pertimbangan. Dan yang tak kalah pentingnya, ketika beliau salah, maka beliau tak ragu-ragu dan malu mengakuinya bahwa dia keliru. [G]

Biodata singkat:

Ir. Sufmi Dasco Ahmad, SH, MH

Tempat tanggal lahir:

Bandung, 7 Oktober 1967

Jabatan:

– Sekretaris Komisi Disiplin Ikatan Pencak Silat Indonesia 2007-2011

– Ketua Bidang Organisasi dan Keanggotaan DPP Partai Gerindra 2008-2014

– Ketua Alumni Fakultas Teknik Universitas Pancasila, Jakarta

– Dewan Penasehat Komando Nasional Resimen Mahasiswa

Catatan: Artikel ini ditulis dan dimuat untuk Majalah GARUDA, Edisi Juni 2011

Membangun Kembali Indonesia Raya

Sumber daya alam Indonesia melimpah. Ini karunia yang patut disyukuri. Tapi kenapa penduduk negeri ini masih jauh dari tingkat kesejahteraan yang memadai? Jelas ada yang kurang tepat dalam pengelolaannya. Karena ini Indonesia perlu dibangun kembali dengan mengoreksi pola pengelolaannya yang kurang mendukung dalam mencapai kesejahteraan masyarakat. Perubahan itu hanya bisa dilakukan oleh pemimpin yang kuat, berpandangan jauh ke depan.

Buktinya Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam minyak dan gas, mineral, lahan yang subur, jumlah penduduk yang banyak dan keragaman hayati yang sangat besar tapi yang terjadi justru sebaliknya. Indonesia sebagai negara tropis terbesar kedua di dunia, tapi petaninya relatif miskin. Bahkan Indonesia pun masih menjadi negara pengimpor besar komoditas pangan. Pun dengan nasib nelayan yang relatif miskin, padahal panjang pantai dan luas laut Indonesia terluas keempat di dunia. Bukannya kekayaan itu dinikmati bangsa sendiri, justru lebih banyak dikuasai dan dikuras serta dirampas oleh negara-negara asing.

Sejatinya, posisi Indonesia dari aspek perekonomian harus sejajar bahkan lebih baik dibanding dengan negara-negara yang memiliki kekayaan alam yang setara. Nyatanya, pengalaman dan kinerja pembangunan nasional yang demikian mengecewakan, setidaknya setelah reformasi tahun 1998, belum cukup untuk membangkitkan kesadaran dan komitmen bangsa. Mestinya dengan kepeloporan semua pihak yang pernah dipercaya rakyat untuk memimpin negara ini, melakukan perubahan atau koreksi mendasar terhadap strategi dan kebijakan serta program pembangunan nasional.

Terlebih persoalan-persoalan pokok dan mendasar seperti kemiskinan, pengangguran, ketimpangan ekonomi, kebodohan, ketertinggalan kualitas sumberdaya manusia, pudarnya keunggulan sumber daya sosial khas bangsa Indonesia, degredasi sumber daya alam dan lingkungan dan lemahnya daya saing terhadap bangsa-bangsa lain masih saja berlangsung dan melekat dengan proses pembangunan nasional. Anehnya, persoalan-persoalan tersebut masih saja dilihat dari sudut pandang statistik atau angka-angka yang dijadikan sebagai indikator adanya perbaikan atau kemajuan yang dicapai.

Padahal jika dilihat dari tolok ukur nilai tukar rupiah, dari tahun 1997 sampai sekarang, setidaknya bangsa ini telah jatuh miskin lima kali. Pun dari segala ukuran, tak dapat dipungkiri bahwa kenyataannya Indonesia masih tetap saja tergolong sebagai negara sedang berkembang, agar lebih sopan untuk tidak menyebutnya sebagai negara miskin atau terbelakang. Kondisi ekonomi Indonesia di tahun 1999 sebagaimana yang tertuang dalam Van Zorge Report –yang bersumber dari data Badan Pusat Statistik (BPS)— tentang neraca ekspor impor Indonesia untuk tahun 1997 dan 1998 menggambarkan Indonesia sebagai bangsa yang mengalami surplus ekspor sebesar 11,7 miliar dan 21,5 miliar Dollar Amerika. Tapi mengapa ekonominya begitu rapuh?

Rupanya, krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997, 1998 dan 1999 sejatinya bukan krisis ekonomi yang sebenarnya, tetapi krisis ekonomi yang diciptakan oleh kekuatan-kekuatan tertentu yang memang hendak merusak kehidupan bangsa Indonesia. Dengan melihat neraca ekspor impor Indonesia yang merupakan salah satu tolok ukur untuk menilai kekuatan dan kesehatan ekonomi suatu bangsa, maka yang terjadi di Indonesia adalah Net Outflow of Wealth dari bangsa Indonesia, yakni arus keluar kekayaan bangsa dan karenanya bangsa Indonesia tidak menikmati akumulasi kekayaan nasional.

Bahkan sampai dengan 2008, berdasarkan data BPS, terjadi net profit sebagai bangsa yakni ekspor yang melebihi impor dengan rata-rata 25 miliar Dollar tiap tahun. Tapi nyatanya, Bank Indonesia mengumumkan pada 2009 cadangan devisa negara selalu berada di kisaran 50 miliar Dollar. Berdasarkan laporan tersebut berarti terjadi Net Loss of National Wealth sebesar kurang lebih 250 miliar Dollar. Artinya, dimana keuntungan dan kekayaan bangsa tidak tinggal di Republik ini.  (lihat tabel)

Kondisi mendasar inilah yang menurut Prabowo Subianto, pendiri sekaligus Ketua Dewan Pembina Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), ada sesuatu yang salah pada sistem perekonomian yang dianut bangsa ini. ”Negara kaya dengan sumber daya alam mineral dan iklim tropis yang mendukung pertumbuhan Indonesia sebagai lumbung pangan yang besar, namun rakyatnya miskin. Hal inilah yang saya sebut sebagai paradoks Indonesia,” tegas Prabowo seperti yang tertuang dalam bukunya Membangun Kembali Indonesia Raya, Haluan Baru Menuju Kemakmuran (2009).

Hal senada disampaikan Anak Agung Bagus Jelantik Sanjaya, anggota Dewan Pakar Masyarakat Agribisnis dan Agroindustri (MAI) Bali, bahwa bangsa ini harus berani berani meninggalkan ataupun mengoreksi sebuah sistem ekonomi yang tidak membawa kemakmuran kepada rakyat banyak. ”Ternyata sistem perekonomian kita yang neo liberal ini tidak mungkin untuk membawa bangsa Indonesia keluar dari jebakan pertumbuhan rendah yang juga berkualitas rendah,” tegas anggota Komisi IV, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dari fraksi Gerindra ini.

Faktanya, dalam bidang perekonomian, strategi, kebijakan, serta program yang telah dijalankan sejak awal pembangunan nasional tahun 1970-an sampai saat ini masih belum mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan pendapatan per kapita penduduk yang relatif tinggi, berkesinambungan, serta berkeadilan. Bahkan, permasalahan mendasar yang terjadi adalah Indonesia cenderung terjebak dalam pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita yang rendah.

Memang, dari sisi nominal terjadi pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan per kapita, tapi masih tetap lebih rendah dan bahkan cenderung kian besar perbedaannya jika dibanding dengan negara-negara lain yang setara. Sejak orde baru, Indonesia belum mampu sejajar dengan Thailand, apalagi dengan Malaysia. Padahal kekayaan sumber daya alam melimpah, Indonesia hanya mampu mencapai produk domestik bruto per kapita sekitar 2.181 Dollar pada tahun 2008 lalu. Sementara negara-negara seperti Thailand, Brasil dan Meksiko telah melewatinya pada tahun 1990-an.

Mestinya, masa usia 65-70 tahun merupakan tonggak umur yang sangat menentukan bagi seorang manusia atau suatu bangsa. Pada rentang 65-70 tahun-lah, seseorang dipandang telah mencapai purnabaktinya dalam kehidupan. Artinya, Indonesia mestinya dapat berada pada posisi sebagai negara berpendapatan menengah yang sebenarnya yakni sekitar 3.705 – 11.455 Dollar. Namun faktanya, Indonesia saat ini masih jauh dari harapan tersebut.

Strategi dan Aksi

Setidaknya dengan modal kemerdekaan yang telah dicapai dan kesatuan yang utuh dan kuat yang telah diperoleh, maka Indonesia sebagai bangsa dan negara mampu berdaulat dalam seluruh bidang kehidupan. Dalam hal ini, Partai Gerindra sendiri, menurut Prof Dr Ir Suhardi, MSc, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Gerindra, telah menyusun strategi yakni Lompatan Besar (big-push strategy) yang tediri dari empat komponen terpadu. Pertama, strategi pokok, yakni membangun landasan yang kokoh. Kedua, strategi utama: membangun sumber pertumbuhan berkualitas. Ketiga, strategi pendukung; membangun lingkungan yang memampukan. Keempat, strategi implementasi; menerapkan tata kelola pemerintahan yang baik.

Strategi pokok, strategi utama, dan strategi pendukung yang tak terpisahkan. Dalam implementasi, ketiganya saling mendukung dan saling menguatkan. ”Dengan strategi terpadu ini diharapkan tujuan dan sasaran serta target untuk menggandakan kinerja pembangunan nasional dapat dicapai dengan efektif dan efisien,” katanya.

Permasalahan mendasar yang dihadapi Indonesia adalah terjebak dalam pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita yang relatif rendah serta tekanan jebakan utang. Karena Gerindra terus memperjuangkan program-program prioritas seperti membangun kedaulatan pangan, membangun kembali kedaulatan energi dan mengembangkan industri unggul dan bernilai lebih. Termasuk di dalamnya adalah  program aksi –yang merupakan program kongkrit dan dalam jangka pendek— dapat diharapkan menjawab permasalahan dan tantangan utama perekonomian nasional sekaligus memberikan lompatan besar bagi pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi berkesinambungan dan lebih berkeadilan. Gerindra sendiri menyebutnya dengan 8 (delapan) program aksi untuk kemakmuran rakyat.

Strategi pembangunan ’lompatan besar’ setidaknya diyakini akan memberikan fokus pilihan dengan membangun kedaulatan pangan dan membangun kembali kedaulatan energi alternatif. Fokus pilihan tersebut tentu didukung oleh pengembangan industri yang unggul dan bernilai tambah. Keseluruhan program tersebut disusun dan diimplementasikan untuk mencapai amanat UUD 1945, terutama pasal 28, 31, dan 33 amandemen keempat UUD 1945.

Sekretaris Eksekutif Institut Garuda Nusantara, sekaligus anggota Tim Merah Putih, Dr Ir Endang S Thohari, MSc, menegaskan, belajar dari pergerakan dan pengalaman membangun Indonesia selama lebih dari 65 tahun dan harapan serta cita-cita menjadi bangsa yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur maka diperlukan suatu reorientasi, strategi dan kebijakan pembangunan. Reorientasi, penekanan dan penajaman kembali paradigma pembangunan nasional ini sudah mendesak untuk ditetapkan dan dilaksanakan. ”Seperti yang ditegaskan oleh Pak Prabowo dalam setiap kesempatan, apabila kita terus berada pada strategi pembangunan seperti sekarang, maka pada 2045 pada saat 100 tahun merdeka, Indonesia masih tergolong sebagai negara papan bawah atau negara miskin,” tegasnya.

Kini saatnya, diperlukan haluan baru untuk mengubah kondisi negeri yang kian terpuruk ini bangkit kembali dalam rangka mencapai Indonesia yang maju berdaulat, adil dan makmur. Dimana haluan baru itu harus dipimpin dan digerakkan oleh pemimpin baru, yang mendapat dukungan penuh dari seluruh rakyat dan komponen bangsa yang memiliki karakter tegas, kuat dan berwibawa yang membawa semangat dan harapan baru.

Sejatinya, bangsa ini mampu menjalankan terobosan besar dengan memaksimalkan keunggulan terbaik, menekan kebocoran ekonomi, mengubah paradoks Indonesia menjadi keajaiban Indonesia. ”Karena memang sudah menjadi kodrat bahwa kita adalah bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur,” pungkas Ketua Harian Perempuan Indonesia Raya (PIRA) ini. [G]

Lampiran tabel 1

Tabel Neraca Ekspor-Impor Indonesia tahun 1997-2008

Tahun

Termasuk Minyak dan Gas

Neraca

Ekspor (juta US$)

Impor (juta US$)

1997

53,443.60

41,679.80

11,763.80

1998

48,847.60

27,336.90

21,510,70

1999

48,665.50

24,003.30

24,662.20

2000

62,124.00

33,514.80

28,609.20

2001

56,320.90

30,962.10

25,358.80

2002

57,158.80

31,288,90

25,869.90

2003

61,058.20

32,550.70

28,507.50

2004

71.584.60

46,524.50

25,060.10

2005

84,530.00

56,410.00

28,120.00

2006

100,790.00

61,070.00

39,720.00

2007

114,100.90

74,473.43

39,627.47

2008

136,760.00

128,790.00

7,970.00

Rata-rata

74,615.34

49,050.37

25.564,97

 Catatan:

Artikel ini ditulis dan dimuat untuk Majalah GARUDA, Edisi Juni 2011