Menjawab Tantangan Bangsa

“Jika elit dan kepemimpinan Indonesia tidak memiliki dorongan, imajinasi, keinginan untuk berinovasi dan ketegasan untuk mencapai terobosan dalam pembangunan dan pemerintahan, maka bahaya yang dihadapi Indonesia dapat membalikkan semua kemajuan, semua prestasi sosial, politik dan ekonomi yang telah kita capai.”

prabowodalamIndonesia, sebagai negara yang besar tentu memiliki potensi dan tantangan yang besar pula. Besarnya populasi sekitar 241 juta jiwa dengan produk domestik bruto hampir satu triliun dolar Amerika dan tingkat pertumbuhan enam persen per tahun, Indonesia merupakan  perekonomian terbesar keenam belas di dunia. Sejatinya dengan kondisi seperti itu, bangsa Indonesia harus optimis menatap masa depan untuk menjadi bangsa yang maju, modern dan makmur.

Tapi potensi saja tidak cukup. Kemajuan dan kemakmuran jelas tidak datang dengan sendirinya. Seperti yang dikatakan Ketua Dewan Pembina Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Prabowo Subianto dalam berbagai kesempatan,  “Butuh sebuah keberanian besar  dan karakter yang kuat untuk membalikan pernyataan bahwa perkembangan bangsa ini hanya sebatas potensi.”

Menurut Prabowo, segenap elemen bangsa ini harus memiliki inovasi, kreativitas, kejujuran dan keberanian untuk menemukan strategi dan solusi untuk masalah-masalah yang dihadapi. “Keberanian untuk tidak mengabaikan masalah-masalah kita, atau mengubur kepala kita di pasir, berpura-pura bahwa kita tidak memiliki masalah, tantangan dan hambatan di hadapan kita. Kita tidak boleh hanya mengandalkan harapan, atau optimisme palsu, bahwa kita dapat mengatasi masalah kita tanpa perlu berani mengambil tindakan-tindakan yang sulit,” tandasnya saat menyampaikan paparan tantangan masa depan Indonesia di hadapan para cendikiawan muslim Indonesia di Jakarta beberapa waktu lalu.

Menurut putra Begawan ekonomi Indonesia Soemitro Djojohadikusumo ini, Indonesia memiliki empat tantangan besar yang harus dihadapi. Tantangan-tantangan tersebut dapat menjadi hambatan, bahkan dapat melumpuhkan harapan dan aspirasi bangsa ini untuk masa depan.

Tantangan tersebut diantaranya, pertama dan paling penting dari semua, yaitu menipisnya sumber daya energi. Kedua, Indonesia menghadapi peningkatan eksponensial dalam jumlah populasi, suatu kondisi yang disebut sebagai ledakan penduduk. Ketiga, kita menghadapi isu pemerintahan yang lemah, tidak efisien dan korup. Keempat, ada ketidakseimbangan struktural perekonomian Indonesia.

Prabowo mengingatkan, saat ini bangsa Indonesia mengkonsumsi sekitar 500 juta barel minyak setiap tahun, dengan peningkatan sebesar 10 juta barel per tahun. Pada tahun 2009, cadangan minyak sebesar 4,3 miliar barel. Bahayanya, jika tidak ada penemuan baru, cadangan minyak negara ini akan habis dalam 12 tahun. “Berarti, pada tahun 2021 kita akan perlu mengimpor semua kebutuhan minyak dari luar negeri, atau menggantinya dengan pasokan energi alternatif,” ungkapnya.

Namun demikian, lanjut Prabowo, negeri ini juga memiliki potensi cadangan gas alam dan batu bara yang sangat tinggi dan luar biasa. Setidaknya, Indonesia memiliki cadangan gas alam sebesar 107 triliun kaki kubik yang setara dengan 34 tahun jika tingkat produksi per tahun tidak meningkat. Pun dengan cadangan batu bara yang mencapai 21 miliar ton. Jumlah yang cukup untuk 79 tahun kedepan dengan tingkat produksi seperti  saat ini.

“Saya yakin saat ini sejumlah elit merasa aman dalam pemenuhan kebutuhan dua energi itu. Tapi saya ingin mengingatkan, bahwa  saat ini 39 persen dari pasokan energi Indonesia bergantung pada minyak. Jika cadangan minyak di Indonesia habis, maka kita akan harus mengganti pasokan dengan batubara, gas alam, atau sumber energi alternatif,” ujarnya.

Setidaknya, kata Prabowo, dalam satu generasi mendatang, Indonesia akan masih sepenuhnya tergantung pada impor untuk semua kebutuhan energi, kecuali bangsa ini mempersiapkan bentuk energi alternatif. Bahkan suka atau tidak, kita juga harus mempertimbangkan bahwa dalam 30 sampai 50 tahun ke depan, Indonesia harus mengembangkan tenaga nuklir.

Tantangan berikutnya adalah ledakan penduduk. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), saat ini, Indonesia berpenduduk 241.000.000 orang dengan kenaikan 1,6 persen setiap tahunnya. Setidaknya, dalam 20 tahun ke depan, Indonesia akan memiliki 76.000.000 mulut baru untuk diberikan makan. Tentu akan ada tantangan untuk menyediakan rumah, klinik, rumah sakit, pekerjaan, dan yang terpenting adalah makanan. “Sejarah dunia mengajarkan kepada kita bahwa krisis pangan dapat menyebabkan ketidakstabilan, pergolakan dan disintegrasi bangsa,” ujar Prabowo mengingatkan.

Berikutnya yang harus dihadapi bangsa Indonesia adalah tantangan untuk mengubah pemerintahan yang lemah, tidak efisien dan korup. Memang, menurutnya tantangan ini sulit untuk dihitung, tapi sangat nyata dan aktual. Pemerintahan yang lemah menyebabkan inefisiensi. Inefisiensi mengarah ke korupsi. Korupsi menyebabkan kurangnya pembangunan, minimnya pelayanan layanan publik dan kurangnya pertumbuhan ekonomi. Kekurangan ini akan menghasilkan kesenjangan. Disparitas dan kesenjangan biasanya menyebabkan pemerintahan yang lemah, atau bahkan negara gagal. “Kondisi ini saya gambarkan sebagai lingkaran setan,” tandasnya.

Menurut Prabowo, salah satu cara untuk melihat seberapa efisien sebuah pemerintahan dijalankan dalam suatu negara, adalah dengan melihat berapa banyak warga yang dapat diayomi oleh sebuah badan pemerintahan otonom. Sebagai contoh, Cina adalah negara dengan 1,4 miliar orang. Cina memiliki 33 provinsi dan daerah otonom, atau 1 badan otonom untuk setiap 42 juta orang. Di India, ada 35 negara bagian dan daerah otonom untuk mengatur 1,21 miliar orang. Artinya, ada sekitar 34 juta orang untuk setiap negara bagian atau wilayah otonom.

Sementara Indonesia, negara dengan 241 juta orang, memiliki 497 badan pemerintah otonom (kabupaten dan kota). Setiap bupati dan walikota di Indonesia dipilih secara demokratis, dan dapat membuat undang-undang untuk memerintah sekitar 484.000 orang. “Bisa dibayangkan inefisiensi yang telah kita buat untuk diri kita sendiri,” tegasnya.

Masalah perilaku korup para pejabat publik tentu sudah menjadi rahasia umum. Dari 33 gubernur sejak masa reformasi, ada 17 gubernur didakwa korupsi. Sebanyak 138 bupati dijebloskan ke penjara karena korupsi. Sekitar 30 persen dari pejabat publik Indonesia berada di bawah tuduhan korupsi.

“Saya sering menyampaikan, satu cara mudah untuk mengevaluasi efektivitas dan kinerja bupati adalah dengan melihat kualitas jalan di Kabupaten-nya. Jika sebagian besar jalan berada dalam kondisi buruk, kita dapat dengan mudah memprediksi bahwa bupati dan pemerintahannya melakukan pekerjaan yang buruk, dan kemungkinan besar bupati tersebut diselidiki untuk tindak pidana korupsi,” tegasnya.

Tantangan lain yang juga sangat penting adalah perekonomian. Memang, sekilas terlihat dalam kondisi yang baik, nyatanya perekonomian negeri ini mengalami ketidakseimbangan struktural yang berbahaya. Menurutnya, hal ini bisa dilihat dari soal peredaran uang di Indonesia. Sebanyak 60 persen uang, beredar di ibukota Jakarta, 30 persen beredar di 32 kota lainnya, dan hanya 10 persen dari uang yang beredar di Indonesia, beredar di daerah pedesaan. “Padahal, faktanya 60 persen penduduk Indonesia tinggal di daerah pedesaan. Ini berarti hanya sepuluh persen uang yang beredar diantara 60 persen dari populasi kita,” tegasnya.

Lebih parah lagi, jika menilik pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia yang sebesar Rp 1.200 triliun pada tahun 2012 hanya mengalokasikan Rp 34 triliun, atau 3 persen untuk sektor pertanian. Hal ini sangat bertolak belakang dengan fakta bahwa 60 persen penduduk Indonesia hidup dari sektor pertanian.

Menurutnya, ketidakseimbangan ini mengindikasikan adanya ketimpangan struktural dalam perekonomian Indonesia. Ketidakseimbangan ini telah menciptakan rasa ketidakpuasan dan rasa ketidakadilan. “Ada rasa bahwa setelah 67 tahun merdeka, kemajuan ekonomi hanya menguntungkan segelintir elit saja,” ujar Ketua Umum DPN Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) ini.

Dengan tantangan seperti itu, maka dibutuhkan upaya-upaya strategis untuk bisa keluar dari kemelut sekaligus menjadikannya sebagai jendela kesempatan. Mau tidak mau, Indonesia harus memanfaatkan keuntungan kompetitif yang dimilikinya. Menurutnya, kondisi geografi tropis menyediakan kita dengan keunggulan kompetitif di bidang pertanian. Indonesia menempati 11 persen dari 27 persen zona tropis dunia.

Diakui bahwa saat ini ada 77 juta hektar hutan yang rusak. Setidaknya, kecepatan kerusakan hutan kita setara dengan enam lapangan sepak bola setiap sepuluh menit. “Saya mengusulkan, bencana ekologi dan ekonomi ini kita ubah menjadi peluang ekonomi dengan mencetak 10 sampai 16 juta hektar lahan produktif dalam 20 tahun ke depan, untuk memproduksi pangan dan bio-energi,” usulnya.

Kemudian, strategi ekonomi yang didasarkan pada agro-industri adalah solusi untuk mengurangi tingkat kemiskinan dan pengangguran di Indonesia. Ini akan menciptakan daya beli untuk mereka yang saat ini miskin dan menganggur. Peningkatan daya beli ini akan meningkatkan permintaan, permintaan akan meningkatkan konsumsi, dan konsumsi menyebabkan pertumbuhan riil ekonomi Indonesia.

Disamping itu, menurut Prabowo, untuk mengatasi ledakan penduduk, bangsa ini harus meningkatkan investasi untuk pendidikan dan kesehatan. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa dengan meningkatkan kualitas pendidikan dan pelayanan kesehatan, tingkat kelahiran akan turun. “Diperlukan sebuah kampanye besar, kampanye terpadu, yang dikelola dengan baik dan berkelanjutan untuk mengurangi tingkat kelahiran penduduk kita,” imbuhnya.

Sementara untuk mengatasi tantangan pemerintahan yang lemah, tidak efisien dan korup, menurutnya, diperlukan kehendak politik dan kepemimpinan yang kuat. Kepemimpinan yang memiliki keberanian untuk melaksanakan pemerintahan yang bersih, manajemen yang efisien, serta kontrol ketat dari anggaran belanja publik. Tidak hanya manajemen yang efisien dan ketat, tetapi juga harus kreatif, efektif dan imajinatif dalam menggunakan teknologi informasi, manajemen dan teknik paling modern.

“Kita memerlukan kemauan dan tekad untuk membasmi praktik korupsi di semua tingkatan, di semua sektor pemerintah. Semua tingkat pemerintahan harus memimpin dengan contoh. Kita perlu untuk mengalokasikan sumber daya kita untuk meningkatkan gaji dan kualitas hidup pegawai negeri, terutama para birokrat kunci, pejabat negara kunci yang menjalankan negara dan membuat keputusan untuk bangsa sehari-hari,” tandasnya.

Prabowo menuturkan bahwa Lee Kuan Yew, mantan Perdana Menteri Singapura pernah berkata kepadanya, “If you pay peanuts, you will get monkeys,” yang artinya, jika Anda membayar dengan kacang, Anda akan mendapatkan monyet. “Itulah sebabnya Singapura membayar pejabat publik mereka dengan gaji tertinggi di dunia,” katanya.

Sedangkan untuk mengatasi ketidakseimbangan struktural ekonomi, menurut Prabowo, bangsa ini harus melakukan reorientasi ekonomi. Kita tidak boleh dibutakan atau terikat oleh sebuah teori atau ideologi tertentu. Sejarah mengajarkan kita bahwa tidak ada satu solusi, tidak ada satu model yang dapat diterapkan secara sukses pada setiap kasus, pada setiap negara di seluruh dunia. Setiap negara harus menemukan dan menerapkan model ekonomi sendiri, model ekonomi yang berdasarkan sejarah, budaya dan keadaan sendiri.

“Kita bisa belajar dari orang lain, tapi kita tidak bisa begitu saja menerapkan apa yang berhasil diterapkan oleh negara-negara lain,” ujarnya.

Untuk itu, Prabowo menekankan bahwa kepemimpinan nasional Indonesia harus berusaha untuk mencapai ekonomi yang seimbang, dengan sistem ekonomi campuran yang menggunakan prinsip-prinsip terbaik dari kapitalisme dan ekonomi pasar, dengan partisipasi yang kuat dari negara dan pemerintah dalam sektor-sektor strategis. Menggabungkan atribut terbaik dari kapitalisme dengan atribut terbaik dari sosialisme adalah hal yang digariskan oleh pendiri Indonesia dalam Pembukaan dan Pasal 33 UUD 1945. “Saya menyebut rencana saya untuk Indonesia, dengan sebutan Strategi Dorongan Besar. Sebuah strategi untuk mencapai beberapa tujuan secara bersamaan,” paparnya.

Menurutnya, dengan strategi dorongan besar tersebut, setidaknya akan diperoleh manfaat diantaranya; pertama, strategi ini akan mengamankan pasokan pangan Indonesia. Kedua, strategi ini akan memungkinkan Indonesia untuk menjadi mandiri dalam energi. Ketiga, strategi ini akan menciptakan lapangan kerja, mengurangi kemiskinan secara drastis, meningkatkan daya beli, meningkatkan konsumsi dan mendorong pertumbuhan perekonomian Indonesia secara keseluruhan.

Keempat, dampak dari peningkatan kapasitas belanja nasional dapat digunakan untuk meningkatkan gaji dan kualitas hidup pegawai negeri sipil dan pejabat publik, sebuah upaya nyata untuk menghilangkan korupsi dari birokrasi Indonesia dan aparat pemerintah. Kelima, dengan pemerintahan yang kuat dan bersih, kita bisa melaksanakan transformasi perekonomian Indonesia dari ekonomi berbasis komoditas/bahan baku, menjadi ekonomi modern, canggih, berbasis pengetahuan.

Upaya utama yang dilakukan dalam strategi dorongan besar, diantaranya; mengubah 16 juta hektar hutan rusak menjadi lahan pertanian produktif. Dari 16 juta hektar itu diperuntuhkan 10 juta hektar untuk bahan bakar nabati atau biofuel, 6 juta hektar untuk tanaman pangan. Pengubahan ini selesai dalam 20 tahun. Pengubahan ini memerlukan waduk, irigasi, bendungan, desa-desa, kota-kota, unit pengolahan, kilang, kereta api, jalan raya, pelabuhan, lapangan terbang, dan infrastruktur baru lainnya. Pengubahan ini melibatkan transmigrasi, pelatihan dan pemberian pekerjaan untuk 4 orang per hektar.

Sementara upaya sekunder dalam rangka menunjang strategi dorongan besar adalah, pertama melakukan intensifikasi lahan produktif yang sudah ada dengan memperkenalkan teknologi pertanian, teknologi pengolahan dan memperbaiki distribusi produk pertanian. Kedua, meningkatkan kualitas sistem pendidikan nasional. Ketiga, meningkatkan kualitas sistem kesehatan nasional. Keempat, meningkatkan efisiensi perpajakan dan sistem penerimaan nasional. Kelima, meningkatkan efisiensi seluruh aparatur pemerintah. Keenam, meningkatkan gaji dan kualitas hidup dari semua pejabat pemerintah, terutama para pengambil kebijakan strategis. Ketujuh, menyederhanakan dan meningkatkan efisiensi lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Boleh jadi, menurut Prabowo, beberapa kalangan mengatakan bahwa apa yang diusulkannya hari ini adalah mimpi belaka. Tetapi dengan disiplin yang kuat, Prabowo yakin, bangsa ini dapat membuat apa yang tampaknya tidak mungkin, menjadi mungkin. “Selalu saja ada orang-orang yang mencari alasan untuk tidak mencoba. Namun, sejarah bangsa-bangsa yang sukses dan besar mengajarkan kepada kita bahwa para pemimpin sejati adalah mereka yang memiliki keberanian untuk mencoba dan menawarkan solusi untuk mengatasi masalah-masalah besar,” tandas calon Presiden dari Partai Gerindra ini.

“Saya dibesarkan dengan motto: siapa berani, menang,” ucapnya.

Sekarang adalah waktunya bagi Indonesia untuk berani, untuk melakukan dan mencapai apa yang banyak pengamat katakan mustahil. Indonesia bukan hanya potensi. Indonesia, yang melunasi mimpi para pendiri bangsa pada tahun 1945. Indonesia yang adil dan makmur. Indonesia yang dapat melindungi  semua warganya, terlepas dari ras, latar belakang agama, etnis atau sosial. Indonesia yang dihormati karena kesejahteraan dan kebahagiaan rakyatnya, dan kontribusinya terhadap penciptaan perdamaian dunia. [G]

Catatan: Artikel ini ditulis dan dimuat untuk Majalah GARUDA edisi Januari 2013

Saatnya Indonesia Bangkit

“Kemerdekaan itu adalah tanggungjawab. Kita mempunyai tanggungjawab berat terhadap diri sendiri, terhadap dunia, dan terhadap angkatan yang akan lahir. Tetapi kita tidak menyesal karenanya. Kemudian segera kami berhadapan dengan keharusan memberi isi dan arti kepada kemerdekaan kami. Bukan hanya isi dan arti materiil, melainkan isi etika dan moral. Sebab, kemerdekaan tanpa etika dan moral adalah semata-mata imitasi, tiruan yang hampa, daripada apa yang kita cita-citakan.”

prabowoDemikian kata Soekarno ketika mengingatkan segenap anak bangsa ini dalam memaknai arti sebuah kemerdekaan pada tahun 1955, dimana sebagai bangsa, Indonesia kala itu baru sepuluh tahun merdeka.

Tak terasa, tahun ini 67 tahun sudah Indonesia merdeka. Suatu usia yang tidak muda lagi. Sejarah mencatat negeri ini telah banyak mengalami cobaan dan liku-liku dalam membentuk satu jati diri bangsa menuju satu tujuan dan cita-cita; membentuk suatu pemerintah Negara Republik Indonesia  yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Lantas sudahkah hal itu terwujud?

Sejatinya hingga detik ini, rakyat Indonesia masih mendambakan terwujudnya cita-cita dan tujuan bangsa untuk menjadi negara yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur sesuai dengan isi Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Tentunya, saat ini sangat relevan bagi segenap bangsa Indonesia untuk kembali mendalami cita-cita dan tujuan luhur kemerdekaan seperti tercantum dalam pembukaan UUD 1945 karena negara serta masyarakat Indonesia masih dihadapkan kepada persoalan dan permasalahan terkait pemenuhan kebutuhan dasar dan mempertahankan kelangsungan hidup.

Boleh jadi, apabila kita terus berada pada strategi pembangunan seperti sekarang, maka pada tahun 2045 pada saat 100 tahun merdeka, Indonesia masih tergolong sebagai negara papan bawah atau negara miskin. Padahal seharusnya dengan modal kemerdekaan yang telah dicapai dan kesatuan yang utuh dan kuat yang telah diperoleh, maka Indonesia sebagai bangsa dan negara mampu berdaulat dalam seluruh bidang kehidupan.

Prabowo Subianto, dalam bukunya Membangun Kembali Indonesia Raya, Haluan Baru Menuju Kemakmuran (2009), mengungkapkan bahwa jika melihat pengalaman dan kinerja pembangunan nasional selama ini, maka sangat mengecewakan, paling tidak setelah reformasi tahun 1998, belum cukup untuk membangkitkan kesadaran dan komitmen bangsa. Mestinya dengan kepeloporan semua pihak yang pernah dipercaya rakyat untuk memimpin negara ini melakukan perubahan atau koreksi mendasar terhadap strategi dan kebijakan serta program pembangunan nasional.

Masih tertinggal

Tak heran bila putra Begawan ekonomi, Sumitro Djojohadikusumo itu menyebutkan bahwa sebagai bangsa dan negara yang merdeka dan bersatu dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Indonesia masih belum mampu berdaulat dan bersaing di atas keunggulan komperatif dan keunggulan kompetitif secara optimal. Dibandingkan dengan negara-negara lain yang memiliki keungulan komperatif dan kompetitif yang mirip, Indonesia masih jauh tertinggal.

Mestinya, Indonesia sebagai salah satu negara agraris tropis terbesar di dunia dengan 11 persen wilayah tropis atau setara dengan sekitar 119 juta hektar. Artinya bila ditanami dua tahun sekali saja dalam satu tahun, maka potensi budidayanya sekitar 238 juta hektar, apalagi bila ditanami tiga kali atau sepanjang tahun. Dengan demikian, seharusnya  Indonesia mampu dan berpotensi besar untuk menjadi salah satu gudang pangan tropis dunia. Nyatanya, Indonesia masih menjadi pengimpor besar beberapa pangan tropis di dunia.

Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki berbagai sumber daya hayati kelautan dan perikanan yang sangat besar dan beragam, mencakup lebih dari 17.500 pulau terdiri dari kawasan pesisir dan lautan dengan panjang garis pantai 81.000 km, terbentang dari Sabang hingga Merauke. Hampir tigaperempatnya berupa laut dengan perkiraan luas total laut sekitar 5,8 juta km persegi atau 580 juta hektar. Mestinya ini potensi yang besar bagi para nelayan, tetapi malah lebih banyak dikuasai dan dikuras serta dirampas oleh negara-negara asing dan nelayan masih didominasi oleh kemiskinan.

Indonesia juga dianugerahi limpahan sumber daya lahan subur dan sesuai untuk tanaman pangan dan peternakan serta sumber daya perikanan tapi malah masih terus menghadapi ancaman rawan pangan. Disamping itu, kian pudarnya kedaulatan pangan nasional terlihat dari ketergantungan terhadap bahan pangan impor seperti tepung terigu, kedelai, jagung daging dan susu yang terus kian melambung tinggi. Tak heran bila, sindrom gizi buruk ibarat gunung es yang menghantui sejumlah besar anak balita yang menjadi generasi penerus bangsa ini.

Neo-kolonialisme

Tidak hanya itu, menurut Prabowo setidaknya dari tahun 1997 sampai sekarang, negara ini telah jatuh miskin lima kali bila dilihat dari tolok ukur nilai tukar rupiah.  Hal ini berdasarkan laporan tentang keadaan ekonomi Indonesia yang tertuang dalam Van Zorge Report yang dirilis tahun 1999 silam. Dimana dalam laporan itu disebutkan tentang neraca ekspor impor Indonesia untuk tahun 1997 dan 1998 mengalami surplus ekspor sebesar 11,7 miliar dolar dan  21,5 miliar.

“Saya terheran-heran mengapa suatu bangsa yang ekspornya surplus namun ekonominya begitu rapuh. Dalam benak saya berarti krisis ekonomi pada tahun 1997, 1998 dan 1999 sesungguhnya bukan krisis ekonomi yang sebenarnya tetapi krisis ekonomi yang diciptakan oleh kekuatan-kekuatan tertentu yang memang hendak merusak kehidupan bangsa Indonesia,” ungkapnya.

Menurutnya, ada suatu kondisi yang menyebabkan setalah merdeka sekian puluh tahun, bangsa Indonesia terus menerus menjadi miskin. Kalau neraca ekspor impor Indonesia yang merupakan salah satu tolok ukur untuk menilai kekuatan dan kesehatan ekonomi suatu bangsa, maka bisa dilihat bahwa telah terjadi net outflow of wealth dari bangsa Indonesia yaitu, arus keluar kekayaan bangsa dan karenanya bangsa Indonesia tidak menikmati akumulasi kekayaan nasional. Faktanya, dari tahun 1997 sampai dengan 2007 bahkan 2008 terjadi net profit sebagai bangsa yaitu ekspor Indonesia melebihi impor rata-rata 25 miliar dolar per tahun. Tetapi Bank Indonesia mengumumkan pada tahun 2009 cadangan devisa negara selalu ada di kisaran 50 miliar dolar. Berarti telah terjadi net loss of national wealth sebesar kurang lebih 250 miliar. Artinya dimana keuntungan dan kekayaan bangsa tidak tinggal di Republik Indonesia.

Belum lama ini Prabowo kembali menegaskan, apa yang ditakutkan oleh Soekarno soal Neo-kolonialisme puluhan tahun silam, kini menjadi kenyataan. Kini rakyat miskin tak punya kesempatan. Ekonomi dikuasai sejumlah orang dan bangsa Indonesia kini terjajah. Inilah ciri-ciri negara gagal.

“Neo-kolonialisme yang pernah diramalkan Bung Karno terjadi pada saat ini dan Indonesia masih terjajah. Kekayaan bangsa ini bocor ke luar negeri 25 miliar dolar setiap tahunnya. Kondisi ini yang tidak pernah mau dibahas para elite politik saat ini,” tegasnya Ketua Dewan Pembina Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Prabowo dalam acara Sarasehan Kebangsaan bertajuk Bung Karno dan Pemikiran Sosio Demokrasi yang digelar di Jakarta akhir Juni lalu.

Ironisnya, lanjut Prabowo, bangsa Indonesia kini masih menutup mata atas Neo-Kolonialisme yang menerpa Indonesia. Terbukti dengan banyaknya pengamat ekonomi yang mengatakan bahwa angka pertumbuhan ekonomi Indonesia sedang bagus, angka kemiskinan menurun dan sebagainya. Padahal, selama 15 tahun belakangan ini, kekayaan Indonesia mengalir ke kantong-kantong asing sebesar kurang lebih 25 miliar setiap tahunnya.

Kondisi ini diperparah dengan adanya jebakan utang luar negeri, karena beban utang luar negeri yang terus ada dan bahkan semakin besar dari tahun ke tahun. Sehingga pemerintah dalam tekanan dan tidak leluasa dalam mengelola dan mengambil keputusan terkait kebijakan dan strategi pembangunan ekonomi. Ditambah lagi sudah mengakarnya dominasi yang kuat dan meluas dari kepentingan dan dana asing dalam sebagian besar bidang dan aspek perekonomian. Kepentingan rakyat banyak sebagaimana diamanatkan UUD 1945 menjadi tereliminasi dan dikalahkan oleh kepentingan serta dominasi asing. Tak kurang dari 12 miliar dolar (atau setara dengan Rp 120 triliun) setiap tahunnya dana APBN digunakan untuk membayar bunga pokok dan utang luar negeri.

Belum lagi kemiskinan dan pengangguran yang hingga kini masih menjadi masalah besar bagi bangsa Indonesia. Bahkan sejak krisis ekonomi dan era reformasi kemiskinan dan pengangguran itu telah menjelma menjadi lebih sistemik. Kondisi ini diperparah dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), meski akhirnya tidak jadi naik, tapi harga-harga bahan pokok dan ongkos serta biaya ekonomi lainnya tetap tinggi.

Untuk itu, sudah saatnya bangsa ini harus bangkit dari keterpurukan, penjajahan ekonomi. Tentu saja itu bergantung pada pilihan dari rakyat Indonesia sendiri apakah mau terus menjadi jongos di negara sendiri atau menjadi Indonesia yang terhormat dan berdiri di kaki sendiri. Bangsa ini harus berani meninggalkan ataupun mengoreksi sistim ekonomi yang tidak membawa kemakmuran kepada rakyat banyak. Trickle down-effect yang dijanjikan oleh sistim neo liberal tersebut ternyata tidak mungkin untuk membawa bangsa Indonesia keluar dari jebakan pertumbuhan rendah yang juga berkualitas rendah. “Untuk itu, diperlukan suatu reorientasi, strategi dan kebijakan pembangunan sehingga apa yang menjadi cita-cita menjadi bangsa yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur bisa terwujud,” tegasnya.

Berdasarkan pemahaman akan potensi, keunikan dan keunggulan seluruh sumber daya bangsa bersama dengan kondisi mendasar yang ada, disertai seluruh permasalahan dan tantangan yang dihadapi serta keyakinan keteguhan untuk menjadi bangsa dan negara merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur seperti diamanatkan oleh UUD 1945, maka saatnya harus membangun kembali Indonesia raya.

“Sebagai seorang prajurit memang saya ingin menjadi seorang panglima handal, memimpin tentara Indonesia untuk menjaga kemerdekaan, kedaulatan, kehormatan dan kebesaran bangsa Indonesia. Ada semacam kontrak dalam hati saya bahwa saya siap mati untuk negara asalkan negara saya makmur, jaya, berkembang menjadi negara yang gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerto raharjo sebagaimana yang selalu didengung-dengungkan dan diajarkan oleh kakek dan ayahanda saya,” tandasnya. [G]

Catatan: Artikel ini ditulis dan dimuat untuk Majalah GARUDA edisi Agustus 2012

Tribudi S Widodo: Dibutuhkan Komitmen dan Konsistensi

Implementasi standar sistem manajemen mutu (Quality Management System) ISO 9001 merupakan solusi yang tidak bisa ditawar lagi bagi suatu organisasi baik pemerintah maupun swasta untuk bisa berdaya saing di era global. Standar ini merupakan sarana atau sebagai alat untuk dapat mencapai tujuan mutu dalam menerapkan Total Quality Control. Sehingga efektifitas dan efisiensi pekerjaan dapat tercapai.

Sertifikasi sistem manajemen mutu ISO 9001 –dalam hal ini 9001:2008— bukanlah suatu yang didapat dalam sekejap, namun hasil usaha perbaikan oleh semua pihak yang ada dalam suatu organisasi. Pasalnya sertifikasi itu merupakan bentuk pengakuan dari pihak independen terhadap suatu organisasi yang sudah menerapkan sistem manajemen mutu yang menjadi acuannya. Setidaknya, di Indonesia ini sudah lebih dari 5000 perusahaan yang telah meraih dan mempertahankan ISO 9001 sebagai best practice sistem manajemen mutu.

Menurut Ir Tribudi S Widodo, Business Center Manager Llyod’s Register Indonesia, adanya sertifikasi ini memberikan bukti bahwa standar tersebut benar-benar sudah diterapkan. Tapi satu hal yang harus diperhatikan bahwa sertifikasi bukan menjadi tujuan akhir, sebab banyak organisasi yang mengejar sertifikasi karena diminta oleh mitra kerjanya tanpa disertai upaya untuk melakukan peningkatan atas kinerja sistemnya. “Dibutuhkan komitmen dan konsistensi dalam menerapkan sistem manajemen mutu,” tegasnya.

Nah, menurut Budi, di era globalisasi ini tantangan terbesar bagi suatu negara yang tidak concern terhadap standar mutu, akan dilihat sebelah mata oleh pihak lain. Pasalnya, hampir organisasi baik itu pemerintah atau swasta di negara-negara maju juga di negara-negara berkembang sudah menerapkan sistem manajemen mutu ISO 9001.

Setidaknya, dengan menerapkan sistem manajemen mutu ISO 9001 –yang menjadi frame work bagi ISO lainnya— organisasi akan memperoleh beberapa manfaat. Diantaranya, mampu membuat sistem kerja dalam organisasi menjadi standar kerja yang terdokumentasi. Kemudian bisa meningkatkan semangat kerja personel karena adanya kejelasan kerja sehingga tercapai efisiensi. Disamping itu dipahaminya berbagai kebijakan dan prosedur operasi yang berlaku di seluruh organisasi serta meningkatnya pengawasan terhadap pengelolaan pekerjaan. Dan yang terpenting yakni termonitornya kualitas pelayanan organisasi terhadap mitra kerja maupun konsumen.

Menurut Budi, dalam upaya penerapan sistem manajemen mutu secara efektif, maka dituntut adanya suatu kemampuan untuk mengidentifikasi dan mengelola seluruh proses kerja yang saling berhubungan dan berinteraksi baik secara intern maupun ekstern. Selain itu, perlunya kemampuan dalam meningkatkan secara terus menerus efektifitas dari proses sistem manajemen mutu, sehingga dapat memberikan hasil yang maksimal sesuai dengan tujuan dan sasaran mutu yang telah ditetapkan. Perlu adanya suatu program berkesinambungan yang perlu didukung oleh semua personel yang terlibat dalam penerapan sistem ini. “Harus ada continue improvement,” tandas assessor senior ini.

Namun masalahnya, hingga detik ini masih saja ada organisasi baik itu pemerintah maupun swasta yang menerapkan sistem manajemen mutu hanya sebatas usaha untuk memuaskan badan sertifikasi serta meraih dan mempertahankan ‘citra’ ISO 9001. Tak heran bila, sebagian besar penerapan quality management system di beberapa perusahaan tampak ‘berjalan ditempat’ dan tidak ada upaya guna mencapai sasaran lanjutan dalam meningkatkan daya saing serta daya jual perusahaan.

Buktinya, dalam pengamatan Budi, dari ribuan sertifikasi ISO 9001 yang diterbitkan oleh lembaga yang berwenang hanya 30 persen saja yang benar-benar menerapkan. Sisanya yang 70 persen hanya karena tuntutan pelanggan, sekedar untuk keperluan marketing tools, atau jaga gengsi karena pesaing bisnisnya telah bersertifikat.

Padahal, dengan diraihnya pengakuan ISO 9001 diharapkan menjadi suatu sasaran awal perusahaan dalam penerapan sistem manajemen mutu. Sedangkan sasaran pokok perusahaan adalah continual business improvement  (peningkatan bisnis berkelanjutan) guna memenuhi target bisnis di masa datang. Sehingga penting tidaknya, pengakuan ISO 9001 dapat dilihat niat awal dari perusahaan dalam meraihnya. Di samping itu konsistensi dari perusahaan tersebut terhadap sertifikat yang diperolehnya. “Terlepas dari apakah, sertifikasi ISO 9001 itu hanya digunakan sebagai marketing tools misalnya, harus tetap konsisten untuk diterapkan,” imbuhnya.

Karena ISO 9001 yang berorientasi pada proses, maka setiap masalah akan bisa terdeteksi di awal dan tidak hanya tindakan perbaikan yang akan dilakukan, namun standar ISO 9001 juga mengatur mengenai tindakan pencegahannya. Dengan demikian, kata Budi, implementasi standar ISO 9001 akan memberikan manfaat yang besar dalam meningkatkan kinerja suatu organisasi dalam upaya mewujudkan pelayanan prima kepada mitra kerjanya. “ISO 9001 sarana untuk mengembangkan fondasi yang kuat bagi suatu organisasi,” terangnya.

Intergritas Badan Sertifikasi

Sebenarnya, menurut lulusan Mapua Institute of Technology ini, lembaga standarisasi di Indonesia itu banyak, baik yang lokal maupun asing. Dalam hal ini, secara pribadi sebagai assessor, ia tidak melihat apakah badan standarisasi itu lokal atau asing. Tapi yang terpenting adalah lembaga itu jangan hanya Cuma melihat sisi bisnisnya, melainkan harus dapat mempertanggungjawabkan sertifikat yang sudah diberikan kepada perusahaan. “Banyak badan sertifikasi yang cuma ngejar setoran saja,” ujarnya.

Disamping itu, ada juga badan sertifikasi yang ‘nakal’ dalam memberikan dan menerapkan sertifikasi pada perusahaan-perusahaan yang membutuhkan pengakuan ISO 9001. Diantaranya yang sering dilakukan adalah price war (perang harga). Tentu saja ini sesuatu yang tidak sehat, tidak pula menguntungkan baik untuk klien maupun bagi lembaga itu sendiri. “Tidaklah mungkin ada auditor yang mau dibayar di bawah satu juta dengan kerjaan yang nilainya sepuluh juta,” tandasnya.

Menurutnya, ada pula badan sertifikasi yang memiliki auditor banyak, lalu bisa mengeluarkan sertifikasi banyak, tapi tarifnya berubah-ubah, customize sesuai keinginan klien. Tidak heran bila auditornya asal-asalan dalam mengaudit. Bahkan ada juga yang hanya copy and paste. Tentu saja ini tidak baik dan yang dirugikan tetap klien. “Saya sebagai assessor yang cukup lama melihat hal ini, hanya bisa geleng kepala,” ujar anggota Masyarakat Standarisasi (Mastan) ini.

Kondisi ini pun diperparah dengan masih adanya anggapan banyak pihak bahwa implementasi standar manajemen mutu hanya menghabiskan dana. Begitu juga dengan sikap badan sertifikasi yang kerap melakukan kesalahan-kesalahan bahan sering ngeles dalam penerapan sertifikasi pada perusahaan. Padahal salah satu klausul yang ada di ISO 9001 misalnya itu adalah adanya continue improvement.  “Jadi percuma saja, kalau sudah mendapatkan ISO tapi tidak ada upanya continue improvement,” tegasnya.

Yang lebih memprihatinkan lagi, untuk kawasan regional saja, pemerintah Negara-negara ASEAN sudah mengharuskan semua produk-produknya distandarisasi, sementara pemerintah Indonesia hanya baru taraf ‘menganjurkan’. Padahal dengan menerapkan sistem manajemen mutu, setidaknya akan meningkatkan mutu hidup yang ujung-ujungnya Indonesia tidak dipandang sebelah mata oleh bangsa lain.

Belum lagi perkembangan dari ISO 9001 –yang menjadi dasar ISO lainnya— yang sudah mengalami beberapa kali perubahan sejak diterapkan tahun 1974. Bahkan sebentar lagi akan diluncurkan ISO 9001 versi terbaru pada 2012 nanti. “Bagaimana Indonesia tidak tertinggal dari negara tetangga yang terus berpacu untuk meningkatkan mutunya,” tandasnya. 

Sejarah Panjang Lloyd’s Register

Kehadiran Lloyd’s Register sebagai lembaga standarisasi di Indonesia tak lepas dari sejarah panjang perjalanan dari Lloyd’s Register sejak didirikan di Inggris 251 tahun lalu hingga kini. Lloyd’s Register sendiri didirikan berdasarkan kebutuhan mendesak para awak kapal, pemilik kapal dan pialang asuransi saat itu.

Nama Lloyd’s sendiri diambil dari nama pemilik warung kopi –tempat para kapten kapal, pialang asuransi, society, dan pemilik kapal— yang bernama Edward Lloyd. Di warung kopi kalangan atas ini terjadi perbincangan serius tentang kebingungan para broker asuransi dalam menentukan premi bagi kapal, karena fluktuasi. Akhirnya karena merasa ada kepentingan bersama antara kapten kapal, pemilik kapal dan pialang asuransi, maka muncullah ship register. Tiga tahun kemudian, terbitlah buku yang memuat aturan main standarisasi hingga kini. Llyod’s Register sendiri terdiri dari divisi marine, transportasi, energi dan sistem manajemen.

Di Indonesia Lloyd’s Register Indonesia (LRI) hadir tiga divisi dari empat divisi yang ada, diantaranya marine, energi dan sistem manajemen. Awal mula di Indonesia itu divisi marine yang beroperasi sejak jaman penjajahan Belanda. Dimana kala itu, Lloyd’s Register belum memiliki perwakilan di Indonesia. Namun kapal-kapal Belanda setelah berlayar ke perairan Indonesia dan tengah melakukan docking, biasanya orang-orang Lloyd’s Register yang datang. Kemudian baru pada tahun 1970 resmi ada entitas sampai dengan sekarang. Tahun 1994 LRI membuka divisi sistem manajemen/LRQA (Lloyd’s Register Quality Assurance). Kemudian di tahun 1999, Lloyd’s pun membuka divisi energi.

Menurut Tribudi S Widodo, Business Center Manager Lloyd’s Register Indonesia, sejak kehadirannya di Indonesia, Lloyd’s mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Selain di Jakarta, LRI juga membuka perwakilan di Surabaya dan Batam. Umumnya, klien LRI adalah perusahaan galangan kapal. Dimana perusahaannya untuk sertifikasi ISO 9001/ISO 14000 ditangani oleh divisi LRQA, sementara sertifikasi kapalnya oleh divisi marine.

Hingga saat ini, klien LRI tercatat sebanyak 1000 perusahaan. Sementara market share hanya 5 persen. Meski demikian, bukan berarti tidak menguasai pasar. Menurut Budi, market share LRI bukan nomor satu atau nomor dua, karena LRI adalah perusahaan badan sertifikasi yang menganut cut and clean. “Di luar itu kita tolak, bukannya tidak butuh bisnis, tapi kalau banyak permintaan yang melenceng dari aturan, kita tidak mau,” tegas orang yang diamanahi untuk menahkodai Lloyd’s Register Indonesia sejak 2010 lalu.

Uniknya lagi, Lloyd’s Register tidak dimiliki oleh perseorangan, tapi punya society atau komite. Termasuk LRI itu 100 persen dimiliki Lloyd Register Group. Karena berada di Indonesia, maka harus compliance (kesesuaian) dengan Indonesia. Sehingga semua kelebihan dan keuntungan yang diperoleh Llyod’s akan dikembalikan lagi untuk kepentingan masyarakat umum. Di tahun 2010 saja, Llyod’s memberikan dana 10 juta Poundsterling untuk keperluan pendidikan di seluruh dunia. [QA]

Catatan: Artikel ini ditulis dan dimuat untuk Majalah QUALITY ACTION, Edisi 02/Desember 2011

 

 

 

Elevation: Identitas Baru Anggun

anggunelevationSiapa tak kenal Anggun Cipta Sasmi. Penyanyi Indonesia yang merambah ke panggung hiburan kelas dunia. Bak magnet, pelantun Tua Tua Keladi ini selalu memukau penontonnya.

Album terbarunya Elevation (2008), kian mempertegas eksistensi Anggun di panggung musik yang digelutinya sejak masih belia. Album yang dirilis di penghujung 2008 ini, lagi-lagi Anggun berupaya semaksimal mungkin menghasilkan karya terbaiknya. Tentu inilah bentuk nyata sebuah keberanian dalam melakukan eksplorasi tanpa harus kehilangan jati diri. Meski ia berstatus warga negara Perancis, Anggun tetap mencintai negerinya.

Anggun, mulai dikenal khalayak sebagai lady rocker ketika berusia 14 tahun lewat hits-nya Mimpi. Sejak itu, nama Anggun langsung melejit karena suaranya yang khas. Popularitas yang tengah digenggamnya berbuah manis dengan diraihnya penghargaan The Most Popular Artist Award (1990-1991).

Tak berhenti di situ, penyanyi kelahiran Jakarta, 29 April 1975 ini memantapkan diri untuk go international. Terlebih ketika menerima pinangan Erick Benzi, seorang komposer asal Perancis yang pernah menangani olah vokal Celione Dione, Jean Jacques dan Jhonny Hallyday.

Lewat gemblengan sang suami, vokal Anggun menjadi lebih bervariasi. Buktinya, di album terbarunya Elevation, ditemui sensasi yang tak hanya baru tapi juga mengagumkan. Sajian aneka sound upbeat, midtempo, dan slowmo yang terasa urban, melekat dalam warna warni musik, mulai pop, rap, dance, ballad, hiphop, bahkan rock. Seluruh komposisi tersebut terbingkai apik dalam vokal Anggun yang sangat berkarakter.

Sejak pindah dan menetap di Paris, Perancis, Anggun merilis beberapa album, diantaranya Au Nom De La Lune/Atas Nama Bulan (1997), dan setahun kemudian merilis Snow on Sahara (1998). Album tersebut mampu menghipnotis penikmat musik di Perancis dan Eropa, termasuk penyanyi dunia Sarah McLahan yang mengundangnya tampil dalam Festival Musik di Oregon, Amerika. Pun ketika ia meliris album Luminescence (2005) dengan single-nya Etre Une Feme yang dinobatkan sebagai lagu terpopuler di Perancis.

Di album Elevation ini, Anggun berkolaborasi dengan Tefa dan Masta, produser bertangan dingin dalam menggarap musik urban. Tak hanya itu, ia juga menggandeng Pras Michel, personil The Fugees. Juga DJ Laurent Wolf, DJ kondang asal Perancis yang baru-baru ini menyandang sebagai World Best DJ dari ajang 2008 World Music Award.

anggunKontribusi Laurent, dapat dinikmati pada lagu No Stress yang kental dengan beat-beat dance yang diramu dengan musik techno –yang saat ini tengah hip di lantai klub Eropa. Sebagai kompensasinya, tembang ini pun masuk dalam album terbaru Laurent Wolf bertajuk Wash My World.

Album yang memuat 13 lagu dan 4 bonus track ini memilih lagu Jadi Milikmu (Crazy) sebagai single unggulannya. Lalu sebagai single kedua, dipilih lagu berjudul Stronger (featuring Big Ali). Lagu yang dibawakan dalam bahasa Inggris ini terasa Amerika banget. Sebuah kombinasi dari musik rock yang powerful dan repetan rap/R&B dari Big Ali, musisi hip hop kawakan yang sering berkolaborasi dengan penyanyi tenar seperti Usher, Puff Diddy, dan Nelly Furtado. Kabarnya, lagu ini menjadi terobosan Anggun untuk menembus pasar musik Amerika.

Lagu My Man (featuring Pras Michel dari The Fugees) yang tampil sebagai female anthem, bercerita tentang ketegasan Anggun kepada pria yang mengejar dirinya. Bagi yang kangen akan gaya Anggun di era 90-an, ada pilihan lagu Give It To Love yang sangat seksi dan alluring. Beat-nya dikemas era kini, berpadu dengan bisikan vokal Anggun yang menggoda. Dan rupanya, ibu satu anak ini ingin memberi ruang tersendiri untuk sang buah hati lewat lagu Interlude atau pada tembang Eden in Her Eyes yang bertutur tentang Kirana, sang buah hatinya.

Album ini seakan menjadi penanda jati diri Anggun dalam dimensi yang baru, baik secara musikal maupun personal. Sinergi apik, perpaduan cita rasa romantisme Eropa dengan denyut Amerika yang dinamis, dan tentu saja elemen eksotis Asia.

“Elevation adalah album dengan pandangan terbaru saya dalam bermusik. Selalu penuh pertanyaan, keraguan dan keinginan untuk mewujudkan sesuatu yang innovatif, menarik dan kreatif untuk publik dan para penggemar saya,” tegas Anggun.

Kini, kehadirannya di jaringan entertainment global tak sekadar di panggung musik. Anggun pun tampil sebagai ikon untuk beberapa produk. Memang, dalam fashion style, Anggun adalah ikon yang selalu diasosiasikan dengan brand terkenal, semisal Dolce & Gabbana dan Roberto Cavalli.

Lewat nama besarnya, Anggun dipercaya sebagai ambassador jam tangan Audemars Piguet. Dan Anggun juga dikenal sebagai pribadi yang sangat peduli terhadap lingkungan hidup. Anggun pun ditunjuk badan dunia PBB sebagai duta Kredit Mikro.

Di kampung halamannya Indonesia, putri seniman komik tanah air bernama Darto Singo, ditunjuk sebagai Brand Ambassador Shampoo Pantene dan Susu Anlene. Dan lewat lagu Jadi Milikmu (Crazy) dan Shine yang ada di album Elevation menjadi musik latar untuk Shampoo Pantene. Dan lagu Stronger, menjadi latar musik Susu Anlene.

Diakui atau tidak, Anggun benar-benar fenomenal. Di tengah ketatnya persaingan dan sedikitnya orang pribumi di kancah global, wanita berkulit hitam manis yang dulu tampil di Ancol dengan bayaran Rp 40 ribu itu, terbukti sukses go internasional.

Tulisan ini ditulis dan dimuat untuk majalah VIEW edisi Januari 2009

Ketika ‘Laskar Pelangi’ Menyerbu Bioskop

poster ini diamabil dari situs resmi film laskar pelangi

Subhanallah. Dari film ini saya pribadi banyak mendapatkan pencerahan. Betapa tidak, setiap jengkal ceritanya sarat akan makna.

Dan akhirnya film ini tidak begitu jauh dengan semangat novelnya. Meski diakui oleh sang penulis, ada beberapa yang ditambahkan dalam ceritanya. Ya, inilah yang saya dapat ketika preview film yang dinanti-nanti para pecinta film dan khususnya yang telah membaca novel Laskar Pelangi.

Hari pertama pembukaan kelas baru di sekolah SD Muhammadiyah menjadi sangat menegangkan bagi dua guru luar biasa, Muslimah –yang dimainkan secara apik oleh Cut ini– dan Pak Harfan dilakoni oleh Ikranegara, serta 9 murid yang menunggu di sekolah yang terletak di desa Gantong, Belitong. Sebab kalau tidak mencapai 10 orang murid yang mendaftar, sekolah akan ditutup. Setelah lama menunggu hingga akhirnya lepas jam 11.00 siang, muncullah Harun (Jeffri Yanuar). Ya inilah murid istimewa yang menyelamatkan mereka.

Inilah adaptasi sinema dari novel fenomenal Laskar Pelangi karya Andrea Hirata yang mengambil setting di akhir tahun 70-an di kawasan Belitong. Adalah 12 anak asli Belitong dan 12 aktor senior inilah yang membuat film ini lebih hidup dan lebih artikulatif dari novelnya.

Ya betapa tidak, novel yang menggambarkan kalangan pinggiran dalam mendapatkan pendidikan –yang begitu mahal– itu sangat menggugah hati. Hal ini tampak jelas pada perjuangan Lintang (Ferdian) yang harus mengayuh sepedanya berkilo-kilo. Tidak hanya itu ia pun kerap harus ekstra hati-hati menunggu si buaya rawa melewati jalan setapak yang ia lalui saban harinya. Pun dengan kondisi keluarganya yang pada akhirnya, Lintang harus menyerah dengan keadaan setelah ayahnya meninggal dunia. Padahal ia anak yang jenius, bahkan di atas rata-rata.

Perjuangan berat pun tampak jelas pada Pak guru Arfan yang harus terus memompa semangat para anak didiknya, guru Muslimah dalam kelangsungan sekolahnya. Inilah yang membuat haru-biru film ini.

Sisi jenaka yang digambarkan anak-anak pun kerap menghiasi film yang sarat akan makna ini. Betapa tidak ketika, Mahar (Verrys Yamarno) yang sok seniman dengan radionya yang selalu ditentengnya. Pun dengan Ikal (Zulfanny) yang begitu lugu ketika terjerat pesona kuku yang lentik si A Ling (Levina). Atau ketika kekelucuan-kelucuan dari para pemain lainnya.

Pada akhirnya, film produksi Miles Films dan Mizan Productions dengan dukungan penuh dari Pertamina Foundation, Bank Mandiri, Telkom dan Timah ini sangat layak dan harus ditonton bagi mereka yang haus akan inspirasi, motivasi dalam menjalani hakikat hidup.

Dan film ini yang tayang serentak di bioskop, Kamis (25/9) kemarin mampu menyedot animo masyarakat untuk menontonnya. Selamat Menonton dan anda akan banya mendapatkan hikmah dari film besutan Riri Riza ini. Jangan lupa, bolehlah kiranya anda ajak seluruh anggota keluarga. Maaf ini bukan promosi, tapi lebih pada berbagi manfaat sekiranya film itu memang layak ditonton.

“Hidup itu harus memberi sebanyak-banyaknya, janganlah menerima sebanyak-banyaknya.” Pak guru Arfan.

Menyoal Paradigma Mutu Pendidikan Indonesia

Diakui atau tidak, krisis multidimensional yang melanda negeri ini membuka mata kita terhadap mutu pendidikan manusia Indonesia. Pun dengan sumber daya manusia hasil pendidikan yang ada di negeri ini. Memang, penyebab krisis itu sendiri begitu kompleks. Namun tak dipungkiri bahwa penyebab utamanya adalah sumber daya manusia itu sendiri yang kurang bermutu. Jangan harap bicara soal profesionalisme, terkadang sikap manusia Indonesia yang paling merisaukan adalah seringnya bertindak tanpa moralitas.

Dalam sebuah penelitian, diuangkapkan bahwa produktivitas manusia Indonesia begitu rendah. Hal ini dikarenakan kurang percaya diri, kurang kompetitif, kurang kreatif dan sulit berprakarsa sendiri (=selfstarter, N Idrus CITD 1999). Tentunya, hal itu disebabkan oleh sistem pendidikan yang top down, dan yang tidak mengembangkan inovasi dan kreativitas.

Dalam sebuah seminar yang bertajuk “Seminar Nasional Kualitas Pendidikan dalam Membangung Kualitas Bangsa” salah satu pembicaranya yakni Drs Engkoswara, M.Pd., dosen Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, menegaskan bahwa, memang dewasa ini, sepertinya pendidikan seakan mengalami kemajuan dengan pertumbuhan sarjana, pascasarjana hingga doktor di berbagai bidang dan munculnya gedung-gedung sekolah hingga perguruan tinggi yang cukup mewah. Sayangnya, hingga kini pendidikan tidak bisa diakses secara merata oleh penduduk Indonesia.

Seiring dengan itu, tokoh cendikiawan muslim, Nurcholis Madjid mengakui bahwa, di Amerika, Jepang dan negara-negara lain baik di Asia dan Eropa, perkembangan pendidikan hampir merata. Sebab, anggaran yang dialokasikan ke pendidikan besar dan berjalan lancar. Tentu saja, pendapat ini tidak begitu saja dilontarkan. Menurutnya, paling tidak 65% penduduk Indonesia berpendidikan SD, bahkan tidak tamat. Selain itu kualitas pendidikan di negara ini juga dinilai masih rendah bila dibandingkan dengan negara lain. Tak heran jika Indonesia hanya menempati urutan 102 dari 107 negara di dunia dan urutan 41 dari 47 negara di Asia.

Cak Nur –panggilan akrab sang profesor— menegaskan dalam laporan statistik, penyandang gelar doktor (S3) di Indonesia sangat rendah. Dari satu juta penduduknya, yang bergelar S3 (diraih secara prosedur) hanya 65 orang. Amerika dari satu juta penduduknya, 6.500 orang bergelar S3, Israel 16.500, Perancis 5000, German 4.000, India 1.300 orang. Semua itu hasil dari pendidikan yang bermutu. Bolehlah kita berkaca pada Korea Selatan. Negara ini memberikan prioritas untuk majukan pendidikan. Pengadaan sandang, pangan dan papan perlu tapi pembangunan pendidikan jangan sampai dianaktirikan. Kemajuan sebuah negara sangat ditentukan tingkat pendidikan sumber daya manusianya. Contoh lainnya, Malaysia yang pada tahun 1970-an, masih mengimpor tenaga pengajar dari Indonesia. Kini, pendidikan di Malaysia jauh di atas Indonesia. Mengapa? Pemerintahnya memberikan perhatian yang sangat serius. Tidak seperti di Indonesia, pendidikan kurang diperhatikan

Memang, tak dipungkiri kalau lulusan dari lembaga pendidikan di Indonesia kurang relevan dengan kebutuhan tenaga yang diperlukan, sehingga hasilnya kurang efektif dan mendorong terjadinya pengangguran intelektual. Permasalahan masih ditambah lagi dengan minimnya fasilitas pendidikan yang memadai.

Hal ini dipertegas lagi dengan pernyataan Rektor UPI, Prof Dr M Fakry Gaffar yang mengatakan bahwa universitas atau perguruan tinggi di Indonesia belum memiliki kemampuan untuk ”bertarung” dalam persaingan global. Karena itu, produk pendidikan negara ini masih kesulitan untuk bersaing dengan produk pendidikan negara lain. Namun, rendahnya kualitas itu tidak semata-mata karena sistem pendidikannya. Siswa atau mahasiswa Indonesia pun kurang memiliki upaya dan daya juang. Begitu pula dengan kurangnya akses masyarakat pada pendidikan itu sendiri. Bisa dibayangkan di negeri ini terdapat, 80 juta usia 6-24 tahun yang menuntut kesempatan untuk mendapatkan pendidikan. Namun sayang jumlah sebanyak itu belum tertampung.

Paling tidak, untuk mengatasi masalah ini, menurut Engkoswara ada dua hal yang harus dilakukan. Pertama adalah revitalisasi budaya bangsa. Artinya bangsa ini harus kembali berpedoman kepada Pembukaan UUD 1945, bahwa pendidikan adalah upaya utama untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang berbudaya, yang beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki semangat juang yang tinggi dan memiliki kreativitas pribadi yang terpuji. Kedua, mengenai manajemen pendidikan. Sistem pendidikan nasional yang disempurnakan dan disahkan pada 2003, implementasinya harus dilakukan dengan manajemen atau pengelolaan yang proporsional dan profesional, baik di tingkat makro maupun di tingkat mikro.

Lebih pada pelaksanaanya, Fakry mengajukan delapan poin paradigma pendidikan yang baru yakni openess and flexibility in learning, integrasi pendidikan ke dalam setiap aspek kehidupan manusia, responsif terhadap perubahan, total learning, learning strategies, teacher-student roles in leraning, ICT (information and communication technology) in learning process serta learning content and learning outcome.

Dengan delapan poin itu, paling tidak akan menjadi dasar agenda pendidikan ke depan yakni, pembahasan kurikulum, pembaruan dalam proses pembelajaran, pembenahan manajemen pendidikan nasional, pembenahan pengelolaan guru dan mencari serta mengembangkan berbagai sumber alternatif pembiayaan pendidikan.

Tentu saja semua itu tak lepas dari anggaran biaya. Dalam hal ini, anggaran pendidikan kudu memadai dan harus diupayakan secara sungguh-sungguh agar anggaran pendidikan negeri ini sekurang-kurangnya mencapai 20% dari APBN ataupun APBD. Dan yang paling penting adalah, lembaga pendidikan sebaiknya bebas pajak. Bahkan bila perlu ada pajak untuk pendidikan.

Menyikapi hal ini, Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo dalam sebuah pidatonya di acara peringatan Hari Pendidikan Nasional menegaskan sesuai Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan bahwa Pemerintah berkewajiban memenuhi hak setiap warganegara untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Oleh karena itu, pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan yang dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan, memberdayakan dan memberadabkan kehidupan bangsa sesuai amanat konstitusi dan Undang-undang Sisdiknas, dalam rangka mentransformasikan Indonesia menuju peradaban modern yang canggih, madani dan unggul.

Sebagai wujud nyatanya, pemerintah telah mengupayakan secara terus menerus perluasan dan pemerataan pendidikan, peningkatan mutu dan relevansi pendidikan agar memenuhi kebutuhan pengembangan masyarakat, dan pembangunan kepemerintahan yang baik atau good governance. Hal ini dituangkan dalam Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional, untuk kurun waktu 2004 – 2009. Renstra ini merupakan acuan bagi seluruh jajaran penyelenggara pendidikan, baik pemerintah pusat maupun daerah, serta masyarakat dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan pendidikan sampai dengan 2009.

Konon, rencana strategis ini disusun dengan mempertimbangkan aspek legalitas, aspek prioritas, aspek perimbangan kewenangan pusat dan daerah dan melalui proses identifikasi masalah terhadap kondisi nyata pendidikan dewasa ini, baik pusat maupun daerah, yang selanjutnya dirumuskan dalam prioritas kebijakan pembangunan untuk kurun waktu lima tahun ke depan.

Dan sudah 61 tahun merdeka, mampukah kualitas pendidikan dapat diandalkan? Jawabanya, kembali lagi, bahwa mutu pendidikan, Indonesia ketinggalan jauh, di banding dengan negara-negara tetangga. Tentu saja, merosotnya mutu pendidikan, tidak terlepas dari kebijakan pemerintah. Selama ini dan cenderung masih berlangsung hingga sekarang, perhatian pemerintah untuk memajukan pendidikan kurang. Dan selagi pembangunan pendidikan ditempatkan diurutan ke sekian. Maka jangan berharap Indonesia mampu tampil di era globalisasi yang terus menggerus dunia ini.

tulisan ini emang diminta oleh seseorang teman.