Lebaran dan Kebahagiaan ala Rasulullah

Dalam sebuah keterangan, ketika cahaya fajar 1 Syawal baru saja menyingsing di ufuk timur, mentari pun memancarkan semburat cahayanya dan mengirimkan hangatnya pagi.

Pada suatu pagi di Hari Raya Idul Fitri di Madinah. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, seperti biasa, di setiap lebaran, menyambangi rumah demi rumah untuk mendoakan kaum muslim agar merasa bahagia pada hari raya umat Islam itu.

Ya, di hari raya itu, semua tampak gembira dan bahagia, terlebih anak-anak. Mereka bermain sambil berlari-lari ke sana ke mari dengan mengenakan baju lebaran. Tiba-tiba mata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tertuju pada sebuah sudut rumah, ada seorang gadis kecil tengah duduk bersedih. Ia memakai pakaian penuh tambalan dan sepatu yang usang.

Melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menghampirinya, gadis kecil itu menyembunyikan wajahnya dengan kedua tangannya, sembari menangis tersedu-sedu. Rasul pun meletakkan tangannya di atas kepala gadis kecil dengan penuh kasih sayang, lalu bertanya dengan suaranya yang lembut, “Anakku, mengapa kamu menangis? Hari ini adalah hari raya bukan?”

Gadis kecil itu terkejut. Tanpa berani mengangkat kepalanya dan melihat siapa yang bertanya, perlahan-lahan ia menjawab sambil bercerita.

“Pada hari raya yang suci ini semua anak menginginkan agar dapat merayakannya bersama orang tuanya dengan berbahagia. Anak-anak bermain dengan riang gembira. Aku lalu teringat pada ayahku, itu sebabnya aku menangis. Ketika itu hari raya terakhir bersamanya. Ia membelikanku sebuah gaun berwarna hijau dan sepatu baru. Waktu itu aku sangat bahagia. Lalu suatu hari ayahku pergi berperang bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Ia bertarung bersama Rasulullah bahu-membahu dan kemudian ia meninggal. Sekarang ayahku tidak ada lagi. Aku telah menjadi seorang anak yatim. Jika aku tidak menangis untuknya, lalu siapa lagi?”

Mendengar cerita itu, seketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam hatinya diliputi kesedihan yang mendalam. Dengan penuh kasih sayang beliau membelai kepala gadis kecil itu sambil berkata, “Anakku, hapuslah air matamu. Angkatlah kepalamu dan dengarkan apa yang akan kukatakan kepadamu. Apakah kamu ingin agar aku menjadi ayahmu? Dan apakah kamu juga ingin agar Fatimah menjadi kakak perempuanmu. Dan Aisyah menjadi ibumu. Bagaimana pendapatmu tentang usul dariku ini?”

Begitu mendengar kata-kata itu, gadis kecil itu langsung berhenti menangis. Ia memandang dengan penuh takjub orang yang berada tepat di hadapannya. “Masya Allah! Benar, ia adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, orang yang baru saja mendengarkan curahan kesedihan dan kegundahan hati,” kata gadis kecil itu membatin.

Akhirnya, gadis yatim kecil itu tertarik dengan tawaran Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, namun entah mengapa ia tidak bisa berkata sepatah kata pun. Ia hanya dapat menganggukkan kepalanya perlahan sebagai tanda persetujuannya.

Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menggandeng tangan gadis yatim kecil itu menuju ke rumah. Hatinya begitu diliputi kebahagiaan yang sulit untuk dilukiskan. Betapa tidak, ia diperbolehkan menggenggam tangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang lembut itu.

Sesampainya di rumah Rasulullah, wajah dan kedua tangan gadis kecil itu lalu dibersihkan dan rambutnya. Semua memperlakukannya dengan penuh kasih sayang. Kemudian, gadis kecil itu dipakaikan gaun yang indah dan diberikan makanan, juga uang saku untuk hari raya. Lalu ia diantar keluar, agar dapat bermain bersama anak-anak lainnya.

Sontak, anak-anak lain merasa iri pada gadis kecil dengan gaun yang indah dan wajah yang berseri-seri. Mereka merasa heran, lalu bertanya, “Gadis kecil, apa yang telah terjadi? Mengapa kamu terlihat sangat gembira?”

Sembari menunjukkan gaun baru dan uang sakunya gadis kecil itu menjawab, “Akhirnya aku memiliki seorang ayah. Di dunia ini, tidak ada yang bisa menandinginya. Siapa yang tidak bahagia memiliki seorang ayah seperti Rasulullah? Aku juga kini memiliki seorang ibu, namanya Aisyah, yang hatinya begitu mulia. Juga seorang kakak perempuan, namanya Fatimah. Ia menyisir rambutku dan mengenakanku gaun yang indah ini. Aku merasa sangat bahagia, dan ingin rasanya aku memeluk seluruh dunia beserta isinya.”

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Siapa yang memakaikan seorang anak pakaian yang indah dan mendandaninya pada hari raya, maka Allah Subhanahu Wata’ala akan mendandani pada hari Kiamat. Allah Subhanahu Wata’ala mencintai terutama setiap rumah, yang di dalamnya memelihara anak yatim dan banyak membagi-bagikan hadiah. Barang siapa yang memelihara anak yatim dan melindunginya, maka ia akan bersamaku di surga.”

— Kisah di atas dikutip (dengan sedikit mengubah redaksi) dari ddhongkong.org yang mengutip dari buku berjudul asli “Wie der Prophet ein waises Maedchen zum Fest gluecklich machte”, diterjemahkan dari buku “Ich erlerne meine Religion: Die fuenf Saeulen des Islam“, Asim dan Muerside Uysal, terjemahan dalam bahasa Jerman oleh Marianne Zaric, Istanbul.

Tak heran bila dulu ketika kita kecil, orang tua kita selalu mengupayakan dengan sekuat tenaga untuk menyediakan ‘baju lebaran’ yang terbaik untuk dikenakan oleh anaknya (kita) di hari raya. Karena mereka (orangtua) ingin melihat anaknya bahagia di hari raya, sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah. Tak ada salahnya jika hal itu dilakukan oleh kita sebagai orangtua kepada anak-anak kita, terlebih jika bisa menyediakan pula untuk anak yatim.

Tahun ini, lebaran memang berbeda dari tahun sebelum-sebelumnya. Di tengah wabah pandemi Covid-19, memang serba salah antara ketika mengenakan ‘baju lebaran’ atau tidak. Namun, sejatinya membahagiakan anak adalah kewajiban orangtua. Jadi selagi ada pakaikan mereka baju yang terbaik di hari raya ini. Selipkan pula uang di sakunya, agar mereka bahagia.

Bagi yang ada rejeki tak ada salahnya membagikan kebahagiaan kepada anak-anak di lingkungan sekitar, terlebih anak yatim, agar mereka ikut bahagia.

Buatlah mereka bahagia. Semoga.

Ciputat, 1 Syawal 1441 Hijriyah

Memadamkan Api Revolusi dari Pulau Onrust

Minat umat Islam Nusantara untuk menunaikan ibadah haji telah berlangsung ratusan tahun silam. Pun di masa penjajahan kolonial Belanda, ghirah (semangat) untuk beribadah ke Baitullah tak pernah surut. Rupanya gubernur jenderal menilai keberangkatan kaum pribumi tak sekadar menunaikan ibadah tapi bagian dari perjuangan fisabillah (di jalan Allah) guna mengusir penjajah. Seperti apa bentuk monitoring pemerintah kolonial berdalih karantina di abad 19 itu? Lalu bagaimana pula nasibnya pulau haji itu?

haji (2)Kala itu, pengawasan terhadap jamaah haji kian menjadi-jadi. Penguasa kolonial Belanda menerapkan aturan baru dengan mengumpulkan jamaah haji sepulang dari Arab Saudi di gugusan pulau di utara Jakarta. Dengan dalih karantina kesehatan, nasib perjalanan haji kaum pribumi begitu menyedihkan. Pulau Onrust dan pulau Cipir adalah saksi bisu dari akal bulus kaum imperialis.

Di kedua pulau itu, jamaah menempati barak-barak layaknya kamp konsentrasi. Sebelum dinyatakan sehat, para jamaah satu per satu diperiksa kesahatannya oleh petugas di pulau Cipir –yang letaknya bersebelahan dengan pulau Onrust. Turun dari kapal, setelah menempuh perjalanan dari Mekkah selama dua hingga enam bulan, mereka diperiksa kemudian diharuskan mengenakan pakaian karantina yang telah disediakan. Bagi jamaah yang didiagnosa membawa penyakit menular maka musti tinggal di pulau Cipir. Sementara yang sehat dibawa ke pulau Onrust. Bahkan kapal pengangkut pun tak luput dari sterilisasi dengan cara fumigasi.

Pun ketika tiba di pulau Onrust,  setelah dari pulau Cipir, jamaah haji kembali diperiksa kesehatannya. Ada enam petugas kesehatan kolonial Belanda yang menangani. Jamaah yang meninggal dimakamkan dengan seadanya tanpa memperdulikan syariat. Biasanya, jenazah-jenazah itu dikubur di sembarang tempat tanpa memperhitungkan arah kiblat.

Di pulau Onrust –yang menjadi pusat karantina— ada sekitar 3.500 jamaah haji ditampung di 35 barak masing-masing berkapasitas 100 orang untuk pemeriksaan kesehatan. Bukan hanya dari Jakarta, tapi dari seluruh Nusantara musti dikarantina selama lima hari di pulau yang luasnya sekitar 7,5 hektare itu. Bisa jadi para penyandang gelar ‘haji’ itu tinggal lebih lama, bila mengidap penyakit. Memang, untuk memudahkan proses karantina Belanda menghubungkan dua gugusan pulau yang bertetangga dengan jembatan.

Perlakuan karantina terhadap jamaah haji berlangsung selama 22 tahun (1911 – 1933). Karantina haji di era kolonial tak lain sebagai bentuk ketakutan mereka akan kekompakan umat Islam pribumi. Dari karantina ini, penguasa kolonial Belanda dengan mudah memadamkan gerakan ‘revolusi’ kaum pribumi yang disemai saat berhaji.

Pada 1927, sekitar 8% jamaah haji terjangkit kolera.  Sebagian dari mereka yang meninggal saat karantina dimakamkan di pulau Sakit –yang kini bernama pulau Bidadari— yang berada tak jauh dari pulau Onrust. Ada pula yang dimakamkan di pulau Kelor. Dan pada akhirnya di tahun 1933 Belanda menghentikan karantina haji. Sebagai gantinya, pemerintah Belanda memfungsikan Pelabuhan Tanjung Priok yang baru dibangun. Kini di kedua pulau itu masih didapati puing-puing bangunan rumah sakit, barak-barak penampungan yang lebih mirip penjara.

Revolusi Haji

Sejarah mencatat, pada 1803, sekembalinya dari tanah suci, tiga jamaah haji asal Minangkabau mendirikan gerakan Padri. Tujuannya adalah mengembangkan ajaran Islam yang lebih kuat untuk melawan praktik-praktik tradisional setempat. Rupanya, aktivitas kaum Padri ini dinilai penguasa kolonial Belanda sebagai cikal bakal pemberontakan. Sejak saat itu juga Belanda langsung mengawasi perjalanan haji kaum pribumi khusunya dari Sumatera.

Kemudian pada tahun 1825, Belanda mengeluarkan berbagai aturan bagi umat Islam Nusantara yang hendak berhaji, salah satunya disebut ordonansi. Dengan adanya aturan itu, ongkos naik haji mengalami kenaikan tinggi. Selain menuntut para calon jamaah haji membuat paspor juga membayar pajak sebesar 110 Gulden. Lewat aturan itu pula yang memungkinkan pemerintah kolonial bisa mengawasi umat Islam selama berada di tanah suci.

Di saat bersamaan, Belanda juga berusaha keras untuk bisa memonopoli angkutan haji. Pada saat itu, pemerintah Belanda memberikan izin operasi kepada kongsi tiga yakni Rotterdamsche Llyod, Stoomvaartmatschappij Nederland, dan Stoomvaartmatschappi Oceaan pada 1873. Padahal sebelumnya, pengangkutan jamaah haji asal Indonesia dimiliki saudagar kapal asal Arab dan Inggris. Di mata Inggris potensi angkutan jamaah haji asal Indonesia cukup besar. Malah angkutan jamaah haji masa itu sudah tidak lagi menggunakan kapal layar, tapi kapal api yang lebih canggih.

Tahun berikutnya, 1874 Belanda menerapkan kebijakan yang sangat menyulitkan, dengan mewajibkan jamaah haji musti memiliki tiket pergi-pulang. Dengan demikian, Belanda berhasil memperkuat dominasi pengangkut haji. Termasuk, dalam rangka memudahkan monitoring terhadap jamaah haji pribumi.

Selain diharuskan membawa pas perjalanan ke Mekkah –yang ditandatangani oleh pegawai pangreh Praja. Pas itu harus diserahkan untuk ditandatangani oleh penguasa pelabuhan. Di pelabuhan Jeddah, jamaah harus menghadap konsulat Belanda untuk menukarkan pas jalannya dengan pas izin tinggal selama musim haji. Begitu pula ketika tiba kembali di Indonesia, pas itu harus diteken oleh penguasa Belanda. Malah, di tahun  1884, pas perjalanan tak hanya memuat keterangan tentang jenis kelamin, umur, dan tinggi badan saja. Tapi, harus menerangkan mengenai bentuk hidung, mulut, dan dagu, serta apakah jamaah berkumis, jenggot, atau lainnya.

Karantina Model Asrama

Tahun 1970-an pengangkunan haji sudah mulai menggunakan pesawat. Berdasarkan aturan badan kesehatan dunia (World Health Organization/WHO) pemerintah Arab Saudi meminta calon jamaah haji harus dikarantina selama 5 x 24 jam. Tak terkecuali bagi jamaah Indonesia yang saat itu diduga banyak mengidap kolera. Maka beberapa penginapan ditunjuk menjadi tempat karantina. Inilah cikal bakal berdirinya asrama haji yang diusulkan Dirjen Urusan Haji Prof KH Farid Maruf Kementrian Agama pada tahun 1974.

Sebelumnya, di tahun 1973, masa karantina berkurang menjadi tiga hari. Lalu menjadi dua hari pada tahun 1979. Dan kini calon jamaah haji diinapkan di asrama hanya semalam. Asrama Haji Pondok Gede Bekasi dibangun pada masa Menteri Agama Alamsyah Ratu Perwiranegara dan Dirjen Urusan Haji Burhani Tjokrohandoko. Pondok Gede dipilih karena lokasinya dekat dengan Bandara Halim Perdanakusumah –yang kala itu menjadi  bandara internasional yang dimiliki Indonesia.

Lalu asrama haji pun dikembangkan di beberapa wilayah seperti Surabaya, Makassar, Medan, dan Donohudan di Boyolali. Jika dulu para jamaah haji masuk ke asrama haji sebelum dan sesudah pulang ibadah haji, kini hanya masuk sehari menjelang keberangkatan. Setibanya di Tanah Air, jamaah tak perlu menginap lagi di asrama haji.

Onrust Pulau Haji

COLLECTIE_TROPENMUSEUM_De_binnenplaats_van_de_oude_kazerne_op_het_eiland_Onrust_in_de_Baai_van_Batavia_TMnr_60010654Onrust berasal dari bahasa Belanda yang berarti ‘tidak pernah istirahat’ atau ‘sibuk’ –yang dalam bahasa Inggrisnya Unrest. Nama ini dikenal sejak abad 17, namun hanya dikenal oleh kalangan Belanda dan para buruh yang dipekerjakan di pulau tersebut. Sebagian kalangan menyebut Onrust dengan julukan pulau Haji, lantaran pernah dijadikan sebagai karantina haji.

Sebelum digunakan sebagai karantina haji pada 1911 hingga 1933, pulau ini merupakan pangkalan Angkatan Laut Belanda. Tahun 1933–1940 kembali digunakan kolonial Belanda sebagai penjara bagi pembrontak Tujuh Kapal ‘Zeven Provicien’.  Di tahun 1940 Onrust dijadikan Belanda untuk menawan Jerman seperti Steinfurt –yang tak lain sebagai kepala adminstrasi pulau Onrust.  Di masa penjajahan Jepang, pulau Onrust hanya digunakan sebagai penjara bagi para kriminal.

Setelah Indonesia merdeka hingga tahun 1960-an, pulau ini digunakan sebagai Rumah Sakit Karantina bagi penderita penyakit menular dibawah pengawasan Departemen Kesehatan RI. Kemudian, RS ini dipindahkan ke pos VII pelabuhan Tanjung Priok. Sekitar tahun 1960-1965 selain dijadikan medan latihan tempur militer, pulau ini dimanfaatkan untuk penampungan para gelandangan dan pengemis.

Di tahun 1972 gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin menetapkan pulau Onrust sebagai cagar budaya yang dilindungi. Dan pada tahun 2002, pemerintah menyatakan pulau Onrust dan tiga pulau lain disekitarnya yaitu Cipir, Kelor dan Bidadari sebagai Taman Arkeologi Onrust. Untuk mencapai gugusan pulau ini bisa dijangkau melalui tiga pelabuhan yakni pelabuhan Marina Ancol, pelabuhan Angke dan pelabuhan Muara Kamal. Dari ketiga pelabuhan tersebut, yang paling dekat dengan Pulau Onrust adalah pelabuhan Muara Kamal yang bisa ditempuh selama 10 hingga 15 menit saja. (hayat fakhrurrozi)

catatan: Artikel ini ditulis dan dimuat untuk Majalah MANASIK edisi Juni 2014/Sya’ban 1435H

Ketika Politik Menggoda Ulama

Tak bisa dipungkiri, peran ulama dalam kehidupan perpolitikan Indonesia begitu besar. Negeri ini merdeka terbebas dari kaum penjajah juga tak lepas dari upaya serta kegigihan perjuangan para kyai. Lantas bagaimana kondisi hari ini? Terlebih ketika jelang pemilu baik pemilihan anggota legislatif maupun pemilihan presiden atau kepala daerah? Tampak dengan kasat mata, para alim ulama berada di antara mereka yang tengah bertarung.

073Sejatinya, kehadiran ulama di ranah politik bukan kali ini saja. Bahkan sejak jaman revolusi ulama sudah ikut mengawal perjalanan bangsa ini. Ulama sebagai pewaris nabi, musti bertanggungjawab terhadap perbuatan para penyelenggara negara dan masyarakat (umat islam). Tugasnya membina masyarakat dalam menjalankan syariah baik lewat pendidikan maupun siraman atau ceramah agama. Sementara terhadap penyelenggara negara (pejabat) di pemerintahan, ulama berkewajiban mendampingi, membimbing pejabat untuk selalu amanah mengemban tugas.

Kalau bicara hari ini, di tengah hiruk pikuk pemilihan presiden (pilpres) 2014, banyak kaum alim ulama yang merapat ke kubu Prabowo Subianto – Hatta Rajasa (Prabowo Hatta). Tak sedikit pula, para kyai yang berada di kubu Joko Widodo – Jusuf Kalla (Jokowi-JK). Tentu saja, kita tidak mengetahui apa yang diniatkan para alim ulama itu terkait keberadaannya di tengah-tengah kedua kubu. Apakah itu sebagai sikap politik yang benar-benar untuk mendukung pencalonan sang capres-cawapres? Atau hanya untuk sekadar membantu? Atau faktor lainnya, wallahu a’laam bishshowab. Yang jelas, seorang ulama atau kyai pastinya tak sekadar memiliki pengikut, tapi punya pengaruh yang kuat juga bagi umat yang dibinanya.

Jika ditilik dari tugas dan tanggungjawab seorang ulama, mustinya peran mereka berada di ranah politik untuk membina umat dan mendampingi sang pejabat agar tidak menyimpang. Tapi, nyatanya? Tak sedikit dari mereka yang kerap menjual ‘agama’ untuk mengamankan atau meneguhkan dalil-dalil politiknya itu. Boleh jadi, karena pemahaman atau tafsir mereka yang dianggap benar menurut versinya sendiri. Sepertinya di sinilah kredibilitas sebagai ulama di pertaruhkan. Apakah cukup kuat dari berbagai godaan politik, atau malah begitu mudahnya tergoda rayuan politik.

Memang, di kubu Prabowo-Hatta misalnya, begitu banyak kaum ulama yang mendukung dalam pilpres 2014 ini. Pasalnya, dengan penuh keyakinan pilihan mereka untuk berada di belakang pasangan capres-cawapres ini merupakan upaya penyelamatan umat, negara dan bangsa. Bisa jadi memang, karena para ulama menilai pasangan nomor urut 1 ini mampu membawa bangsa dan negara lebih sejahtera, makmur, berdaulat adil dan makmur. Sebab, para kyai yang berdiri di kubu ini baik yang terang-terang atau di belakang layar berkeyakinan bahwa inilah yang musti dilakukan oleh ulama sebagai pembina umat.

Lalu bagaimana dengan ulama yang berada di sekitar pasangan Jokowi-JK? Bisa jadi alasananya hampir sama dengan ulama yang memilih duduk bersama pasangan Prabowo-Hatta. Tapi, sepertinya para ulama ini lupa atau entah kenapa sehingga mau mendukung, dan malah membantu pasangan nomor urut 2 ini. Padahal, ajaran Islam –yang mungkin mereka lebih fasih, lebih hafal dan memahami— mengatakan bahwa ciri pemimpin yang baik itu sidiq, amanah, tabligh dan fathonah. Dimana keempat sifat tersebut juga ada pada sosok Rasulullah Shallalahu Alaihi Wasallam sebagai seorang pemimpin umat, dan negara. Dan keempat sifat itu menjadi satu kesatuan, tidak bisa dipisah antara satu dan yang lainnya.

Pun dengan hadist yang mungkin anak kecil pun paham bahwa ada tiga tanda/ciri-ciri orang Munafik, yaitu jika berbicara ia bohong, jika berjanji ia ingkar dan jika dipercaya ia khianat. Sekedar untuk mengingatkan, berikut bunyi hadist tersebut:

Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallalahu Alaihi Wasallam bersabda, “Tanda-tanda orang munafik ada tiga: jika berbicara ia berbohong, jika berjanji ia mengingkari, dan jika diberi amanah ia berkhianat.”

Tanda Munafik - ilustrasiEntah kenapa, yang membuat hadist shahih yang begitu populer itu, seakan hilang dari ingatan para ulama itu? Entah ‘sesuatu’ apa yang membuat para ulama begitu tergoda sehingga mau duduk bareng bersama orang-orang yang diduga menjadi bagian dari apa yang diperingatkan oleh hadist tersebut. Bukan maksud hati untuk mempermalukan para ulama yang dengan penuh ghirah (semangat) berada di kubu pasangan nomor urut 2, khususnya di belakang sang capres.

Lalul kenapa? Mustinya, ulama –yang kini berada di kubu Jokowi-JK— ingat bagaimana ketika seorang Jokowi bertarung memperebutkan kursi nomor 1 Balaikota DKI berjanji akan menjalankan amanah sebaik-baiknya selama 5 tahun. Pun ketika sudah terpilih, dengan lantang menyeru bahwa dirinya akan menyelesaikan tugasnya sebagai gubernur sampai akhir jabatan. Tapi buktinya? Jelang pileg 2014, mungkin dengan harapan mendongkrak keterpilihan para caleg dari partainya, Jokowi di hari Jumat menyatakan diri siap maju sebagai bakal capres. Ada banyak media dan saksi hidup yang tahu akan hal ini.

Konon, majunya Jokowi karena diminta oleh partainya bernaung yang diperkuat lantaran desakan rakyat. Memang mengatasnamakan rakyat, lalu apakah warga Jakarta yang dulu memberi amanat kepadanya bukan rakyat? Atau alasan demi kemaslahatan bagi rakyat yang lebih banyak, sehingga dengan teganya meninggalkan dan menghianati warga Jakarta yang telah mempercayainya pada pilkada DKI 2012 lalu? Kalaulah warga Jakarta –yang paling tidak sekitar 7 juta– yang sudah menaruh besar harapan padanya lalu dicampakkan begitu saja, bagaimana kalau sekarang tengah mengumbar janji di mana-mana, di seluruh nusantara. Janji tetaplah janji yang harus ditepati. Amanah tetaplah amanah yang musti dijalani. Bukan dulu ngomong begitu begini, lantas dibohongi.

Okelah, apapun dalil-dalilnya yang membuat Jokowi maju sebagai bakal capres yang diajukan oleh partainya. Tapi, kalaulah memang orang-orang di sekitarnya dan termasuk dirinya memahami isi dan maksud hadist tersebut, mustinya malu, dan takut akan ‘label’ yang menempel pada dirinya. Bisa satu, dua atau bahkan ketiga-tiganya dari ciri-ciri tersebut.

Pun ketika Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan dua pasangan capres-cawapres, dukungan dari kalangan ulama terus menyemut di dua kubu. Sekali lagi, memang harus diakui, gemerlap politik begitu menggoda ulama. Tentunya, ketika alasan serta niat para ulama ini bergabung, mustinya apa yang mereka lakukan hanya karena niatan tulus, menjalankan tugas utamanya sebagai ulama yakni membina, membimbing umat ke jalan yang lurus dan benar sesuai tuntunan agama.

Bahkan beragam jenis black campaign yang dilakukan oleh para simpatisan, kader, termasuk orang-orang ‘terpandang’ yang masuk dalam tim sukses Jokowi-JK terhadap Prabowo, ulama yang berada di barisan kubu ini sama sekali tak meluruskan. Bahwa apa yang mereka lakukan adalah bentuk dari fitnah. Semisal seputaran masa lalu Prabowo sebagai seorang tentara yang selalu saja dikait-kaitkan dengan kasus pelanggaran HAM. Bukan hanya itu, kedudukannya saat itu sebagai Pangkostrad dituduh ikut berperan dalam tragedi Trisakti dan atau huru-hara Mei 1998. Padahal sudah jelas-jelas sudah ada ketetapan hukum bahwa Prabowo tidak terlibat. Termasuk ketika dalam Debat Capres-Cawapres jilid pertama, Prabowo menjawab sekaligus mengklarifikasi langsung atas tuduhan tersebut. Toh, dia sebagai prajurit, yang kala itu dipercaya sebagai komandan dengan kesatria mengambil alih tanggungjawab yang mustinya itu menjadi tanggungjawab Panglima ABRI kala itu.

Nah, mustinya ulama –yang sudah kepalang kadung berada di barisan Jokowi-JK— sadar bahwa apa yang dilakukan mereka itu salah, seharusnya meluruskan. Kalaulah memang, Prabowo menjadi bagian dari peristiwa kelabu itu, apakah lantas Prabowo tidak berhak dan tidak layak untuk tampil sebagai peminpin negeri ini? Masih belum cukupkah, sikap nasionalis, patriotis serta cinta tanah air yang ada pada dirinya?

Entah kenapa ulama bisa lupa atau memang melupakan sosok sahabat Sayyidina Umar bin Khattab atau sayyidina Khalid bin Walid, pejuang Islam yang selalu ada di sisi Rasulullah Shallalahu Alaihi Wasallam. Dimana keduanya dulu begitu dikenal sebagai sosok yang berdarah-darah dalam memerangi Islam. Tapi setelah masuk dalam barisan Rasulullah Shallalahu Alaihi Wasallam mereka terdepan dan dibanggakan umat Islam. Memang, jika membandingkan sosok Prabowo dengan kedua sahabat itu sangat jauh berbeda, baik masa maupun kondisinya. Tapi hakikatnya, kalau Rasulullah Shallalahu Alaihi Wasallam  saja begitu mengagumi perjuangan dan sikap tegas kedua sahabatnya, kenapa ulama tidak? Setidaknya meluruskan orang-orang yang ada di kubu nomor urut 2, bahwa tuduhan –yang meskipun tak berdasar— yang diarahkan Prabowo sebagai pelanggar HAM itu tidaklah benar.

Jadi, apakah para kyai, ulama, cendikiawan muslim, ustadz atau apapun sebutannya, lupa akan hal itu? Atau memang ada hal lain yang akhirnya mereka tergoda? Bukankah tugas pokok dan fungsi ulama untuk berada paling depan dan menyerukan amar makruf nahi munkar? Karena mereka adalah para pewaris nabi. Ini sekadar opini, kritik terhadap sepak terjang para ulama di pentas panggung politik. Semoga

Antara Pilpres, Piala Dunia dan Puasa

Hiruk pikuk Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 memang sudah terasa sejak setahun terakhir lalu. Pun dengan gelaran Piala Dunia 2014 di Brasil tak kalah serunya. Apalagi ketika kedua rangkaian momen itu kini bertemu dalam rentang waktu yang sama. Puasa Ramadhan yang tinggal hitungan hari seakan tenggelam di tengah gegap gempitanya dua momen tersebut. 

LOGO PILPRESBetapa tidak, ajang pilpres dengan segala manuver yang dilakukan oleh kedua kubu yang bertarung nyaris menghilangkan ghirah (semangat) umat Islam terhadap datangnya bulan Ramadhan. Rasa hormat, saling menghargai, sopan dan santun dalam aktivitas politik hilang begitu saja diantara simpatisan apalagi tim sukses. Faktanya, yang ada hanya saling serang, caci maki, saling hujat, menjatuhkan satu sama lain dengan berbagai cara. Benar-benar momen politik ini nyaris membunuh rasa tenggangrasa, tepo seliro sesama warga negara.

Gelaran pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung pada 9 Juli mendatang tentu beda dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Selain digelar di tengah euforia piala dunia, hari pelaksanaan pencoblosan itu baru memasuki masa sepuluh hari kedua di bulan ramadhan. Akankah berjalan dengan baik dan lancar, serta jauh dari kecurangan, manipulasi dan praktek kotor lainnya? Tidak ada yang bisa menjamin. Bisa jadi, adanya cara-cara jahat, licik dan kotor itu sejatinya sudah berlangsung sejak masa pencapresan bergulir.

Lihat saja, aksi sebagian kalangan yang menjegal majunya salah satu capres dengan masih mempertanyakan track record Prabowo Subianto sudah datang jauh-jauh hari. Bahkan sejak mantan Danjen Kopassus ini diajukan oleh partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) beberapa waktu lalu. Pun ketika Prabowo Subianto – Hatta Rajasa telah ditetapkan sebagai pasangan capres dan cawapres yang berlaga di pilpres tahun ini, upaya penggembosan, pembunuhan karakter dengan cara membuka masa lalu yang dinilai berdarah-darah terus berlangsung. Dan sepertinya upaya ini tidak akan pernah surut.

Padahal, cara-cara yang dilakukan oleh lawan politiknya itu, terlebih bagi mereka yang berstatus sebagai umat Islam, sangat-sangat dilarang oleh ajaran Islam. Entah sadar atau tidak, lupa atau sengaja, mengerti atau tidak mengerti dengan ajaran Islam yang penuh rahmat, bagi mereka sikat bleh, hajar bleh, urusan belakangan. Ingat, bukan karena menjelang bulan puasa saja, apalagi akan ada masa kampanye yang masih dilangsungkan di bulan suci, tapi mustinya berbuat baik, saling amar makruf nahi mungkar itu bukan hanya di ramadhan saja. Sepanjang hidup sebagai umat Islam kita diwajibkan untuk ber-amar makruf nahi mungkar.

Begitu pula dengan piala dunia yang bisa disaksikan secara langsung lewat saluran televisi swasta nasional mengalihkan mata kaum muslimin. Malah mereka lebih menyambutnya dengan penuh gembira, lantaran konon ajang tanding bola sepak ini akan menjadi teman di kala sahur. Apalagi, puncak dari gelaran FIFA itu bakal berlangsung di tengah bulan puasa. Tenggelam sudah bulan ramadhan yang penuh berkah di keramaian ajang empat tahunan ini.

Okelah, piala dunia sekadar hiburan sebagaimana gelaran-gelaran serupa yang ada selama ini. Kalaulah memang, tontonan olahraga yang satu ini mampu memberi semangat umat Islam dalam menunaikan ibadah puasa khususnya di waktu sahur. Akan tetapi apakah tidak akan mengganggu kekhusyuan  ibadah qiyamul lail (sholat malam) , ibadah-ibadah jelang sahur dan atau waktu menjalankan puasa nanti. Memang, selama ini pun masyarakat khususnya umat Islam yang menunaikan ibadah sahur untuk puasa di keesokan hari selalu disuguhkan  tontonan-tontonan tv yang lebih banyak mudharat-nya (keburukan) dibanding manfaat yang didapat.

Rupanya ajang piala dunia yang membelah rangkaian pilpres sedikit mencairkan suasana perpolitikan yang kian menegang. Coba lihat, bagaimana para politisi, simpatisan maupun tim sukses di berbagai daerah bisa meredakan suhu politik dengan tontonan ini. Memang, tak dipungkiri hal itu sekedar ‘sandiwara’, sebagai pengisi ‘waktu jeda’ di padatnya jadwal kampanye dan ramainya pemberitaan seputar pilpres. Tapi, upaya saling serang, saling bantah, saling telikung masih tetap kentara tampaknya. Gelaran piala dunia hanya sekadar ‘iklan’ mahal yang boleh jadi tidak semua masyarakat menyukai atau menaruh waktu untuk yang satu ini. Beda dengan momen pilpres yang tidak hanya menjadi konsumsi orang dewasa yang masih punya tenaga, anak-anak kecil hingga para lansia pun ikut meramaikan.

Bagaimana tidak, obrolan piala dunia, pilres dan puasa ini kian menarik karena berbarengan. Kala bercengkrama dengan anak-anak di ruang televisi, beragam komentar mereka lontarkan. Kenapa capres yang itu selalu merasa dijahati padahal kenyataan memang begitu? Atau kapan Indonesia bisa tampil di piala dunia? Apakah tim Garuda Jaya yang dikawal Evan Dimas dan kawan-kawan kelak bisa masuk dalam gelaran FIFA itu? Bahkan bisa jadi saat sahur nanti kita lebih banyak menonton pertandingan bola. Begitu komentar anak-anak di rumah. Lain lagi dengan istri, tidak cukup ketika tengah bercengkrama dengan anak-anak, atau tengah asyik masak, di atas kasur pun masih tetap mengomentari ulah capres yang begitu ambisius hingga lupa dengan janjinya membenahi Jakarta. Belum lagi, harga sembako yang terus melambung, ketersediaan pasokan bahan makanan yang sepertinya dilupakan oleh pejabat pemerintah yang berwenang, karena terlalu sibuk mengurusi pilpres. Ah, rasanya magnet pilpres, piala dunia dan puasa ini begitu kuat saling tarik menarik.

Semoga, apa yang diuraikan diatas dengan apa yang dikhawatirkan itu hanyalah kekhawatiran pribadi saja. Bukan tidak mungkin, ini juga menjadi tantangan bagi pribadi ini dalam menghadapi ketiga momen yang begitu menggoda mata, pikiran dan tenaga untuk selalu ada untuknya.

Ada Kabar Apa (lagi) Para Caleg?

Seorang teman mengabarkan bahwa ia dipastikan tidak bakal lolos jadi anggota dewan. Suara yang diraihnya tak mencukupi. Pun dengan sisa suara yang dimiliki partai tak bisa membantu banyak, lantaran kurang dibanding raihan partai yang lain. Bukan itu saja, kegagalannya meraih kursi diduga adanya permainan antar sesama caleg.

2091303Ya, selain adanya praktek kotor beberapa jam sebelum pencoblosan, aksi rebutan suara yang diraih partai pun begitu kentara. Maklum, sebagai pemain baru, ia tak mau melakukan hal-hal yang dilakukan caleg lain. Padahal bisa saja ia mempraktekkan apa yang disarankan teman, keluarga dan tim sukses. Meski, gagal ngantor di gedung dewan, tak membuat putus asa, apalagi terganggu jiwanya. Tak seperti beberapa rekannya, ada yang tak berani keluar rumah saking malu karena gagal. Bahkan ada yang sempat dirawat dan nyaris gila, meski lewat pengobatan alternatif.

Lantas bagaimana dengan caleg yang lain? Entahlah. Pemilu 2014 untuk memilih anggota dewan baru saja usai, tinggal menunggu penghitungan suara oleh KPU yang dilanjut dengan keputusan para pemenangnya. Pemberitaan seputar kelakuan caleg gagal kerap menghiasi layar kaca maupun halaman utama surat kabar. Meski, memang kalah gaungnya dengan manuver-manuver elite politik jelang pilpres.

Pemilu 2009 lalu, ada banyak kisah pilu bagi para caleg yang berlaga dan berujung pada stress. Berdasarkan data yang dilansir stasiun teve swasta nasional MetroTV beberapa waktu lalu, setidaknya ada 49 orang caleg DPR pusat yang mengalami gangguan jiwa. Di tingkat DPRD Provinsi, sedikitnya ada 495 orang caleg yang stress. Untuk DPRD tingkat Kabupaten/Kota, sebanyak 6.827 orang caleg diindikasi mengalami depresi. Sementara untuk calon senator (DPD) ada 4 orang yang dinyatakan stress usai pemilu.

Beberapa waktu lalu, di daerah Jawa Timur, ada caleg mengamuk di jalanan lantaran kalah. Di daerah lain, ada caleg yang minta uang pemberiannya kepada masyarakat karena tak berhasil meraup suara. Ada pula yang memblokade akses jalan warga, hanya karena kalah suara di TPS yang ada di sekitar tempat tinggalnya. Bahkan yang lebih ekstrim lagi,  ada caleg karena tidak puas dengan hasil raihan suara, malah melakukan tindakan kriminal dengan mencuri kotak suara. Dan bisa jadi, kejadian kebakaran sejumlah kantor kecamatan, kelurahan atau gedung yang digunakan untuk menyimpan kotak suara diakibatkan kesengajaan oleh oknum tertentu yang tidak puas dengan hasil pemilu.

Stress, disamping lantaran harus menanggung hutang, harta benda yang tergadai, juga rasa malu dan sakit hati. Masih ada banyak kisah menyedihkan, meski malah kadang lucu mendengarnya. Itu baru yang terekspos oleh media, belum lagi yang karena malu, akhirnya menghilang, mengasingkan diri untuk menenangkan jiwa usai kalah.

Sejatinya, ulah caleg nyleneh, tidak masuk akal, dan akhirnya berujung stress tak cuma lantaran kalah di pemilu. Jauh sebelum pencoblosan dan bahkan proses pemilu itu baru dalam tahap pencalonan sang bakal caleg. Segala daya, upaya dilakukan agar bisa lolos. Tak terbayang repotnya jadi caleg. Lihat saja, selain menjalankan sesuai prosedur, lelaku yang dianggap dapat mengantarkan kesuksesan pun banyak dilakukan para caleg. Ada yang pergi ke petilasan mbah anu, mandi di sungai, tempat-tempat yang dianggap bertuah dan lain sebagainya. Meski, apa yang dilakukannya itu tak masuk akal. Harap maklum, Indonesia masih tetap kental dengan budaya klenik.  Ada pula yang rajin mendatangi kyai sepuh, pondok pesantren, panti asuhan untuk meminta doa restu atau apapun. Banyak macam niat yang dilakukan caleg sebelum bertarung.

Boleh jadi, rumah sakit khusus yang menangani gangguan kejiwaan kebanjiran pasien. Bahkan untuk mengantisipasi kejadian tersebut, sejumlah rumah sakit jiwa di daerah telah menyiapkan fasilitas dan tenaga medisnya. Tak cuma itu, sejumlah padepokan, pengobatan alternatif, bahkan pondok pesantren ikut melakukan persiapan sebelum pileg berlangsung. Kemungkinan besar, pengobatan alternatif, penanganan dan perawatan yang di lakukan sejumlah kyai lebih banyak dipilih oleh caleg gagal.

Memang, tidak ada yang melarang seseorang untuk maju sebagai caleg. Tapi, mustinya harus bisa mengukur diri. Tak sekadar kemampuan finansial, modal baik pengetahuan maupun sosial, tapi kematangan jiwa, juga mental menghadapi kenyataan yang ada. Boleh jadi, kadang ini yang banyak dilupakan orang ketika ingin maju sebagai caleg. Ada banyak yang mengatakan dirinya siap, tapi nyatanya tidak. Pun dengan yang dinyatakan lolos melenggang ke gedung wakil rakyat, selain diliputi euforia kemenangan. Ada rasa takut berlebihan akan adanya sejumlah ‘permintaan’ dari berbagai kalangan baik yang dulu melapangkan jalan, membantu keuangan atau mengantarkan kemenangan. Dimana ujung-ujungnya, akan menggoda keimanan, kejujuran dan niatan awal menjadi seorang wakil rakyat. Itulah yang acap dilakukan wakil rakyat bisa sebagai ujian, tantangan atau malah menjadi sebuah keharusan.

Rakyat hanya berharap suara yang dititipkan tak tergadaikan. Walau mereka sadar, ketika mencoblos sang caleg itu pun lantaran dijanjikan atau malah digadai dengan sejumlah lembaran rupiah. Semoga, kejujuran dan kepercayaan yang diberikan rakyat kepada wakilnya tak disia-siakan. Apapun alasannya. semoga

foto diambil dari inilah.com

Apa Kabar Para Caleg?

Pemilihan Umum (Pemilu) anggota legislatif baru saja usai sepekan lalu. Tak dipungkiri, pemerintah menilai pelaksanaan pemungutan suara secara umum berjalan lancar, meski tak sedikit pula yang harus diulang. Setidaknya, pencoblosan ulang dilakukan di 23 provinsi. Ada banyak penyebab yang mengharuskan diulang. Kegaduhan politik pun kian santer terdengar. Panasnya suhu politik semakin meningkat. 

8shofsdfApalagi ketika hasil penghitungan cepat (quict count) sejumlah lembaga survei dirilis di berbagai media massa. Terlebih media elektronik yang langsung mewartakan sejam setelah pemungutan dinyatakan selesai. Harap-harap cemas menggelayuti para pemangku partai politik dan calon legislatif (caleg).

Lalu apa kabar para caleg? Berhasil melenggang ke kursi dewan? atau terpental tak ke pinggiran? Karena seperti pemilu sebelumnya, kali ini peraih suara terbanyaklah yang akan bisa duduk di parlemen. Ada ribuan caleg tengah berharap. Meski angka-angka perolehan yang dirilis sejumlah lembaga survei diklaim mewakili untuk bisa menghitung keterpilihan.

Setelah berjibaku sekuat tenaga untuk bisa mendapat nomor urut, dapil dan lolos masuk dalam daftar calon sementara (DCS). Tentunya mereka berharap cemas untuk bisa tercatat dalam daftar calon tetap (DCT). Tak berhenti di situ, setelah terpampang namanya berikut foto sebagai caleg, mereka harus menyiapkan tenaga dan biaya lebih ekstra lagi. Bersaing di medan perang dalam bingkai sosialisasi, kampanye sebelum dipilih oleh masyarakat di 9 April lalu.

Tak terbantahkan lagi, betapa repotnya para caleg menyiapkan segala sesuatunya. Siapapun dia. Hanya saja yang membedakan adalah tingkat ketebalan lembaran rupiah sebagai amunisi menghadapi pileg kemarin dan modal sosial yang pernah ditanam, serta tingkat popularitasnya di mata masyarakat. Semua itu bisa terlihat dengan kasat mata. Meski pada akhirnya, pilihan masyarakat itu akan dibuktikan pada saat pencoblosan.

Kerepotan dan kegelisahan kian menjadi ketika pemungutan suara dinyatakan usai. Boleh jadi, caleg tidak sekadar mengawal perolehan suara pribadinya, tapi ada kewajiban menjaga suara partai pula. Dan bisa jadi peperangan berikutnya baik antar caleg maupun partai yang sesungguhnya itu terjadi usai pemungutan suara selesai. Pasalnya, sabotase, penilepan angka-angka hasil penghitungan hingga jual beli suara bukan sekadar isu belaka, tapi memang terjadi. Inilah yang membuat ketar-ketir sekaligus ajang tawar-menawar para caleg. Wani piro?

Sebagai bumbu-bumbu dari hingar bingar politik tak lain adalah tersiarnya caleg-caleg yang stress, lantaran kurang siap menghadapi kenyataan. Peran media massa lewat pemberitaan seputar perilaku caleg, termasuk manuver partai politik dalam menyikapi hasil sementara pemilu kian sedap. Sepertinya, tak ada berita yang begitu nikmat dilahap, selain tingkah polah elite partai dan para calegnya dalam memperebutkan kursi. Meski diakui, aktivitas para caleg dalam mengawal suara tak seheboh waktu kampanye. Karena memang, biasanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Layaknya perang gerilnya, operasi senyap itu terus merangsek ke penyelenggara pemilu (KPU dan perangkatnya) mulai dari kelurahan, kecamatan, kabupaten hingga pusat.

Semoga apa yang dilakukan para caleg baik yang mungkin diprediksi lolos maupun tidak lolos masih tetap dalam koridornya. Mau bersikap jantan dalam menyikapi hasil dan keputusan yang bakal dikeluarkan lembaga penyelenggaran pemilu (KPU). Meski bisa jadi, keputusan itu dihasilkan dari deal-deal tertentu atai bahkan sebuah kecurangan yang mungkin secara kasat mata tak nampak. Rasanya, tenang bila apa yang diperoleh caleg memang benar-benar itu hasil dari perjuangan yang benar dan sesuai aturan. Dan sejatinya, mereka pun tak merasa tenang ketika apa yang diraihnya itu dilalui atau malah dipenuhi kecurangan. Hanya Allah SWT yang Maha Mengetahui. semoga…

Lebih Dekat Dengan Nuroji : Memperjuangkan Kelompok Tradisional

Sejak tercatat sebagai wakil rakyat, ia masih tetap seperti yang dulu. Sederhana, bersahaja dan acap bicara apa adanya. Selain tetap memilih tinggal di kampung halamannya dibanding tinggal di rumah dinas, ia rela membelah kemacetan jalanan ibukota dari Depok ke Senayan. “Dari sana saya bisa lebih dekat dan merasakan apa yang dirasakan masyarakat,” kata Ir Nuroji, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) ini.

CALEG DPR-RI DAPIL JABAR 6 NO. URUT 1

CALEG DPR-RI DAPIL JABAR 6 NO. URUT 1

Di tengah kesibukannya menjalankan tugas sebagai anggota Komisi X, Nuroji juga menyempatkan diri untuk blusukan keluar masuk perkampungan. Maklum, namanya kembali tercatat sebagai calon anggota legislatif (caleg) dari Partai Gerindra nomor urut wahid untuk daerah pemilihan (dapil) Jawa Barat 6. Usai menyelesaikan tugas di Senayan, biasanya Nuroji langsung meluncur ke dapil. Terlebih di akhir pekan, hampir sepanjang hari dihabiskan untuk sosialisasi di dapil yang meliputi Kota Depok dan Kota Bekasi.

“Bukan karena saya maju lagi, kemudian rajin turun ke dapil. Aktivitas semacam ini sudah saya lakukan dari dulu. Bukannya saya sombong, tapi hal itu bisa ditanyakan pada masyarakat, siapa yang kerap turun menyerap dan memperjuangkan aspirasi mereka,” ujar pria kelahiran Depok, 9 September 1962 ini.

Kembalinya Nuroji ke ajang perebutan kursi wakil rakyat di dapil Jawa Barat 6 yang hanya menyediakan enam kursi ini bukan tanpa sebab. Memang, awalnya Nuroji menyudahi tugasnya sebagai wakil rakyat. Namun tidak hanya masyarakat yang menjadi konsituennya, partai pun memintanya kembali untuk maju. Bukan itu saja, berdasar survei yang digelarnya, membuktikan bahwa ia masih layak dipilih kembali sebagai wakil rakyat dari dapil Jawa Barat 6. “Hasil survei itu setidaknya membuktikan bahwa tingkat keterpilihan saya masih tinggi,” beber lulusan Institut Pertanian Bogor (IPB) yang kerap menyuarakan persoalan pendidikan dan budaya ini.

Aktivitas politik Nuroji sendiri sudah berlangsung sejak era orde baru. Kala itu ia bergabung di Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Namun ia memilih mundur dari panggung politik kala kisruh melanda partai itu di tahun 1997. Nuroji lebih memilih kembali bergelut di dunia wartawan. Selang tiga tahun, disamping menjalani profesinya sebagai jurnalis, Nuroji mencoba peruntungan di dunia bisnis dengan membuka beberapa usaha. Sayang,  setelah berjalan lima tahun, dunia usaha itu harus ditinggalkannya. Lagi-lagi ia pun memilih kembali terjun di dunia pers dengan bergabung di Harian Jurnal Nasional pada tahun 2006.

Setahun kemudian, ia diminta untuk menangani Harian Warta Kota. Namun di tahun yang sama, Nuroji juga diajak koleganya, Fadli Zon untuk membidani majalah Tani Merdeka yang diterbitkan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI). Dari sanalah, Nuroji kerap diminta untuk membantu Komandan Jenderal Koppassus, Prabowo Subianto yang akan mendirikan partai baru. Nasib membawanya kembali ke panggung politik yang sudah ia tinggalkan sepuluh tahun sebelumnya.

“Niat awalnya hanya sekedar membantu, tapi karena ada kesamaan dalam perjuangan yang digariskan saya pun kembali melakoni politik praktis,” ujarnya mengenang.

Akhirnya Nuroji yang dinilai piawai dalam menggalang massa diminta untuk maju sebagai caleg dari Partai Gerindra pada Pemilu 2009 lalu. Meski harus menghadapi lawan politik yang lebih popular Nuroji mampu meraih 25.540 suara. Dengan perolehan suara sebanyak itu, ia melenggang ke Senayan. Nuroji yang awalnya ditugasi di Komisi VI itu kemudian diplot ke Komisi X hingga sekarang.

Seperti apa langkah-langkah dan perjuangannya menjalani tugas sebagai dewan yang sekaligus kembali maju sebagai caleg di dapil yang sama? Kepada Hayat Fakhrurrozi dari Majalah Garuda, putra asli betawi yang ditemui di ruang kerjanya ini memaparkan. Berikut wawancaranya:

Apa melatarbelakangi Anda maju kembali sebagai caleg?

Tadinya saya sebagai orang yang sudah duduk dan merasakan jadi anggota dewan di Senayan, jujur tidak mau maju lagi. Namun ketika saya berencana seperti itu, kader Partai Gerindra yang selama ini ada di belakang saya kembali mendesak saya untuk maju. Mereka bilang kalau saya tidak maju bagaimana dengan kader yang lagi pada semangat-semangatnya berjuang di bawah bendera Gerindra.

Akhirnya diam-diam saya mengadakan survei soal tingkat elektabilitas saya di dapil dengan menyandingkan beberapa orang baik internal maupun eksternal yang saya perkiraan akan maju sebagai caleg. Setidaknya dengan survei itu akan memberi gambaran seberapa besar tingkat elektabilitas saya di mata masyarakat Kota Bekasi dan Depok. Dari hasil survei itu, ternyata nama saya masih tertinggi, sehingga tidak memalukan kalau maju lagi.

Dan memang, beberapa nama yang saya prediksi itu empat orang caleg diantaranya kini masuk sebagai caleg selain saya ada Derri Derajat, Alwiyah Maulidiyah, dan Habiburahman meski dia diplot di dapil lain. Sebenarnya saya malas untuk nyaleg lagi, karena biayanya besar. Tapi karena DPP Partai Gerindra melalui Sekjen memerintahkan saya untuk maju lagi, ditambah lagi hasil survei itu, akhirnya saya maju lagi.

Bagaimana Anda membagi waktu kerja sebagai dewan dan caleg?

Karena saya Ketua Poksi mau tidak mau saya harus hadir terus sebagai wakil dari fraksi. Senin hingga Kamis saya fokus kerja sebagai anggota dewan di kantor, sorenya saya turun ke dapil. Pada Jumat–Minggu biasanya saya fokus turun ke dapil. Secara teori tidak akan cukup waktu mengingat tinggal enam bulan lagi.

Program apa yang Anda tawarkan?

Saya lebih suka melakukan aksi sosial yang sifatnya massif dan berkelanjutan. Salah satunya yang selama ini saya lakukan adalah pemberian beasiswa kepada siswa dari keluarga kurang mampu yang ada di Kota Depok dan Kota Bekasi. Memang, program ini merupakan bentuk perjuangan saya sebagai anggota Komisi X DPR-RI dalam memperjuangkan masyarakat yang menjadi konstituen. Saya menyalurkan beasiswa untuk sebanyak 20 ribu siswa.

Tentu saja, program ini memiliki mutiple effect yang lumayan. Dari 20 ribu siswa itu kalau kita kalikan 2 (orangtua) maka akan menghasilkan 40 ribu suara. Kalau kita ambil 70 persen saja sudah berapa suara yang kita raih. Beasiswa itu kita salurkan kepada masyarakat umum dan tidak mampu. Dan itu sangat efektif dalam meraih simpati masyarakat, karena kita sudah berjuang demi mereka. Terus terang, masyarakat khususnya Depok dan Bekasi pun pasti menyebut nama saya ketika bicara soal beasiswa.

Kendala apa yang selama ini Anda hadapi?

Selain menghadapi masyarakat yang pragmatis dan apatis juga persaingan yang sengit dalam memperebutkan tiket ke Senayan yang hanya 6 kursi. Bukan saja antar partai, tapi sesama caleg satu partai pun kadang saling sikut, saling jegal, saling kanibal. Jadi kadang kita yang satu partai pun saling kanibal. Padahal saya berkali-kali mengatakan kepada sesama caleg, baik tingkat pusat, daerah, kabupaten/kota untuk saling membagi wilayah sesuai segmentasinya. Misalnya, untuk kawasan perumahan elit saya tidak bakal masuk, saya lebih memilih kelompok tradisional, pasar, tukang sayur, tukang ayam. Meski begitu tidak semua yang masuk segmen itu saya garap. Caleg perempuan mungkin bisa garap kaum ibu-ibu.

Jadi kalau dapil Jabar 6 ini ditargetkan untuk bisa merebut dua kursi, maka sesama caleg Gerindra jangan sampai kanibal seperti yang terjadi selama ini. Bisa-bisa bukannya meraih dua kursi, yang terjadi malah suara Gerindra terbelah-belah dan ini akan merugikan kita semua. Kendala lain adanya aturan KPU yang melarang pemasangan baliho dan lebih mengutamakan tatap muka, padahal tatap muka itu mahal, banyak modal, karena kadang yang dihadapi itu lebih banyak pemilih pragmatis.

Seperti apa karakter pemilih dapil Jabar 6?

Kota Bekasi dan Depok itu lebih banyak kaum urban. Kalau kita datang ke suatu tempat, selalu ditanya bawa apaan. Kalau kita tidak membawa apa-apa, mereka bilang caleg apaan. Beberapa tempat yang saya datangi warganya seperti itu. Padahal saya paling malas datang ke komunitas yang seperti itu. Ongkos untuk setiap kegiatan yang mereka adakan itu tidak kecil dimana semua itu dilimpahkan kepada caleg.

Belum lagi ketika kita datang mereka selalu menyodorkan proposal, mereka bilangnya aspirasi tapi ujung-ujungnya uang. Kalau tidak kita penuhi, mereka nanti mengundang caleg lain. Bahkan meski sudah kita kasih, ada beberapa diantara mereka yang kembali mengundang caleg lain baik yang satu partai maupun partai lain. Nah ini yang saya bilang mahal, dimana KPU menganjurkan para caleg untuk mengadakan sosialisasi tatap muka dibanding dengan menyebar baliho.

Ini yang Anda sebut pemilih pragmatis?

Ya, pemilih semacam ini yang termasuk pragmatis. Biasanya ada di daerah-daerah yang banyak kontrakan. Biasanya setiap ada caleg yang datang, mereka mau kumpul, begitu pula besoknya kalau ada caleg lain mereka juga mau kumpul lagi. Model seperti ini yang kadang membuat caleg tekor. Dan biasanya hal itu tidak hanay terjadi pada caleg-caleg yang belum paham kondisi lapangan dan berpengalaman, caleg incumbent pun sering dimanfaatkan. Termasuk saya sendiri pernah mengalaminya, mereka hanya menginginkan uangnya. Meski kadang akhirnya saya kasih juga apa yang mereka inginkan.

Bagi masyarakat pragmatis seperti ini, prinsipnya tadi, kalau caleg satu bisa ngasih kenapa caleg lain tidak berani kasih. Bahkan saya sempat kesal karena mereka tidak mau menghargai bantuan yang kita berikan. Banyak anggapan seakan-akan kita memanfaatkan masyarakat, padahal merekalah yang memanfaatkan caleg. Menghadapi hal ini alangkah baiknya para caleg mengadakan survei terlebih dulu sebelum turun ke masyarakat yang bakal didatanginya. Pasalnya karakter masyarakat selain pragmatis juga belum tentu mereka memilih. Karena bisa jadi mereka bukan penduduk ber-KTP Depok atau Bekasi.

Bagaimana Anda mengantisipasinya?

Pengalaman demi pengalaman tentunya memberi pelajaran bagi saya sendiri. Bukannya trauma atau kapok, tapi biasanya saya lebih membatasi diri, selektif terhadap undangan masyarakat yang kita nilai pasti di belakang ada maunya. Atau kalaupun mereka hanya meminta sumbangan seperti pertandingan bola, saya dengan tegas tidak ikut dalam kegiatan tersebut. Disamping tidak efektif, biaya tinggi, tidak semua orang yang hadir dalam pertandingan itu akan simpati kepada politik. Memang resikonya bisa jadi kita tidak dikenal di komunitas itu. Nah, saya biasanya menggunakan cara konvensional seperti dengan menyebarkan stiker, mendekati kalangan media dan penguatan jaringan.

Saya lebih senang ngobrol kumpul bareng komunitas-komunitas, seperti komunitas seniman, budayawan atau pensiunan. Setidaknya untuk sosialisasi bertatap muka dengan masyarakat, tokoh dan komunitas-komunitas yang ada di dapil Jabar 6, saya rasa sudah lebih dari 120 titik yang saya datangi. Apalagi pemilu 2014 ini selain diikuti hanya 12 partai, persaingan antar caleg dalam satu partai maupun luar partai begitu kuat. Kalau kita saling tubruk, gesekan, atau saling dendam malah itu tidak mengumpulkan suara.

Menurut Anda, siapa saja saingan terberat di dapil 6?

Di samping lawan dari partai lain, dari internal partai yang sekarang maju juga bagus-bagus dan tidak saya anggap enteng. Makanya saya harus lebih ekstra kerja keras dan terus blusukan. Jujur saja berat untuk bisa memperebutkan dua dari enam kursi yang tersedia. Gerindra harus menghadapi partai-partai besar seperti PDIP, Golkar, PKS, dan Demokrat yang selama ini sudah memiliki kursi di Senayan. Jadi, jika masing-masing bisa bertahan dengan satu kursi, maka setidaknya hanya ada satu kursi yang diperebutkan oleh mereka termasuk kita.

Memang seru, meski kadang merasa capek juga. Karena bukan saja menghadapi partai lawan, dari partai sendiri pun bagus-bagus. Berbeda dengan dulu, dimana masyarakat menilai Gerindra sebagai partai baru menjadi alternatif untuk dipilih. Sekarang, selain pamor Gerindra lagi naik, partainya sedikit, calegnya pun berkualitas. Dulu saya bekerja sendiri dan tidak ada tandem sekarang saya tandem dengan beberapa caleg provinsi dan kota sekitar 10-15 orang caleg.

Menghadapi kondisi seperti itu, apa yang Anda lakukan?

Saya memiliki beberapa lapisan strategi, jadi ketika lapisan ini tidak jalan, saya gunakan lapisan yang lain. Tim struktural tidak dapat saya pakai tim lain, ketika tim yang satu tidak jalan maka gunakan tim lain. Kalaupun tim yang ada tidak jalan kita pakai tim komunitas, seperti di Depok ada komunitas Betawi Ngumpul. Lalu di Bekasi ada tim paranormal yang merapat ke saya. Bukan karena saya yang minta tapi mereka yang minta bergabung.

Pesan dan harapan Anda kepada caleg yang terjun di dapil Jabar 6?

Untuk caleg internal, karena kita diberi tugas untuk mencapai target dua kursi, maka harus dicapai dengan tepat dan cerdas. Kita harus bagi tugas, tidak kaku, kita harus fokus ke komunitas sendiri-sendiri. Seperti saya misalnya yang fokus di pasar tradisional tapi tidak semua pedagangnya saya garap. Nah, kalau itu dilakukan secara kordinasi saya rasa Gerindra bisa bisa meraih dua kursi dari dapil Jabar 6. Pemilu 2014 menjadi sulit dan berat karena masing-masing partai yang berlaga setidaknya ada lima partai yang sudah punya modal kursi di parlemen. Sementara yang diperebutkan hanya enam kursi oleh lima partai besar. Apalagi Jawa Barat oleh DPP ditugasi untuk bisa meraih 27 kursi.[G]

Lebih Dekat Dengan Abdul Wachid : Menyuarakan Suara Petani

Semangat dan perjuangannya menyuarakan nasib para petani di meja parlemen tak pernah pudar. Meski kadang harus menelan kekecewaan karena suara lantangnya nyaris tak terdengar dilibas keriuhan suara partai penguasa. Melalui program ekonomi kerakyatan yang terus digelorakan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), ia bertekad untuk bisa melahirkan kebijakan hukum dan penganggaran yang pro-rakyat, khususnya kaum petani.

CALEG DPR-RI DAPIL JATENG 2 NO. URUT 1

CALEG DPR-RI DAPIL JATENG 2 NO. URUT 1

Diakuinya selama menjabat sebagai anggota DPR-RI ada banyak hal yang selama ini diperjuangkan Partai Gerindra belum bisa direalisasikan. Karena itulah Abdul Wachid kembali maju sebagai calon anggota legislatif (caleg) di daerah pemilihan (dapil) Jawa Tengah 2. “Masih banyak ide gagasan program dan perjuangan Partai Gerindra yang belum terealisasi. Apalagi saat ini perwakilan partai kita di parlemen masih kecil, karena itu saya maju kembali,” tegas caleg nomor urut 1 dari dapil Jawa Tengah 2 yang meliputi Demak, Kudus dan Jepara ini.

Keterlibatan pria kelahiran, Jepara 12 Mei 1961 di panggung politik boleh dibilang baru lima tahun. Namun begitu, sepak terjangnya sebagai pejuang politisi tak diragukan lagi. Bahkan sejak diamanahi sebagai Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Gerindra Jawa Tengah, pamor pria yang biasa disapa Wachid ini kian disegani. Wajar memang, sebelum bergelut di dunia politik, nama Wachid sudah dikenal oleh para politisi baik yang ada di pusat maupun Jawa Tengah. Pasalnya, pelopor sekaligus pendiri Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) ini kerap turun sebagai pelaku parlemen jalanan kala memperjuangkan nasib petani.

”Saya ini sebelumnya, hanyalah petani tebu yang terus berjuang soal nasib tebu dan gula nasional hingga harus turun ke jalananan,” ujar anggota Komisi IV yang menangani bidang pertanian, pertanahan, kehutanan dan kelautan ini.

Selain giat memperjuangkan nasib petani tebu, Wachid juga aktif di Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI).  Ini pula yang menjadi alasan Prabowo Subianto, Ketua Umum HKTI yang memintanya untuk menahkodai Partai Gerindra di Jawa Tengah 2008 silam. Diakuinya, Wachid yang kala itu masih merasa belum menguasai dunia perpolitikan merasa gamang. Namun berbeda dengan Prabowo yang meyakini bahwa dirinya mampu memimpin partai bentukannya di Jawa Tengah. ”Tapi saat itu, Pak Prabowo meyakinkan saya, bahwa saya layak memimpin Gerindra di Jawa Tengah,” ceritanya.

Tampilnya Wachid di pentas politik sempat dipandang sebelah mata oleh lawan politiknya. Namun, berkat semangat dan hubungan sesama jaringan yang kuat, ia tak gentar menghadapi medan politik yang penuh persaingan. Kepiawainnya menggalang massa dari berbagai kalangan, khususnya kaum petani dan sarungan, Wachid berhasil mengguncangkan peta politik Jawa Tengah. Kala itu, bersama almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Wachid berhasil mengumpulkan massa dalam sebuah kegiatan istigosah yang digelar di Jepara dan dihadiri dihadiri tokoh Nahdlatul Ulama (NU) kharismatik, Gus Dur beserta keluarganya. Termasuk ketika masa Pemilu 2009 lalu, Wachid berani menggelar kampanye di Simpang Lima Semarang –yang acap menjadi tolok ukur kebesaran dan popularitas partai di mata warga Jawa Tengah.

Sebagai panglima Partai Gerindra di Jawa Tengah, pada 2009 lalu, Wachid berhasil meraih 65 kursi DPRD kabupaten/kota, 9 kursi DPRD Provinsi dan 4 kursi DPR-RI. Kini, menghadapi Pemilu 2014, partai berlambang kepala burung garuda yang dipimpinnya itu ditargetkan meraih 25 kursi parlemen dari 10 dapil yang ada di Jawa Tengah.

”Tentu ini pekerjaan yang berat. Karena itu dibutuhkan kerja keras dari semua elemen partai, sehingga bisa mengusung Pak Prabowo Subianto menjadi capres tanpa koalisi,” tegasnya.

Lalu seperti apa yang dilakukan Ketua APTRI dalam mewujudkan target pencapaian yang dibebankannya itu. Di tengah kesibukannya sebagai anggota DPR-RI dan Ketua DPD Partai Gerindra Jawa Tengah, Wachid memaparkan panjang lebar Kepada Hayat Fakhrurrozi dari Majalah Garuda, saat ditemui di ruang kerjanya beberapa waktu lalu. Berikut petikannya:

Bisa Anda ceritakan perkembangan Partai Gerindra Jawa Tengah saat ini?

Di 2009 lalu,Partai Gerindra Jawa Tengah dengan waktu persiapan yang sangat sempit berhasil mendirikan 35 DPC dan 573 PAC. Kini Jawa Tengah sudah memiliki struktural partai tingkat ranting sebanyak 86 ribu. Dimana masing-masing ranting memiliki kepengurusan sebanyak 17 orang dan sudah berseragam semua pengurusnya. Begitua juga dengan organisasi sayap partai Jawa Tengah boleh dibilang lebih kondusif di banding daerah lain bahkan ada yang sudah merambah hingga ke tingkat desa.

Selama empat tahun di bawah kepemimpinan saya, Alhamdulillah kondusif dan tidak ada gejolak. Kalaupun ada itu hanya selintasan saya dan saya anggap sebagai dinamika politik seperti masalah yang dihadapi Ketua DPC Kota Surakarta yang tersandung hukum, alhamdulillah sudah ada gantinya. Saat ini Partai Gerindra di Jawa Tengah menduduki urutan ketiga, setelah PDIP dan Golkar. Ini bukan kita yang menilai, tapi ini berdasarkan survey yang dilakukan oleh partai lain. Karena itu, semoga dengan kekuatan ini, target 25 kursi yang dibebankan kepada Jawa Tengah bisa terlampaui. Tentu saja mau tidak mau kita harus kerja ektstra keras kalau Partai Gerindra mau menang dan mengusung Pak Prabowo sebagai capres tanpa koalisi.

Apa yang Anda lakukan menghadapi Pemilu 2014?

Untuk menghadapi Pemilu 2014, kami sudah siap dengan dua orang saksi per TPS. Kita juga sudah menyiapkan tenaga TOT saksi yang siap diterjunkan ke semua wilayah. Para caleg tingkat propinsi dan kabupaten/kota sudah kita kumpulkan termasuk caleg DPR-RI semuanya sudah mengikuti diklat yang diadakan beberapa waktu lalu. Meski di tengah kesibukan saya sebagai dewan, sengaja saya mengikuti sampai akhir agar bisa bercengkrama bersama para caleg dari 10 dapil yang ada di Jawa Tengah.

Lantas, apa yang melatarbelakangi Anda maju kembali sebagai caleg?

Sejak menjabat sebagai anggota dewan tahun 2009, sepertinya masih banyak perjuangan kami yang belum terealisasi. Apalagi saat ini perwakilan partai kita di parlemen masih kecil. Jadi banyak ide gagasan program Partai Gerindra yang belum tersalurkan.

Berapa target yang harus diraih?

Jawa Tengah yang memiliki 10 dapil itu ditargetkan oleh partai agar bisa meraih 25 kursi.  Sementara target untuk dapil saya sendiri setidaknya harus mendapatkan dua kursi.Tentunya, target ini diharapkan bisa terealisasi sehingga bisa mengantarkan Pak Prabowo Subianto sebagai calon presiden pada pilpres 2014 tanpa koalisi dengan partai lain.

Tentunya ada perbedaan antara Pemilu 2009 dengan 2014?

Kondisi politik di Pemilu 2009 dan 2014 tentu sangat berbeda sekali. Saya melihat dari seluruh anggota dewan yang ada di DPR RI saat ini paling banyakhanya 30 persen saja yang akan terpilih kembali di 2014. Sama halnya dengan yang terjadi pada 2009 lalu, dimana banyak anggota dewan yang begitu dilantik tidak terlihat hasil kerja nyatanya. Penyusutan jumlah partai politik pun memainkan peranan penting dalam pemilu mendatang. Pasalnya, masyarakat saat ini sudah bisa menilai caleg mana yang sudah memiliki hasil kerja nyata dan mana yang hanya mengandalkan popularitas saja.

Disamping itu, pada 2009 lalu, praktek jual beli suara masih bisa dilakukan karena minimnya pengawasan di tingkat TPS hingga PPS. Namun saya rasa untuk 2014 mendatang hal tersebut mustahil untuk dilakukan karena masing-masing partai memiliki 24 pasang mata saksi yang siap melotot di tiap TPS, berbeda dengan tahun 2009 yang hanya memiliki sedikit sekali saksi di TPS. Nah, dalam waktu yang sudah semakin sempit ini, saya selalu menyempatkan diri untuk turun bersosialiasi di dapil saya, sehingga mereka bisa mengenal saya lebih dekat.

Apa visi dan misi Anda sebagai caleg?

Tentu saja visi dan misi saya tak lepas dari apa yang selama ini menjadi perjuangan Partai Gerindra yang tertuang dalam 6 Program Aksi Transformasi Bangsa Partau Gerindra. Bahkan saya beranggapan para caleg Gerindra sebenarnya lebih dimudahkan dalam menyampaikan visi dan misinya ketika turun ke konstituen. Tanpa harus pusing-pusing memikirkan apa yang bakal dikerjakan, caleg tinggal  baca dan pahami lalu sampaikan saja apa yang ada di 6 Program Aksi tersebut dengan bahasanya masing-masing.

Karena latar belakang saya dari pertanian, saya ingin memperjuangkan apa yang selama ini digembar-gemborkan pemerintah soal swasembada pangan berkelanjutan. Dimana selama ini pemerintah hanya fokus pada beras, jagung, kedelai, gula, dan daging. Padahal ada sumber pangan yang tak kalah dengan yang saya sebut tadi yakni singkong. Untuk itu saya, akan memperjuangkan singkong, karena sebagai negara penghasil singkong terbesar ketiga didunia, hingga saat ini para petani singkong tidak pernah mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Singkong ini, disamping bisa dimakan juga bisa dijadikan bahan dasar untuk bioethanol. Bahan bakar alternatif yang harus kita kembangkan lagi.

Saya juga akan mengembangkan singkong untuk bahan pengganti gandum. Dimana hingga saat ini negara masih mengimpor gandum sebanyak 10 juta ton per tahun. Jika gandum bisa diganti dengan singkong, bisa dibayangkan berapa pemasukan yang bisa negara dapatkan. Dan tentunya akan menyejahterakan petani kita sendiri. Sehingga kita bisa berdiri di atas kaki sendiri, menjadi bangsa mandiri yang tidak tergantung pada bangsa lain.

Disamping itu, cita-cita saya di 2014 mendatang adalah menaikan anggaran pertanian di APBN yang kini hanya 1 persen.Dengan cara ini saya yakin bisa menyejahterakan dan memajukan sektor pertanian. Bagaimana mau swasebada pangan kalau anggarannya kecil sekali. Penambahan anggaran juga dapat digunakan untuk perluasan area pertanian yang setiap tahun selalu tergerus untuk lahan industri atau perumahan. Yang jelas tujuan saya di 2014 hanya dua yaitu memenangkan Gerindra di Pemilu dan Prabowo Subianto sebagai Presiden.

Kenapa Anda kembali memilih dapil Jateng 2?

Saya kembali memilih dapil lama karena disamping saya lahir, dibesarkan dan tinggal di daerah dapil Jateng 2,saat ini saya sebagai Ketua DPD Jawa Tengah sebenarnya bisa saja dan siap ditempatkan di dapil mana saja. Karena ada target yang harus diraih, maka saya yang dulu.  Dapil Jateng 2 itu terdiri dari wilayah yang memiliki lahan pertanian yang luas. Dan memang, saya terpanggil untuk memajukan pertanian di daerah tersebut.

Apa saja yang sudah Anda lakukan di dapil?

Sebenarnya, saya sudah melakukan sosialisasi di dapil saya sejak empat tahun lalu. Sejak saya menjabat anggota DPR, setiap hari Kamis sore atau Jumat pagi, saya selalu pulang ke dapil saya untuk mengunjungi dan bersentuhan langsung dengan para konstituen saya. Beragam kegiatan sosial dan pengembangan pertanian serta perikanan sudah saya lakukan di dapil saya. Di daerah Jawa Tengah itu terdapat daerah pertanian yang luas, disamping itu ada dua buah rawa tersebar di Kudus dan Pati yang sejak pasca reformasi kondisinya sangat memprihatinkan. Padahal dulu keduanya menjadi sumber pengairan bagi para petani di kedua daerah itu. Nah, jika nanti Pak Prabowo menjadi presiden, saya akan ajak beliau untuk mengunjungi daerah tersebut agar bisa mengembalikan masa keemasan dulu yang kini terbengkalai dan belum tergarap dengan benar.

Seperti apa karakter pemilih di dapil Anda?

Konstituen di dapil saya mayoritas adalah masyarakat yang religius dan petani.Kalau karakteristik pemilih pada dasarnya sama saja dengan daerah lain. Disamping ada yang idealis juga pragmatis. Dengan besarnya jumlah pemilih di dapil saya, tentu praktek jual beli suara, politik traksaksional itu sangat memungkinkan terjadi. Semua itu berawal dari kebiasan masyarakat dalam pelaksanaan pilkades (pemilihan kepala desa) dan berlanjut ke pilkada bupati/walikota dan gubernur. Bahkan boleh jadi biaya ongkos politik pilkades di suatu daerah bisa mengalahkan biaya pileg. Walaupun tidak terang-terangan namun saya yakin masih ada beberapa daerah yang masih melakukan hal tersebut. Untuk itu saya selalu melakukan komunikasi intensif dengan dua kalangan itu untuk bisa mengetahui hal-hal apa saja yang perlu dilakukan.

Bagaimana Anda mengantisipasi praktek semacam itu?

Uang bukanlah segala, yang terpenting adalah kerja nyata. Kita turun ke bawah, menyapa rakyat, menyampaikan program aksi serta memberikan hasil nyata. Pada 2009 lalu saya telah membuktikan hal tersebut. Masyarakat yang sadar akan politik pasti akan memahami dan lebih mempercayai caleg yang baik sebelum maupun sudah terpilih tetap berada bersama rakyat.

Apa harapan dan pesan Anda kepada seluruh kader dalam menghadapi 2014?

Menurut saya kader-kader saat masih banyak yang merasa jika mereka terpilih sebagai dewan atas hasil usaha mereka sendiri, itu berlaku baik yang di DPR pusat, provinsi maupun kabupaten/kota. Sehingga banyak yang melupakan unsur kepartaian mereka. Mustinya, mereka harus ingat perjuangan partai selama ini. Banyak yang sudah mulai tidak peduli dengan perjuangan partai. Hal inilah yang harus kita hilangkan. Untuk itu kita terus menguatkan kembali unsur-unsur kepartaian dan mengembalikan nilai-nilai dasar perjuangan partai.

Karena itu, kepada seluruh caleg dari Jawa Tengah, Anda jangan hanya berjuang semata-mata agar terpilih menjadi wakil rakyat. Anda harus melakukan kerja nyata dan lakukan aksi sosial pada masyarakat. Sambil mensosialisasikan visi dan misi partai serta menjabarkan program kerja Anda pada masyarakat. Boleh jadi, hampir sebagian besar masyarakat kita masih belum mengerti mengenai hal-hal tadi. Selain itu jangan hanya mengandalkan tim sukses, namun kita juga harus bisa mengajak para struktural, dari DPD, DPC, PAC hingga Ranting. Dan tentu saja silaturahmi dengan para tokoh masyarakat dan agama harus terus kita lakukan. [G]

Lebih Dekat Dengan Andi Rudiyanto Asapa : Berjuang Bersama Rakyat

Berani, sederhana, dan bersahaja adalah gambaran Andi Rudiyanto Asapa. Sepak terjangnya kerap memusingkan banyak kalangan, baik saat sebagai advokat maupun kala duduk di kursi birokrat. Ia selalu berada di garda depan memperjuangkan keadilan tanpa gentar dan tak kenal kompromi saat harus melayani, mengayomi, dan membela rakyat. Tak heran bila ia kian disegani banyak kalangan.

CALEG DPR RI DAPIL SULSEL 2 NO URUT 1

CALEG DPR RI DAPIL SULSEL 2 NO URUT 1

Sosok lelaki yang akrab disapa Rudi ini,memang sudah tak asing lagi bagi masyarakat Sulawesi Selatan. Rekam jejak perjalanan hidupnya, begitumelekat dalam hati masyarakat. Rudi kerap tampil sederhana dan merakyat saat melakukan sosialisasi ke daerah pemilihannya (dapil). Kesederhanaan itu bukan untuk pencitraan, sebab itu sudah menjadi karakter pengacara yang pernah memimpin Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar ini. Sikapnya santai terhadap aturan formal protokoler, namun tetap menjunjung tinggi etika sesama.

Mantan Bupati Sinjai ini memang bukan berangkat dari latar belakang birokrat. Sebelum menjadi bupati pada Juli 2003, lulusan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar ini,acap berhubungan dengan masyarakat, tak terkecuali kaum marginal. Kebiasaan itu berlanjut ketika menjalankan tugasnya sebagai bupati selama dua periode. Rudi dikenal sebagai sosok yang tak segan-segan blusukan siang maupun malam. Saat menjabat bupati Sinjai, ia keluar masuk perkampungan hingga ke pelosok desa untuk mengetahui beragam persoalan yang dihadapi masyarakat atau sekadar menyapa penduduk di wilayahnya.

“Tidak ada perubahan. Tidak ada juga hal yang baru dan perlu diubah. Saya menjadi bupati dengan karakter seperti itu, setelah masa jabatan saya berakhir yah tetap begitu,” ungkap pria kelahiran Gorontalo, 26 Mei 1957 ini.

Selepas tugasnya sebagai Bupati Sinjai, Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Gerindra Sulawesi Selatan ini maju sebagai calon anggota (caleg) DPR RI dapil Sulsel 2. Di dapil ini, Rudi akan bersaing ketat dengan  sejumlah anggota DPR-RI sepertiMalkan Amin, Akbar Faisal, Jafar Hafsah, Andi Rio Padjalangi, Halim Kalla, Syamsul Bahri, Andi Taufan Tiro dan Tamsil Linrung.

Rudi maju menjadi caleg bukan sekadar unjuk kekuatan. Ia merasa resah melihat kondisi bangsa yang kian memprihantinkan. Ia menilai masih banyak yang harus dilakukan untuk membenahi negeri ini.

“Apa yang telah saya lakukan saat menjadi bupati belum banyak memberi hasil maksimal. Nah, untuk bisa ikut membenahi itu, mau tidak mau kita harus masuk dalam parlemen,” ujarnya.

Sebagai Ketua DPD Partai Gerindra Sulsel, beragam terobosan telah ia lakukan. Di samping penguatan program aksi serta manivesto perjuangan partai, lewat Pemilu 2014  ia mencanangkan target sembilan kursi DPR dari provinsi ini. Setidaknya, itulah yang ia sampaikan kepada Hayat Fakhrurrozi dari Majalah Garuda saat ditemui beberapa waktu lalu. Berikut petikan wawancaranya :

Setelah Anda menyelesaikan tugas sebagai bupati, apa saja aktivitasnya saat?

Selain menjalankan tugas sebagai Ketua DPD Partai Gerindra Sulsel, saya tetap keliling Sulsel, khususnya dapil 2. Tidak ada perubahan. Sama seperti dulu dengan cara saya sendiri. Sama halnya saat pemilihan gubernur, saya menginap di rumah-rumah masyarakat. Saya bersyukur masih diminta mendatangi mereka dan tinggal beberapa waktu sehingga saya susah payah membagi waktu. Tidak ada perubahan, tidak ada hal yang baru dan perlu diubah. Saya menjadi bupati dengan karakter seperti itu, setelah selesai pun masih seperti dulu.

Bisa diceritakan awal mula Anda bergabung ke Partai Gerindra?

Tahun 2010 Pak Permadi dan Pak Prabowo meminta saya masuk Partai Gerindra. Saya butuh 6 bulan untuk berpikir. Akhirnya dengan bismillah saya masuk dan memimpin Partai Gerindra Sulsel. Nah, yang membuat saya gabung ke partai ini pertama saya melihat visi misi perjuangan Partai Gerindra dan juga komitmen Pak Prabowo untuk kepentingan masyarakat begitu besar. Itu saya pelajari selama enam bulan.

Kedua saya melihat prospek Indonesia, memang ke depan harus ada perubahan, tidak boleh tidak. Kenapa? Karena saya ini sudah merasakan sendiri berada di posisi pemerintahan. Saya tahu bagaimana kelemahan pemerintahan ini. Untuk itu harus ada pemimpin yang baru dan tegas untuk menjalankan roda pemerintahan sehingga NKRI bisa tetap bersatu, masyarakat dan petani kita sejahtera. Tidak seperti itu, hanya masyarakat kota yang sejahtera tapi masyarakat di pelosok desa tidak sejahtera.

Bisa Anda ceritakan bagaimana perkembangan Gerindra di Sulsel menghadapi Pemilu 2014?

Partai Gerindra di Sulsel sangat siap. Seluruh caleg, mulai dari DPRD kabupaten/kota, provinsi dan pusat sudah menjalankan tugasnya masing-masing. Apalagi setelah selesai pembekalan tingkat pusat, maka berikutnya akan dilakukan pembekalan ke tingkat propinsi hingga kabupaten/kota. Selama ini kita biarkan mereka mensosialisasikan diri sebagai caleg.

Semuanya tentu harus memahami dan mengerti, lalu mampu menjelaskan kepada masyarakat tentang 6 Program Aksi Transformasi Bangsa Partai Gerindra. Karena program itu adalah bentuk kontrak politik Partai Gerindra dan Pak Prabowo Subianto kepada masyarakat. Para valeg harus mempelajari dan menerjemahkan dengan baik, lalu menyampaikan ke masyarakat dengan bahasa mudah dipahami.

Apa yang melatarbelakangi Anda maju sebagai caleg?

Menurut sudut pandang saya, kondisi bangsa ini masih banyak yang harus dibenahi. Apa yang telah saya lakukan pada saat menjadi bupati sebagai upaya untuk membenahi bangsa ini belum banyak memberi hasil maksimal. Apalagi kondisi bangsa ini semakin hari semakin memprihatinkan, belum banyak berubah. Agar bisa ikut membenahi, mau tidak mau kita harus masuk dalam parlemen.

Apalagi kalau kita lihat banyak sistem ketatanegaraan yang sudah keluar dari rel. Mulai dari persoalan hukum, sistem pemerintahan, kebijakan pemerintah pusat kepada kepala daerah yang menurut saya memberikan otonomi, tapi tidak sepenuhnya. Bahkan ada menteri yang bilang, otonomi memberikan kepala daerah otoriter, penguasa daerah, tapi semua itu tidak benar dan sangat disayangkan. Karena otonomi daerah yang diberikan itu kerap dibelenggu oleh kebijakan pusat. Semua ini harus kita perbaiki dan benahi secara bersama-sama lewat parlemen.

Lantas apa visi dan misi Anda?

Yang pasti 6 Program Aksi Transformasi Bangsa yang dideklarasikan oleh Ketua Dewan Pembina, Pak Prabowo Subianto. Hal itu adalah bagian dari visi dan misi yang harus dikerjakan oleh seluruh kader secara bersama-sama. Karena keenam program itu dibutuhkan oleh masyarakat, seperti kedaulatan ekonomi. Selama ini ekonomi kita tetap terjajah dengan persoalan kebijakan, pemerintahan yang liberal. Padahal omong kosong bisa membangkitkan ekonomi rakyat kecil kalau ekonomi kita masih menganut sistem liberal. Tak heran bila akses masyarakat kecil untuk mendapat dana bantuan selalu terhalang.

Coba hitung, berapa banyak bank negara yang berpihak pada rakyat kecil. Bisa hitung jari karena saya praktisi di daerah. Jika masyarakat di pedesaan yang mengajukan kredit pasti dipersulit. Sebaliknya, kalau pengusaha yang mau bangun real estate pasti mudah sekali. Ini kan aneh. Inilah yang harus diubah. Kita butuh program transformasi bangsa. Contoh lain, kita ini negara agraris, lahan sawah terbentang luas, tapi petani kita tetap miskin. Pada saat harga pangan naik, seharusnya mereka merdeka, tapi apa yang terjadi, petani tetap miskin. Begitu juga ketika panen, harga anjlok, saat itu juga tidak ada keberpihakan pemerintah yang mau menalangi kerugian mereka. Banyak sekali regulasi yang tidak menguntungkan petani.

Sebagai mantan bupati, seberapa tinggi elektabilitas Anda?

Insya Allah dengan tidak mau mendahului kuasa Tuhan, saya bisa lolos. Karena selama ini saya turun dengan pola saya sendiri, penerimaan dan sikap masyarakat tetap bagus dan baik. Bahkan meski saya sudah dikenal, tapi saya masih tetap mau menginap di rumah-rumah penduduk. Hampir setiap minggu saya turun ke masyarakat yang ada di dapil Sulsel 2 guna menyerap apa yang mereka keluhkan. Apa saja yang mereka inginkan dan harapkan. Memang kebiasaan saya sewaktu menjadi bupati hingga detik ini masih saya lakukan.

Kadang masyarakat mengeluhkan minimnya fasilitas, infrastruktur yang rusak dan sebagainya. Tapi semua itu tidak bisa kita langsung ambil kesimpulan jika bupatinya keliru atau tidak bekerja. Saya paham betul apa yang dihadapi seorang bupati, termasuk kesulitan yang dihadapi. Ini yang akan kita ubah. Hal ini yang akan saya lakukan jika nanti dipercaya duduk di badan legislatif. Salah satunya pola kebijakan pusat terhadap kepala daerah. Saya akan berada di depan dalam perjuangan ini, khususnya dalam hal penganggaran.

Seperti apa karakter pemilih di dapil Sulsel 2?

Di beberapa daerah masih melihat caleg dari sisi kekerabatan, kekeluargaan, silsilah, garis keturunan, dan sebagainya. Tapi yang repot mereka yang pragmatis. Bukan salah mereka bersikap pragmatis, karena ini contoh yang diberikan para pemimpin kita. Tidak dipungkiri karena ini yang dilakukan elite politik, mereka yang mengajarkan masyarakat menjadi pragmatisme. Karena masyarakat dalam kondisi butuh, ya tidak salah kalau mereka terima pemberian itu. Di beberapa daerah memang banyak yang diimingi-imingi, tapi saat ini mereka sedikit terbuka pemikirannya, bahwa mereka terima apa yang diberikan para politisi, tapi masalah pilihan kembali lagi pada hati nuraninya.

Bagaimana upaya Anda untuk mengantisipasi hal itu?

Dalam setiap kesempatan, saya hanya menyampaikan apa yang pernah saya perbuat di Sinjai sebagai bupati. Mereka bisa lihat. Kalau saya dianggap gagal, mereka boleh tidak memilih saya, tapi kalau mereka anggap saya berhasil, Insya Allah apa yang pernah perbuat di Sinjai itu akan saya lakukan juga untuk daerah lainnya. Jadi mereka akan melihat kinerja dan sepak terjang saya selama ini.

Berapa kursi target Gerindra Sulsel?

Saya tidak sesumbar, saya melihat dari kondisi sekarang kita targetkan sembilan kursi. Setiap dapil masing-masing tiga kursi. Kalaupun ada dapil yang hanya meraih dua kursi, bisa ditutupi dari dapil lainnya.

Selama ini kendala apa yang dihadapi?

Yang pertama adalah kesadaran dari kader sendiri, khususnya caleg. Artinya masih banyak caleg krasak-krusuk yang tidak mempunyai basis lalu mengganggu basis caleg lain. Ini akan kita benahi. Kedua, kita tidak sama dengan partai lain yang memiliki amunisi besar, karena keterbatasan kemampuan finansial para caleg. Maka kita harus bermain dengan pola yang efisien dan efektif untuk meraih simpati masyarakat. Tidak hanya pasang baliho, spanduk, stiker lalu tanpa turun ke lapangan menyapa, menyentuh langsung masyarakat. Cara ini akan sejalan dengan target pencapaian, mulai dari DPR kabupaten/kota. Provinsi dan pusat suaranya akan sama.

Selama ini terobosan-terobosan terus kita lakukan, membuat  tren Gerindra pun terus meningkat. Tak heran jika Partai Gerindra Sulsel banyak diganggu, baik dari dalam maupun dari luar. Memang, intrik-intrik semacam itu sengaja digulirkan yang bisa saja mengganggu soliditas kader Partai Gerindra Sulsel. Celakanya, banyak teman-teman yang bermain dalam area-area itu. Saya ingatkan kepada mereka bahwa kemenangan kita adalah kemenangan rakyat Sulsel. Kemenangan rakyat Sulsel inilah yang akan mengantarkan target akhir Partai Gerindra di Pemilu 2014 untuk mengantarkan Pak Prabowo sebagai presiden. Setidaknya kita akan mencapai target 24-30 persen, makanya saya pasang target 9 kursi. Andai itu meleset, paling satu atau dua kursi. Saya selama ini melakukan pemetaan, setiap dapil akan merata kursinya. Kalaupun bergeser itu akan saling menutupi.

Jika terpilih nanti, apa yang akan Anda lakukan?

Yang pasti kita akan sukseskan 6 Program Aksi Transformasi Bangsa. Bagaimana caranya kita berjuang di parlemen mulai dari legislasi hingga penganggaran dan pengawasan. Apalagi kalau Ketua Dewan Pembina kita berhasil menduduki kursi kepresidenan, tentu saja ini akan lebih lancar lagi. Saya berharap ini akan terwujud. Karena inilah tujuan akhir dari perjuangan Partai Gerindra di momen Pemilu 2014. Sehingga kita di dewan tinggal mengawal, memperbaiki, apa-apa yang selama ini menjadi kelemahan harus kita ubah.

Yang pertama dilakukan adalah pasti tatib DPR harus kita ubah, karena banyak persoalan muncul. Termasuk pula beberapa undang-undang yang ada juga harus diperbaiki. Sebagai  praktisi hukum, saya menilai apa yang dilakukan DPR selama ini dalam membuat udang-undang bertahun-tahun, bahkan sampai studi banding ke luar negeri, seringkali sia-sia. Bayangkan saja, setelah disahkan DPR, hanya butuh waktu semalam undang-undang itu dibatalkan oleh Mahkamah Konstutusi (MK).

Pertanyaan saya, MK punya dasar tidak, padahal yang berhak membatalkan undang-undang itu adalah rakyat,  diwakili DPR. Inilah yang akan jadi fokus kita. Kita akan buat undang-undang dengan baik sesuai keinginan rakyat, sehingga tidak perlu lagi ada pembatalan. Kalau pun ada masalah DPR lah yang membatalkan bersama pemerintah, bukan lembaga lain. Karena jelas dalam pasal 2 ayat 1, pemerintah bersama DPR membuat undang-undang. Selama ini undang-undang selesai dibuat dengan dana bermilyar-miliyar, tapi hanya dalam hitungan minggu dibatalkan di MK. Jika kondisinya seperti ini, apa yang terjadi di negari ini?.

Selain itu soal anggaran ke daerah yang terlalu berbelit-belit. Ini yang harus diperbaiki, sehingga tidak ada lagi permainan-permainan, sehingga muncul kasus antara Bupati dan DPR, Menteri dan Bupati kongkalikong menyangkut masalah pembagian anggaran. Harusnya APBN sebagai sumber pendanaan pembangunan itu dibagi rata. Bagaimana mereka mengelolanya diserahkan ke daerah masing-masing. Soal kemudian ada penyimpangan, itu kan ada kewenangan kejaksaan dan kepolisan.

Apa pesan dan harapan Anda lewat Pemilu 2014 ini?

Bagi saya, inilah saatnya jika masyrakat Sulsel mau berubah dengan memilih caleg tingkat kabupaten/kota, provinsi hingga pusat yang punya kapabilitas, kemampuan, yang mampu membawa perubahan bagi rakyat Sulsel sendiri. Jangan lagi tergiur dengan janji-janji yang pada saatnya caleg-caleg janjikan, tapi setelah terpilih tidak datang lagi. Itulah pelajaran yang harus mereka petik dari momen sebelumnya. Bisa jadi mereka dapat 100 ribu rupiah, tapi setelah dipilih tidak datang, lalu pada saat pemilihan berikutnya datang lagi. Rasanya ini bukan saja terjadi di Sulsel, tapi juga di banyak daerah lainnya.[G]

Catatan:

  • Artikel ini ditulis dan dimuat untuk Majalah GARUDA edisi Oktober 2013
  • Pada Pemilu 2014 ini, Andi Rudiyanto Asapa maju sebagai calon legislatif (caleg) DPR-RI dari Partai Gerindra nomor urut 1 dari daerah pemilihan (dapil) Sulawasi Selatan 2.

Lebih Dekat Dengan Edy Budiyarso : Perjuangan Amanat Rakyat

Wajah dan namanya, sudah tak asing lagi bagi para pedagang warteg di Jakarta. Maklum sebagai orang Tegal, Edy Budiyarso getol memperjuangkan nasib warung tegal yang tersebar di beberapa sudut ibu kota. Ia menolak tegas penerapan wajib pajak 10 persen bagi Warteg (Warung Tegal) oleh Pemda DKI Jakarta beberapa waktu lalu. Gerakan perlawanan yang dilakukannya itu memang bukan hal yang luar biasa, tapi sangat berarti bagai para pemilik warteg.

CALEG DPR-RI DAPIL JAWA TENGAH 9 NO URUT 5

CALEG DPR-RI DAPIL JAWA TENGAH 9 NO URUT 5

Putra asli Tegal ini mengaku merasa terpanggil memperjuangkan nasib para pemilik warteg, bukan karena ia putra asli daerah Tegal tapi karena panggilan jiwa. “Saya tak tega melihat nasib penjaja makanan murah yang makin terpinggirkan dengan aturan-aturan dari Pemda DKI,” kata mantan wartawan Majalah Tempo ini. Baginya, perjuangan yang sesungguhnya adalah memperjuangkan nasib masyarakat kecil. “Ikut berjuangan bersama mereka jauh lebih penting dari pada banyak bicara. Apalagi, sebagai rakyat kecil mereka acapkali merasa berjuang sendiri meski punya wakil-wakil di Senayan,” kata Edy.

Pria kelahiran Tegal ini menegaskan, masyarakat Tegal yang berada di perantauan dan di kampung halamannya,  menginginkan ikhtiar perjuangan seperti itu tak berhenti di sini, tapi dilanjutkan agar lebih maksimal.

“Mereka pun meminta saya untuk maju sebagai calon wakil rakyat mereka di Senayan,” ungkap Edy ihwal keinginannnya maju sebagai wakil rakyat.

Bahkan sebagai ungkapan rasa terimakasih para pemilik warteg atas keberhasilan perjuangannya, mereka mendukung sepenuhnya langkah Edy memilih partai Gerindra. “Mereka kecewa dan bosan pada politisi yang hanya pamer muka menjelang pemilu, tapi setelah terpilih menghilang entah kemana,” ungkap penulis buku Warteg Galau: Perjuangan Rakyat Kecil Menolak Pajak Warteg ini.

Wakil Sekretaris Ikatan Keluarga Besar Tegal (IKBT) ini pun mengakui, ia butuh waktu beberapa bulan untuk memutuskan menerima pinangan partai Gerindra. Maklum, ia ingin tahu betul visi dan misi suatu partai sebelum bergabung. Ia tak mau terjun ke politik hanya karena ikut-ikutan, tapi memang sudah panggilan jiwa. “Setelah merasa mantap dengan pilihan hati, memperlajari dan menimbang segala sesuatunya, saya merasa Gerindra yang paling tepat,” papar Sekretaris Jenderal FederasiOrgansasi Pedagang Pasar Indonesia (FOPPI) ini.

Suami dari dr Suprohaita, Sp.A ini mengakuiapa yang diperjuangkanbersama rekan-rekannyaselama ini di IKBT maupun di FOPPI, selaras dengan platform dan manivesto perjuangan Partai Gerindra. ApalagiKetua Dewan Pembina Partai Gerindra, Prabowo Subianto adalah sosok yang sudah teramat dikenalnya jauh-jauh hari sebelum partai ini lahir.

“Sudah beberakali  saya mewawancarai beliau untuk Majalah Tempo. Kebetulan, saya juga menjadi salah satu tim penulis buku tentang Pak Prabowo. Sayang buku itu belum bisa diterbitkan untuk public karena satu dan lain hal,” ucap Edy yang sudah menulis beberapa buku.

Lahir dan dibesarkan di lingkungan pendidik dan pedagang pasar, membuatnya lebih nyaman berada di pasar tradisional ketimbang pasar modern. Karena itu, lewat FOPPI, ayah tiga anak ini kerap memberikan advokasi bagi para pedagang pasar dalam menghadapi beragam masalah. Usai lulus dari bangku SMA, Edy melanjutkan ke Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Sembari kuliah, di tengah kesibukannya mengelola Lembaga Pers Mahasiswa,ia pun tak canggung menjadi pelayan di sebuah warteg. Sebab dengan begitu,  ia bisa merasakan dan betul, persoalan apa yang dihadapi para pedagang pasar dan pemilik warteg.

Di sela-sela kesibukannya sebagai Produser Eksekutif SINDOTV, Edy yang tengah menempuh magister hukum di Universitas Trisakti Jakarta ini memaparkan pandangan politiknya. Dan, apa yang melatarbelakangi ia maju sebagai caleg DPR-RI dari dapil Jawa Tengah 9 nomor urut 5, kepada Hayat Fakhrurrozi dari Majalah Garuda. Berikut petikannya:

Bisa diceritakan aktivitas keseharian Anda?

Saya profesional di media. Saat ini saya produser eksekutif di SINDOTV di bawah bendera MNCGrup.Di luar aktifitas itu saya menjabat Sekretaris Jenderal Federasi Organisasi Pedagangan Pasar Indonesia (FOPPI), bersama KH Gus Solah sebagai Dewan Syuro. Kamikerap mengadvokasi persoalan-persoalan yang dihadapi para pedagang pasar tradisional yang tersebar di negeri ini. Saya juga aktif di Ikatan Keluarga Besar Tegal (IKBT) Bahari Ayu.

Apa saja yang telah Anda lakukan?

Lewat organisasi itulah, saya bersama teman-temanmengadvokasi dan memenangkan gugatan pedagang Blok B Tanah Abang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, setelah berjuang selama setahun.Tahun 2010 lalu, saya juga diminta pedagang warteg di Jakarta yang resah dengan rencana penerapan pajak 10 persen bagi warteg. Setelah berjuang bersama segenap elemen masyarakat asal Tegal yang tergabung dalam IKBT, termasuk Bambang Koesoemanto, putra asli Tegal, akhirnya kami berhasil. Kebetulan Bambang adalahdoktor ekonomi dan master perpajakan dari Universitas Illinois, Amerika Serikat,yang bekerja di lingkungan Kementerian Keuangan dengan membentuk tim advokasi bernama Tim Sosialisasi Jaring Pengaman Sosial-IKBT.Peraturan tersebut tidak hanya ditunda, tapi kini dibatalkan oleh Gubernur Jokowi.

Kami pun pernah membantu membebaskan 12 kapal nelayan asal Tegal yang ditahan oleh Polairud Sampit, Kalimantan Barat.Dengan jaringan yang saya miliki baik di lingkungan Kepolisian dan media, kami lebih mudahmelakukan pendekatan soal masalah yang dihadapi para nelayan itu.Berkat bantuan para petinggi yang ada di Polri, akhirnya saya dan temen-teman nelayan yang tadinya mau berdemo tidak jadi, tapi menjemput para nelayan itu di Muara Karang.

Lalu, bisa Anda ceritakan kapan bergabung ke Partai Gerindra?

Sewaktu mencuatnya kasus perseteruan antar warga pribumi Lampung dan Bali, kami mengundang Ahmad Muzani politisi yang mewakili dapil Lampung yang tak lain Sekretaris Jenderal Partai Gerindra sebagai narasumber di acara talkshow.Usai menjadi narasumber, saya berbicara empat mata dengan beliau tentang banyak hal.Salah satunya adalah upaya perlawanan saya soal pajak warteg.Waktu itu, beliau langsung mengajak “kamu bergabung saja di Gerindra biar lebih maksimal perjuangannya.”

Saat itu, saya biasa-biasa saja. Tapi setelah saya mengkaji dan berdiskusi panjang lebar termasuk dengan warga Tegal yang tergabung dalam IKBT, mereka malah medesak saya untuk mengambil kesempatan itu.Lagi-lagi saya butuh waktu dua bulan untuk memutuskan bergabung dengan Gerindra.Hingga pada waktu perekrutan caleg, saya pun mendaftarkan diri di Gerindra.Semua proses saya lalui dan akhirnya saya yang asli putra Tegal dinyatakan lolos sebagai caleg Partai Gerindra nomor urut 5, untuk dapil Jawa Tengah 9.

Kenapa Anda memilih bergabung dengan partai Gerindra?

Kita melihat dalam situasi dan kondisi negara ini ada yang aneh. Sistem presidensial hasil koalisi, tapi kok dikritisi habis-habisan oleh partai koalisinya sendiri. Kepemimpinan nasional jadi tidak efektif dan tampak keteteran.Sadar atau tidak, rakyat yang jadi korbannya. Belum lagi ketimpangan-ketimpangan yang terjadi di depan mata. Ketiadaan keberpihakan penguasa kepada rakyatnya.Jadi jangan heran kalau banyak kalangan menilai,seakan-akan rakyat ini menjadi yatim piatu di negerinya sendiri.Sudah tidak punya orangtua, teman sebagai tempat mengadu pun tidak ada.Iniah yang dirasakan rakyat kecil, kaum pinggiran yang kadang menjadi komoditas politik belaka.

Gaya kepemimpinan, keberpihakan kepada petani, nelayan dan rakyat kecil lainnya serta semangat anti korupsi yang terus dikobarkan Pak Prabowo menjadi magnet buat saya untuk bergabung. Belum lagi konsep ekonomi kerakyatan dan integritasnya terhadap bangsa dan negara ini, begitu tinggi.Semua itu saya ketahui dan pelajari jauh sebelum saya bergabung di Gerindra.Beberapa kali saya berkesempatan mewawancarai beliau ketika masih di Tempo termasuk waktu menjadi tim penulis buku beliau.

Sejak kapan Anda bersentuhan dengan dunia politik?

Saya memang masih hijau di politik praktis, meskisudah lama sebagai wartawan politik di Tempo. Dari sana pula saya banyak belajar tentang politik. Bagaimana menjalankan sebuah kebijakan politik dan segala intrik-intriknya.Namun, saya sebagai wartawan investigasi jugamemberitakan banyak skandal-skandalyang ada di negeri ini. Kalau dilihat dari hasilnya,tentu tidak jauh beda dengan apa yang dikerjakan DPR, karena sebagai wartawan saya juga bisa melakukan kontrol sosial. Jadiwartawan itu ibarat politisi tanpa parpol.

Soal politik praktis saya banyak mempelajarinya dari para politisi, parpol maupun pengamat politik. Bahkan saya jadi wartawan politik pada saat kondisi perpolitikan nasional sedang genting-gentingnya. Karena kerap bergaul, bersentuhan dengan para politisi, tak jarang tawaran berdatangan dari para politisi untuk bergabung di partainya.Tapi kebanyakan dari mereka hanya sekadar menawarkan saja, tidak serius, jadi saya pun menanggapinya dengan santai.

Apa motivasi Anda maju sebagai caleg?

Yang jelas, ingin melihat Indonesia lebih maju, lebih baik dan sejahtera.Semua itu bisa terwujud karena kita memiliki potensi untuk maju dan berkembang.Tapi rupanya impian kita selalu diabaikan oleh pemimpin. Contoh kecil, dulu rakyat kecil begitu susah mendapat pelayanan kesehatan, sekarang dengan adanya Kartu Jakarta Sehat  (KJS) semua bisa menikmati layanan itu. Seperti yang dialami seorang balita yang divonis mengalami gagal jantung sejak berusia 1 tahun, tapi baru bisa di operasi di RSCM setelah menunggu 5 tahun saat diberlakukannya KJS. Padahal rumahnya hanya selemparan batu dari RSCM. Hal-hal seperti ini kan membiuat kita sangat miris.

Meski sejak dulu istri saya itu antipati pada politik, tapi ketika saya memutuskan terjun di politik praktis, dia malah mendukung. Sejauh apa yang saya lakukan untuk masyarakat, dia selalu mendukung. Saya maju bukan untuk diri sendiri, tapi buat masyarakat. Kalau untuk diri sendiri, saya rasa sudah cukup, ngapain ke Senayan. Tapi karena ini ada permintaan warga Tegal, kampung halaman sendiri, jadi saya ikhlas. Paling tidak mereka menilai selama ini saya sudah melakukan hal-hal yang kecil, tapi berniali besar untuk menuju perubahan.

Para sesepuh Tegal juga mendesak saya untuk maju,karena selama ini wakil rakyatnya banyak dari daerah lain.Tak heran bila ada budayawan Tegal yang bilang wakil rakyat yang ada selama ini hanya pamer rai, hanya pada saat Pemilu saja, tapi setelah itu mereka jangankan turun melihat saja tidak.Akhirnya pada saat seleksi bacaleg, saya pun meminta di dapil Jateng 9. Saya kan maju atas tapi permintaan warga dan kebetulan  memiliki jaringan di akar rumput di dapil tersebut.

Target Anda?

Menang. Tentu saja agar  bisa mewakili tanah kelahiran demi sebuah perubahan sebagaimana yang dicanangkan Partai Gerindra. Saya lebih fokus menggarap Kabupaten/Kota Tegal saja, karena di Brebes sudah banyak tokoh-tokoh lain yang maju. Setidaknya untuk bisa meraih kursi itu minimal harus meraup suara 75ribu. Mudah-mudahan saya bisa maju. Memang, targetdi dapil Jateng 9 hanya satu kursi, tapi saya melihat Gerindra memiliki potensi untuk mendapat dua kursi.

Bagaimana tanggapan masyarakat yang ada di dapil Anda?

Alhamdulillah, kesadaran mereka untuk memilih wakil rakyat dari kampung sendiri sudah terbangun. Karena mereka mengenal saya, lebih mudah mencari tahu apa-apayang saya lakukan nanti. Mereka bisa menyampaikan apa yang menjadi keinginan mereka kepada orangtua saya, para kyai, guru dan tokoh masyarakat. Yang terjadi selama ini, mereka tidak tahu untuk mengontrol wakilnya kemana? Kalau nanti saya terpilih, mereka tinggal mendatangi rumah saya.

Menurut Anda, politik itu apa?

Politik itu jalan yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki kondisi agar menjadi lebih baik.Sejauh ini Partai Gerindra adalah partai politik yang lahir dan berjuang bersama dengan ideologi yang selama ini saya lakukan dan yakini.

Apa harapan Anda?

Mudah-mudahan kami yang sedang berikhtiar ini bisa melaluinya dan menjalankan amanah rakyat. Amanah ini akan saya perjuangkan, meski selama ini saya sudah melakukan apa-apa yang mestinya dilakukan oleh wakil rakyat. Kalau seorang wartawan saja bisa melakukan pendekatan, advokasi,masa sebagai anggota DPR tidak bisa. Malah seharusnya bisa lebih dari apa yang saya lakukan selama ini.

Apa yang akan Anda lakukan jika terpilih nanti?

Bagi saya amanat rakyat inilah yang  harus saya perjuangkan. Selama ini dari delapan kursi yang tersedia, hasil pemilu kemarin hanya dua orang asli putra daerah, tapi tak terdengar apa saja yang telah dilakukan. Bahkan entah kemana, turun ke dapil pun tidak.Tak heran bila masyarakat merasa selalu berjuang sendiri meski punya wakil di Senayan.Kami sadar bahwa saat ini eranya otonomi daerah, yang berujung pada persaingan antar daerah menjadi keniscayaan. Jadi, bagaimana daerah itu bisa bersaing kalau tidak ada wakilnya di Senayan.Tahun 2014 nanti, saya yakin dan percaya, Gerindra pasti menang.[g]

Catatan:

  • Artikel ini ditulis dan dimuat untuk Majalah GARUDA edisi September 2013
  • Pada Pemilu 2014 ini, Edy Budiyarso maju sebagai calon legislatif (caleg) DPR-RI dari Partai Gerindra nomor urut 5 dari daerah pemilihan (dapil) Jawa Tengah 9.