Lebih Dekat Dengan Edhy Prabowo: “Perjuangan untuk Kesejahteraan Rakyat”

Namanya belum banyak dikenal di kalangan politisi negeri ini ketika ia mulai merintis jalan ke Senayan. Edhy Prabowo memang tergolong pendatang baru di panggung politik. Tapak kakinya baru menjejak gedung wakil rakyat pada tahun 2009 setelah mendulang 43,932 suara dalam Pemilu Legislatif dari Daerah Pemilhan (Dapil) Sumatera Selatan I, kampung halamannya. 

Kala itu, Dapil  Sumatera Selatan I yang meliputi Kabupaten Banyuasin, Musi Banyu Asin, Musi Rawas, Kota Palembang, dan Kota Lubuk Linggau tergolong berat. Disitu  terjadi persaingan ketat. Nama-nama politisi senior seperti Mustafa Kamal, Dodo Alex Nurdin, dan Nazaruddin Kiemas ikut bertarung memperebutkan suara. Tapi Edhy lolos dalam persaingan. Reputasi itu menunjukkan pria 39 tahun ini tidak bisa dipandang sebelah mata.

Adakah nama Prabowo di belakang namanya memberi andil keberhasilan itu? Edhy tidak menyangkalinya. Pria kelahiran Tanjung Enim, 24 Desember 1972 itu bilang, ”Nama Prabowo ternyata membawa berkah tersendiri. Banyak orang mengira saya ini anak Pak Prabowo. Padahal saya hanya anak angkat.”

Ya, ada sejarah tersendiri bergabungnya Edhy di partai berlambang kepala burung garuda ini. Bahkan jauh sebelum partai itu lahir, Edhy telah mendapat gemblengan dari Prabowo. Kala itu, di 1991 ketidakjelasan status dan nasibnya usai dikeluarkan dari Akabri diselamatkan oleh tokoh yang menjadi idolanya itu. Di tangan Prabowo inilah, Edhy dan kelimabelas temannya dibina menjadi manusia andal. Selain dikuliahkan di Fakultas Ekonomi Universitas Moestopo Jakarta, Edhy pun diminta untuk menekuni ilmu beladiri pencak silat setiap akhir pekan di bilangan Batujajar, Bandung. Dari penggemblengan itulah, ia pun tampil sebagai salah satu atlit pencak silat andalan nasional.

Keberuntungan Edhy tak berhenti sampai disitu. Seiring berjalannya waktu, ia pun dipercaya oleh Prabowo untuk mendampinginya kala memulai membuka usaha di negeri Jerman dan Yordania. Sehingga Edhy pun berhasil meraih gelar Master of Business Administration (MBA) di salah satu universitas ternama di Swiss.

Sebagai pendatang baru, mantan atlit pencak silat nasional ini tak pernah gentar sejengkal pun dalam menunaikan tugasnya. Termasuk ketika harus beradu argumen dengan kawan dan lawan politiknya memperjuangkan nasib rakyat baik di dalam maupun di luar parlemen. Pasalnya, tampilnya sebagai wakil rakyat merupakan titah dari sang ayah angkatnya, Prabowo. Baginya perintah adalah tugas dan harus sukses dijalankan dengan hasil menang. Sudah harga mati, apapun harus dilakukan, tidak ada main-main.

Kini, selain sibuk sebagai anggota dewan yang duduk di Komisi VI dan Sekretaris Fraksi, ayah dua orang anak ini juga menjabat sebagai Ketua Bidang Pendidikan dan Latihan (Diklat) Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Gerindra. Lantas seperti apa perjuangan yang dilakukan politisi muda –yang juga mengurusi perguruan silat Satria Muda Indonesia— dalam menjalankan tugasnya? Kepada Hayat Fakhrurrozi dari Garuda, orang yang bertanggungjawab penuh dalam urusan diklat kader ini memaparkan secara gamblang di ruang kerjanya beberapa waktu lalu. Berikut petikan wawancaranya.

Bisa diceritakan aktivitas Anda di DPR?

Saat ini saya masih diamanatkan untuk duduk di komisi VI. Di komisi ini menjadi mitra kerjanya adalah Kementrian BUMN, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Koperasi, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Badan Standar Nasional (BSN), Badan Perlindungan Konsumen Nasional dan Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU)

Apa saja yang tengah di perjuangan Fraksi Gerindra di Komisi VI ini?

Kita terus semangat, dengan manisvesto partai yang kita perjuangkan selama ini. Seperti menolak privatisasi BUMN, semangat industrialisasi, hentikan ekspor barang mentah, kurangi impor, apa yang bisa kita produksi sendiri lebih baik diproduksi di dalam negeri, lalu keberadaan koperasi harus bisa dirasakan langsung manfaatnya rakyat. Memang, partai baru seperti Gerindra tidak mungkin dengan kekuatan hanya 26 kursi bisa bicara segala-galanya, tapi setidak-tidaknya kita harus tetap pada pendirian dan garis perjuangan kita yakni untuk menegakkan kedaulatan Negara kita di kancah dunia internasional.

Ada apa dengan BUMN kita?

Gerindra tetap dalam perjuangannya menolak segala privatisasi BUMN, apapun bentuknya. Setidaknya, ada lebih dari 140 BUMN yang harus diawasi, belum lagi anak perusahaan bahkan cucu perusahaannya. Meski tenaga dan waktu yang kita miliki terbatas, namun kita tetap bekerja keras jangan sampai BUMN diobral begitu saja seperti kasus Krakatau Steel beberapa waktu lalu. Dan dengan asset Rp 2400 triliun, BUMN harusnya untung minimal 10 persen. Selama ini hanya hanya untung tidak lebih dari Rp 100 triliun.

Bagaimana dengan sektor perindustrian dan perdagangan?

Ya, selain masalah BUMN, kita juga mendesak bagaimana kementrian ini meningkatkan semangat industrialisasi dalam negeri. Pasalnya selama ini seolah tidak ada perlindungan pada industri dalam negeri. Hal ini tampak dari tingginya biaya ongkos produksi yang harus dikeluarkan pelaku usaha yang masih berkisar 12 persen, sementara di negara lain bisa ditekan hingga 6 persen. Hal ini diperparah lagi dengan adanya Surat Keputusan Menteri Perdagangan RI yang memberikan ijin impor barang jadi oleh produsen dalam negeri.

Tak heran bila, pengusaha sepatu dalam negeri Cibaduyut misalnya, lebih senang mengimpor barang jadi, dari pada bikin lebih baik beli dari China misalnya. Jadi semangat industrialisasi sudah tidak ada. Belum lagi industri batik di Pekalongan yang terus tergerus dengan membanjirnya batik asal China, industri CPO (Crude Palm Oil), padahal CPO itu ada 69 produk turunan hingga ke minyak goreng itu sendiri. Untuk itu, kita terus mendesak pemerintah agar tidak lagi ekspor bahan mentah, seperti karet CPO, alumimium, bouksit dan bahan mentah lainnya. Kita harus banyak belajar dari negara susah yang sekarang maju. Padahal Indonesia kan Negara besar, kaya, potensi pasarnya juga besar, kenapa tidak bisa. Harusnya, sektor perdagangan dan industri ini mendingan jadi satu kementrian. Karena selama ini dua kementrian itu tidak pernah sinkron.

Bagaimana pula dengan mitra kerja lainnya?

Untuk koperasi, setidaknya kini ada kemajuan dalam penyaluran KUR (Kredit Usaha Rakyat) yang tadinya hanya Rp 5 juta kini menjadi Rp 20-25 juta. Lalu keberadaan KPPU setidaknya mampu telah mampu menyelamatkan uang Negara dari persaingan usaha, namun masih harus dioptimalkan lagi. Sementara BSN lewat SNI-nya hingga kini belum bisa tegas dalam penerapannya di lapangan. Begitu pula dengan BKPM harus lebih selektif dalam menerima masuknya modal. Harus ada take and give, selama ini tidak ada.

Bicara soal standar mutu, bagaimana dengan mutu manusia Indonesia?

Bicara soal indeks pembangunan manusia, saya tidak punya data persis. Saya hanya bisa menyimpulkan sederhana saja, bahwa di dunia usaha, ketika saya mau memilih tenaga kerja, saya lebih memilih orang Indonesia. Manusia Indonesia terkenal dengan loyalitas, mudah diatur dan taat pada aturan kerja, asal jangan disakiti mereka. Saya melihat inilah salah satu keunggulan Negara kita, sumberdaya manusia yang melimpah, tinggal bagaimana upaya kita untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia yang melimpah ini.

Saya tidak setuju orang yang mendiskreditkan bangsa Indonesia yang lemah dan tidak bisa apa-apa. Indonesia itu bangsa yang hebat, sifat asli bangsa kita menerima, melayani, semangat, kerja keras. Nah sekarang kenapa manusia gampang marah?, karena tidak ada perhatian pemerintah terhadap nasib mereka.

Selain memperjuangkan aspirasi rakyat, sebagai pimpinan fraksi apa yang dilakukan terhadap anggota?

Ya, kita juga mengontrol teman-teman di fraksi untuk tetap solid, konsisten dan komitmen dengan apa yang diperjuangkan selama ini. Selama ini kita konsisten dan berhasil menggagalkan pembangunan gedung baru misalnya, yang bagi kami itu sesuatu yang mewah. Kita juga tetap mengawasi kelanjutan kasus century. Kemudian kita juga tetap melarang anggota untuk studi banding.

Soal studi banding yang hingga kini masih dilakukan DPR, solusi Gerindra sendiri bagaimana?

Karena kita dilarang studi banding, maka selama ini kita mencari dari internet. Kalaupun harus pergi, mendingan mengirim staf ahli yang memang sesuai keahliannya, dibanding kita yang tidak menguasai semua. Setelah itu kalau memang benar, baru komisi yang bersangkutan kirim beberapa orang untuk mengkroscek. Jadi DPR itu bukan untuk ke luar negeri. Kalau memang mau ke luar negeri ya silahkan, itu ada waktunya sendiri dan biaya sendiri tentunya.

Sebagai Ketua Bidang Diklat DPP Gerindra, sejauhmana pengkaderan selama ini?

Yang jelas sebagai suatu parpol yang baru jangan pernah bermimpi untuk bisa besar tanpa pengkaderan dan pembinaan  di dalamnya. Jangan pernah bermimpi kita memang, kalau kita tidak menertibkan individu-individu kader di dalamnya. Tertib dalam artian, penguasaan dia sebagai kader, pengetahuan dia terhadap partai, kesadaran dia sebagai orang partai. Artinya perlu konsep kaderasisasi, supaya dia sadar kenapa dia di Gerindra.

Di masa-masa awal, sebelum dilakukan pengkaderan, kita melihat kelemahan begitu banyak. Kala itu 2008, Gerindra tampak begitu besar, dikenal masyarakat dan diprediksikan bakal terjadi tsunami politik, asumsi itu memang benar, tapi nyatanya, kita hanya bisa meraih lima persen. Ini menunjukkan kemenangan tidak hanya diraih dengan opini. Tapi harus dengan kerja keras di lapangan. Nah, pertanyaan apakah kader-kader Gerindra di lapangan sudah kerja keras?

Menurut saya belum, kalau semangat iya, militan iya, loyal iya, tapi apakah ia bekerja keras? Jawabnya belum. Apakah dia bersatu? Belum. Kalau kita tanya kader Gerindra militan? Jawabnya pasti iya, buktinya ketika ada yang ngomongin Gerindra, mereka marah. Tapi apakah militan mereka bisa kerja sama? Kita lihat antar sayap saja masih lirik-lirikan. Antar pengurus DPC, DPD dan DPRD saling ancem-anceman. Dari situ, akhirnya Dewan Pembina melihat pentingnya pembekalan dan kaderisasi. Inikan pondasi kita, rumah tanpa pondasi akan runtuh, partai tanpa kader yang kuat dan mengerti akan partai itu sendiri, manivesto perjuangan dan semuanya, jangan harap partai itu akan menang. Walaupun ini bukan segala-galanya.

Lalu apa yang dilakukan bidang Diklat?

Program kaderisasi melalui pendidikan dan pelatihan yang kita adakan selama ini masih terus berjalan. Memang, ada yang beranggapan kaderisasi cuma tujuh hari bagaimana bisa? Menurut kami, tujuh hari juga bisa menjadi ‘sesuatu’ yang hebat kalau dia sebagai kader implementasikan di lapangan. Misalnya dengan mengumpulkan satu hari satu orang calon anggota dalam setahun akan ada 360 orang anggota. Inilah kuncinya. Penyatuan visi misi dengan semangat militansi, pada akhirnya menjadi suatu keharusan dan mutlak. Tidak mungkin kita bisa menang, tanpa kekompakan, tanpa satu visi misi.

Dengan harapan sepulang dari pembekalan itu, tidak ada lagi barrier, tidak ada lagi penghalang antara ketua DPC dengan pengurus yang lain. Tidak ada lagi saya orangnya ini, saya dekat dengan ini. Semua adalah satu Gerindra, satu komando di bawah komando Pak Prabowo, sebagai Ketua Dewan Pembina. Selain beliau, ada kakaknya, ada adiknya, semua kerja keras. Dan kita semua sepakat calon presiden kita adalah Pak Prabowo. Bagaimana hal itu bisa terwujud? Ya harus mencapai 20 persen. Bagaimana caranya? Kita harus sama-sama kerja keras, dan jangan ada lagi penghalang atara ketua DPC dengan DPRD, DPC dengan DPD. Lupakan itu semua dulu.

Selama ini hasil dari pendidikan dan latihan itu bagaimana?

Saya optimis, dari antusiasme kehadiran mereka, semakin ke sini semakin bagus. Setidaknya sekarang ini sudah hampir 6.000 kader terlatih. Salah satu standarnya untuk melihat bagus tidaknya kader, bisa dilihat dari acara pelantikan-pelantikan DPC. Daerah mana yang sudah dilatih dan mana yang belum. Saya tidak bicara 100 persen. Karena konsep kita kalau targetnya 100 persen, kader yang datang itu kita anggap memiliki pengetahuan 20 persen. Pulang dari diklat, saya tidak bermimpi mereka akan 100 persen, 80 persen pun tidak. Cukuplah 60 persen.

Kalau pulang mereka dengan kualitas 60 persen dari yang sebelumnya berarti ada tambahan 40 persen, berarti kan ‘sesuatu’ kita menanamkan kepada mereka. Jangankan 60 persen, kalaupun hanya mampu 40 persen, berarti selisihnya 20 persen, itukan ‘sesuatu’ dalam waktu 6 hari. Setidaknya jika dengan menambahkan 40 persen kemampuan mereka, maka indikator ini menunjukkan adanya semangat dan kemampuan mereka meningkat tiga kali lebih besar. Rasa ego mereka tiga kali lebih berkurang. Itu yang kita harapkan.

Nah, bahwa nanti ada satu dua yang masih berkasus ini dan itu, kita anggap bagian dari dinamika politik. Karena politik itu ibarat persimpangan yang jalannya banyak sekali. Dimana satu titik didatangi unsur yang banyak. Ibarat tubuh masuknya dari pori-pori, dari organ-organ yang lain semua masuk. Ya, itu hakekatnya bagaimana kita memanfaatkan apakah menjadi postif atau negatif. Tentu kita harus berpikir positif terus, dengan tetap pada cita-cita kita yaitu adanya perubahan besar di negara kita ini benar-benar terjadi. Supaya rakyat kita bisa mengenyam kemerdekaan di negaranya sendiri. Merasa merdeka di negerinya sendiri.

Pesan Anda selaku Ketua Diklat untuk para kader?

Yang jelas, lupakan masalah pribadi, ego pribadi, kembali ke visi misi kita yang utama untuk menang di 2014. Sakit hati biarlah saat ini kita tahan dulu. Tidak suka biarlah kita buang dulu, mari kita sama-sama untuk meraih 20 persen, biar Pak Prabowo tidak sulit lagi jadi calon presiden. Apapun masalahnya bisa diselesaikan. Jangan berkecil hati karena tidak dekat dengan Pak Prabowo, tidak kenal dengan Pak Hashim. Jangan kecil hati karena hanya berjuang di tingkat DPC. Mudah-mudahan ini menjadi salah satu penyeimbang diantara sekian banyak orang-orang yang masih berpikir akunya masih tinggi dan menonjol.

Lantas harapannya Gerindra sendiri apa?

Kita tidak muluk-muluk dan punya harapan besar. Selama ini hanya tiga hal utama yang diimpikan masyarakat kita. Pertama, bangun tidur, bagaimana saya bisa makan tanpa harus meminta-minta, tanpa harus susah-susah mencari kemana-mana. Kedua, bangun tidur saya bisa nganter anak ke sekolah tanpa harus takut uang sekolah belum dibayar, buku tidak ada, baju tidak punya, sepatu tidak ada. Ketiga, bagun tidur, bagaimana ketika bangun pagi, melihat anak saya sakit, saya bisa membawa dia ke rumah sakit, tanpa bingung dengan biayanya dari mana.

Saya rasa, tidak ada yang lain. Tidak ada orang tua yang pusing kalau besok bangun tidur, anaknya tidak bisa jalan-jalan berdarmawisata dengan sekolahnya. Yang penting tiga hal itu. Mungkin itu nanti bisa jadi yang utama. Jangankan yang itu, yang penting tiga hal ini terpenuhi dulu. Mati lampu tidak ada masalah, yang penting bisa makan, bisa sekolah. Jalanan jelek tidak masalah, asal masih bisa sekolah. Itu yang kita harapkan, kebutuhan mendasar yang harus kita lakukan.

Inilah pemikiran sederhana yang harus kita tangkap. Masih banyak rakyat kita yang belum bisa memenuhi tiga hal utama itu. Ini tugas bersama, jangan pernah bermimpi kita akan menang kalau tidak ada kerja keras. Tapi ingat percayalah perjuangan kita ini sangat bernilai. Karena tiga tahun setelah ini tidak ada jaminan negara kita ini masih ada. Daripada tidak ada kepastian dan jaminan, mendingan kita yang kerja keras untuk kita rebut, biar kita yang berkuasa. Dan yakinlah, perjuangan kita ini menjadi suci, luarbiasa sakralnya. Perjuangan kita bukan menang untuk berkuasa, tapi menang berkuasa untuk kesejahteraan rakyat. Bisa saja setelah ini, saya tidak jadi DPR, asal Pak Prabowo presidennya dan Gerindra menang.

Pertanyaan terakhir, meski penting tidak penting, soal nama belakang Anda yang menggunakan nama Prabowo, bisa Anda jelaskan?

Sejak lahir orangtua saya memberi nama Edhy Prabowo. Dulu saya biasa dipanggil Bowo. Nah, pas ikut Pak Prabowo, akhirnya saya dipanggil Edhy. Jelas saya punya kebanggaan sendiri namanya sama dengan tokoh yang saya idolakan sejak kecil. Nah, itu yang membuat saya lebih semangat.

Bisa jadi adanya nama ‘prabowo’ itu, saya dikira anak Pak Prabowo. Tapi memang, saya tidak mengelak ketika orang bilang anak Pak Prabowo, karena saya merasa sebagai anak angkat beliau. Karena saya dibesarkan beliau sejak saya tidak jelas statusnya, sejak dipecat dari Akabri, tidak ada orang yang mau menerima, kecuali Pak Prabowo yang akhirnya menguliahkan kami. Apakah saya tidak boleh menganggap beliau sebagai ayah angkat saya. Yang jelas, tidak ada niat untuk mengakui apapun saya sebagai anak kandung beliau. Saya hanya anak angkat yang diselamatkan beliau. Dan tidak semata-mata ngaku jadi anak angkat Pak Prabowo. Saya pikir ini menjadi anugrah tersendiri dan menjadi keberuntungan saya. Saya yakin kesamaan nama ini yang membuat orang-orang begitu gampang mengenal saya baik waktu pencalegan maupun sekarang ini. [G]

 Nama Lengkap:

Edhy Prabowo, MM., MBA.

Tempat Tanggal Lahir:

Tanjung Enim, 24 Desember 1972

Jabatan:

–          Wakil Ketua Harian Perguruan Pencak Silat Satria Muda Indonesia (PP SMI) 1997- sekarang

–          Ketua Bidang Pendidikan dan Latihan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) 2005 – sekarang

–          Ketua Bidang Pengembangan Prestasi Ikatan Pencak Silat Seluruh Indonesia (IPSI) 2007 – sekarang

–          Ketua Bidang Pendidikan dan Latihan (Diklat) DPP Partai Gerindra, 2008 – sekarang

–          Anggota DPR-RI Fraksi Gerindra, Komisi VI DPR RI periode 2009 – 2014

–          Sekretaris Fraksi Partai Gerindra DPR-RI

Catatan: Artikel ini ditulis dan dimuat untuk Majalah GARUDA, Edisi Desember 2011

 

 

 

5 thoughts on “Lebih Dekat Dengan Edhy Prabowo: “Perjuangan untuk Kesejahteraan Rakyat”

  1. Pingback: Lapangan Garuda Dipaving | bijak.net

  2. Sukses selalu pak…..smoga swatu saat kita bsa ketemu dalam satu misi yg sama……(Mantan pengurus apdesi jawa tengah..aktifis pertembakauan,sekarang sebagai penesehat -indonesian labour of saudi arabia,,,,,(translator &kordinator pekerja indonesia di saudi binladen group..tlng sms nomer bpk ke no,,+966552158932…ada hal yg akan sy sampekan ke bpk…

  3. Pingback: Membeli Pengaruh di Washington: Menelusuri Peran Hashim Djojohadikusumo | SatuTimor.com

Leave a comment