Dalam sebuah keterangan, ketika cahaya fajar 1 Syawal baru saja menyingsing di ufuk timur, mentari pun memancarkan semburat cahayanya dan mengirimkan hangatnya pagi.
Pada suatu pagi di Hari Raya Idul Fitri di Madinah. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, seperti biasa, di setiap lebaran, menyambangi rumah demi rumah untuk mendoakan kaum muslim agar merasa bahagia pada hari raya umat Islam itu.
Ya, di hari raya itu, semua tampak gembira dan bahagia, terlebih anak-anak. Mereka bermain sambil berlari-lari ke sana ke mari dengan mengenakan baju lebaran. Tiba-tiba mata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tertuju pada sebuah sudut rumah, ada seorang gadis kecil tengah duduk bersedih. Ia memakai pakaian penuh tambalan dan sepatu yang usang.
Melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menghampirinya, gadis kecil itu menyembunyikan wajahnya dengan kedua tangannya, sembari menangis tersedu-sedu. Rasul pun meletakkan tangannya di atas kepala gadis kecil dengan penuh kasih sayang, lalu bertanya dengan suaranya yang lembut, “Anakku, mengapa kamu menangis? Hari ini adalah hari raya bukan?”
Gadis kecil itu terkejut. Tanpa berani mengangkat kepalanya dan melihat siapa yang bertanya, perlahan-lahan ia menjawab sambil bercerita.
“Pada hari raya yang suci ini semua anak menginginkan agar dapat merayakannya bersama orang tuanya dengan berbahagia. Anak-anak bermain dengan riang gembira. Aku lalu teringat pada ayahku, itu sebabnya aku menangis. Ketika itu hari raya terakhir bersamanya. Ia membelikanku sebuah gaun berwarna hijau dan sepatu baru. Waktu itu aku sangat bahagia. Lalu suatu hari ayahku pergi berperang bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Ia bertarung bersama Rasulullah bahu-membahu dan kemudian ia meninggal. Sekarang ayahku tidak ada lagi. Aku telah menjadi seorang anak yatim. Jika aku tidak menangis untuknya, lalu siapa lagi?”
Mendengar cerita itu, seketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam hatinya diliputi kesedihan yang mendalam. Dengan penuh kasih sayang beliau membelai kepala gadis kecil itu sambil berkata, “Anakku, hapuslah air matamu. Angkatlah kepalamu dan dengarkan apa yang akan kukatakan kepadamu. Apakah kamu ingin agar aku menjadi ayahmu? Dan apakah kamu juga ingin agar Fatimah menjadi kakak perempuanmu. Dan Aisyah menjadi ibumu. Bagaimana pendapatmu tentang usul dariku ini?”
Begitu mendengar kata-kata itu, gadis kecil itu langsung berhenti menangis. Ia memandang dengan penuh takjub orang yang berada tepat di hadapannya. “Masya Allah! Benar, ia adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, orang yang baru saja mendengarkan curahan kesedihan dan kegundahan hati,” kata gadis kecil itu membatin.
Akhirnya, gadis yatim kecil itu tertarik dengan tawaran Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, namun entah mengapa ia tidak bisa berkata sepatah kata pun. Ia hanya dapat menganggukkan kepalanya perlahan sebagai tanda persetujuannya.
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menggandeng tangan gadis yatim kecil itu menuju ke rumah. Hatinya begitu diliputi kebahagiaan yang sulit untuk dilukiskan. Betapa tidak, ia diperbolehkan menggenggam tangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang lembut itu.
Sesampainya di rumah Rasulullah, wajah dan kedua tangan gadis kecil itu lalu dibersihkan dan rambutnya. Semua memperlakukannya dengan penuh kasih sayang. Kemudian, gadis kecil itu dipakaikan gaun yang indah dan diberikan makanan, juga uang saku untuk hari raya. Lalu ia diantar keluar, agar dapat bermain bersama anak-anak lainnya.
Sontak, anak-anak lain merasa iri pada gadis kecil dengan gaun yang indah dan wajah yang berseri-seri. Mereka merasa heran, lalu bertanya, “Gadis kecil, apa yang telah terjadi? Mengapa kamu terlihat sangat gembira?”
Sembari menunjukkan gaun baru dan uang sakunya gadis kecil itu menjawab, “Akhirnya aku memiliki seorang ayah. Di dunia ini, tidak ada yang bisa menandinginya. Siapa yang tidak bahagia memiliki seorang ayah seperti Rasulullah? Aku juga kini memiliki seorang ibu, namanya Aisyah, yang hatinya begitu mulia. Juga seorang kakak perempuan, namanya Fatimah. Ia menyisir rambutku dan mengenakanku gaun yang indah ini. Aku merasa sangat bahagia, dan ingin rasanya aku memeluk seluruh dunia beserta isinya.”
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Siapa yang memakaikan seorang anak pakaian yang indah dan mendandaninya pada hari raya, maka Allah Subhanahu Wata’ala akan mendandani pada hari Kiamat. Allah Subhanahu Wata’ala mencintai terutama setiap rumah, yang di dalamnya memelihara anak yatim dan banyak membagi-bagikan hadiah. Barang siapa yang memelihara anak yatim dan melindunginya, maka ia akan bersamaku di surga.”
— Kisah di atas dikutip (dengan sedikit mengubah redaksi) dari ddhongkong.org yang mengutip dari buku berjudul asli “Wie der Prophet ein waises Maedchen zum Fest gluecklich machte”, diterjemahkan dari buku “Ich erlerne meine Religion: Die fuenf Saeulen des Islam“, Asim dan Muerside Uysal, terjemahan dalam bahasa Jerman oleh Marianne Zaric, Istanbul.
Tak heran bila dulu ketika kita kecil, orang tua kita selalu mengupayakan dengan sekuat tenaga untuk menyediakan ‘baju lebaran’ yang terbaik untuk dikenakan oleh anaknya (kita) di hari raya. Karena mereka (orangtua) ingin melihat anaknya bahagia di hari raya, sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah. Tak ada salahnya jika hal itu dilakukan oleh kita sebagai orangtua kepada anak-anak kita, terlebih jika bisa menyediakan pula untuk anak yatim.
Tahun ini, lebaran memang berbeda dari tahun sebelum-sebelumnya. Di tengah wabah pandemi Covid-19, memang serba salah antara ketika mengenakan ‘baju lebaran’ atau tidak. Namun, sejatinya membahagiakan anak adalah kewajiban orangtua. Jadi selagi ada pakaikan mereka baju yang terbaik di hari raya ini. Selipkan pula uang di sakunya, agar mereka bahagia.
Bagi yang ada rejeki tak ada salahnya membagikan kebahagiaan kepada anak-anak di lingkungan sekitar, terlebih anak yatim, agar mereka ikut bahagia.
Buatlah mereka bahagia. Semoga.
Ciputat, 1 Syawal 1441 Hijriyah